Setelah VOC mengalahkan Portugis di Malaka (1641), ia banyak menyandera tawanan perang. Mereka dijadikan budak belian dan baru dimerdekakan setelah ganti agama dari Katolik jadi Protestan. Keturunannya masih dapat kita jumpai di Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara.
Termasuk gereja Tugu yang terkenal, dan keroncong Tugu, orkes peninggalan Portugis abad ke-18. Bersama para tawanan perang, Belanda juga mengangkut sebuah meriam besar beratnya 3,5 ton. Dikenal dengan 'meriam si jagur' (lihat gambar). Mungkin karena bunyinya jegar-jegur saat ditembakkan. Meriam macam ini oleh orang Betawi disebut 'meriam sundut'. Karena saat hendak ditembakkan lebih dulu lubang bagian belakang disundut setelah diisi peluru.
Belanda menempatkan si jagur di salah satu kastil (benteng) Batavia guna melindungi kota dan pelabuhan. Karena beratnya, 'si jagur' ditinggalkan begitu saja, ketika gubernur jenderal Daendels menghancurkan kastil Batavia, dan warga Belanda ramai-ramai 'mudik' ke Weltevreden (Gambir dan Senen) serta Meester Cornelis (Jatinegara). Sejak itu si jagur tergeletak di Kota Inten, dekat jembatan KA Jakarta Kota.
Entah sejak kapan, meriam perunggu buatan pabrik senjata 'St Jago de Barra' di Macao, Cina oleh Portugis kemudian jadi terkenal. Karena dianggap bertuah, banyak didatangi dan diziarahi orang. Bukan hanya dari Jakarta, juga dari tempat lain. Seolah-olah si jagur bisa mengabulkan permintaannya, para peziarah tidak segan-segan menyampaikan berbagai hajatnya melalui kuncen yang siang malam dengan setia mendampingi si jagur. Akibat membludaknya para peziarah, di sekitar kota Inten (tidak jauh dari terminal angkutan kota sekarang), banyak pedagang yang membangun warung di sekitarnya. Tapi yang laris adalah pedagang kembang dan kemenyan untuk ditaburkan dan nazar di meriam tua ini.
Yang paling banyak berziarah ke si jagur adalah pasangan suami istri yang meminta diberikan keturunan dan kesuburan. Pasalnya, ciri khas 'si jagur' terdapat di bagian buntutnya. Di sini terukir indah ibu jari tersembul di antara telunjuk dan jari tengah. Yang merupakan simbol senggama. Karena alasan itulah si jagur dianggap keramat dan diyakini bisa datangkan kesuburan. Bahkan ada yang anggap 'dewa kesuburan'. Para peziarah setelah memberikan uang pada kuncen (juru kunci), kemudian mendapatkan payung kecil warna merah dan kuning. Yang oleh si pasangan diletakkan di atas kelambu tempat mereka tidur.
Pernah terjadi seorang ibu dari Jawa Timur berziarah membawa dua anaknya, minta kesuburan pada si jagur. Setahun kemudian sang ibu kembali ke si jagur dan langsung marah-marah. Termasuk pada kuncen yang membacakan mantera dan doa-doa. Karena yang hamil bukan anaknya yang telah berkeluarga, tapi anak gadisnya.
Menyadari terjadinya kemusrikan, maka pada masa Wali Kota Sudiro pertengahan 1950-an, si jagur dipindahkan ke Museum Nasional di Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Konon, ketika meriam ini dipindahkan seorang ibu yang berjualan di sekitarnya menjadi pingsan. Karena merasa rezekinya hilang. Dari Museum Nasional kemudian si jagur dipindahkan ke Taman Fatahilah di antara gedung Kantor Pos Jakarta Kota dan Kafe Batavia. Kini, meriam yang pernah dipuja-puja itu disimpan di Gedung Museum Sejarah DKI Jakarta. Sudah tidak ada lagi yang menziarahinya, seperti yang terjadi puluhan atau mungkin ratusan tahun lalu.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment