Ganyang (mengganyang), menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti memakan mentah-mentah, memakan begitu saja, menghancurkan, mengikis habis dan mengalahkan lawan (dalam pertandingan).
Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno kata tersebut banyak dipakai. Ketika konfrontasi dengan Malaysia misalnya, tidak terhitung banyaknya demo meneriakkan 'ganyang Malaysia'. Demikian juga saat-saat meruncingnya hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat, muncul 'Ganyang nekolim' (neo-kolonialisme, kolonialisme dan imperialisme).
Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1964, Bung Karno memberikan judul pidatonya Tahun Vivere Pericoloso (Tavip). Ia menginstruksikan seluruh rakyat untuk melaksanakan Tri Sakti Tavip. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Dalam masalah yang terakhir ini, Bung Karno menentang keras apa yang disebutnya 'musik ngak ngik ngok', literatur picisan, dan dansa-dansi gila-gilaan. Menurut Bung Karno kaum imperialis ingin merusak moral bangsa Indonesia melalui penetrasi kebudayaan.
Dalam soal kepribadian, Bung Karno juga menginginkan agar dalam berpakaian pun mencerminkan kepribadian Indonesia. Tidak heran kalau pakaian you can see, yang memperlihatkan ketiak, juga menjadi sasaran tembak. ''Ganyang you can see,'' teriakan yang sering terdengar bila melihat orang berpakaian demikian.
'Pengganyangan' itu tidak hanya terjadi di Jakarta. Saya pernah mengikuti Menteri Negara Oei Tjoe Tat, pada pertengahan 1960-an, ke Kalimantan Barat. Dari sebuah losmen, sejumlah anak muda meneriakkan ''ganyang you can see'' kepada seorang wanita yang berpakaian demikian. Terlihat bagaimana merah padamnya muka wanita tersebut menahan malu. Ia cepat-cepat menghindar dari kerumunan massa yang berteriak-teriak itu.
Dalam kaitan dengan you can see itu, perusahaan kosmetik Rexona punya iklan yang disebut Ketty Dance, yakni tarian sejumlah perempuan dengan memperlihatkan ketiaknya. Bukan rahasia lagi, para pembawa acara di televisi bukan hanya berwajah cantik, tapi kebanyakan juga mesti berpenampilan berani. Demikian pula para penari latar dan penyanyi, merasa kurang afdhol kalau tidak menggoyang-goyangkan pinggulnya.
Menurut Munif Bahasuan (71 tahun), yang lebih 50 tahun berkecimpung di dunia dangdut, ketika dangdut masih bernama Orkes Melayu mereka tampil sangat sopan. Penyanyi wanitanya berpakaian kebaya, sedangkan prianya memakai teluk belanga. Ada foto yang sering disiarkan ketika Bung Karno bertari lenso dengan putrinya, Megawati Sukarnoputri. Megawati menggunakan baju kebaya dan kain batik, busana wanita yang dominan saat itu.
Masih menurut Munif, dahulu yang disebut goyang pinggul tidak ada. Kalau sekarang tidak terhitung banyak jenisnya. Ada goyang ngebor, goyang ngecor, goyang patah-patah, goyang kayang dan entah apa lagi namanya. Tidak heran kalau RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) disahkan mereka tidak setuju. Bagi televisi pertunjukan semacam itu bukan saja dimaksudkan untuk mengejar rating, tidak peduli dengan mengeksplorasi sensualitas. Padahal ketika Bung Karno melarang you can see tidak ada masalah di masyarakat.
Dalam kaitan dengan RUU APP, saya ingin sedikit mengutip pengamatan Moammar Emka, penulis buku Jakarta Undercover dan pemerhati kehidupan malam, ketika beberapa waktu bersama saya jadi pembicara dalam 'Program Persiapan Calon Pemimpin DPW PKS DKI Jakarta.
Jakarta sebagai kota metropolitan (dan kota-kota besar lainnya), tak lepas dari kehidupan malamnya. Ratusan tempat hiburan malam berlomba-lomba membuka pintu lebar-lelbar dengan aneka menu spesial menggoda, dari kafe, bar, pub, diskotek, karaoke sampai klub. Nafas kehidupan malam itu, pada akhirnya juga menghembuskan bau lain yang tak sedap karena dalam prakteknya tak semua tempat hiburan beroperasi sebagaimana mestinya.
Diskotek kini tak hanya sebagai ajang berdisko semata, tapi juga sebagai ajang untuk meneguk kenikmatan 'surga ekstasi dan seks'. Karaoke tak lagi sebagai tempat rileksasi ditemani ladies-escort, tapi juga sebagai prive room untuk mendapat layanan spesial dari penari striptis, seks shashimi sampai kencam one short time.
Kalau dilihat dari kaca mata industri, kata Moammar Emka, Jakarta tak ubahnya seperti sebuah medan yang tiap hari, bahkan tiap jam, selalu berdenyut oleh banyaknya transaksi seksual. Saking banyaknya industri seks yang ada di Jakarta, saya sampai berani membuat satu kesimpulan bahwa Jakarta sudah menjadi medan sex show supermarket. Bagaimana tidak? Jumlah tempat pijat, sauna, karaoke dan hotel yang menyediakan pelayanan sensual, jumlahnya tak kalah banyak dengan supermarket.
Kita tidak ingin dekadensi moral yang sudah merusak kepribadian bangsa terus meningkat tanpa kendali. Karena itu, memang diperlukan perangkat UU yang mengatur pornografi dan pornoaksi.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment