Menyambut 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2008, kita kembali teringat pada perlawanan kaum tani terhadap pemerintah kolonial Belanda dan para tuan tanah yang menindas rakyat. Beberapa peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1908 menunjukkan bahwa para petani telah berjuang melawan Belanda jauh sebelum Boedi Oetomo berdiri.
Perjuangan kaum petani terutama terjadi di tanah-tanah partikelir tempat para pemiliknya menjadi raja kecil di tanah yang dikuasainya. Pada saat berlangsung peperangan (1808-1816), pada masa Daendels (Belanda/Prancis) dan Raffles (Ingris), terjadi penjualan tanah partikelir secara besar-besaran untuk biaya peperangan.
Karena tuan tanah dan pemerintah kolonial semena-mena, timbul perlawanan dengan latar belakang kepemimpinan tokoh-tokoh Islam, terutama Islam kejawen. Saat itulah muncul kepercayaan bakal datangnya Imam Mahdi, yang diyakini akan membawa rakyat keluar dari kemiskinan dan ketidakadilan.
Bentuk mesianisme atau milinarisme itu di wilayah Hindu-Jawa dinamakan Ratu Adil, yang sampai sekarang masih diyakini akan datang. Di Batavia, mesienisme paling banyak muncul di tanah-tanah partikelir dan sekitarnya, mengingat saat itu banyak petani dari Jawa yang didatangkan oleh para tuan tanah.
Salah satunya adalah pemberontakan di tanah partikelir Tangerang (1924). Tokohnya, Bapak Kaiin Bapak Kaya, menyatakan diri sebagai Sang Hyang Tunggal atau Ratu Rabbul Alamin. Dia berhasil mengumpulkan ratusan pengikut untuk menyerang Belanda dan para tuan tanah. Juga pemberontakan di Tambun, Bekasi (1869), yang dipimpin oleh Bapak Rama atau Pangeran Alibasah.
Juga pernah terjadi perberontakan kaum petani di Bogor yang dipimpin oleh Arpan. Oleh para pengikutnya dia diyakini sebagai Mahdi. Dia dibantu oleh Mohammad Idris yang memakai gelar Panembahan -- gelar ini umumnya digunakan oleh aliran mistik di Jawa Tengah (Pusponegoro dan Notosusanto).
Arpan, anak petani dari Ciomas, Bogor, adalah seorang pemuda yang baik, berbakti pada orang tua dan sejak kecil sudah mendalami ajaran agama Islam, serta menguasai ilmu pukulan (silat). Ciomas yang terletak di lereng Gunung Salak merupakan daerah partikelir milik seorang Belanda, Steurs.
Luas daerah partikelir itu sekitar 9.000 bahu (satu bahu = 3/4 hektar). Penduduknya sekitar 15 ribu jiwa, dan sebagian besar petani. Para petani di tanah partikelir Ciomas yang menggarap tanah hartawan Belanda itu menghadapi berbagai tekanan seperti terjadi di tanah partikelir lainnya.
Para petani dibebani pajak yang tinggi, jumlah contingentemn yang tidak sesuai dengan perjanjian, kerja kompenian yang berkepanjangan, hukuman sita rumah dan tanah kalau hutang-hutang mereka tidak dibayar pada waktunya. Masih banyak lagi kewajiban-kewajiban yang memberatkan petani yang menghadapi pemerasan tanpa mengenal ampun (Pesponegoro dan Notosusanto 1988).
Pola kepemimpinan Arpan tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di daerah-daerah lain. Arpan, yang terhitung jago silat dan pandai mengaji, dipercaya oleh para pengikutnya sebagai Imam Mahdi. Ia dibantu oleh Mohammad Idris, yang bergelar Panembahan.
Sesungguhnya, tahun 1886 adalah tahun yang cukup berhasil bagi para petani, namun menjadi tidak berarti karena praktek-praktek tidak adil dan tidak manusiawi oleh pihak tuan tanah dan aparatnya -- para kepala desa.
Untuk menghadapi tekanan-tekanan yang terlalu berat, penduduk mulai menyingkir dari tanah partikelir Ciomas. Bersamaan dengan menyingkirnya sekitar 2.000 petani, para buruh tani di perkebunan kopi mulai menolak untuk bekerja.
Mohammad Idris, yang bergelar Panembahan dan sempat pindah dari Gunung Salak ke Sukabumi, akhirnya kembali ke Ciomas. Sebagai seorang panembahan ia memiliki kharisma sehingga makin banyak pelarian lainnya yang bergabung dengannya. Mohammad Idris dan para pembantunya kemudian memutuskan untuk mengadakan perlawanan.
Sebelum Mohammad Idris bertindak, lebih dulu terjadi perlawanan dari Arpan, sang Mahdi. Bersama para pengikutnya dia lebih dulu berdoa dan shalat berjamaah sebagai tekad untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda dan tuan tanah jahat.
Sayangnya, gerakan perlawanan yang dilakukan pada Februari 1886 itu kandas oleh polisi setempat yang mengerahkan seluruh aparatnya. Sang Mahdi bersama para pengikutnya terpaksa harus menyingkir ke Pasir Paok.
Kekalahan Arpan tidak mengendurkan semangat juang rekannya, Mohammad Idris. Pada 19 Mei 1886 dia dengan para pengikutnya mulai bergerak di bagian selatan Ciomas. Gudang-gudang yang terdapat di Sukabumi, Gadok dan Warungloa, samasekali tidak disentuh, sebab tujuan mereka hanyalah memusnahkan tuan tanah Ciomas, si Belanda.
Ketika keesokan harinya -- 20 Mei 1886 -- berlangsung upacara sedekah bumi di Gadok, Mohammad Idris memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Ketika keramaian sedang memuncak dengan tari-tarian ronggeng diiringi gamelan, dia bersama para pengikutnya yang hadir dalam upacara tersebut bertindak sambil menyerukan takbir.
Tidak kurang dari 70 orang terbunuh dan sekitar 70 orang lainnya menderita luka-luka parah. Namun, tuan tanah yang tidak hadir dalam kesempatan itu dapat menyelamatkan diri bersama keluarganya.
Masih banyak lagi perjuangan kaum tani dalam melawan kesewenang-wenangan Belanda, seperti yang terjadi di Slipi, Tanah Abang, dan Cakung, pada tahun 1913.
(Alwi Shahab )
Friday, July 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment