Tuesday, March 21, 2006

Pencak Silat 'Mustika Kwitang'

Pencak silat telah dikenal selama berabad-abad di Tanah Air. Bahkan ia telah dipertunjukkan sejak abad ke-16, di saat pesta perkawinan atau khitanan di Jayakarta. Bagi warga Betawi main silat adalah suatu kemustian.

Pada tempo doeloe hampir di tiap kampung Betawi terdapat jagoan silat. Mereka sangat disegani karena tingkah lakunya yang terpuji. Mereka menggunakan ilmu bela dirinya untuk amar ma'ruf nahi munkar. Mengajak manusia ke jalan kebaikan dan mencegah kezaliman. Jauh dari tingkah laku para preman sekarang, yang main palak dan memeras tanpa mengenal kasihan.

Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, setidaknya sampai tahun 1960-an dikenal sebagai salah gudang jago pencak silat di Ibukota. Di antara belasan jagoan terdapat H Muhammad Djaelani, yang lebih dikenal dengan sebutan Mad Djaelani. Ilmu silatnya, Mustika Kwitang, kini diwariskan pada cucunya, sekaligus muridnya, H Zakaria (76 tahun).

Kakek 40 cucu, enam cicit, dari 14 anak itu, sampai kini masih aktif mengajar dan melatih pencak silat sekalipun usianya sudah cukup gaek. Bahkan, ketika saya mendatangi kediamannya di Kramat Buntu, Kwitang, belakang toko buku Gunung Agung, H Zakaria masih tampak segar. ''Saya belajar silat langsung dari kakek saat revolusi fisik, tahun 1945-1949,'' katanya. Kakeknya wafat pada tahun 1969.

Berkat gemblengan kakeknya itu, pada PON II di Jakarta (1952), ia menjadi juara pencak silat dan mengantongi medali emas untuk kontingan Ibukota. Sedangkan pada PON III di Medan (1953) sebagai pelatih ia membawa kontingan pencak silat DKI meraih sukses dengan sejumlah medali.

Tampaknya, meskipun sudah lebih setengah abad menekuni dan menjadi pelatih pencak silat, dia semakin bergairah mengembangkan warisan budaya nenek moyang ini. Entah berapa ratus, mungkin ribuan, mudirnya tersebar bukan hanya di tanah air, tapi juga di manca negara. Saat saya datangi, misalnya, H Zakaria memakai kaos bertuliskan United Kingdom International Championships 12-13 June 2004.

Dalam kejuaraan pencak silat di London itu, dia diminta datang, sekaligus jadi pelatih pencak silat Mustika Kwitang yang kini sudah berkembang di Inggris. ''Saya juga diminta mengembangkan pencak silat Mustika Kwitang di Paris oleh warga Prancis keturunan Aljazair. Mereka juga meminta saya untuk melatih pencak silat di Aljazair.''

Tapi, bagaimanapun, waktunya terbatas. Untungnya, dalam usianya yang sudah mendekati kepala delapan ini, ia dibantu sejumlah asistennya. Melihat besarnya animo masyarakat untuk mempelajari ilmu silat dari Indonesia, tidak heran kalau H Eddy Nalapraya -- mantan wagub DKI Jakarta -- menjadi Presiden Pencak Silat Dunia.

Di Kwitang sendiri, tempat kelahirannya, dia seminggu dua kali (Ahad malam dan Rabu malam) bertempat di Majelis Taklim Habib Ali Kwitang, melatih para pemuda maen pukulan. Termasuk beberapa orang asing.

H Zakaria, yang kini menjadi pakar pencak silat di IPSI -- Ikatan Pencak Silat Indonesia -- dalam hidupnya yang cukup panjang punya pengalaman yang tak terlupakan.

Peristiwanya terjadi pada tahun 1960-an. Ketika itu, pasukan pengawal Presiden Soekarno, Tjakrabirawa, mendatangkan suhu (gurubesar) karate dari Jepang, yakni Prof Nakagama yang telah meraih Dan-7. Ia datang disertai mahaguru karate dari AS, Donn F Dragen.

Saat itu, Zakaria, pemuda Betawi dari Mustika Kwitang, diminta untuk memperlihatkan teknik bermain silat kepada kedua mahaguru karate itu. Zakaria, yang kala itu masih muda, dengan lihainya memperagakan jurus-jurus bermain senjata dan memecahkan batu dengan menggunakan pergelangan tangan. Jago silat dari Kwitang ini juga menunjukkan kemahirannya memainkan pisau dengan kecepatan tinggi.

Atraksi itu mengundang kekaguman master karate dari Jepang tersebut. Ia mengatakan pada Bung Karno, ''Mengapa Anda memiliki pemain sebagus ini kok pemuda-pemudinya kurang menyukai. Justru lebih suka bela diri dari Jepang.''

Ketika menuturkan kisah ini, Zakaria mengatakan masih banyak orang Indonesia yang menganggap rendah pencak silat dan dianggap mainan kampung. Padahal, di Eropa dan Asia, kini banyak yang mempelajarinya.

Pada zaman Belanda, katanya, pemerintah kolonial tak mengizinkan pencak silat. Karenanya, pada masa itu warga belajar silat secara ngumpet-ngumpet, mulai pukul 02.00 dini hari sampai pagi. Alasan Belanda kala itu, karena para pemberontak adalah ahli-ahli silat, seperti si Pitung, si Jampang, H Murtado.

Pada masa revolusi, sejumlah ahli silat Betawi dan para ulamanya pun bahu membahu memimpin barisan melawan Belanda. Sedangkan H Irwan Sjafiie (75), pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi, menuturkan bahwa Mad Djaelani guru dan kakek H Zakaria pernah dihukum seumur hidup oleh Belanda. Sebabnya, sekitar 1940-an ia membunuh seorang konsul Jepang di Batavia. Di sangkanya seorang Cina kaki tangan Belanda. Ia dibebaskan Barisan Pelopor pada masa revolusi fisik.

H Zakaria, yang aktif dalam FORKABI (Forum Komunikasi Betawi), bersama para anggota FORKABI dari kecamatan Senen, merasa prihatin atas maraknya premanisme di pasar tertua di Jakarta itu. Mereka melakukan berbagai kejahatan yang sudah sangat meresahkan masyarakat banyak. Karena itu FORKABI mendukung Pemda DKI menertibkan keamanan di situ. Dulu preman tidak ada. Bahkan pada masa Bung Karno juga belum ada preman.

Meskipun sudah lebih setengah abad menjadi pemain dan pelatih pencak silat, tapi kemampuan ekonominya jauh dari cukup. Kediamannya masuk ke gang sempit yang tidak dapat dilalui motor. Boleh dibilang ia dan keluarganya hampir tidak memiliki perabot apapun. ''Sejauh ini yang dapat penghargaan hanya atletnya. Sedang pelatihnya hampir tidak mendapat apa-apa,'' katanya.

(Alwi Shahab )

No comments: