Friday, July 11, 2008

Lima Presiden Dikibulin

Sejumlah ilmuwan menilai Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) 'tertipu' dalam kasus blue energy (energi biru). Seorang pria asal Nganjuk, Joko Suprapto, mengaku bisa memproduksi minyak mentah dari air. Dari biang minyak itu bisa dihasilkan bahan bakar sekelas minyak tanah hingga avtur.

Presiden SBY yakin itu merupakan sumbangan Indonesia bagi dunia, di tengah makin meroketnya harga minyak. Sementara, negara dibikin pusing tujuh keliling oleh dampak dari kenaikan itu. Karuan saja, sejumlah pihak, termasuk para ilmuwan, menyesalkan informasi yang belum valid bisa diterima oleh SBY. Kabarnya Joko kini dilaporkan ke polisi.

Penipu 'masuk Istana' ternyata punya sejarah yang cukup panjang. Baiklah kita mulai pada tahun 1950-an, pada masa pemerintah Presiden Soekarno. Ada seseorang yang mengaku Raja Kubu -- suku anak dalam di Jambi. Tidak tanggung-tanggung, dia memberi gelar dirinya Raja Idrus dan istrinya Ratu Markonah.

Pasangan 'suami istri' itu, entah bagaimana prosesnya, mendapat pemberitaan pers, termasuk foto-foto keduanya. Maka, sejumlah pejabat negara memberikan penghormatan luar biasa pada 'raja' dan 'ratu' tersebut.

Rupanya ada seorang pejabat yang menghubungi Presiden Soekarno dan kemudian memperkenalkannya. Di Istana, 'suami-istri' yang sebenarnya adalah penarik becak dan pelacur itu sempat diterima sebagai tamu kehormatan di Istana Merdeka. Mereka juga diberi uang, menginap dan makan gratis di hotel-hotel mewah. Termasuk mengunjungi Kraton Yogyakarta dan Surakarta.

Kedok penipuan mereka terbongkar saat berjalan-jalan di Jakarta. Ada seorang tukang becak yang mengenali 'Raja' Idrus, teman seprofesinya di Tegal. Sedang sang 'maharani' juga terbongkar berprofesi sebagai pelacur kelas bawah di kota yang sama. Konon, keduanya bertemu di sebuah warung kopi di Tegal. Kemudian sepakat untuk menjalankan aksi penipuan itu. Keistimewaan Markomah selalu memakai kaca mata hitam baik siang maupun malam. Rupanya sebelah matanya picek.

Pada masa Soeharto, di era 1970-an, juga terjadi penipu kelas kakap. Penipunya bernama Cut Zahara Fona, asal Aceh. Meski tidak tamat SD, dia memiliki ide jenius. Dia, yang selalu mengenakan kain batik, mengklaim bahwa janin yang ada diperutnya bisa berbicara dan mengaji.

Karuan saja, kabar itu menggegerkan masyarakat, apalagi diberitakan secara luas di surat kabar dan majalah. Konon, tiras sebuah harian ibukota terdongkrat naik, karena tiap hari membuat berita tentang 'bayi ajaib' di perut Cut Zahara.

Masyarakat yang banyak berdatangan pun rela untuk nguping di perutnya yang dilapisi kain untuk mendengar 'bayi ajaib' itu berbicara atau mengaji. Bukan hanya rakayat biasa, ada juga pejabat yang meyakininya. Termasuk Wakil Presiden Adam Malik yang mengundang Cut Zahara ke Istana Wapres. Bahkan, Menteri Agama KH Mohamad Dachlan termasuk orang yang meyakininya. Untuk meyakininya, ia menyatakan bahwa Imam Syafi'ie selama tiga tahun berada di kandungan ibunya.

Cut Zahara Fona dan suaminya pernah diperkenalkan oleh Sekdalopbang (Sekretaris Pengendalian Pembangunan) Bardosono kepada Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. Perkenalan ini dilakukan di Bandara Kemayoran setelah keduanya tiba dari lawatan luar negeri. Tapi, rupanya Ibu Tien termasuk orang yang kurang yakin terhadap 'bayi ajaib'-nya Cut Zahara Fona. Apalagi wanita Aceh itu menolak ketika hendak diperiksa di RSCM.

Konon, Ibu Tienlah yang menggeledah dan mendapatkan bahwa bicara dan mengaji itu hanya berasal dari tape recorder kecil yang disisipkan di perut Cut Zahara. Kala itu memang belum banyak perekam suara sekecil milik Cut.

Meskipun kedoknya terbongkar, 'bayi ajaib' tersebut bukan hanya mendapat perhatian masyarakat Indonesia, tapi juga dunia internasional. Hingga ada permintaan dari Pakistan agar Cut dan suaminya berkunjung ke sana. Bahkan, ada yang meramal 'bayi ajaib' itu, bila lahir akan menjadi Imam Mahdi.

Setelah tidak terdengar kasus Istana pada masa Presiden BJ Habibie, yang memang pendek masa jabatannya, pada masa Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) kembali terjadi penipuan yang mengaitkan Istana Negara. Pelakunya adalah Soewondo, yang biasa keluar masuk Istana karena jadi tukang pijat Gus Dur.

Orang yang dianggap 'dekat' dengan orang nomor satu di Indonesia itu berhasil menipu Yayasan Dana Kesejateraan Karyawan (Yanatera) Badan Urusan Logistik (BULOG) dan dituduh membobol uang yayasan hingga Rp 35 miliar. Soewondo sempat kabur, namun kemudian ditangkap polisi di kawasan Puncak, Jawa Barat. Pengadilan memvonisnya 3,5 tahun penjara.

Kasus tersebut sempat menyita perhatian khalayak dan menjadi senjata pamungkas bagi lawan-lawan politik Gus Dur, yang membantah telah memerintahkan pencarian dana itu. Namun, akhirnya Gus Dur lengser juga dari jabatannya gara-gara kasus yang dikenal dengan istilah Buloggate tersebut.

Pada masa Presiden Megawati, skandal 'penipuan' kembali terjadi. Kali ini yang diperdaya adalah Menteri Agama Kiai Said Agil Almunawar. Menteri yang bergelar profesor dan hafidz Alquran ini memimpin penggalian situs di Batutulis Bogor yang diyakini memendam harta karun yang nilainya dapat untuk membayar seluruh utang negara.

Menurut Said Agil, Presiden Megawati mengetahui rencana penggalian situs bersejarah yang konon peninggalan Kerajaan Pajajaran itu. Sayangnya, harta karun yang dicari hanya pepesan kosong. Said Agil sendiri kini masih ditahan dalam kasus tuduhan korupsi uang haji.

Moga-moga penghuni Istana yang menjadi lambang kebanggaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia, itu tidak lagi menjadi korban penipuan.

(Alwi Shahab )

Pasar Pisang atawa Kali Besar Timur 3

Entah apa sebabnya, gedung ruko berlantai dua yang diabadikan 1865 terletak di Pasar Pisang dan kini menjadi Jalan Kali Besar Timur 3. Seperti juga sekarang, ruko yang terdiri belasan unit ini menjadi perkantoran dari berbagai perusahaan Belanda dan Eropa yang di dalamnya menjual sandang pangan, minuman beralkohol, porselen, cerutu, perusahaan jasa angkutan, hingga bahan bangunan.

Ketika foto ini diabadikan oleh fotografer Woodbury & Page, Jalan Raya Kali Besar Timur sedang diaspal meskipun kala itu mobil masih belum nongol. Salah satu perusahaan yang terletak di antara deretan ruko (rumah toko) adalah Van Vleuten & Co yang didirikan di Batavia 1865 oleh Diendericus Bernandus van Vleuten (lahir 1835) dan Willem Hendrix Co. (1834-1884). Van Vleuten & Cox juga menjadi jurulelang dan agen perkapalan. Van Vleuten tercatat sebagai penduduk Batavia pada 1854, sementara Cox rekan bisnisnya tercatat tahun 1857.

Pasar Pisang yang kini menjadi Jl Kali Besar Timur 3, menjadi salah satu pusat kegiatan berbagai bisnis terutama setelah 1870 ketika terjadi liberalisasi di negeri Belanda yang berdampak ke Batavia. Van Vleuten & Cox juga aktif membangun real estate untuk warga Barat yang banyak berdatangan setelah berlangsung liberalisasi ekonomi. Kala itu yang menjadi angkutan utama adalah sado dan delman, termasuk sado yang penumpangnya berada di ruang tertutup dan sang kusir duduk di bagian depan.

Gedung yang telah berusia dua abad ini masih kita jumpai di bagian kota lama Jalan Kali Besar Timur 3. Tapi keadaannya sangat menyedihkan dan kini dijadwalkan akan direhab kembali. Apalagi di bagian ujung kanan gedung tersebut dahulunya terletak Toko Buku dan Percetakan G Kolff & Co. Sampai tahun 1957 percetakan Kolff meskipun kantor pusatnya pindah di Jl Pecenongan, Jakarta Pusat, merupakan supplier utama buku-buku untuk keperluan sekolah di Hindia Belanda yang diberikan secara cuma-cuma. Kolff & Co juga merupakan produser foto-foto post-card topografi Batavia pada abad ke-20 selama dua dekade.

Dinas Permuseuman dan Kebudayaan DKI telah membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemetaan dan Pengembangan Kota, yang diketuai oleh Candrian Attahiyat untuk mengembalikan kembali pamor Kali Besar seperti pada masa abad ke-18 dan 19. Di kawasan Kali Besar terdapat 50 gedung tua yang akan dikembalikan kembali keindahannya seperti masa lalu sebagai salah satu tujuan wisatawan asing di Jakarta. Candrian mengeluhkan banyak gedung tua itu kini keadaannya memprihatinkan karena tak terawat. Ada gedung bersejarah yang di bagian dalamnya dipakai oleh pengumpul barang bekas sebagai tempat tinggal.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

56 Hari Usia Piagam Jakarta

Dalam diskusi yang diselenggarakan Batavia Novelles menyambut ulang tahun ke-481 Jakarta, para pembicara meragukan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari jadi Jakarta. Sedikit sekali keterangan yang menggambarkan sejarah awal berdirinya kota Jakarta hingga kedatangan para penjelajah bangsa-bangsa Eropa.

Baru pada abad ke-16 para penulis Eropa melaporkan adanya sebuah kota bernama Kalapa yang menjadi bandar Kerajaan Hindu Pajajaran dengan ibukota Pakuan (Bogor), 40 km selatan Jakarta. Tidak heran bila di Museum Sejarah DKI Jakarta di Jl Fatahillah, Jakarta Kota, hampir tidak dijumpai peninggalan-peninggalan masa Jayakarta. Sehingga, ada yang menamakannya sebagai museum VOC.

Sejarawan Jakarta keturunan Jerman, Adolf Heyken, terang-terangan menyebutkan landasan penamaan Jayakarta saat Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta hanyalah dongeng. Karena tidak ada dokumen yang menyebutkan nama Jayakarta. Bahkan, 50 tahun sesudahnya masih tetap disebut Sundas Kalapa.

''Fatahillah berasal dari Arab, jelaslah apabila orang Arab tidak akan memberi nama sesuatu dengan bahasa Sansekerta. Jayakarta adalah nama dari Sansekerta," tulis Heyken. Menurut Heyken, bukan hanya dia yang menyatakan demikian. Ali Sastroamidjojo mantan PM RI pada masa demokrasi parlementer juga pernah menyatakan bahwa HUT Jakarta adalah dongeng.

Tapi, sayangnya Jakarta dijual sebagai dongeng. ''Bilang saja dongeng. Tidak apa-apa, karena banyak nama kota di dunia yang berasal dari dongeng. Nama kota Roma, ibukota Italia, juga diambil dari sebuah dongeng terkenal yaitu Romus dan Romulus.

Sejarawan Betawi, Ridwan Saidi, menilai tanggal 22 Juni lebih pantas dirayakan sebagai kelahiran Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Untuk lebih memperjelas tulisan ini, sebaiknya kita kembali dulu ke saat-saat menjelang bertekuklututnya balatentara Dai Nippon kepada Sekutu.

Sebelum bom atom dijatuhkan di Hiroshima (6-8-1945) dan Nagasaki (9-8-1945), di Jakarta para pemimpin bangsa telah bersiap-siap untuk menyongsong kemerdekaan. Dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beranggotakan 62 orang, diketuai oleh Dr Radjiman Wediodiningrat.

Dalam pidato singkatnya pada 29 Mei 1945, Radjiman bertanya kepada para anggota BPUPKI, ''Negara yang akan kita bentuk ini apa dasarnya?''
Sejak saat itu terdapat dua kubu yang berbeda tajam. Yakni, kubu Islam yang menghendaki dibentuknya negara Islam dan kubu nasionalis yang menghendaki negara bebas dari pengaruh agama.

Sidang yang berlangsung 1 Juni 1945 berhasil mencapai kompromi antara kedua kubu yang saling berlawanan itu. Setelah pidato Bung Karno selama satu jam yang dikenal sebagai hari lahir Pancasila, Dr Radjiman membentuk panitia kecil yang terdiri dari semua aliran. Panitia ini kemudian menunjuk sembilan orang yang akan merumuskan pidato Bung Karno itu sebagai kompromi antara kedua kubu yang bertentangan.

Rumusan kompromi pada tanggal 22 Juni 1945 itu kemudian mereka namakan Piagam Jakarta. Kesembilan orang yang menandatanganinya mencerminkan aliran Islam, nasionalis dan Kristen. Yang menyebabkan kubu Islam mengendurkan tuntutannya atas negara Islam adalah kalimat-kalimat dalam alinea empat pada pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ''...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.''

Sayangnya, Piagam Jakarta tidak berumur panjang. Hanya 56 hari. Karena, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI (18 Agustus 1945), piagam tersebut dicoret oleh mereka yang kurang menghayati isi dan makna perjanjian itu (KH Firdaus AN, Dosa-dosa Politik Orla dan Orba).

Pencoretan tujuh kalimat sakral di atas dimulai ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 sore, belum genap 12 jam proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, datang telepon dari seorang Jepang, pembantu Laksamana Maeda, yang ingin menemui Bung Hatta. Ternyata laksanana Jepang ini menyampaikan pesan seorang Nasrani dari Indonesia bagian Timur.

Tokoh Kristen tersebut keberatan dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Jika kata-kata itu masih tercantum, kaum Nasrani di Indonesia bagian Timur akan keluar dari RI. Padahal, keesokan harinya (18 Agustus 1945) akan ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk memilih presiden dan wakil presiden serta mensahkan UUD 1945 yang rampung disusun BPUPKI.

Sampai tahun 1984 masih misterius dan tidak ada satu bukupun di Indonesia yang menjelaskan siapa gerangan yang memberi ultimatum (melalui Jepang) itu. Barulah setelah Cornel University di AS menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia disebutkan bahwa tokoh itu adalah Dr Sam Ratulangi. Kasman Singaodimedjo dalam memoarnya menyatakasn, ''Ia yang baru diangkat sebagai anggota PPKI mendapat panggilan dari Bung Karno selaku ketuanya agar hadir di pertemuan tersebut.''

Waktu saya tiba di Pejambon, tengah ramai diadakan lobbying di antara anggota panitia. Dan, tidaklah sulit bagi saya untuk mengetahui apakah yang menjadi persoalan serius itu. Menurut Kasman, pengusul yang menginginkan agar tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta dihilangkan adalah mereka yang mengambil kesempatan dari keadaan psikologis ketika itu. Karena baru sehari kemerdekaan, diperlukan kekompakan dan persatupaduan bangsa Indonesia tanpa kecuali.

''Saya pun dalam lobbying itu ingin mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara keseluruhan tanpa pencoretan atas tujuh kata tersebut. Tapi, sayapun tidak dapat memungkiri apalagi menghilangkan adanya situasi darurat,'' kata tokoh Masyumi tahun 1950-an dan 1960-an itu.

(lwi Shahab )

Pedagang Buah di Pasar Baru

Foto para pedagang buah-buahan di Pasar Baru, Jakarta Pusat, diabadikan tahun 1910-an. Para pedagang yang memakai busana Betawi semacam blangkon ala Jawa Tengah dengan baju lurik tengah melayani pembeli seorang Cina yang berpakaian dari negeri leluhurnya.

Pemuda Cina dengan rambut taucang di konde di bagian belakangnya dan bertelanjang kaki tengah menawar harga ayam yang dikurung dalam keranjang. Rupanya busana para pedagang Betawi sekitar 100 tahun lalu masih menggunakan tutup kepala seperti layaknya masyarakat Jawa. Baru kemudian digantikan oleh kopiah hitam yang dipopulerkan oleh Bung Karno sejak tahun 1930-an. Kala itu orang Cina diharuskan menggunakan taucang yang merupakan kebiasaan bangsa Manchu yang mendirikan dinasti Qing di Tiongkok (1644-1911).

Selama dinasti ini berkuasa, mereka mengharuskan perantau Cina mengikuti tradisinya mengepang rambutnya dan melicinkan bagian atas. Meskipun pada 1911 dinasti Qing sudah tidak berkuasa lagi di daratan Cina, kini giliran Belanda yang tetap mempertahankan tradisi yang sudah berusia ratusan tahun itu. Karena pemerintah kolonial mengenakan pajak kepala atau pajak rambut panjang kepada warga Cina.

Seperti terlihat dalam foto, di pasar buah-buahan umumnya adalah produk lokal seperti salak, nenas, jeruk, kelapa, yang kini telah digantikan oleh buah-buahan impor yang mendominasi perdagangan di mal-mal dan supermarket. Bahkan para pedagang di kampung-kampung. Padahal, sampai awal tahun 1970-an, apel dan anggur merupakan buah-buahan yang harganya tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah.

Buah-buahan ini diselundupkan ke Indonesia melalui para inang dari Singapura. Sampai tahun 1960-an kampung-kampung di Betawi banyak terdapat pohon durian, duku, rambutan, dan mangga. Kini durian lokal sudah sulit didapat, kalah bersaing dengan durian Thailand di mal-mal.

Di daerah-daerah pinggiran Betawi kala itu seperti Pasar Minggu, Kemang, Kuningan, Tebet, dan Condet kaya dengan berbagai jenis buah-buahan. Pada pagi hari para pedagang di sini dengan memikulnya menjual hasil tanaman mereka ke daerah-daerah perkotaan seperti Manggarai, Menteng, Kwitang, Kebon Sirih, dan Tanah Abang. Sungguh tragis, Indonesia negara agraris yang kaya raya dengan buah-buahannya, kini sebagian besar mengonsumsi buah-buahan impor.

Pasar Baru mulai dikenal sejak Gubernur Jenderal Daendels memindahkan kota tua dari Pasar Ikan ke Weltevreden. Untuk kepentingan warga Belanda dan Eropa, mereka membuka pertokoan Pasar Baru yang di dekatnya banyak bermunculan perkampungan Eropa. Para pedagangnya banyak keturunan Cina dan India (Bombay).

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Pamor Kali Besar

Kali Besar di muara Ciliwung pada abad ke-17 dan 18 merupakan pusat jalur lalu lintas perdagangan yang ramai. Kapal-kapal dari mancanegara yang berdatangan di Sunda Kalapa melakukan bongkar muat di muara pelabuhan itu. Sementara dari daerah hulu berdatangan perahu-perahu yang membawa barang-barang kebutuhan pokok untuk masyarakat Batavia. Para pedagang dan pembeli saling berinteraksi tawar menawar tanpa menghadapi kesulitan berkomunikasi.

Saat ini Dinas Permuseuman dan Kebudayaan DKI Jakarta sedang ingin mengambalikan pamor Kali Besar, yang pada masda Belanda pernah dijuluki Koningen van het Oostenb (Ratu dari Timur), itu. Karena airnya jernih, orang Belanda meminum air Kali Besar. Dengan kanal-kanal yang mengelilingi kota, Batavia kala itu pernah dijuluki Venesia dari Timur.

Untuk mengembalikan pamor Kali Besar, Dinas Permuseuman dan Kebudayaan DKI telah telah membentuk Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Pemetaan dan Pengembangan Kota Tua, yang diketuai oleh Candrian Attahiyat (51). Dalam dua bulan mendatang (Agustus 2008), proyek yang diperkirakan akan menelan biaya Rp 70 miliar itu diharapkan sudah akan selesai.

Kali Besar, yang terletak di kedua pinggir Sungai Ciliiwung, pada masa jayanya merupakan tempat banyak pabrik (kantor, bengkel dan gudang) -- perusahaan-perusahaan milik Belanda dan negara Barat lainnya. Sisa-sisanya, berupa gedung-gedung tua, masih dapat kita saksikan hingga kini.

Proyek tersebut akan mengubah wajah Kali Besar -- yang sekarang airnya kotor kehitam-hitaman, penuh sampah dan lumpur serta berbau -- menjadi jernih, dalam, dan airnya bisa diminum, seperti dulu dilakukan Belanda saat-saat baru menetap di sini. Dalamnya tidak tanggung-tanggung, sekitar satu setengah meter.

Di kedua tepi kali itu akan dibuat trap (tangga) agar masyarakat bisa menikmati sungai yang telah dijernihkan. ''Ini sekaligus untuk mengusir stres para wisatawan yang berkunjung ke kota tua setelah mereka menghadapi kemacetan lalu lintas,'' kata Candrian.

Dinas Pekerjaan Umum Tata Air DKI Jakarta sedang membuat pintu air di Asemka hingga ke Cafe Galangan Kapal VOC di Luar Batang, Pasar Ikan. Proyek sepanjang 1200 meter itu akan dimulai dari Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, tidak jauh dari pusat perdagangan dan bisnis Glodok, Jakarta Kota.

Penataan dan pengembangan kota tua yang merupakan realisasi dari revitalisasi kota tua yang dimulai sejak tiga tahun lalu, luasnya meliputi 840 hektar, termasuk menyusuri kota tua yang seluas 840 ha.

Gedung Arsip Nasional, tempat dimulainya proyek Kali Besar, dulu merupakan gedung megah. Gedung ini dibangun sebagai rumah peristirahatan yang pada abad ke-18 lokasinya jauh di luar kota. Gedung yang terletak di tepi Ciliwung ini dibangun oleh Reinier de Klerk (1710-1780), ketika masih menjabat sebagai anggota Dewan Hindia.

Sedangkan akhir dari proyek Kali Besar di galangan kapal VOC Pasar Ikan, berhadapan dengan menara Syahbandar dan Museum Bahari yang dulu merupakan gudang rempah-rempah.

Dengan selesainya proyek kota tua itu diharapkan akan ada keramaian di tempat tersebut, baik siang maupun malam. Candrian memperkirakan, dengan adanya proyek Kali Besar, diharapkan wisatawan mancanegara akan banyak berdatangan. Karena Kali Besar yang sekarang merupakan pusat bisnis, sekaligus juga menjadi pusat wisata.

Dia menjamin, Kali Besar nantinya akan menjadi tempat yang menyenangkan, karena muara Sungai Ciliwung tidak akan kotor lagi seperti sekarang ini. ''Airnya akan jernih, debet air menjadi stabil dan dapat diminum, karena segala kotoran tidak akan ada yang masuk karena dibendung di sungai Asemka hingga ke galangan kapal VOC,'' katanya.

Sejauh ini, di kawasan Kali Besar hanya terdapat sebuah hotel berbintang lima. Nantinya diharapkan akan menyusul hotel, kafe dan tempat hiburan lain, karena masih banyak gedung tua yang dapat dimanfaatkan. Karenanya, diharapkan investor akan melirik tempat tersebut.

Untuk menjaga kebersihan, ada semacam larangan bagi pengunjung membuang sampah sembarangan. Limbah rumah tangga tak akan nyemplung ke kali, tapi masuk ke IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah).

Sayangnya, Kali Besar tidak lagi dapat dilayari oleh perahu apalagi kapal. Karena, pada jarak 1.200 meter terdapat tiga buah jembatan permanen untuk kendaraan bermotor. Dulu, ketiga jembatan tersebut dapat dinaikkan ke atas bila perahu atau kapal hendak melewatinya.

Pada masa Belanda, Kali Besar di tepi muara Ciliwung oleh Belanda disebut de Groote Rivier. Di depan muara Ciliwung terdapat Kota Intan -- berasal dari nama benteng intan. Pada 400 tahun lalu terjadi perebutan antara Portugis, Belanda dan Inggris.

Pada masa awal pemerintahan Hindia Belanda, Kali Besar menjadi tempat para mevrouw (nyonya besar) kompeni serta para nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat seperti kurungan ayam, disertai budak-budaknya, berkereta mengelilingi kota yang kala itu hanya beberapa mil persegi luasnya. Mereka tinggal di Kali Besar Barat dan Timur serta di tepi-tepi kanal yang mengelingi kampung dan rumah kompeni.

Melalui perahu-perahu yang selalu siap di depan kediamannya, para meener (tuan) dan mevrouw saling mengunmjungi di antara mereka seperti layaknya mereka tinggal di Holland. Sayangnya, gedung-gedung yang dulu terpelihara dan bersih kini banyak yang kumuh. Diharapkan, dengan proyek penataan dan pengembangan kota tua, Kali Besar akan bersinar kembali.

(Alwi Shahab )

Masa Kejayaan Kali Besar

Foto yang diabadikan oleh Woodbrog & Page pada tahun 1870 memperlihatkan masa kejayaan Kali Besar yang terletak di muara Sungai Ciliwung, bandar Sunda Kalapa. Pemandangan ini diambil dari dekat muara Ciliwung, Kali Besar di mana terdapat Hotel Omni Batavia -- hotel berbintang lima yang dibangun akhir 1980-an untuk menarik para wisatawan mancanegara.

Terlihat belasan kapal layar yang membongkar muat barang-barang baik dari mancanegara maupun dari daerah selatan pedalaman Batavia tanpa mengalami kesulitan mengarungi sungai yang masih jernih dan dalam.

Sekalipun pada akhir abad ke-19 bandar Sunda Kalapa telah dipindahkan ke Tanjung Priok, tapi kawasan Kali Besar, Jakarta Kota, masih menunjukkan pamornya. Bahkan pada awal abad ke-20, ketika kota Batavia makin berkembang, beberapa perkantoran seperti terlihat dalam foto telah diperbaharui dengan gaya modern, seperti yang dapat kita saksikan sisa-sisanya sekarang ini.

Kini, kawasan Kali Besar sepanjang 1,2 km dari bekas Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada hanya kira-kira ratusan meter dari pusat bisnis Glodok, airnya kembali akan dijernihkan seperti awsal abad ke-17 dan abad 18. Air sungai dalam beberapa bulan mendatang akan mendapati kedalaman satu setengah meter, sementara dua buah bendungan akan dibangun untuk menghindari masuknya sampah. Air sungai yang telah dijernihkan


Sampai abad ke-20 di Kali Besar, baik Kali Besar Timur dan Kali Besar Barat berdiri sejumlah perusahaan besar yang bergerak di bidang ekspor impor, perkapalan, jasa dan asuransi. Dahulu di Kali Besar Barat dekat Jl Tiang Bendera terdapat perusahaan Maclaine Watson & Co yang telah berdiri sejak 1825 oleh seorang Inggris Gilleon Maclainbe yang mengadu untung ke Jawa tahun 1920 dalam usia 22 tahun. Perusahaan raksasa ini juga bergerak dalam ekspor impor, pelayaran dan memiliki sejumlah armada kapal sendiri. Termasuk ekspor gula yang kala itu merupakan ekspor komoditi utama dari Hindia Belanda.

Kali Besar abad ke-17 dan 18 juga merupakan pemukiman orang-orang Belanda yang terletak di dalam kota berbenteng. Ketika itu orang Cina masih dibolehkan tinggal di Kali Besar. Tapi sejak terjadi pemberontakan Cina tahun 1740 yang mengakibatkan 10 ribu warga Cina terbunuh, mereka dipindahkan ke Glodok sampai sekarang ini. Glodok kala itu terletak di luar kota bertembok. Kali Besar sudah bernama demikian jauh sebelum Kraton Jayakarta berdiri (1527) yang berlokasi di tepi barat Kali Besar. Batas selatannya adalah rawa-rawa yang disebut Roa Malaka, batas timurnya Jl Pakin sekarang dan batas baratnya Jl Pejagalan.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Benteng VOC Diserang, Jenderal Coen Lari

Lukisan ini menggambarkan suasana ketika Benteng VOC di Sunda Kalapa diserang oleh para prajurit Pangeran Jayakarta (1618). Akibat penyerangan cukup dahsyat ini -- terlihat ratusan prajurit Jayakarta menyerang dengan tombak --, VOC menjadi kewalahan. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen melarikan diri minta bantuan ke pos Belanda di Ambon.

Sebelumnya Coen kian menampakkan dirinya untuk menguasai Jayakarta. Dimulai ketika Jayakarta yang bersaing dengan Banten mengizinkan VOC mendirikan loji di Jayakarta. Awalnya (1613) merupakan bangunan tidak permanen terdiri dari bahan kayu. VOC membangun loji dengan sewa 1.200 rijksdaarder. Satu rijksdaalder nilainya 2,50 gulden.

Coen yang tidak mematuhi perjanjian dengan Jayakarta kemudian menggantinya dengan bahan-bahan batu dan beton seperti terlihat dalam gambar. Hingga berubah fungsi menjadi benteng dengan bendera Belanda (merah, putih, biru) berkibar di tengahnya. Karuan saja ulah VOC ini membuat gusar Jayakarta hingga menyerangnya.

Dari pos Belanda di Ambon, Coen mendapatkan bantuan 16 buah kapal dengan awak seribu serdadu. Dengan pasukannya yang kuat itu, Jenderal Coen pada 30 Mei 1619 membumihanguskan bandar Sunda Kalapa dan mengganti nama Jayakarta jadi Batavia. Maka bandar Sunda Kalapa bukan lagi milik Jakarta yang sempat hanya berusia 92 tahun (1527-1619). Dan dimulailah penjajahan Belanda selama tiga setengah abad diselingi Prancis (1808-1811), Inggris (1811-1816) yang kemudian menyerahkannya kembali kepada Belanda. Sebelum merdeka, Indonesia dikuasai oleh balatentara Jepang (194q2-1945) pada masa Perang Dunia II.

Kota Jayakarta terbentang dari utara ke selatan di mana terdapat kedua anak sungai Ciliwung yang melintang dan sebelah barat terdapat anak sungai, sedang di bagian timur mengalir sungai besar Ciliwung. Pusat kota ditandai dengan adanya alun-alun (diperkirakan letaknya di terminal bus dan mikrolet stasion Kota), di selatan alun-alun terdapat kraton (dalem), di sebelah barat terdapat masjid dan kemudian sebuah pasar.

Kota Jayakarta dikelilingi oleh pagar kayu yang kemudian pada saat pemerintahan Pangeran Wijayakrama telah diganti oleh pagar tembok. Bangunan-bangunan seperti seperti kota Jayakarta tidak berbeda dengan tata kota lainnya di pesisir pulau Jawa dari masa pertumbuhan dan perkembangan Islam seperti Banten, Cirebon, dan Demak. Yang mencerminkan pusat kekuatan politik (keraton), kegiatan rohani (masjid), pusat pertemuan antara masyarakat dengan raja beserta para anggota birokrat (alun-alun), dan pusat kegiatan ekonomi (pasar).

Pada tahun 1619 penduduk kota Jayakarta sekitar 3.000 kepala keluarga (KK). Jika per keluarga lima orang, maka berjumlah 15 ribu jiwa. Masih dalam catatan tahun tersebut yang laki-laki saja berjumlah 7.000 jiwa. Setelah Belanda menaklukkan Jayakarta penduduknya melarikan diri ke Jatinegara Kaum dan bergerilya ke Batavia.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Lima Kekuatan Perebutkan Betawi

Jakarta, yang pada 22 Juni 2008 berusia 481 tahun, mengalami beberapa kali pendudukan asing. Warga Barat yang pertama kali mendatangi Sunda Kalapa saat masih menjadi pelabuhan Kerajaan Pajajaran adalah Portugis. Kapal-kapal dari Eropa Selatan itu berlabuh di Sunda Kalapa pada 1513. Sekitar 100 tahun mendahului Belanda.

Ketika itu agama Islam sudah mulai menyebar di sekitar Jakarta. Karena pihak Kerajaan Pajajaran beragama Hindu, dia melihat keberadaan Islam sebagai ancaman terhadap eksistensi agamanya. Karenanya, kerajaan yang berpusat di Pakuan (Bogor) ini mengadakan perjanjian dengan Portugis yang diberi izin membangun loji (gudang dan benteng pertahanan) di Sunda Kalapa.

Bercokolnya Portugis di Sunda Kalapa menyebabkan kerajaan Islam Demak dan juga Cirebon jadi tidak senang. Apalagi saat itu masih berlangsung Perang Salib di Timur Tengah, dan Portugis merupakan salah satu kekuataan yang memerangi Islam.

Sunda Kalapa berhasil direbut oleh Fatahillah pada 1526. Pada 22 Juni 1527 panglima perang Islam sekaligus ulama itu berhasil mengusir armada Portugis dari Sunda Kalapa. Maka dia mendirikan Jayakarta pada 22 Juni 1527.

Sisa-sisa kekuataan Portugis sampai kini masih terdapat di Kampung Tugu, Jakarta Utara, yang menurut sejarawan Belanda De Graaf, berasal dari kata porTUGUese. Di kampung Tugu inilah ditempatkan orang dari bekas jajahan Portugis di Malaka ketika ditaklukkan Belanda (1641). Kita juga masih mendapati Gereja Portugis di Jl Pangeran Jayakarta, Jakarta Utara.

Ketika ditawan VOC mereka beragama Katolik tapi tidak diizinkanm untuk mengamalkan agamanya. Setelah mengganti agama menjadi Protestan, mereka yang semula dijadikan budak belian lalu menjadi kelompok mardijker atau orang yang dimerdekakan.

Banyak kata dan peninggalan Portugis yang masih kita pakai sekarang. Seperti kata 'jago' dan nyanyian 'nina boboh' serta 'burung kakak tua'. Demikian pula seni keroncong berasal dari Portugis. Hingga sekarang keroncong tugu masih terkenal.

Pada Mei 1619, Belanda yang menaklukkan Jayakarta menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangannya di Asia dan Amerika Latin. Batavia dua kali diserang oleh Kerajaan Islam Mataram (1628 dan 1529) pimpinan Sultan Agung dengan 80 ribu pasukan. Pada saat bersamaan gubernur jenderal JP Coen meninggal dunia. Menurut versi Belanda, karena kolera, namun menurut versi lain akibat serangan Mataram.

Karena tentara Mataram berkonsentrasi di Matraman, maka kata Mataram oleh lidah Betawi jadi Matraman hingga kini. Sekalipun dua kali penyerangan gagal, tapi para bangsawan Mataram menjadi para juru dakwah yang handal. Mereka membangun tempat peribadatan yang kini menjadi masjid-masjid tua yang dilestarikan.

Setelah berkuasa sejak 1619, Herman Willem Daendels diangkat oleh Lodewijk Bonaparte (adik Kaisar Napoleon) menjadi gubernur jenderal. Sejak 1795 sampai 1813 nasib Belanda terkait dengan Prancis yang revolusioner dan imperial dengan revolusi Julinya. Saat penggabungan negara itu dalam kekaisaran Prancis, Daendels memindahkan bangunan-bangunan administratif dari kota tua ke Weltevreden yang dikatakan udaranya sama bersihnya dengan Prancis.

Daendels juga belajar dari Napoleonb akan pentingnya strategi menjalankan komunikasi dengan baik, terutama untuk pembuatan jalan-jalan baru dari Anyer ke Panarukan sepanjang 1000 km yang hingga kini masih kita nikmati. Sayangnya, jalan yang dibangun dengan kerja paksa dan mengorbankan banyak rakyat itu, kini rusak dan berlubang-lubang.

Bernard Darleans dalam buku Orang Indonesia dan Orang Prancis dari abad XVI sampai XX menulis, bagi penduduk Jabotabek masa kini, akan sangat sulit membayagkan kota Batavia yang santai pada akhir abad XIX. Sebagian besar bangunan pada abad itu telah diratakan dengan tanah. Taman-taman indah yang mengelilingi vila-vila yang memberi warna Eropa telah menghilang.

Pada zaman itu, menurut Darleans, hampir tak ada mobil dan tentu saja tak ada kemacetan, polusi, pedagang kaki lima dan jalur cepat. Yang ada hanya beberapa sado yang ditarik kuda, yang memecahkan kesunyian jalan raya yang tidak diaspal dan diteduhi pohon-pohon rindang.

Perbatasan selatan kota, saat itu, tidak melebihi Kebon Sirih. Lapangan Monas yang diciptakan Daendels sebagai lapangan terbesar di dunia dijuluki Champs deMars. Orang-orang Prancis tinggal di daerah elit Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Riswijk (Jl Veteran).

Pada 1811-1816 Jakarta mengalami masa pendudukan Inggris setelah terlebih dulu datang dari Malaka dan menyerang kota Batavia (1811). Letnan Gubernur Sir Stamford Raffles (17812-1826) menyelesaikan pembangunan Gedung Harmoni yang sebelumnya dibangun oleh Daendels.

Raffles adalah seorang pejabat gubernur Inggris yang berpandangan jauh kedepan dan bersikap humanistik. Ia merombak pemerintahan yang korup serta tidak efisien. Raffleslah yang menghapuskan perbudakan dan perdagangan budak. Ia meringankan beban pajak yang dipikul kaum pribumi, memajukan budaya dan ilmu.

Dia mengarang buku yang termashur History of Java (1817) dan mendirikan Singapura sebagai saingan Batavia. Isterinya, Marianne Raffles, meninggal di Jakarta, dan makamnya masih ada di Museum Prasasti Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Istrinya, yang pecinta tanaman tropis, dibangunkan tugu peringatan di jalan masuk Kebon Raya Bogor.

Pada masa Raffles terkenal kisah Nyai Dasima dari desa Kuripan, di Ciseeng, Bogor. Nyai bahenol yang menjadi istri tuan Willem, seorang Inggris, itu mati dibunuh oleh Bang Puase -- jagoan dari Kwitang, Jakarta Pusat. Kisah historis itu telah beberapa kali difilmkan dan dibuat sinetron. Pemerintahan Inggris berlangsung sampai 1816 dan digantikan kembali oleh Belanda.

( Alwi Shahab )

Kehidupan Ramaja 1950-an

Pada tahun 1950-an di Jakarta belum banyak tempat hiburan seperti sekarang. Maklum penduduknya baru sekitar satu setengah juta jiwa. Pulang sekolah tidak ada remaja yang berkeliaran ke mal-mal dan supermarket seperti sekarang.

Memang, tahun 1950-an belum ada pusat perbelanjaan megah yang nongol. Paling-paling ke bioskop, meskipun kalau filmnya bagus kita harus rela membeli karcis catutan atau rebutan sampai mandi keringat di loket.

Kala itu di kampung-kampung remaja putra umumnya bermain sepakbola. Hampir seluruh kampung di Jakarta punya perkumpulan sepakbola dan ada kompetisi antar kampung. Kini banyak lapangan sepakbola sudah berubah fungsi jadi hutan beton. Sedangkan putrinya membantu para ibu memasak. Meskipun masih ada gadis yang dipingit tapi sudah jarang sekali.

Saat itu Keluarga Berencana (KB) belum kepikiran samasekali. Para ibu punya anak 10 atau lebih tidak ada masalah. Bung Karno sendiri kurang setuju terhadap KB. Pernah dia diwawancarai oleh Louis Fischer, penulis dan wartawan AS. Ketika ditanya soal KB justru Bung Karno mengatakan penduduk Indonesia yang kala itu belum mencapai 100 juta jiwa dapat ditambah hingga mencapai 250 juta jiwa. Alasannya, masih banyak pulau besar di Indonesia yang dapat menampung penduduk seperti Kalimantan, Sumatera, Papua dan Sulawesi.

Meskipun tidak seagresif remaja sekarang, kala itu pacara sudah merupakan hal biasa. Biasanya di bioskop-bioskop atau tempat hiburan. Dimuali saling menyapa kalau mendapat tanggapan akan berjalan mulus. Pacaran tempo doeloe tidak memerlukan doku banyak. Cukup membelikan karcis bioskop dan mentraktir makan. Bakso dan siomay belum muncul. Jumlah rumah makan Padang masih bisa dihitung dengan jari. Mentraktir pacar bisanya nyate atau makan soto mie.

Remaja Jakarta tahun 1950-an tidak berani berkeliaran memakai blue jeans atau celana ketat seperti sekarang. Tidak disenangi aparat dan dianggap bukan kepribadian Indonesia, tapi Barat. Untuk memakai celana jeans kita harus berani menghadapi resiko. Seringkali diadakan razia di jalanan oleh aparat. Mereka membawa botol dan bila botol tidak masuk ke ujung celana tidak ampun lagi aparat akan memotongnya.

Bung Karno juga tidak senang terhadap rambut gondrong yang meniru grup musik The Beatles dari Inggris. Bahkan dia menyerukan agar rambut gondrong diplontos. Maka jadilah ada polisi yang merazia rambut gondrong dengan membawa gunting. Si Mamat menyumpah-nyumpah ketika rambutnya diplontos hingga ia harus pergi ke tukang cukur untuk digunduli. Karena, cara polisi mengguntingnya tidak profesional hingga kepalanya jadi pitak-pitak.

Kala itu kemeja di Jakarta umumnya lengan putih dan bewarna polos. Pernah muncul baju koran dengan tulisan-tulisan berita. Tapi, mode baju pria ini tidak bertahan lama. Waktu itu celana impor seperti wol dan gabardine hanya dipakai orang berduit. Yang banyak dipakai remaja adalah kain lurik dijadikan celana yang kini sudah hampir menghilang. Sedangkan para ibu masih memakai kebaya dengan kerudung. Termasuk digunakan oleh istri para ulama terkemuka. Maklum kala itu jilbab belum muncul.

Rambut remaja putri ketika itu umumnya dikepang satu atau dikepang dua. Ada juga model rambut buntut kuda di bagian belakang kepala. Tidak jarang yang hanya dikonde. Kala itu banyak yang menggunakan konde dua yang oleh masyarakat disebut konde berunding.

Sedangkan rambut pria banyak meniru gaya rambut bintang Hollywood, seperti Tony Curtis dan Rock Hudson bintang film AS terkenal kala itu. Yakni, model rambut tanpa belahan dengan jambul tinggi yang ditarik ke depan dan di kiri kanannya di sisir lurus kebelakang. Agar kelihatan lebih keren mereka memakai kacamata Ray Band.

Pada tahun 1950-an film Melayu (kini Malaysia) banyak diputar di bioskop-bioskop kelas bawah. Di antara bintangnya yang terkenal adalah almarhum P Ramlee. Bintang Malaysia yang berasal dari Aceh ini berambut keriting. Para pemuda banyak meniru mode rambutnya itu. Karena salon belum banyak, mereka mengeriting rambut di kaki lima.

Cara mengeritingnya dengan besi yang dipanaskan dan setelah didinginkan sebentar, besi pun digunakan untuk menggulung rambut supaya keriting. Minyak rambut terkenal ketika itu bermerek Lavender, terbuat dari vaseline pekat yang diberi wewangian. Tapi banyak yang menggunakan minyak kelapa, terutama ibu-ibu untuk meluruskan rambutnya.

Pada 1950-an di Jakarta sudah banyak bermunculan geng-geng remaja. Seperti Taratulu dan Marabunta yang diambil dari nama film balatentara semut dalam film Hollywood. Juga di kampung-kampung para remaja membentuk geng-geng. Seperti Kwitang Boys, Sate Boys (warga Madura), dan Canary Boys.

Ada juga geng warga anak tangsi, seperti Berland di Matraman dan Geng Siliwangi di Lapangan Banteng yang kini sudah menjadi pertokoan. Seringkali geng-geng itu saling bentrok, terutama saat rebutan cewek. Pemuda Kwitang dan Kali Pasir yang dipisah Kali Ciliwung sering bentrok hanya gara-gara soal kecil.

Perkelahian antar sekolah, apalagi antar perguruan tinggi, belum terjadi kala itu. Juga model tawuran dengan saling melemparkan batu dan memakai benda tajam belum ada. Main kerubutan dianggap tidak satria ketika itu. Istilah preman dari kata Belandsa vrijman juga belum dikenal waktu itu.

Narkoba, yang kini sudah menyebar ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, ketika itu juga belum dikenal. Paling-paling hanya segelintir yang mengisap ganja. Sedangkan merek rokok terkenal ketika itu Commodore, Escort, Kansas produksi BAT (British American Tobacco) yang pabriknya di Cirebon, dan Lancer yang pabriknya di Jalan Rajawali, Gunung Sahari, Jakarta.

(Alwi Shahab )

Benteng Amsterdam di Pasar Ikan

Inilah Benteng (poort) Amsterdam di Pasar Ikan, Jakarta Utara yang pernah menghiasi Ibu Kota selama lebih dari dua ratus tahun. Tapi sejak tahun 1950 telah dihancurkan karena dianggap mengganggu lalu lintas yang kala itu mulai banyak kendaraan bermotor di Jakarta.

Letak benteng atawa pintu gerbang Amsterdam dibangun di bagian selatan kastil Batavia yang berhadapan dengan pelabuhan Sunda Kalapa. Kastil termasuk kediaman gubernur jenderal dan staf, telah dihancurkan Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Kemudian dia memindahkan Ibu Kota ke Weltevreden sekitar Gambir dan Lapangan Banteng. Tapi pintu gerbang yang letaknya di sebelah utara Stadhuis (kini Museum Sejarah DKI Jakarta) luput dari penghancuran.

Benteng yang terletak di dalam kota Batavia yang bertembok, pertama kali dibangun pada abad ke-17 dalam berbagai bentuk sebelum seperti yang terlihat di foto yang diabadikan akhir abad ke-19. Benteng Amsterdam direnovasi dengan gaya roboco pada masa gubernur jenderal keturunan Jedrman, Baron van Imhoff (1743-1750).

Pada tahun 1830-an atau 1840-an seperti terlihat dalam foto, di kedua sudut benteng Amsterdam terdapat patung Mars (dewa peperangan Romawi) dan Minerva (dewa seni Romawi) yang tengah memegang senjata tombak. Sedangkan di tengah terlihat pasukan pengawal Kota Batavia tengah berbaris untuk mengadakan penggantian penjagaan.

Di sebelah kanan terlihat jalan trem kuda yang membujur dari Nieuwpoort Straat (kini Jl Pintu Besar) ke Pasar Ikan yang kala itu banyak warga Belanda jadi penghuninya. Trem kuda beroperasi di Batavia mulai 10 April 1869 dan pada 1882 digantikan dengan trem uap dan Juli 1900 trem listrik yang kemudian dilenyapkan pada masa Bung Karno (1960).

Selama beroperasinya trem kuda sungguh malang nasib binatang berkaki empat yang melambangkan kejantanan. Menurut harian berbahasa Belanda Java Bode dalam tahun 1872 saka-- selama setahun-- 545 kuda yang mengangkut trem tersebut mati kelelahan karena harus mengangkut dua gerbong penuh penumpang. Pada 1870 ketika dibuka operasi trem kuda dari Harmoni ke Tanah Abang banyak kuda karena kelelahan tidak kuat melewati Tanah Abang Bukit saat mendekati stasion di Pasar Tanah Abang.

Beroperasinya trem kuda lebih banyak mengotori jalan raya baik berupa air kencing maupun buang air besar. Karena itu untuk menjaga kebersihan di bagian belakang kuda, diharuskan memasang karung untuk menampung kotorannya. Karena kala itu mulut kuda-kuda diberi besi maka disebut zaman kuda gigit besi.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Kampung-kampung Tua

Perhatian masyarakat minggu lalu tertuju ke Senayan, ketika berlangsung perebutan Uber Cup dan Thomas Cup. Kemeriahan Senayan berlanjut dengan perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional yang disiarkan langsung oleh semua stasion televisi nasional.

Kawasan Senayan mulai banyak dikenal sejak didirikan gelanggang olahraga bertaraf internasional dengan nama Gelora Bung Karno, yang dibangun awal 1960-an atas bantuan Uni Sovyet pada zaman PM Nikita Kruschev. Ada yang menyatakan PM Uni Soviet ini kecewa karena tidak ada tanda-tanda prasasti yang menyebutkan Uni Soviet-lah yang membangunnya.

Senayan, dengan luas 270 hektar, dalam bahasa Betawi berarti senenan -- jenis permainan berkuda. Nama itu diperkirakan muncul sejak Masda Inggris, Thomas Raffles (1808-1811), menjadikannya sebagai tempat warga Inggris bermain polo, mengingat warga negara itu sangat menggemari permainan berkuda.

Berdasarkan peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia, tahun 1902, nama kawasan Senayan masih ditulis Wangsanajan, atau Wangsanayan menurut Ejaan Yang Diperbaharui. Kata wangsanayan dapat berarti 'tanah tempat tinggal' atau tanah milik sesorang bernama Wangsanaya. Lambat laun nama itu berubah jadi Senayan.

Kawasan sekitar Senayan, yang dulu menjadi tempat tinggal warga Betawi, kini berubah menbjadi pusat kegiatan bisnis dan perhotelan. Hingga pada tahun 1990-an, pada masa Orde Baru, ada kelompok yang berambisi untuk memindahkan gelanggang olahraga ini ke Cengkareng. Untungnya tidak kesampaian, karena terhalang krisis moneter.

Tidak jauh dari Senayan ada kawasan Kebayoran Baru. Memasuki terminal Blok-M kondektur meneriakkan "CSW! CSW!" CSW adalah singkatan Centrale Stichting Wederopbouw yang bertugas mengelola Kebayoran Baru 1 Juni 1948. Pada 1 Januari 1952 CSW berganti nama jadi Pembangunan Chusus Kotabaru Kebayoran.

Sampai 1958 kawasan di Jakarta Selatan ini masih ditangani oleh Departemen Pekerjaaan Umum, bukan Pemda DKI. Pada masa VOC, Kebayoran Baru menjadi tempat pelarian para perampok dan penjahat dari Batavia.

Kata 'kebayoran' berasal dari kabayuran, yang berarti 'tempat penimbunan kayu bayur'. Kayu yang sangat baik itu dijadikan bahan bangunan, karena kekuataannya serta tahan terhadap serangan rayap. Ada juga jenis kayu-kayu lain yang ditimbun untuk diangkut ke Batavia melalui Kali Krukut dan Kali Grogol dengan cara dihanyutkan.

Sekarang ini pembalakan hutan melibatkan aparat negara dan kehutanan, kala itu melibatkan aparat VOC. Pada tahun 1938 di kawasan Kebayoran direncanakan akan dibangun sebuah lapangan terbang internasional, namun batal karena keburu perang duniua II. Akhirnya dibangunlah kota satelit Kebayoran Baru, melipuati areal seluas 730 ha yang direncanakan untuk menampung 100 ribu penduduk. Kini penduduk Kebayoran Baru lebih dari satu juta jiwa.

Di Jakarta Barat juga banyak terdapat kampung bersejarah, antar lain Jembatan Lima. Letak kampung ini sangat strategis, mudah dicapai baik oleh kendaraan roda empat maupun kereta api. Stasion KA Angke merupakan pintu gerbang yang menghubungkan daerah kulon -- sebutan orang Betawi untuk daerah Tangerang, Pandeglang, Balaraja dan Banten dengan Jembatan Lima. Nama kampung ini mengacu pada lima buah jembatan yang dulu pernah ada.

Di kampung ini terdapat sebuah masjid bersejarah Al-Mansyur -- namanya mengacu pada nama seorang ulama dan pejuang kemerdekaan, Guru Mansur. Pada masa revolusi, masjid itu memasang bendera merah putih di menaranya hingga ia ditahan oleh NICA. Guru Mansur juga seorang ahli falak, hingga dia selalu diminta pendapatnya saat menetapkan awal dan akhir Ramadhan serta Idul Adha.

Masjid tersdebut didirikan oleh Abdul MKuhit, putra Pangeran Tjakrajaya, sepupu Tumenggung Mataram, pada 1717. Oleh para pejuang Mataram, termasuk KH Mohamad Mansyur, masjid ini dijadikan pusat penggemblengan para pejuang untuk melawan penjajahan Belanda dan Jepang.

Di Kampung Lima terdapat Gang Laksa, karena tinggal beberapa orang yang punya kekayaan berlaksa-laksa. Terdapat pula Kampung Krendeng, karena selalu terendam air (banjir) kalau musim hujan. Ada juga Kampung Petuakan, karena jadi tempat mangkal penjual minuman tuak. Nama Petak Serani juga ada di Jembatan Lima, karena dulun terdapat petak-petak yang dihuni orang beragama (Kristen).

Di Jakarta Utara yang tidak jauh dari pelabuhan Tanjung Priok terdapat kampung Rawa Badak. Rawa berarti tempat yang selalu basah karena banyak air dan badak berasal dari bahasa Sunda dan Jawa yang berarti luas. Jadi, Rawa Badak artinya rawa yang luas.

Masih di Jakarta Utara, terdapat Kelurahan Pluit, kecamatan Penjaringan. Menurut peta 1903 dan peta 1935, sebutan bagi kawasan itu adalah Fluit. Lengkapnya Fluit Muarabaru. Sekitar tahun 1660 di pantai sebelah timur muara Kali Angke diletakkan fluitship (kapal berlurus panjang), bernama Het Witte Paert, yang sudah tidak laik laut.

Kapal tersebut dijadikan kubu pertahanan untuk membantu benteng Vijhoek yang terletak di pinggir Kali Grogol, sebelah timur Kali Angke -- dalam rangka menanggulangbi serangan-serangan sporadis yang dilakukan pasukan Kesultanan Banten. Kubu tersebut kemudian dikenal dengan sebutan De Fluit yang kemudian menjadi Pluit hingga sekarang. Kawasan ini terkenal dengan perumahan mewahnya.

(Alwi Shahab )

Kuburan Belande di Tenabang

Inilah pemakaman warga Eropa di Kerkhoff Laan (kini Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat) diabadikan tahun 1870-an. Orang Betawi menyebutnya 'kuburan orang Belanda'. Sesuai dengan namanya Graf der Hollanders yang berarti pemakaman Belanda.

Kerkhoff Laan nama Jl Tanah Abang I dewasa ini artinya adalah 'jalan kuburan'. Setelah ditutup tahun 1975, pemakaman ini dijadikan Museum Prasasti sejak 1977 oleh Gubernur Ali Sadikin. Pemakaman ini merupakan pindahan dari pemakaman yang terdapat di kawasan Jakarta Kota. Yang dulunya terletak di Niuwpoort Straat (kini Kali Besar Barat), Utrechtsche Straat (kini Jl Kopi) dan pemakaman di samping gereja Portuguese Binnen Kerk di Jalan Pangeran Jayakarta depan stasiun kereta api Jakarta Kota (Beos).

Karena Batavia pada abad ke-18 merupakan kota yang tidak sehat, banyak warga Eropa yang meninggal dunia, termasuk para pasien rumah sakit yang kala itu terletak di Jalan Bank (kini menjadi gedung Museum Bank Mandiri). Karena tempat pemakaman di kota tua tidak dapat menampung banyaknya warga yang mati, hingga dipindahkan ke Tanah Abang pada 1795. Kala itu luasnya 5,9 hektare dan kini hanya tinggal 1,2 hektare karena selebihnya digunakan untuk gedung wali kota Jakarta Pusat.

Mengingat letaknya yang jauh dari pusat kota Batavia kala itu, maka mayat-mayat saat hendak dimakamkan dibawa melalui sungai dengan perahu dari Kali Molenvliet ke Kali Krukut yang terletak di bagian belakang kantor Departemen Penerangan (kini Departemen Komunikasi dan Informasi). Dari sini dengan kereta berkuda, jenazah diangkut ke pemakaman yang jaraknya sekitar 500 meter. Maklum kala itu mobil belum nongol di Bartavia.

Di Museum Taman Prasasti terdapat 1.409 koleksi terdiri dari prasasti, bentuk nisan, tugu, monumen, piala, lempeng batu persegi, replika, miniatur dan berbagai bentuk lainnya. Di Taman Prasasti kita akan mendapati nama dan tokoh yang pernah dimakamkan di sini. Hingga memasuki prasasti ini kita dapat merasakan apa yang pernah terjadi ratusan tahun yang lalu. Ada tokoh pendidikan, seniman, ilmuwan, rohaniawan dan mereka yang dianggap pejuang masda itu.

Tentu saja berdasarkan penilaian pihak kolonial. Seperti Mayor Jenderal JHR Kohler bekas Panglima Belanda pada Perang Aceh pada 14 April 1873 oleh para pejuang Tanah Rencong. Di antara tokoh pendidikan Dr HF Roll yang meninggal di Batavia 20 September 1935. Dia adalah pencetus gagasan dan pendiri Sekolah Kedokteran Jawa (STOVIA) yang melahirkan Budi Utomo 20 Mei 1908.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Little India di Sunter

Mungkin banyak yang belum tahu, bahwa Little India bukan hanya terdapat di Singapura tapi juga di Jakarta. Little India kini sedang berkembang setidaknya mengarah ke sana di kawasan Sunter, Jakarta Utara, tidak begitu jauh dari pantai.

Warga India dan juga Pakistan di Sunter, yang berjumlah ratusan, merupakan pindahan dari Pasar Baru, Pintu Air dan Gang Klinci, Jakarta Pusat. Mereka pindah ke Sunter, karena daerah kediamannya di kawasan sekitar Pasar Baru bertambah kumuh, dan lebih cocok untuk pusat perdagangan katimbang tempat tinggal. Bahkan, ada beberapa jalan yang tidak dapat dilewati mobil.

Mungkin kita masih ingat aktor ternama keturunan Pakistan tahun 1970-an, Farouk Afero. Keluarga besarnya, yang dulu tinggal di Gunung Sahari, kini juga turut hijrah ke Sunter. Berkembangnya Sunter menjadi Little India seperti di Singapura, menurut sejumlah orang India di Jakarta, hanya soal waktu saja. Meskipun tidak semegah Singapura, karena keturunan India di negeri yang dibangun oleh Raffles itu populasinya berlipat ganda dibanding warga keturunan India dan Pakistan di Jakarta.

Di Singapura, Little India merupakan salah satu pusat wisata yang tiap hari didatangi ribuan wisatawan mancanegsara. Di Sunter juga terdapat supermarket Mustafa yang menjual segala barang produk India. Tapi tidak diketahui apakah supermarket ini juga dikelola oleh pemilik supermarket dengan nama yang sama di Singapura.

Di kawasan Little India Sunter kita akan mendapati setidaknya lima restoran India dengan pionir rumah makan Rasa Sayang. Di sini kita dengan mudah mendapatkan toko atau warung yang menjual makanan dan oleh-oleh produk India dan Pakistan. Termasuk beras yang khusus didatangkan dari India untuk penderita diabetis, yakni Taj Mahal Rice, serta beras untuk nasi beriani. Juga tersedia berbagai macam teh India yang terkenal, seperti Taj Mahal Tea dan Red Label.

Makanan India dan Pakistan terkenal dengan aneka ragam aroma rempah-rempahnya. Warga India dan Pakistan di toko mereka menyediakan beragam rempah-rempah yang juga banyak didatangkan dari negara asalnya. Karena semakin banyaknya penduduk yang nenek moyangnya berasal dari Asia Selatan, maka bermunculanlah toko-toko rempah-rempah di Sunter dan daerah yang berdekatan dengan sekolah India, seperti Gandhi Memorial School, Universal School dan Jupilee School.

Bagi warga India (Hindu) shindur adalah tanda merah yang dioleskan sang suami saat menikah, seperti yang sering kita lihat dalam film-film Bollywood. Sedangkan phundi diletakkan di dahi hanya sebagai hiasan, dengan dominasi warna merah. Juga tato warna-warni untuk hiasan tangan dan badan.

Meskipun toko-toko mereka terletak di berbagai pusat perdagangan, termasuk Pasar Baru, tapi dari Sunter-lah ekspor dan impor garmen dilakukan. Kawasan di Jakarta Utara ini juga banyak didatangi pembeli dari Jakarta dan berbagai kota di tanah air, karena di sini juga terjadi transaksi penjualan tekstil secara grosir.

Orang India sudah mendatangi Nusantara sejak abad ke-4 sampai 11 Masehi. Mereka hampir seluruhnya datang dari India Selatan. Jakarta pada abad ke-5 pernah diperintah oleh Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan raja Mulawarman. Migrasi kedua terjadi pada abad ke-14 sampai 16 dengan datangnya pedagang beragama Islam, berasal dari Gujarat dan pantai Malabar, serta dari India Selatan.

Ada yang berpedapat bahwa Islam berasal dari Gujarat. Padahal, para penyebar Islam berasal dari Hadramaut, dan sebelum ke Nusantara terlebih dulu mampir di Gujarat dan ada yang menetap di Gujarat. Alasannya, perjalanan dengan kapal layar memerlukan waktu lama, dan India, seperti juga Yaman dan negara Arab lainnya, jadi jajahan Inggris hingga tidak ada masalah izin tinggal karena satu paspor.

Migrasi ketiga dari India ke Indonesia terjadi pada abad ke-18 ketika seluruh Asia dikuasai oleh kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. Dengan munculnya Revolusi Industri di pertengahan abad ke-19 terjadi perubahan pola migrasi. Dari India yang dikirim adalah para pekerja (kuli).

Migrasi ke empat terjadi sesudah perang dunia I, terdiri dari para pedagang dari Sindh (India Utara). Dan, migrasi terakhir terjadi sesudah perang dunia II, yang umumnya para keluarga korban perang saudara (para pengungsi) ketika India dibagi menjadi dua negara: India dan Pakistan. Mereka datang untuk mencari keamanan dan kehidupan baru di Batavia, yang menurut mereka tidak terlalu berbeda dengan kota-kota di India, karena pengaruh budaya India.

Menurut Suresh G Vaswani dari Gandhi Memorial School, banyak istilah-istilah India masa lampau yang sampai sekarang masih hidup dan menjadi istilah sehari-hari di Betawi, antara lain kata guru, bumi, daya, wayang, pustaka, prasasti, manusiua, dan istri.

Sedangkan pengaruh makanan yang berasal dari India Selatan adalah makanan yang menggunakan santan, kayu manis dan lada hitam. Sate di Indonesia menyerupai sate yang berasal dari India Utara. Perbedaannya hanya pada cara pengolahannya. Gulai di Indonesia terbuat dari kari yang merupakan makanan khas India. Hanya rasanya diubah untuk mendapatkan rasa khas Betawi.

Di Jakarta, menurut data tahun 2000-an, diperkirakan terdapat 2000 kepala keluarga India. ''Orang Betawi sangat toleran. Saya ini orang India dan saya Hindu. Tapi tidak ada masalah dalam bergaul dengan warga Betawi,'' kata Suresh G Vaswani.

(Alwi Shahab )

Ciliwung, Rakit dan Pencuci

Pemandangan seperti terlihat dalam foto tahun 1940-an di tepi Sungai Ciliwung sudah tidak akan dijumpai lagi dewasa ini. Puluhan wanita tengah mencuci pakaian di tepi sungai Ciliwung di Molenvliet (kini Jl Hayam Wuruk dan Jl Gajah Mada), Jakarta Kota. Sampai 1950-an, Sungai Ciliwung, airnya masih cukup dalam dan jernih, sehingga digunakan untuk mandi, cuci, dan kakus. Banyak tukang cuci dan binatu yang memanfaatkan sungai Ciliwung untuk menerima cucian yang merupakan salah satu profesi para bapak dan ibu warga Betawi. Sehingga ada kampung di Jakarta bernama Petojo Binatu, karena banyaknya warga berprofesi tukang binatu. Bahkan kadangkala diantara yang mandi ada yang berbugil ria, sehingga pantas jadi tontonan bathing beauties.

Sekarang ini, Ciliwung dan 12 sungai yang terdapat di Jakarta sudah demikian kotor dan berubah menjadi got besar. Sungai Ciliwung yang melewati Molenvliet karena sudah tidak berfungsi lagi, pernah ada sejumlah insinyur mengusulkan ditutup dan ditimbun saja. Guna mengurangi kemacetan lalu lintas di Jl Hayam Wuruk dan Jl Gajah Mada. Padahal di zaman Belanda, Ciliwung masih jernih karena pemerintah kolonial melarang dan mengenakan denda terhadap orang yang membuang sampah di sungai-sungai. Karenanya tidak seperti sekarang, ketika itu orang tidak berani membuang sampah di sungai.

Pada masa awal VOC, Batavia -- nama Jakarta ketika itu -- pernah dijuluki Venesia dari Timur karena rumah dan gedung berdiri di tepi-tepi kanal atau terusan dari sedotan Ciliwung dan sungai-sungai lainnya yang membelah-belah Batavia. Di antara puluhan kanal yang masih tersisa adalah Kali Molenvliet yang diapit Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti terlihat di foto. Sungai yang sekarang kotor dan banyak ditimbun sampah dulunya jalan air dilewati rakit-rakit bambu membawa barang-barang dari daerah pedalaman. Venesia adalah sebuah kota di Italia, yang banyak didatangi para wisatawan mancanegara. Kota Batavia seperti juga Venesia didirikan di tengah kanal-kanal, sehingga para wisatawan dengan menggunakan perahu saling berseliweran di depan kediaman penduduk.

Di samping tempat hajat orang banyak, Ciliwung tempo doeloe juga menjadi pusat hiburan rakyat. Seperti pesta pehcun yang dirayakan pada hari keseratus Imlek. Keramaian digelar dalam bentuk karnaval perahu yang diiringi ratusan perahu yang dihias dan dimeriahkan orkes gambang keromong. Pesta ini berjalan semalam suntuk diterangi oleh lampion warna-warni diiringi para cokek yang ngibing tidak kalah eksotiknya dengan penyanyi dangdut.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Pemberontakan Imam Mahdi

Menyambut 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2008, kita kembali teringat pada perlawanan kaum tani terhadap pemerintah kolonial Belanda dan para tuan tanah yang menindas rakyat. Beberapa peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1908 menunjukkan bahwa para petani telah berjuang melawan Belanda jauh sebelum Boedi Oetomo berdiri.

Perjuangan kaum petani terutama terjadi di tanah-tanah partikelir tempat para pemiliknya menjadi raja kecil di tanah yang dikuasainya. Pada saat berlangsung peperangan (1808-1816), pada masa Daendels (Belanda/Prancis) dan Raffles (Ingris), terjadi penjualan tanah partikelir secara besar-besaran untuk biaya peperangan.

Karena tuan tanah dan pemerintah kolonial semena-mena, timbul perlawanan dengan latar belakang kepemimpinan tokoh-tokoh Islam, terutama Islam kejawen. Saat itulah muncul kepercayaan bakal datangnya Imam Mahdi, yang diyakini akan membawa rakyat keluar dari kemiskinan dan ketidakadilan.

Bentuk mesianisme atau milinarisme itu di wilayah Hindu-Jawa dinamakan Ratu Adil, yang sampai sekarang masih diyakini akan datang. Di Batavia, mesienisme paling banyak muncul di tanah-tanah partikelir dan sekitarnya, mengingat saat itu banyak petani dari Jawa yang didatangkan oleh para tuan tanah.

Salah satunya adalah pemberontakan di tanah partikelir Tangerang (1924). Tokohnya, Bapak Kaiin Bapak Kaya, menyatakan diri sebagai Sang Hyang Tunggal atau Ratu Rabbul Alamin. Dia berhasil mengumpulkan ratusan pengikut untuk menyerang Belanda dan para tuan tanah. Juga pemberontakan di Tambun, Bekasi (1869), yang dipimpin oleh Bapak Rama atau Pangeran Alibasah.

Juga pernah terjadi perberontakan kaum petani di Bogor yang dipimpin oleh Arpan. Oleh para pengikutnya dia diyakini sebagai Mahdi. Dia dibantu oleh Mohammad Idris yang memakai gelar Panembahan -- gelar ini umumnya digunakan oleh aliran mistik di Jawa Tengah (Pusponegoro dan Notosusanto).

Arpan, anak petani dari Ciomas, Bogor, adalah seorang pemuda yang baik, berbakti pada orang tua dan sejak kecil sudah mendalami ajaran agama Islam, serta menguasai ilmu pukulan (silat). Ciomas yang terletak di lereng Gunung Salak merupakan daerah partikelir milik seorang Belanda, Steurs.

Luas daerah partikelir itu sekitar 9.000 bahu (satu bahu = 3/4 hektar). Penduduknya sekitar 15 ribu jiwa, dan sebagian besar petani. Para petani di tanah partikelir Ciomas yang menggarap tanah hartawan Belanda itu menghadapi berbagai tekanan seperti terjadi di tanah partikelir lainnya.

Para petani dibebani pajak yang tinggi, jumlah contingentemn yang tidak sesuai dengan perjanjian, kerja kompenian yang berkepanjangan, hukuman sita rumah dan tanah kalau hutang-hutang mereka tidak dibayar pada waktunya. Masih banyak lagi kewajiban-kewajiban yang memberatkan petani yang menghadapi pemerasan tanpa mengenal ampun (Pesponegoro dan Notosusanto 1988).

Pola kepemimpinan Arpan tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di daerah-daerah lain. Arpan, yang terhitung jago silat dan pandai mengaji, dipercaya oleh para pengikutnya sebagai Imam Mahdi. Ia dibantu oleh Mohammad Idris, yang bergelar Panembahan.

Sesungguhnya, tahun 1886 adalah tahun yang cukup berhasil bagi para petani, namun menjadi tidak berarti karena praktek-praktek tidak adil dan tidak manusiawi oleh pihak tuan tanah dan aparatnya -- para kepala desa.

Untuk menghadapi tekanan-tekanan yang terlalu berat, penduduk mulai menyingkir dari tanah partikelir Ciomas. Bersamaan dengan menyingkirnya sekitar 2.000 petani, para buruh tani di perkebunan kopi mulai menolak untuk bekerja.

Mohammad Idris, yang bergelar Panembahan dan sempat pindah dari Gunung Salak ke Sukabumi, akhirnya kembali ke Ciomas. Sebagai seorang panembahan ia memiliki kharisma sehingga makin banyak pelarian lainnya yang bergabung dengannya. Mohammad Idris dan para pembantunya kemudian memutuskan untuk mengadakan perlawanan.

