Banyak pihak yang memuji gebrakan Kapolri Jenderal Pol Sutarto. Hanya beberapa hari setelah dilantik ia membuat kontrak kerja dengan para Kapolda dan jajaran kepolisian bawahannya. Berantas judi dan narkoba, salah satu taruhan sukses tidaknya mereka dalam melaksanakan tugas.
Sampai kini 'genderang perang' itu terus ditabah. Di Jakarta operasi dilakukan terhadap diskotik dan tempat hiburan malam. Sejumlah artis yang ikut terjaring diharuskan tes urine. Dalam memberantas penjudian cukup banyak yang telah terjaring pihak kepolisian. Meskipun banyak pertanyaan, kok bandar utamanya masih belum tersentuh?
Tapi, perang terhadap segala bentuk kejahatan masih belum berakhir. Kapolri pun mengeluarkan perintah terhadap seluruh jajarannya, ''Berantas premanisme''. Seperti juga kontrak kerja, perintah ini pun ditindak lanjuti jajarannya. Dan, ramailah berita tentang penangkapan para preman. Meskipun masih ada yang menilai kok yang ditangkap kelas teri saja. Rupanya masih banyak preman yang belum jera. Buktinya berita-berita perampokan, perkosaan, dan pemerasan masih banyak terjadi.
Sampaim akhir minggu lalu preman-preman masih merajalela di pusat bisnis: Glodok - Pancoran. Seorang pemilik toko menceritakan bagaimana para preman memungut parkir sekehendak hati, meminta jatah dari toko dan warung. Mereka memasang tarif Rp 5-10 ribu untuk parkir. Kalau tidak dikasih kaca mobil bisa pecah. Hal yang sama juga terjadi di Tanah Abang. Tentu juga di tempat lain.
Premanisme memang banyak terjadi di kota-kota besar, di dunia. Bukan akhir-akhir ini saja. Seperti pernah dikutip oleh seorang kolumnis di sebuah suratkabar Jakarta, pada April 1965, Robert F Wagner, wali kota New York, melancarkan suatu operasi yang dikenal sebagai Operation Crack-down -- si kolomnis menyebutnya sebagai Operasi Kemplang, berperang melawan para bandit. Karena, yang dikemplang adalah pembunuh, perampok, dan mereka yang melakukan kejahatan di malam hari di kereta api bawah tanah New York.
Selama Operasi Kemplang dijalankan, masih terjadi 223 kejahatan. Tapi, jauh menurun dibandingkan sebelum operasi yang mencapai 589 kejahatan di kereta api New York di waktu malam -- berarti kejahatan berkurang 62 prosen. Hasil ini didapat dengan pengerahan banyak tenaga dan mengeluarkan banyak dana. Operasi berlangsung tiap malam dari pukul 08.00 sampai 04.00 pagi. Untuk lembur dan penambahan polisi menelan biaya 1,8 juta dolar AS.
Pada bulan yang sama sebuah suratkabar memuat berita terjadi perampasan dan penelanjangan di siang hari bolong yang begitu brutal di Jakarta. Peristiwa itu disaksikan cukup banyak orang. Setelah melakukan perampasan, penjahatnya tidak melarikan diri, tetapi berkeliaran di tempat itu untuk beberapa menit kemudian mengulangi kejahatannya.
Karena itulah, Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta saat itu, menyatakan, ''Banditisme di ibukota harus segera ditumpas''. Tapi, kejahatan di Ibukota tidak pernah surut. Dan, menjelang akhir 1970-an, Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani dalam upaya membasmi banditisme melancarkan operasi yang lebih dikenal dengan sebutan Petrus (penembak misterius). Kala itu, masyarakat sudah maklum bila ada berita surat kabar, "Ditemukan mayat dalam karung". Bahkan, ada juga mayat yang mengambang di sungai, atau tergeletak di semak-semak.
Kriminilitas di Jakarta pada tahun 1950-an masih jauh lebih kecil. Bahkan ada yang membandingkan masih lebih baik dibandingkan di kota-kota besar di negara lain, termasuk Singapura. Dulu masih ada penodong yang menggunakan senjata api palsu. Kini hampir tidak terdengar lagi. Penodongan di waktu siang kini sudah sering terdengar. Kalau pada 1950-an dan 1960-an penjahat, perampok, penodong hanya mengincar harta benda korbannya, dan masih mengindahkan nyawanya, sekarang tidak lagi. Banyak korban tewas akibat tembakan pistol si perampok.
Sejumlah tokoh Betawi menyatakan, pada tahun 1950-an situasi Jakarta aman, karena ada tokoh 'jagoan' yang merupakan 'palang pintu' di daerah tempat tinggalnya. Seperti dikemukakan tokoh Betawi H Irwan Sjafi'i, tokoh masyarakat setempat ini merasa malu dan terhina bila terjadi kriminalitas di kampungnya. Pada masa hidupnya, H Ung, kakek almarhum Bunyamin S, juga merupakan 'palang pintu' di daerah Kemayoran. Demikian juga Sabeni, Mahruf dan Derahman Djeni dari Tanah Abang. Mereka sangat dihormati warga, sehingga bila terjadi kejahatan merekalah yang diminta menanganinya.
Pada tahun 1950-an nama Kapten Imam Syafi'ie sangat dikenal di Jakarta dan sekitarnya. Pimpinan organiasi COBRA ini ikut memelihara keamanan di kota Jakarta. Apalagi ia merupakan perwira yang diperbantukan pada Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR).
Ketika masih sebagai jagoan di Senen, dia turut menggerakkan masyarakat melawan Belanda saat revolusi fisik. Demikian juga halnya H Dahrip dari Klender. Ia mengerahkan ratusan pemuda untuk bergerilya, hingga Bung Karno dan Bung Hatta mengaguminya. Demikian juga KH Mughni dari Kuningan dan Mad Djaelani dari Kwitang.
Selain mereka, masih banyak lagi jagoan yang jadi pejuang kemerdekaan dan palang pintu dalam menjaga keamanan di kampungnya. Tapi, karena tawadhu, tidak ada yang mau menonjolkan diri, dan tidak minta diakui sebagai pahlawan. Tentu saja situasinya sekarang jauh berbeda. Rakyat mengharapkan aparat kepolisian berhasil dalam menumpas banditisme. Karena, Jakarta haraus aman agar para investor dan turis asing tidak takut mendatangi kota ini.
( Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment