Wednesday, December 19, 2007

Habib Abubakar, Pendiri Jamiat Kheir

Batavia, sebutan kota Jakarta tempo dulu, di tahun 1900 sedang memasuki periode kota kolonial modern. Sistem transportasi dan komunikasi berkembang pesat. Angkutan kereta api Jakarta-Bogor mulai diperkenalkan, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok semakin ramai oleh pendatang dari Belanda dan Eropa.

Tapi hanya orang-orang Belanda saja yang menikmati kemajuan tersebut. Sementara masyarakat pribumi, termasuk orang-orang keturunan Arab, masih saja bergelut dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Terhadap keturunan Arab ini, Belanda menganggap keberadaan mereka di Indonesia sangat membahayakan politik kolonialnya yang anti-Islam. Pada waktu bersamaan, semangat Pan-Islamisme tengah berkobar di Turki dan pejuang Islam kaliber internasional dari Ahlul-Bayt, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bergaung hingga ke Indonesia.

Di Indonesia, paham Pan-Islamisme pun masuk, dan kaum Alawiyyin dituduh sebagai pembawanya. Tidak mengherankan bila Belanda begitu benci kepada Islam dan orang-orang keturunan Arab. Di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah, citra buruk Arab digambarkan secara kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah. Menurut Mr Hamid Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, banyak kalangan Arab dan Muslim enggan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda. Dalam situasi tekanan kolonial itulah, seorang tokoh alim ulama, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, berinisiatif mendirikan sebuah perguruan Islam, Jamiat Kheir, tahun 1901.

Bukan hanya mengajarkan agama, lembaga ini juga memberikan pendidikan umum. Bersama Abubakar bin Ali Shahab, bergabung sejumlah pemuda Alawiyyin yang mempunyai kesamaan tekad memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda jahat Belanda yang anti-Islam. Mereka antara lain, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad Alhabsyi, dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama ini, Jamiat Kheir tumbuh pesat. Mereka lantas memindahkan pusat organisasi ini dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang).

Kegiatan organisasi ini meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen. Organisasi ini juga dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam. Sebut misalnya KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H Samanhudi (tokoh Budi Utomo), dan H Agus Salim. Beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota, atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.

Mendapat gemblengan Hadramaut

Habib Abubakar lahir di Jakarta tanggal 28 Rajab 1288 H (130 tahun lalu), dari seorang ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut. Ibunya bernama Muznah binti Syech Said Naum merupakan keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman (Di zaman Gubernur Ali Sadikin tahun 70-an, pemakaman ini dipindahkan ke Jeruk Purut dan Karet, dan lahannya dipergunakan untuk membangun rumah susun pertama di Indonesia).

Dalam usia 10 tahun, tepatnya tahun 1297H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. Di sana, Abubakar muda menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas hanya dengan berguru, beliau selalu mendatangi tempat-tempat pengajian dan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka. Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura. Tiba di Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Setelah mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut, Habib Abubakar lantas mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.

Pada usia 50 tahun atau pada tanggal 1 Mei 1926, untuk kedua kalinya beliau kembali berangkat ke Hadramaut disertai dua orang putranya, Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir, dan Mukalla sebelum akhirnya tiba di Damun, Hadramaut, pada tanggal 20 Zulqaidah 1344 H. Di tempat-tempat yang disinggahi, Habib Abubakar juga selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Tiba di Hadramaut, dia memperbaiki sejumlah masjid, antara lain masjid Al-Mas. Bahkan, ia juga membangun masjid Sakran yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya. Habib Abubakar tidak pernah jemu berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin.

Sampai kini, madrasah yang didirikannya di Damun masih berdiri dengan baik, begitu juga Yayasan Iqbal yang didirikannya di kota itu. Pada 27 Syawwal 1354 H, Habib Abubakar sampai di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di tanah suci berbarengan dengan kedatangan Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi dari Kwitang, seorang ulama besar di Jakarta yang menjadi shahabat karibnya. Mereka bersama-sama menziarahi tempat-tempat mulia dan parah tokoh ulama. Tanggal 11 Safar 1356 H bertepatan dengan 23 April 1937 M, ia berangkat pulang ke Jakarta. Kegiatan sosial dan pendidikan menjadi perhatian utamanya selama berada di Indonesia. Pada 14 November 1940, ia menghadiri pembukaan madrasah/ma'had di Pekalongan. Madrasah ini dibangun oleh sepupunya, Habib Husein bin Ahmad bin Abubakar Shahab.

Pembukaan sekolah di Pekalongan ketika itu mendapat sambutan meriah bukan saja dari warga setempat, tapi juga dari tokoh masyarakat Jakarta, Cirebon, Solo, Gresik, dan Surabaya. Di samping itu perjuangan Habib Abubakar untuk kemajuan agama tidak pernah berhenti. Bukan hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga untuk mendermakan harta bendanya. Sebagai wakil dari Al-Rabithah Al-Alawiyyah, ia telah beberapa kali ditugaskan mencari dana bukan hanya untuk kepentingan kelompok Alawiyyin, tapi juga masyarakat luas. Pada tanggal 18 Maret 1944 M, saat pendudukan Jepang, ia wafat di Jakarta. Habib Abubakar dimakamkan di pekuburan wakaf kakeknya di Tanah Abang. Ia meninggalkan tujuh orang putra-putri yang juga menekuni jalan dakwah.

SD Islam Binakheir

Mengawinkan Kurikulum Nasional-Internasional

Ada keistimewaan khusus dari SD Islam Binakheir. Sekolah yang terletak di Jl Tole Iskandar, Depok ini memadukan berbagai unsur terbaik kurikulum nasional terbaru (2006) serta kurikulum internasional yang diadopsi dari lembaga pendidikan berpengalaman dan berprestasi. Adalah SD Islam Lazuardi GIS yang dijadikan acuan, sekaligus penyelia sekolah ini.

SD Islam Binakheir juga menerapkan sistem tritunggal, yaitu bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab. Sekolah ini memadukan antara agama dan sains serta didukung oleh guru-guru yang berpengalaman dan dan bereputasi di dunia pendidikan.

Dalam menyelanggarakan kegiatannya, SD Islam Binakheir memanfaatkan semua temuan mutakhir di bidang pendidikan. ''Antara lain metode contextual learning, quantum learning, accelarated learning, dan paradigma kecerdasan majemuk (multiple intellegences),'' ujar Kepala Sekolah Binakheir, Fauziah Shahab, Senin (3/4).

Kesemuanya mengarah kepada pendidikan partisipatif yang merangsang pengembangan pengembangan wawasan, kreativitas, inisiatif, dan kemampuan siswa. Selain itu juga mengembangkan kepribadian dan akhlak mulia anak dalam suasana yang ramah, akrab lingkungan, dan menyenangkan.

Binakheir School, merupakan bagian dari Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir yang berdiri lebih dari satu abad lalu (lihat box). Perguruan Islam yang kini berpusat di Tanah Abang, Jakarta Pusat ini juga memiliki cabang di kota-kota Solo, Pekalongan, dan Surabaya.

Perintis pendidikan Islam modern

Menjelang akhir abad ke-19 di Negeri Belanda terjadi pergolakan politik hebat antara kaum liberal dan konservatif. Dengan bantuan kaum modal (kapitalis), pihak liberal memperoleh kemenangan besar. Apa yang terjadi di negeri Belanda ini besar pengaruhnya di Tanah Air. Karena kaum modal menghendaki agar di Hindia Belanda dijalankan ekomomi liberal, yakni kebebasan berusaha dan berniaga.

Yang paling merasakan perubahan ini tentunya Batavia. Akibat berbondong-bondongnya modal swasta, baik dari Belanda, Eropa laibnnya, bahkan juga AS. Untuk melancarkan administri pemerintahan dan modal asing, pemerintah kolonial memerlukan tenaga terdirik. Maka dibangunlah sekolah-sekolah. Sayangnya Belanda melakukan diskriminasi. Khususnya pada kaum Muslimin dan anak-anak mereka. Sementara Islam sering dilecehkan.

Karena itulah, pada awal 1901, secara diam-diam sejumlah habib dan kiai mendirikan Jamiatul Kheir. Lembaga Islam ini lahir untuk menjawab ketimpangan pendidikan waktu itu. Lembaga pendidikan Islam ini mendapat dukungan luas dan dengan cepat menjadi terkenal. Para murid bukan hanya dari Jakarta, tapi juga berbagai tempat di Indonesia.

Jamiat Kheir boleh dikatakan merupakan lembaga pendidikan Islam modern pertama di Indonesia. Sebelumnya hanya berbentuk pengajian dari rumah ke rumah. Lembaga ini mula-mula berdiri di Pekojan, Jakarta Barat, yang kala itu sebagian besar penghuninya keturunan Arab. Setelah berjalan dua tahun, pada 1903 Jamiat Kheir meminta izin resmi pada pemerintah Hindia Belanda.

Karena dicurigai, izin tidak berjalan mulus. Baru pada 1905 keluar pengesahan dari pemerintah keolonial. Itu pun dengan syarat tidak boleh mendirikan cabang di lain tempat. Karena itu, cabang-cabangnya di Solo, Pekalongan, dan Surabaya muncul dengan nama lain. Karena tujuannnya untuk mencerdaskan umat, sejumlah tokoh Islam bergabung dengan Jamiat Kheir. Seperti HOS Tjokroaminoto (Syarikat Islam), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan H Agus Salim.

Jamiat Kheir juga ikut menggaungkan gerakan Pan Islam dari Sayid Jamaluddin Al-Afghani, Syeikh Muhammad Abduh, dan Sayid Rasyid Riudha. Dengan mendatangkan majalah-majalah dari Timur Tengah. Pada Oktober 1919, Jamiat Kheir pindah ke Tanah Abang, hingga kini.

Visi yayasan Jamiat Kheir adalah menjadi lembaga dakwah dan pendidikan Islam yang unggul serta menghasilkan anak didik berwawasan Islam yang menguasai ilmu pengetahuan. Sedangkan misinya menyiarkan agama Islam dan pengajaran bahasa Arab.

Friday, December 07, 2007

Pajak Kepala dan Rumah Pelacuran

Pemerintah kini mengenjot pemasukan dari sektor pajak untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara yang makin membengkak setelah harga minyak di pasaran dunia mendekati 100 dolar AS per barel. Tidak heran kalau separuh dari 62 ribu pegawai Departemen Keuangan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Dari jumlah itu sebanyak 3000 orang adalah tenaga auditor. ''Kami membutuhkan paling sedikit delapan ribu auditor.'' kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Gubernur Jenderal VOC JP Coen punya kelihaian dalam memungut pajak. Begitu dia mengangkat Souw Beng Kong sebagai Kapitan Cina, ia pun mengeluarkan peraturan pada 9 Oktober 1619: Tiap orang Cina yang berumur antara 16 sampai 60 tahun wajib membayar pajak sebesar 1,5 reak per kepala. Tidak main-main. Pajak yang cukup memberatkan itu berlaku 200 tahun, sampai 1900.

Ketika daratan Cina dikuasai oleh dinasti Mancu, adat istiadat dari negara di bagian utara Korea ini ditularkan kepada negara jajahannya. Maka rakyat Cina mengikuti jejak penjajah. Rambut bagian atas dicukur sampai licin, dan bagian belakang dipanjangkan kemudian dikepang atawa dikuncir seperti layaknya wanita. Selain disibukkan urusan melicinkan kepala bagian atas yang cepat tumbuh seperti layaknya kita mencukur jenggot, tiap kepala juga dikenai pajak.

Bukan hanya pajak kepala. Belanda menyadari kesukaan warga Cina pada judi dan hampir dilakukan di tiap acara, termasuk saat kematian di kalangan keluarga. Belanda juga mengagumi kesenangan mereka akan seks. Maka diberlakukanlah pajak judi dan pajak rumah pelacuran (suhian).

Selain itu, masih ada pajak kuku panjang yang menandakan orang kaya yang santai. Juga pajak tembakau dan pemotongan babi. Kalau sekarang pembayar pajak diingatkan melalui surat, ketika itu di kediaman Kapiten Cina dipasang bendera, mengingatkan agar masyarakatnya segera membayar pajak. Sampai sekarang di Jakarta Kota terdapat kampung Tiang Bendera.

Sedangkan warga Cina yang berdiam di luar wilayah kota, membayar pajak pada potia yakni kepala atau mandor pengelola perkebunan atau pertanian. Seperti juga sekarang petugas pajak ada yang bermain dengan pembayar pajak demikian pula terjadi di masa lalu. Masyarakat Cina di Indonesia, terutama generasi mudanya, pernah melakukan perlawanan terhadap keharusan memakai kuncir. Mereka sudah tidak mau melakukannya lagi sejak 1904, meskipun generasi tua menganggapnya sebagai adat lelahur. Kebiasaan ini baru dihapus tahun 1911, ketika Cina sudah merdeka.

Belanda juga mengangkat para kapiten dari berbagai etnis lainnya. Maksudnya agar berbagai etnis di Batavia mengikuti adat istiadat leluhur etnisnya masing-masing. Seperti orang Sunda dan Jawa memperkuat adat istiadat leluhur mereka. Begitu juga dengan etnis-etnis India, Arab, dan Eropa. Tapi dibandingkan etnis Cina, bangsa-bangsa Asia dianggap tidak seberapa penting oleh Belanda.

Setiap kelompok rasial mempunyai pemimpin yang dipilih oleh kelompoknya, yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur jenderal dan diberi tanggung jawab memelihara ketenteraman dan ketertiban di kampung-kampung. Tapi tak ada gengsi dan kekuasaannya yang menyamai kapiten Cina.

Ada dua keuntungan VOC dengan pengaturan warga pribumi yang ditempatkan di luar kastil dan tembok kota. Pertama, sebagai pertahanan kota terhadap serangan dari luar, terutama dari Banten dan Mataram. Dan, kedua, dengan memberikan wilayah tempat bermukimn di luar kota, berarti mengembangkan kota dan pengelolaan pertanian-perkebunan di wilayah tersebut.

Dengan begitu VOC tidak perlu mengeluarkan dana lagi bagi penghidupan mereka. Bersama dengan warga Cina, warga pribumi mengembangkan wilayah pinggiran yang disebut Ommelanden menjadi kawasan yang menghidupi Batavia. Berlainan dengan pemukim Indonesia yang harus menjaga keamanan kota, warga Cina lebih suka memberi konpensasi dengan membayar pajak kepala yang dikenakan kepada mereka selama 1620-1900.

Orang Cina di Batavia yang jumlahnya pernah mencapai hampir separuh penduduk kota terlibat dalam hampir semua pekerjaan: mulai tukang bangunan, pemasok bahan bangunan, tukang besi, tukang kayu, ahli melapis barang-barang emas, sampai kepada perikanan, pembuatan garam serta pertanian dan pengelolaan gula dan tebu.

Seperti halnya opsir Cina, komandan pribumi tidak mendapatkan gaji dari VOC. Mereka hanya terima tunjangan saja. Komandan pribumi juga memegang lisensi untuk memungut pajak. Tetapi jenisnya agak terbatas, yakni pajak pemotongan hewan, pajak berdagang di atas perahu atau kapal, dan pajak pasar ikan.

Berlainan dengan komandan pribumi, para kapiten Cina seperti Souw Beng Kong mengurus masyarakat Cina laksana raja-raja Mandarin. Orang Cina membangun rumah sakit mereka sendiri dan menjalankannya sendiri tidak kalah dengan rumah sakit Belanda kini menjadi Museum Mandiri di depan stasion kereta api Jakarta Kota. Mereka juga membangun sekolah-sekolah yang tidak kalah dengan sekolah yang dibangun Belanda.

(Alwi Shahab )

Salemba: Daendels vs Raffles

Inilah foto Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, pada akhir abad ke-19 saat dimulainya fotografi di Batavia. Pada masa penjajahan Salemba bernama Struiswijk. Jalan yang tampak masih senyap di kiri kanannya dipenuhi pepohonan yang rindang yang sekarang ini kering kerontang dan penuh pertokoan. Salemba merupakan salah satu jalan yang dibangun oleh Daendels ketika memerintah (1808-1811) hingga dikenal dengan jalan Daendels.