Sebelum Mohammad Idris bertindak, lebih dulu terjadi perlawanan dari Arpan, sang Mahdi. Bersama para pengikutnya dia lebih dulu berdoa dan shalat berjamaah sebagai tekad untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda dan tuan tanah jahat.

Sayangnya, gerakan perlawanan yang dilakukan pada Februari 1886 itu kandas oleh polisi setempat yang mengerahkan seluruh aparatnya. Sang Mahdi bersama para pengikutnya terpaksa harus menyingkir ke Pasir Paok.

Kekalahan Arpan tidak mengendurkan semangat juang rekannya, Mohammad Idris. Pada 19 Mei 1886 dia dengan para pengikutnya mulai bergerak di bagian selatan Ciomas. Gudang-gudang yang terdapat di Sukabumi, Gadok dan Warungloa, samasekali tidak disentuh, sebab tujuan mereka hanyalah memusnahkan tuan tanah Ciomas, si Belanda.

Ketika keesokan harinya -- 20 Mei 1886 -- berlangsung upacara sedekah bumi di Gadok, Mohammad Idris memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Ketika keramaian sedang memuncak dengan tari-tarian ronggeng diiringi gamelan, dia bersama para pengikutnya yang hadir dalam upacara tersebut bertindak sambil menyerukan takbir.

Tidak kurang dari 70 orang terbunuh dan sekitar 70 orang lainnya menderita luka-luka parah. Namun, tuan tanah yang tidak hadir dalam kesempatan itu dapat menyelamatkan diri bersama keluarganya.

Masih banyak lagi perjuangan kaum tani dalam melawan kesewenang-wenangan Belanda, seperti yang terjadi di Slipi, Tanah Abang, dan Cakung, pada tahun 1913.

(Alwi Shahab )

Perang Iklan Surat Kabar di Batavia

Menyambut Hari Kebebasan Pers 3 Mei lalu, kita turunkan foto sebuah mobil keliling kota mengiklankan suratkabar berbahasa Belanda Java Bode yang terbit di Batavia. Foto ini diabadikan tahun 1941 menjelang Perang Dunia II. Java Bode adalah surat kabar yang menjadi bacaan populer bagi masyarakat Belanda di Batavia.

Surat kabar ini telah berhenti terbit beberapa tahun 1950-an beberapa saat setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia. Terlihat sebuah mobil sedan telah 'didandani' menjadi mobil iklan yang berkeliling kota sambil memperkenalkan isi koran tersebut untuk menarik minat masyarakat agar membeli atau menjadi pelanggan. Terlihat seorang karyawan yang mengenakan seragam hitam dan berkopiah membawa tumpukan surat kabar ditangannya. Mobil iklan tersebut berhenti di salah satu lapangan di Ibu Kota. Di sampingnya tampak sebuah gerobak yang tengah membawa muatan.

Di Indonesia, surat kabar sudah berusia 263 tahun, ketika Bataviasche Nouvelles terbit di Batavia bulan Februari 1745. Koran pertama di Nusantara ini memuat aneka berita tentang datang dan perginya kapal dagang VOC, berita tentang mutasi pejabat VOC, berita keluarga seperti kelahiran, perkawinan dan kematian dari keluarga VOC, serta aneka kegiatan VOC lainnya. Dimuat juga iklan tentang penjualan perabot rumah tangga dan kapal pesiar. Dan tidak ketinggalan berita-berita tentang dunia perbudakan di Batavia. Di sini, kritik-kritik sosial mulai bermunculan, tulis Thomas B Atalkadjar dalam buku Toko Merah. Ternyata koran ini tidak berusia panjang. Pada 20 Juni 1746, izin terbitnya dicabut pemerintah VOC akibat ketajaman penanya.

Tiga puluh tahun kemudian muncul mingguan Verdu Nieuws. Kebanyakan memuat iklan. Maka kalangan pribumi menyebutnya Surat Lelang. Kemudian terbit koran Bataviasche Koloniale Courant ysang juga tidak berusia lama karena ditutup 2 Agustus 1811. Masih dalam era VOC, pada 1795, terbit surat kabar Al Juab dalam tulisan Arab yang di 'melayu'kan. Koran yang dipimpin seorang mubaligh dari Arab ini hanya bertahan hingga 1801.

Pada tahun 1824, terbit surat kabar berbahasa Melayu Bianglala dan pada 1824 berganti nama menjadi Bintang Johor. Sementara di Surabaya terbit Bintang Timur (1865) yang kemudian ganti nama jadi Bintang Surabaya. Sementara di Bata

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Pemberontakan Tambun 1869

Pada zaman Belanda, Tambun merupakan salah satu desa dari sekian banyak tanah partikelir yang bertebaran di Bekasi, Jawa Barat. Penduduk Bekasi yang kini berjumlah lebih dari dua juta jiwa, pada tahun 1868 diperkirakanu hanya 70 ribu jiwa terdiri dari 68 ribu pribumi, 4.601 Cina, 25 Arab dan 11 Belanda.

Kebanyakan pribumi yang berdiam di Bekasi bukan penduduk asli. Mereka mulai didatangkan dari Cirebon sejak 1823-1824, ketika dua orang pengusaha membuka pabrik gula di Karang Cengok. Pemilik tanah partikelir di Tambun adalah seorang Cina.

Seperti halnya di semua tanah partikelir, di Tambun para petani tidak jarang mengalami tindakan tidak adil dari pihak tuan tanah. Kerbau penduduk sering dicuri tuan tanah dan dimasukkan ke dalam kandangnya sendiri di Kedung Gedeh untuk dijual.

Selain itu, pemerasan tidak jarang dilakukan dan penduduk yang tidak dapat membayar hutangnya pada saatnya terpaksa harus melepaskan kerbaunya. Praktek lain yang meresahkan penduduk adalah contingentensemacam pajak panen yang selalu dipungut melebihi ketentuan. Malah tidak jarang sekitar 50 persen dari hasil panen menjadi milik tuan tanah.

Sumber perjuangan bukan di Tambun, tapi di Citayem, Depok, Jawa Barat, dan berkaitan dengan upaya merebut tanah-tanah partikelir dari para tuan tanah. Pemimpinnya adalah seorang petualang yang dikenal dengan nama Bapak Rama, berasal dari Cirebon dan lama berdiam di Leuwicatang.

Dalam pandangan Bapak Rama, tanah-tanah partikelir antara Sungai Citarum dan Sungai Cisadane sesungguhnya adalah milik penduduk, bukan milik para tuan tanah. Pendapat itu muncul ketika ia bertemu dengan seorang petani bernama Arpan, yang yakin terhadap kebenaran pesan almarhum ayahnya bahwa ia adalah pemillik sah tanah Cipamanggis, yang terletak di antara kedua sungai tersebut.

Berdasarkan cerita Arpan, gagasan untuk merebut tanah partikelir antara Citarum dan Cisadane makin menjadi tekad Bapak Ramah. Dia ingin membebaskan tanah itu dari Belanda dan tuan tanah. Gagasan untuk melakukan gerakan pembebasan tanah partikelir itu makin meluap-luap di hatinya, ketika ia pindah ke Kampung Ratujaya di Citayem, selatan Depok. Rama mengajak sejumlah petani untuk merebut tanah-tanah partikelir antara Citarum - Cisadane.

Dia dan seorang kawannya lantas pergi ke Solo pada 1863 untuk bertemu dengan Sultan yang dikatakan mengetahui selak beluk tanah tersebut. Sekembali dari Solo, dia memutuskan untuk mengadakan serangan. Pengumuman disampaikan saat ibu mertuanya mengawinkan putrinya di kediaman Bapak Rama di Ratujaya, Depok. Pada saat itu pembagian tanah yang akan direbut telah ditentukan pula.

Sebagai pemimpin, Bapak Rama disapa dengan nama Pangeran Alibasah. Suasana rumahnya di Ratujaya, Depok, memang memungkinkan tercipta suasana mistik. Bersebelahan dengan kediamannya terdapat sebuah makam keramat yang dikatakan berasal dari orang yang dulu kala pernah memiliki tanah-tanah di Batavia. Nakam ini banyak diziarahi orang. Kemungkinan, meskipun sudah berusia lebih seabad, makam tersebut masih terdapat di Ratujaya.

Untuk penyelenggaraan pesta perkawinan adik iparnya, orang dengan senang hati memberi sumbangan. Pesta tersebut dilaksanakan pada 16 Maret 1869. Tetapi, dua hari sebelumnya, gamelan telah ditabuh dan para ronggeng telah mulai menari. Para pengunjung juga sudah mulai berdatangan.

Jumlah pengunjung pesta menunjukkan betapa luas pengaruh Pangeran Alibasah alias Bapak Rama. Tidak kurang 500 orang datang dari berbagai tempat, seperti Parung, Cibarusa, Bekasi, dan Tegalwaru (Karangan). Gamelan dan ronggeng terus menerus ditampilkan sehingga orang menjadi sangat terkesan, karena belum pernah menghadiri pesta semeriah itu.

Pada saat pesta (upacara perkawinan) Pangeran Alibasah alias Bapak Rama mengumumkan rencana perebutan tanah-tanah partikelir antara Citarum - Cisadane. Dia mengatakan tanah-tanah itu milik nenek moyang mereka dan hanya disewa oleh Belanda. Para petani yang kehidupannya sangat menderita menyatakan kesetiannya untuk membantu Pangeran Alibasah.

Pangeran lalu mengajak para petani untuk berdoa bersama. Dia meramalkan pada tanggal 20 bulan Haji (3 April 1869) akan terjadi gerhana bulan. Pada saat itulah tentara Belanda tidak akan bisa melihat mereka. Karenanya, diputuskan untuk melakukan penyerangan pada hari tersebut. Rombongan penyerang juga akan merebut Tambun, Depok, Buitenzorg (Bogor) dan Batavia.

Rencana pemberontakan itu tercium polisi yang telah menyiagakan aparat-aparatnya di berbagai tempat. Tetapi, tekad mereka tidak tergoyahkan. Pangeran Alibasah tetap pada niatnya mengadakan serangan pada 5 April, saat yang diramalkan akan terjadi gerhana bulan. Tujuannya kini lebih sempit, yakni serbuan ke Tambun, Bekasi.

Pada pagi hari yang naas itu, Pangeran Alibasah beserta 100 orang pengikutnya mulai bergerak dari Cimuning ke Tambun. Dalam perjalanan jumlah pengikutnya bertambah jadi 300 orang.

Asisten Residen de Kuiper dan Kepala Polisi Maayer yang mendapat kabar tentang serbuan itu lalu berusaha mengadakan perundingan ketika rombongan memasuki Tambun. Namun, serentak terjadi penyerbuan. Asisten Residen dan seorang dokter Jawa yang kebetulan bertugas di Tambun terbunuh bersama tujuh orang lainnya. Pemerintah segera menyusun kekuatan untuk mengejar para pengikut Pangeran Alibasah yang telah terpencar.

Pangeran Alibasah akhirnya tertangkap pada 17 Juni 1869. Tidak kurang dari 302 orang pengikutnya juga ditangkap. Setelah dilakukan penyelidikan, 243 orang dilepas kembali karena dipaksa ikut menyerang Tambun. Dua hari jelang persidangan, Pangeran Alibasah meninggal. Hasil persidangan 29 September 1869 adalah, dua orang dijatuhi hukuman mati dan 19 orang hukuman kerja paksa selama 15 tahun.

(Alwi Shahab )

Membangun Kembali Rumah Bung Karno

Munculnya penawaran untuk membeli rumah Bung Karno semasa kecil di Blitar, Jawa Timur, cukup mengagetkan banyak pihak. Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault bersama sejumlah artis siap menggalang dana untuk menyelamatkan rumah tempat Presiden RI pertama dilahirkan karena hendak dijual ahli warisnya pada pihak asing (Malaysia). Di tengah kemelut rumah keluarga besar proklamasi RI itu, di Jakarta justru ada upaya untuk membangun kembali tempat kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) No 56, Jakarta Pusat. Kediaman Bung Karno -- seperti terlihat dalam foto --, merupakan gedung paling bersejarah di negeri ini. Karena dari gedung -- bekas bungalow atau landhuis milik warga Belanda ini--, inilah pada 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI. Di beranda rumah Bung Karno itulah prokalamasi dikumandangkan.

Gedung dengan pekarangan luas ini, pada tahun 1960 telah digusur dan kemudian dibangun Gedung Pola semacam Bappenas sekarang ini. Menurut Kepala Seksi Monumen Proklamasi, Isa Anshari, dalam upaya membangun kembali kediaman Bung Karno itu pada tanggal 5 dan 6 Agustus 2008 akan diselenggarakan seminar yang akan dihadiri tokoh nasional dan sejarawan. Di depan gedung bersejarah itu, pada 17 Agustus 1946 -- setahun setelah proklamasi -- telah dibangun sebuah tugu seperti terlihat dalam foto. Tugu ini juga mengalami nasib yang sama tergusur ketika dibangun Gedung Pola berlantai enam yang terletak dibagian belakangnya.

Bung Karno tinggal di rumah tersebut sejak masa pendudukan Jepang (1942) hingga masa awal revolusi fisik (Januari 1946). Karena keadaan Ibu Kota semakin gawat dengan makin gencarnya serangan NICA, dari kediamannya itulah Bung Karno dan keluarga hijrah ke Yogyakarta. Agar tidak diketahui tentara Belanda, ia naik kereta api yang dipadamkan lampunya dari belakang kediamannya di stasion Pegangsaan. Di gedung inilah kabinet pertama RI bersidang beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan.

Isa Anshari tak dapat memastikan bila kediaman Bung Karno dibangun kembali, gedung Pola yang kini jadi Gedung Perintis Kemerdekaan RI akan tergusur. Karena gedung ini berada di bawah pengawasan Sekretariat Negara. Yang jelas patung kedua proklamator Soekarno-Hatta yang terletak di bagian depan gedung akan tetap dipertahankan. ''Jadi setelah dibangun kembali, kediaman Bung Karno tidak harus sebesar aslinya. Yang penting masyarakat dapat mengetahui suasana saat-saat peristiwa bersejarah 63 tahun lalu,'' kata Isa Anshari.