Salemba terletak di perbatasan antara Batavia dan Meester Cornelis. Kenapa demikian? Karena sejak 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atawa gemeente, yakni gemeente Batavia dan Meester Cornelis (kini Jatinegara). Baru tahun 1935 gemeente Batavia digabungkan dengan Meester Cornelis.

Dalam foto juga tampak jalan trem uap dari Jatinegara-Salemba-Senen, dan Jakarta Kota. Sedangkan dari kejauhan tampak trem uap yang tengah menggelinding dari arah Jatinegara menuju Kota. Juga tampak gerobak kuda tengah mengangkut muatan di tengah jalan yang sunyi senyap.

Salemba mulai banyak dikenal ketika pemerintah Belanda membangun perguruan tinggi yang kini bernama UI. Lusinan para alumni UI yang telah menjadi menteri. Dan dari UI inilah berbagai kegiatan mahasiswa dilancarkan untuk menumbangkan Bung Karno. Bagi calon mahasiswa lulus UI merupakan suatu kebanggaan. Di belakang Fakultas Kedokteran UI terdapat RSUP Tjipto Mangunkusumo yang juga menjadi tempat praktek para mahasiswa kedokteran.

Rumah sakit ini dulu dikenal dengan nama CBZ. Berbelok kekiri dari depan UI, terletak Jl Salemba Tengah. Di ujung jalan ini terdapat penjara Salemba. Pada masa kolonial penjara ini juga dijadikan tempat memenjarakan para pejuang yang oleh Belanda dinilai ingin menumbangkan pemerintah kolonial. Waktu itu banyak di antara mereka yang bergerak di bawah tanah.

Salemba dalam sejarah juga mencatat pada Agustus 1811 bala tentara Inggris setelah terlebih dulu menguasai Kota dan Senen, tanpa mengenal ampun melaju ke kawasan ini Salemba, jalan yang dibangun Daendels. Anak revolusi Prancis ini telah menyiapkan tangsi-tangsi di sekitar Matraman yang kala itu masuk dalam bagian Meester Cornelis.

Ribuan tentara Inggris dengan mati-matian bertempur melawan pasukan Belanda/Prancis (saat itu Batavia dikuasai Prancis). Tentara gabungan Belanda-Prancis yang menyerah, sebanyak 6.000 orang pasukannya ditawan. Setelah pesta kemenangan dan peperangan dilupakan, opsir-opsir Inggris yang muda mengadakan pesta pora dan menemukan teman pesta dansa di kalangan gadis-gadis Belanda dan Indo dengan penuh gairah.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Penyebaran Islam di Betawi

Sejarawan keturunan Jerman, Adolf Heuken SJ, dalam buku Masjid-masjid Tua di Jakarta, menulis tiada masjid di Jakarta sekarang ini yang diketahui sebelum 1640-an. Dia menyebutkan Masjid Al-Anshor di Jl Pengukiran II, Glodok, Jakarta Kota, sebagai masjid tertua yang sampai kini masih berdiri. Masjid ini dibangun oleh orang Moor -- artinya pedagang Islam dari Koja (India).

Sejarah juga mencatat pada Mei 1619, ketika VOC menghancurkan Keraton Jayakarta, termasuk sebuah masjid di kawasannya. Letak masjid ini beberapa puluh meter di selatan Hotel Omni Batavia, di antara Jl Kali Besar Barat dan Jl Roa Malaka Utara, Jakarta Kota.

Untuk mengetahi sejak kapan penyebaran Islam di Jakarta, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, bisa dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Syekh Quro, atau Syekh Hasanuddin, berasal dari Kamboja. Mula-mula maksud kedatangannya ke Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh urung meneruskan perjalanannya ke timur. Ia menikah dengan seorang gadis Karawang, dan membangun pesantren di Quro.

Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang. Di kemudian hari, seorang santri pesantren itu, yakni Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam. Banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya.

Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar.

Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527), Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke.

Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi.

Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik -- melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki 'ilmu' yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan rersi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur).

Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar komplek Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi 'isi' aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan (1527).

Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan (1518). Sementara, di Lemah Abang, Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan perlawanan terhadap Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi.

Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi bermula pada abad ke-19 dengan tokoh-tokoh Guru Safiyan atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat.

Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.

Kemudian, sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawakitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi'ie, dan KH Tohir Rohili.

Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.

(Alwi Shahab )

Hukuman Gantung di Alun-alun

Inilah hukuman gantung di masa kolomial pada awal abad ke-20. Tapi pelaksanaan eksekusi bukan di Lapangan Balai Kota (Stadhuis) yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta di Jakarta Kota. Namun eksekusi hukuman gantung terakhir terhadap seorang perampok bernama Tjoe Boen Tjeng terjadi di tempat ini pada 1896, dia memberlakukan korbannya seorang wanita Tionghoa secara kejam, yang juga sekarang ini banyak sekali terjadi di Jakarta. Ketika hukuman gantung berlangsung di Balai Kota Jakarta Utara, si pelaku pidana mati di tiang gantungan dengan pedang atau semacam guilotine primitif.

Kalau sekarang ini terpidana mati ditembak di tempat yang disembunyikan, dulu disaksikan banyak orang seperti terlihat dalam foto. Bahkan masyarakat secara luas diminta untuk menyaksikannya. Ketika terjadi eksekusi terhadap perampok Tjoen Boen Tjeng, yang paling banyak menyaksikan justru kaum wanita. Rupanya mereka bersimpati kepada korban perampokan seorang wanita. Tapi yang jelas hati wanita tempo doeloe lebih tabah karena tidak gentar melihat hukuman yang sangat sadis itu.

Setelah hukuman gantung tidak lagi dilakukan di alun-alun Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah DKI dengan penjara bawah tanahnya yang sangat menyeramkan. Penjara kemudian dipindahkan kesebelah timur Jl Hayam Wuruk dan bersebrangan kali dengan Hotel Jayakarta. Dalam gambar terlihat di tengah alun-alun disiapkan tiang gantungan dengan sebuah tangga bambu. Di bawahnya samar-samar terlihat seorang narapidana yang berpakaian putih-putih dengan bagian muka tertutup juga dengan kain putih. Berdiri ditangga seorang algojo dan begitu tambang ditarik maka tercekiklah si pidana mati. Di bagian kiri dengan baju hitam-hitam tampak sejumlah pengawal penjara.

Mereka yang ditahan karena perkara sipil, diharuskan membawa makanan atau minta makanan yang dikirim dari luar. Seperti juga masa kini, para sipir penjara sering meminta 'uang rokok' supaya mengizinkan makanan yang dikirim itu benar-benar disampaikan pada yang bersangkutan. Sejak zaman VOC jabatan sipir dianggap basah. Apalagi sekarang ini penjara menjadi tempat transaksi narkoba. Dan banyak tuduhan orang dalam ikut bermain. Seperti Eddy Tansil yang menilep uang negara ratusan miliar pada masa Pak Harto belasan tahun lalu berhasil melarikan diri berkat 'jasa' seorang petugas penjara Cipinang.

Dalam 'Cerita si Conat', seorang kepala perampok yang hidup pertengahan abad ke-19, pengarang FDJ Pangemanan menulis saat-saat ia menjalani hukuman mati di alun-alun Rangkasbitung, Banten, pada 5 April 1855. Eksekusi disaksikan ribuan orang yang memenuhi alun-alun. Dan setelah si Conat naik tangga gantungan, semua orang bersorak dan berteriak. ''Conat! Selamat jalan.''

Kalau sekarang banyak perampok setelah keluar dari penjara mereka mengulangi lagi perbuatan kejinya akibat hukuman yang tidak berat. Berlainan di zaman VOC, kejahatan dengan melakukan perampokan tidak ampun lagi dijatuhi hukuman mati atau hukuman kerja paksa puluhan tahun dengan kaki dirantai.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Bersalaman dengan Raja Faisal di Mina

Saya pertama kali ke Tanah Suci pada Juni 1973. Itupun untuk melaksanakan ibadah umroh setelah berkunjung ke Aljazair menghadiri 10 tahun kemerdekaan negara di Afrika Utara itu. Dari Aljier saya mampir ke Jeddah. Waktu itu, KBRI berada di kota yang terletak di tepi Laut Merah ini. Dubes RI di Arab Saudi kala itu dijabat H Rus'an memberikan saya pakaian ihram untuk umroh. Perjalanan dari Jeddah ke Mekah naik mobil besar merk Impala keluaran Chevrolet (AS). Begitu memasuki Masjidil Haram -- yang belum semegah sekarang --, dan melihat Ka'bah saya terharu hingga meneteskan air mata.