Entah karena apa gedung ini digusur atas perintah Presiden Soekarno sendiri untuk dijadikan Gedung Pola. Ketika itu banyak pihak menyayangkan mengapa rumah sangat bersejarah ini harus dirobohkan. Hingga momentum proklamasi yang sesungguhnya menjadi hilang dengan tidak adanya lagi rumah yang menjadi saksi monumen bersejarah ini.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Jakarta 50 Tahun Lalu

Pada tahun 1950-an, sekitar 50 tahun lalu, Jakarta sudah mulai padat penduduk. Kota yang sebelum perang dunia ke-II (1942) hanya berpenduduk setengah juta jiwa, tidak sampai satu dasawarsa kemudian penduduknya telah naik dua kali lipat menjadi lebih satu juta jiwa, dengan fasilitas yang sangat rusak.

Ketika gubernur DKI Ali Sadikin bertemu dengan walikota Amsterdam awal 1970-n, sang walikota mengatakan tidak habis pikir soal laju penduduk Jakarta yang demikian pesat. Waktu itu (1942), penduduk Amsterdam berjumlah 800 ribu jiwa, jauh lebih banyak dari penduduk Batavia. Dia sangat heran ketika mendapat keterangan bahwa penduduk Jakarta telah mencapai 3,5 juta jiwa (awal 1970-an). Sementara penduduk Amsterdam tidak beranjak jauh dari angka tahun 1942, sekitar 800 ribu jiwa.

Kini, Jakarta yang tiap tahun kebanjiran dan macet, ditambah dengan jalan yang rusak di mana-mana, sudah berpenduduk sekitar 10 juta jiwa. Sementara, pada hari kerja jutaan orang dari berbagai daerah Jabodetabek berbondong-bondong memasuki kota ini untuk meraih rezeki.

Pada tahun 1950-an, trem listrik menjadi alat angkutan utama yang menggelinding ke semua jurusan di ibukota. Sementara, banyak penumpang yang merasa negaranya sudah merdeka tidak mau membeli karcis. Mereka seenaknya menjawab 'numpang' atau berusaha menghindar dari kondektor -- sekarang juga masih dilakukan oleh banyak penumpang KRL.

Tidak heran, setelah angkutan umum diambil alih oleh PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta), perusahaan daerah ini rugi terus. Hal serupa tidak terjadi pada zaman Batavia, di bawah Belanda.

Kebayoran Baru, yang merupakan kota satelit di bagian selatan Jakarta, baru saja dibangun dan pada tahun 1950-an sebagian masih dalam tahap penyelesaian. Pembangunan Kebayoran Baru dilakukan oleh perusahaan Belanda, CSW, yang berkantor di dekat gedung Kejaksaan Agung. Sampai kini sebagian kondektur bus masih hafat kalau kita minta berhenti di CSW.

Pembangunan kota satelit itu dimaksudkan untuk perluasan kota ke arah selatan. Pada awal 1950-an masih banyak ditempati oleh para pegawai negeri, yang berdatangan dari Yogyakarta setelah penyerahan kedaulatan RI (Desember 1949).

Senayan, yang berdekatan dengan Kebayoran Baru, mulai dibangun awal 1960-an, tidak lama setelah Indonesia terpilih menjadi penyelenggara Asian Games IV di Jakarta (Agustus 1962). Di Senayan Bung Karno membangun kompleks olahraga yang saat itu merupakan stadion utama terbesar di dunia.

Ribuan KK penduduk asli Betawi dipindahkan ke Tebet, saat dibangun Senayan. Sebagian penduduknya saat itu berjualan ketupat sayur keliling kota. Ketuapat sayur Senayan kala itu terkenal dengan semur tahu dan sayur godok dari pepaya dan kacang panjang. Sebagian lagi menjadi perajin batik rumahan. Sampai kini masih kita dapati gedung Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) dan Patal Senayan.

Dalam Asian Games IV rakyat Indonesia merasa sukses karena tim Indonesia menduduki urutan kedua setelah Jepang dengan meraih belasan medali emas. Tapi, pesta olahraga se-Asia itu diprotes oleh Komite Olimpiade Internasional, karena tidak mengundang Israel dan Taiwan. Bahkan, Asian Games IV tidak diakui oleh Komite Olimpiade Internasional.

Protes itu dinyatakan oleh Sondhi -- seorang India yang menjadi pengurus Komite Olimpiade Internasional. Bagi Bung Karno, olahraga tidak dapat dipisahkan dari politik. Akibat pernyataan Sondhi, toko-toko milik India di Pasar Baru dirusak massa. Padahal, toko-toko itu sudah mengunci pintu rapat-rapat.

Untuk tamu-tamu yang menghadiri pesta Asian Games IV, Bung Karno membangun Hotel Indonesia (HI) di Jalan Thamrin -- sebelumnya sebagian masih jalan tanah. Termasuk, tugu Selamat Datang untuk menyambut para atlet dan official yang menghadiri Asian Games.

Di belakang HI sebelumnya terdapat kebun sayur yang mensuplai para penduduk elit di Menteng. Ada yang menarik dari hotel bertaraf internasional pertama di Indonesia ini. Tingkat ke-13 diganti dengan tingkat 14, karena 13 dianggap angka sial. Untuk membangun HI dan sejumlah hotel di belakangnya, kembali ratusan KK orang Betawi harus rela digusur.

Hal yang sama dialami para juragan susu perah di Kuningan. Kuningan mulai dibangun oleh Bang Ali tahun 1974, yang menghubungkan kawasan Menteng ke Gatot Subroto. Warga Betawi, yang sebagian besar beternak sapi, juga harus mengalah minggir ke arah selatan Pasar Minggu dan Depok.

Saat itu, para pemilik sapi tiap pagi dan sore mengelilingi kota Jakarta, mengantarkan susu kepada para pelanggannya di Menteng, Kebon Sirih dan Kebon Binatang. ''Susu, Mevrouw,'' kata pengantar susu kepada nyonya Belanda.

Kini kawasan Kuningan sudah dipenuhi gedung-gedung pencakar langit, dan sudah sulit mendapatkan kapling di sana. Konon, harga tanah di Kuningan termahal di Jakarta. Lebih-lebih di kawasan Mega Kuningan yang baru mulai dibangun tahun 1990-an.

Pada tahun 1950-an, saat demokrasi parlementer dan kabinet sering jatuh bangun (kadang-kadang hanya berusia beberapa bulan), pertikaian antar-parpol makin menjadi-jadi. Presiden yang merasa dirinya hanya sebagai simbol dan kekuasaan berada di tangan parpol, pada 7 Juli 1959 membubarkan konstituante hasil Pemilu 1955 dan kembali ke UUD 1945.

Bung Karno, sebagai pemimpin yang kharismatik, mempergunakan slogan-slogan, simbol-simbol dan semboyan-semboyan, untuk mengajak rakyat anti-Nekolim. Setelah terjadi G30S, dengan cepat rakyat berubah sikap dan banyak yang berbalik menghujatnya.

(Alwi Shahab)

Volksraad DPR Versi Belanda

Foto tahun 1930 memperlihatkan Gubernur Jenderal BC de Jonge sedang berpidato dalam suatu sidang Volksraad (Dewan Rakyat) atau parlemen versi Hindia Belanda. De Jonge dengan congkak mengatakan: "Kita orang Belanda telah berkuasa selama 300 tahun di Hindia. Dan kita masih akan berkuasa lagi." Tentu saja pidatonya ini mendapat reaksi keras dari kelompok nasionalis, bukan hanya di Volksraad tapi juga dari berbagai gerakan yang saat itu makin galak menyuarakan kemerdekaan Indonesia termasuk Bung Karno dan Bung Hatta.

Volksraad didirikan pada 1918 karena desakan dari pemuka-pemuka pergerakan di Indonesia dan dari orang Belanda sendiri. Anggota Volksraad sebagian besar ditunjuk oleh Ratu Belanda yang nama-namanya diajukan oleh gubernur jenderal Hindia Belanda. Orang Indonesia di Volksraad tidak pernah melebihi 50 persen sehingga segala perjuangan kemerdekaan dan nasib rakyat selalu dikalahkan dalam sidang-sidang Volksraad. Meski bikinan Belanda, tapi banyak warga pribumi yang bersikap radikal dalam membela rakyat kecil. Salah satu di antaranya Mohammad Husni Thamrin, tokoh nasional kelahiran Sawah Besar, Betawi.

Sidang-sidang Volksraad berlangsung di gedung Pancasila, di Jl. Pejambon, Jakarta Pusat yang kini menjadi bagian dari gedung Departemen Luar Negeri RI. Gedung ini dibangun 1830. Awalnya merupakan tempat kediaman Komandan Tentara Hindia Belanda. Dia adalah Herzog Bernhard van Sachsen (1792-1862). Karena itu pada masa kolonial tempat ini bernama Hertogpark (Taman Adipati). Sebelumnya seorang Tionghoa pernah mendirikan pabrik dan penggilingan tebu di tempat ini. Untuk kemudian digantikan dengan tangsi militer.

Lalu mengapa kini dinamakan Gedung Pancasila? Sebab dari gedung inilah Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 yang melahirkan falsafah negara Pancasila. Gedung ini juga pernah digunakan sebagai tempat sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan yang sehari setelah proklamasi menelorkan UUD 1945. Bersamaan dengan itu Bung Karno dan Bung Hatta masing-masing dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(Alwi Shahab, wartawan Republika)

Hari-hari Akhir Si Pitung

Betawi Oktober 1893. Rakyat Betawi di kampung-kampung tengah berkabung. Dari mulut ke mulut mereka mendengar si Pitung atau Bang Pitung meninggal dunia, setelah tertembak dalam pertarungan tidak seimbang dengan kompeni. Bagi warga Betawi, kematian si Pitung merupakan duka mendalam. Karena ia membela rakyat kecil yang mengalami penindasan pada masa penjajahan Belanda. Sebaliknya, bagi kompeni sebutan untuk pemerintah kolonial Belanda pada masa itu, dia dilukiskan sebagai penjahat, pengacau, perampok, dan entah apa lagi.

Jagoan kelahiran Rawa Belong, Jakarta Barat, ini telah membuat repot pemerintah kolonial di Batavia, termasuk gubernur jenderal. Karena Bang Pitung merupakan potensi ancaman keamanan dan ketertiban hingga berbagai macam strategi dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati. Pokoknya Pitung ditetapkan sebagai orang yang kudu dicari dengan status penjahat kelas wahid di Betawi.

Bagaimana Belanda tidak gelisah, dalam melakukan aksinya membela rakyat kecil Bang Pitung berdiri di barisan depan. Kala itu Belanda memberlakukan kerja paksa terhadap pribumi termasuk 'turun tikus'. Dalam gerakan ini rakyat dikerahkan membasmi tikus di sawah-sawah disamping belasan kerja paksa lainnya. Belum lagi blasting (pajak) yang sangat memberatkan petani oleh para tuan tanah.

Si Pitung, yang sudah bertahun-tahun menjadi incaran Belanda, berdasarkan cerita rakyat, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena ada yang mengkhianati dengan memberi tahu tempat persembunyiannya. Ia ditembak dengan peluru emas oleh schout (setara Kapolres) van Hinne karena dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung, sampai tempat ia dimakamkan dirahasiakan. Takut jago silat yang menjadi idola rakyat kecil ini akan akan menjadi pujaan.

Si Pitung, berdasarkan cerita rakyat (folklore) yang masih hidup di masyarakat Belanda, sejak kecil belajar mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, 'orang yang denger kate'. Dia juga 'terang hati', cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca (tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung --seperti warga Betawi lainnya--, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli maen pukulan.

Suatu ketika di usia remaja --sekitar 16-17 tahun, oleh ayahnya Pitung disuruh menjual kambing ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari kediamannya di Rawa Belong dia membawa lima ekor kambing naik gerobak. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, Pitung dibegal oleh beberapa penjahat pasar. Mulai saat itu, dia tidak berani pulang ke rumah. Dia tidur di langgar dan kadang-kadang di kediaman gurunya H Naipan. Ini sesuai dengan tekadnya tidak akan pulang sebelum berhasil menemukan hasil jualan kambing. Dia merasa bersalah kepada orangtuanya. Dengan tekadnya itu, dia makin memperdalam ilmu maen pukulan dan ilmu tarekat. Ilmu pukulannya bernama aliran syahbandar. Kemudian Pitung melakukan meditasi alias tapa dengan tahapan berpuasa 40 hari. Kemudian melakukan ngumbara atau perjalanan guna menguji ilmunya. Ngumbara dilakukan ke tempat-tempat yang 'menyeramkan' yang pasti akan berhadapan dengan begal.

Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari Bang Pitung disebut Rawa Rontek. Gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Bang Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak melihat keberadaan Bang Pitung. Karena itu dia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian rawa rontek-nya itu, Bang Pitung tidak boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.

Si Pitung yang mendapat sebutan 'Robinhood' Betawi, sekalipun tidak sama dengan 'Robinhood' si jago panah dari hutan Sherwood, Inggris. Akan tetapi, setidaknya keduanya memiliki sifat yang sama: Selalu ingin membantu rakyat tertindas. Meskipun dari hasil rampokan terhadap kompeni dan para tuan tanah yang menindas rakyat kecil.

Sejauh ini, tokoh legendaris si Pitung dilukiskan sebagai pahlawan yang gagah. Pemuda bertubuh kuat dan keren, sehingga menimbulkan rasa sungkan setiap orang yang berhadapan dengannya. Dalam film Si Pitung yang diperankan oleh Dicky Zulkarnaen, ia juga dilukiskan sebagai pemuda yang gagah dan bertubuh kekar. Tapi, menurut Tanu Trh dalam 'Intisari' melukiskan berdasarkan penuturan ibunya dari cerita kakeknya, Pitung tidak sebesar dan segagah itu. ''Perawakannya kecil. Tampang si Pitung sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya kehitam-hitaman, dengan ciri yang khas sepasang cambang panjang tipis, dengan ujung melingkar ke depan.''

Menurut Tanu Trh, ketika berkunjung ke rumah kakeknya berdasarkan penuturan ibunya, Pitung pernah digerebek oleh schout van Hinne. Setelah seluruh isi rumah diperiksa ternyata petinggi polisi Belanda ini tidak menemukan si Pitung. Setelah van Hinne pergi, barulah si Pitung secara tiba-tiba muncul setelah bersembunyi di dapur. Karena belasan kali berhasil meloloskan diri dari incaran Belanda, tidak heran kalau si Pitung diyakini banyak orang memiliki ilmu menghilang. ''Yang pasti,'' kata ibu, seperti dituturkan Tanu Trh, ''dengan tubuhnya yang kecil Pitung sangat pandai menyembunyikan diri dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang-orang lain.'' Sedang kalau ia dapat membuat dirinya tidak tampak di mata orang, ada yang meyakini karena ia memiliki kesaksian 'ilmu rontek'.

(Alwi Shahab )

Dr Basri dan Bang Pi'ie

Jakarta pertengahan 1950'an.

Menyelusuri Jalan Kramat Raya dari bioskop Rivoli hingga bioskop Grand di segi tiga Senen -- berjarak sekitar satu km -- tiap malam selalu ramai oleh manusia yang hilir mudik. Ratusan pedagang kaki lima menggelar dagangannya tanpa khawatir akan digusur oleh Tramtib yang ketika itu belum muncul.

Puluhan becak yang ngetem dan hilir mudik dijadikan tempat transaksi oleh para PSK (pekerja seks komersial) untuk menggaet para hidung belang. Apabila terjadi 'kecocokan' harga, keduanya dengan menaiki becak pergi entah kemana untuk 'ngamar'.

Di antara kerumunan manusia yang lalu lalang, ada sesuatu yang unik yang sampai kini tak mungkin terjadi lagi. Yaitu, seorang dokter yang buka praktek di kaki lima di Jalan Kramat Raya dan tempat-tempat keramaian lainnya di Jakarta. Dialah dokter Basri, yang dengan pakaian dokter dan pengukur tensi (stetoskop) di lehernya tengah memeriksa pasien-pasiennya yang nongkrong di kaki lima untuk menunggu giliran.

Ketika berpraktek di kaki lima, dokter Basri yang tetap dikenal penduduk Jakarta yang hidup di tahun 1950-an memakai mobil merek Austin yang diberi titiran di atasnya dan gambar kotak-kotak di badan mobil yang disulap menjadi ruang praktek.

Membuka praktek di kaki lima, tak dapat dielakkan bahwa yang datang berobat ke tempat prakteknya itu adalah rakyat kecil. Banyak diantara mereka datang dari daerah sekitar Senen, seperti Kwitang, Pal Putih, Tanah Tinggi dan Galur. Tidak kurang banyaknya para ibu yang membawa anak-anak, termasuk bayi. Juga tukang becak masyarakat kecil lainnya. Untung ketika itu belum terjadi penggusuran, sehingga dr Basri dapat dengan leluasa berpraktek di kaki lima. Juga belum berlaku peraturan dan UU mengenai praktek kedokteran.

Dr Firman Lubis, guru besar FKUI, dalam buku Jakarta 1950-an, menulis, ''Kalau dari sudut pandang kedokteran, praktek dr Basri ini dianggap tidak etis dan merendahkan profesi dokter.'' Tapi, para pasien yang hampir seluruhnya rakyat jelata sangat berterima kasih kepada dr Basri, yang seringkali tidak menerima bayaran dari pasiennya.

Saya juga kerap menyaksikan dr Basri membuka 'praktek' di Planet Senen, yang sekarang menjadi Gelanggang Remaja dan berhadapan dengan stasion kereta api Senen, Jakarta Pusat. Orang Jakarta rupanya punya selera humor yang tinggi. Ketika terjadi persaingan antara Presiden Dwigh Eisenhower dari Amerika Serikat dan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschev untuk mengirim manusia ke ruang angkasa (planet), tempat pelacuran kelas bawah ini mereka namakan 'planet'.

Di Planet Senen yang kemudian, oleh Gubernur Ali Sadikin, para PSK-nya dipindahkan ke Kramat Tunggak, Jakarta Utara dr Basri juga kerap membuka praktek. Dia selalu siap menyuntikkan penisilin untuk para PSK yang berpraktek di Planet. Laki-laki hidung belang yang takut kena penyakit sipilis alias raja singa juga berobat ke dr Basri setelah mereka 'ngamar'.


Sampai sekarang tidak diketahui kenapa penyakit kotor itu dinamakan 'raja singa'. Yang jelas kala itu belum dikenal samasekali istilah AID/HIV yang sangat ditakuti.

Tempat pelacuran di Planet Senen terdiri dari rumah-rumah kardus yang dikenal dengan istilah 'rumah liliput'. Ada juga yang 'ngamar' di gerbong-gerbong barang di Stasiun Senen.

Pernah terjadi ketika seorang hidung belakang dan seorang PSK tengah 'ngamar' di gerbong, tiba-tiba tanpa mereka sadari gerbong kereta api barang itu melaju. Gerbon itu baru berhenti di Bekasi, sehingga membuat keduanya kesulitan untuk kembali ke Senen dengan kendaraan lain.

Saya pernah mengikuti kunjungan gubernur Ali Sadikin saat ia hendak memindahkan para PSK dari Planet Senen ke Kramat Tunggak. Ternyata, diantara para pelacur terdapat seorang puteri penyanyi keroncong terkenal tahun 1940-an. Entah bagaimana ia sampai terjerembab ke tempat mesum itu.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, yang menangani keamanan di Senen, termasuk tempat pelacuran Planet, adalah Cobra di bawah pimpinan Kapten Syafi'ie alias Bang Pi'ie. Pada saat revolusi 1945, dia menggerakkan para jagoan di Senen untuk mengangkat senjata melawan NICA (tentara Belanda).

Banyak soldadoe Belanda dan kaki tangannya yang dibunuh Bang Pi'ie dan pasukannya. Seperti dalam pertempuran di belakang bioskop Rex (kini pertokoan) dan bioskop Rialto (kini Gedung Wayang Orang Senen), Kwitang, dan Gang Sentiong, Jakarta Pusat.

Setelah penyerahan kedaulatan (awal 1950), karena banyak anggotanya yang tidak mendapat tempat di TNI, Bang Pi'ie menghimpun para pejuang kemerdekaan itu dalam organisasi Cobra. Waktu itu Bang Pi'ie berpangkat kapten dan merupakan perwira yang diperbantukan di KMKBDR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya).

Organiasi Cobra melakukan disiplin yang keras terhadap anggotanya yang menyeleweng, seperti melakukan kejahatan. Tapi, terlebih dulu ditanyakan alasan dia mengapa melakukan kejahatan itu. Untuk itu, Bang Pi'ie tidak segan-segan meminta bantuan tauke Cina untuk membantu yang bersangkutan. Tapi kalau dia kembali melakukan kejahatan, Bang Pi'ie tidak akan memberinya ampun. Yang bersangkutan akan dipecut dengan buntut ikan pari yang berduri tajam dan bergerigi.

Menurut putranya, Asmawi, hukuman itu jauh lebih ringan dibandingkan kalau ayahnya memukul dengan tangan, apalagi tangan kirinya yang memiliki pukulan maut. ''Tidak peduli orang sekuat apa pun, dia tidak akan tabah menghadapi pukulan tangan kiri bapak,'' ujar Asmawi.

Begitu pentingnya keberadaan Bang Pi'ie, sehingga Jakarta yang aman ketika itu tidak lepas dari pengaruhnya. Tidak heran kalau saat itu banyak toko dan tempat hiburan di Jakarta yang memasang foto jagoan Betawi itu. Biasanya foto itu diletakkan di dekat meja kasir. Merupakan jaminan tidak akan ada yang berani mengganggu toko tersebut.

(Alwi Shahab )

Pemberontakan Tangerang 1924

Sejak masa VOC, tanah-tanah partikelir yang di Belanda disebut landerijen telah bermunculan di Batavia dan ommelanden (daerah pinggiran kota).

Namun, pada masa kekusasaan Daendels dan Raffles (1808-1816), tanah-tanah partikelir makin meluas karena kedua gubernur jenderal itu memerlukan banyak uang untuk berbagai kegiatan pemerintahan. Di Batavia dan sekitarnya ada tidak kurang dari 230 lokasi tanah partikelir milik para tuan tanah Eropa, Cina, dan Arab.

Umumnya, tanah-tanah itu disewakan pemiliknya pada petani untuk digarap sebagai sawah dan kebun. Atau disewakan kepada para pengusaha yang pada gilirannya memanfaatkan kaum tani yang berdiam di daerah sekitar. Selain kompeni, banyak tuan tanah yang memeras mereka dengan keharusan membayar cuke (pajak) yang mencekik leher.

Tidak heran kalau saat itu petani penggarap hidup melarat, sementara tuan tanah bergelimang harta. Sejarah mencatat, para pemimpin perjuangan di tanah-tanah partikelir umumnya berasal dari petani. Di antara pejuang yang memelopori perlawanan terhadap tuan tanah adalah Kaiin. Karena orang tuanya bernama Bapak Kayah, dia disebut Kaiin Bapak Kayah. Lahir pada 1884 di Kampung Pangkalan, Tangerang, sejak kanak-kanak Kaiin termasuk pendiam dan taat kepada kedua orang tuanya. Dia belajar mengaji sambil belajar main pukulan (silat).

Karena dikenal alim dan pandai main silat, Kaiin diangkat menjadi mandor pengawas perkebunan milik tuan tanah Tionghoa di Kampung Pangkalan. Ketika menjadi mandor itulah dia melihat ketidak-adilan dan pemerasan para tuan tanah terhadap saudara-saudaranya rakyat pribumi.

Tidak sanggup melihat kesewenang-wenangan itu, Kaiin mengundurkan diri. Mulai saat itulah dia mengembara ke berbagai tempat, seperti Batavia, Bekasi, Bogor, dan Kerawang. Di Batavia dia sempat bekerja di kantor polisi sebagai opas. Di sini Kaiin kembali tergugah melihat ketidak-adilan para hamba wet (hamba hukum) dalam menangani berbagai kasus dengan sangat diskriminatif.

Setelah pulang ke kampung kelahirannya di Kampung Pangkalan, suatu malam dia menonton pertunjukan wayang kulit Betawi. Kemampuan ki dalang dalam mendalang menarik perhatiannya. Kaiin bertekad untuk menjadi dalang wayang kulit Betawi. Mula-mula ia magang sebagai asisten dalang. Kemudian dipercaya mendalangi sebuah lakon.

Ketika menjadi dalang dia menikah dengan seorang janda kaya Tionghoa bernama Tan Teng Nio. Dengan kekayaan istrinya Kaiin hidup lebih stabil. Janda Tionghoa ini memilihnya sebagai suami karena berharap Kaiin sebagai seorang jagoan dapat menjaga seluruh kekayaannya.

Tapi, sekalipun sudah hidup mapan, Kaiin tidak pernah surut untuk menentang pemerintah kolonial dan para tuan tanah yang memeras petani. Dia juga mempelajari ilmu tarikat dan kerap menziarahi tempat-tempat keramat, seperti makam Raden Kartadriya di Jacatraweg (kini Jl Jayakarta, Jakarta Kota), yang dihukum gantung oleh Belanda (1720) karena menjadi sekutu Pieter Erbelveld dalam melawan kompeni, dan makam Kramat Ujung di Bekasi.

Suatu malam, saat mendalang tiba-tiba Kaiin kesurupan. Pada saat itulah, di tengah-tengah warga Kampung Pangkalan yang sedang menonton wayang, Kaiin berkata, ''Wahai saudara-saudara, sayalah Sang Hyang Tunggal atau Ratu Rabbul Alamin, karena saya adalah keturunan Pangeran Siliwangi. Mulai saat ini saya akan ambil hak saya sebagai seorang pemimpin. Saya akan usir kaum penjajah dan para tuan tanah yang kejam dan jahat yang selalu mengambil hak-hak petani. Mulai saat ini saudara-saudara harus ikut saya punya perkataan.''

Maka, mulai saat itu di kediaman Kaiin selalu ramai karena ia mengundang tamu-tamu yang terdiri para tokoh masyarakat dari Tangerang, Batavia dan Bekasi. Di kediamannya dia berpidato membangkitkan semangat perlawanan dan melatih pengikutnya untuk menguasai senjata golok, parang, tombak dan panah. Kepada para pengikutnya, dia juga memberikan jampe-jampe berupa wafak (kesaktian), agar mereka semakin berani melawan Belanda dan para tuan tanah jahat.

Suatu hari, setelah shalat Subuh, tepatnya tanggal 10 Februari 1924, Kaiin mengumpulkan seluruh pengikutnya untuk apel persiapan maju ke medan perang. Semua pengikutnya diberi pakaian putih-putih dan tudung cetok dan itulah ciri pengikut Kaiin Bapak Kayah.

Saat itu dia berpidato, ''Saatnya sekarang kita menyerang dan usir penjajah dan tuan tanah jahat dari negeri kita. Kita usir orang kafir Belanda. Allahu Akbar!'' Kepada rakyat yang tidak ikut dalam penyerangan, dia minta untuk tidak keluar rumah.

Pukul 07.00 pagi rombongan Kaiin mulai menyusuri rumah-rumah tuan tanah, termasuk penggilingan tebu dan padi yang ada di Kampung Pangkalan, Kampung Melayu, Teluk Naga dan Tanah Tinggi. Pasukannya terus merangsek hingga ke rumah asisten wedana di Teluk Naga.
Rumah asisten wedana dikepung dan kepadanya Kaiin bertanya, ''Apakah tuan membela orang kafir?''

Asisten wedana menjawab, ''Pada orang kafir kita tidak suka.'' Asisten wedana berusaha untuk mendinginkan kemarahan pasukan Kaiin, sambil mengajaknya bicara di kediamannya. Tapi, tujuannya untuk menghambat pasukan Kaiin supaya dia dapat menghubungi kantor polisi di Batavia untuk minta bantuan.

Saat berunding itulah datang schout (perwira polisi) dan pasukannya dari Batavia. Kaiin dan sejumlah pengikutnya ditangkap. Kemudian, bersama 29 orang pengikutnya, dia ditembak mati, dan 24 orang lainnya dipenjara.

(Alwi Shahab )