Apalagi waktu itu saya masih muda teringat akan dosa-dosa. Sambil berharap nantinya dapat melaksanakan ibadah haji. Karena tidak ada persiapan samasekali saya tidak pergi ke Madinah berziarah kepada Nabi Muhammad SAW.

Rupanya doa saya ini dikabulkan. Karena suatu ketika menjelang musim haji 1974, ketika tengah membuat berita kegiatan Pak Harto, saya mendapat telepon dari Pak Bustaman, sekretaris Menteri Sosial HMS Mintaredja yang kala itu juga sebagai ketua umum PPP. Saya (Antara) bersama rekan Merdeka diminta untuk menunaikan rukun Islam kelima.

Kala itu merupakan tahun kedua pemberangkatan jamaah haji dengan pesawat udara. Tapi masih banyak calon haji (calhaj) yang berangkat dengan kapal laut. Setelah istirahat beberapa jam di Madinatul Hujaj di Jeddah -- di sini kami bergabung dengan jamaah dari mancanegara --, kami diberangkatkan ke Mekah dengan bus tanpa AC karena waktu itu belum ada angkutan ber-AC.

Kami dibawa langsung ke tempat Syeikh Abbas, seorang mukimin yang berasal dari Jawa Barat. Kami disuguhi minuman dari ketel. Seperti kebiasaan di Arab Saudi kala itu, kita bergantian minum dalam gelas yang sama.

Kala itu, para calon jamaah haji diwajibkan untuk untuk tinggal di tempat syeikh yang mereka pilih. Kita diberi makanan seperti beras dan berbagai lauk pauk. Karena saya tidak bisa masak, saya memilih makan di luar. Di Mekkah dan juga Madinah terdapat banyak rumah makan yang menyajikan masakan Indonesia. Tapi jangan minta martabak, karena di Arab seperti juga di India martabak tidak dikenal.

Kali ini saya berkesempatan ziarah ke makam Rasul di Masjid Nabawi Madinah. Tapi tidak mendapat arbain. Karena ada kawan yang datang dari Kedubes RI di Syria membawa mobil mengajak saya ke rumah pamannya di Jeddah.

Di Jeddah saya mendatangi kembali KBRI. Nasib baik, Atase Pers KBRI Arifin menawarkan saya menjadi tamu negara. Kerajaan Arab Saudi tiap tahun mengundang dua wartawan dari negara-negara Islam untuk berhaji. Kebetulan tidak ada wakil dari Indonesia.

Maka jadilah saya tamu negara setelah mendatangi Kementerian Penerangan Arab Saudi. Saya mendapat mobil khusus untuk mengantar jemput dari Jeddah ke Mekah. Saya disediakan tempat penginapan di Hotel Kandara, salah satu hotel terbaik kala itu.

Karena belum puasa, saya berziarah ke Madinah, dari Jeddah saya kemudian pergi ke kota Nabi. Dalam perjalanan setelah memasuki kota Madinah sambil terus menerus mengucapkan shalawat, saya hampir mendapat kecelakaan. Ban mobil yang kami tumpangi pecah.

Beruntung sang sopir sangat tenang menghadapi kejadian ini. Dia menggunakan versneling untuk memperlambat laju mobil. Kalau saja dia mengerem mobil akan terbalik. Saya teringat peristiwa yang dialami tokoh NU Subchan ZE meninggal dunia karena mobilnya terbalik karena bannya meletus.

Di Arafah kami -- rombongan wartawan mancanegara -- ditempatkan di tenda khusus. Di Mina, kami ikut hadir pada resepsi di istana dan saya bersalaman dengan Raja Faisal. Di antara yang hadir dari Indonesia adalah H Mohammad Natsir, ketua Arabithah Alam Islam dan ketua Dewan Dakwah Indonesia, Gubernur DKI Ali Sadikin, Sekjen DDI Harsono, Ketua MUI HAMKA, tokoh Islam dari Persis E.Z.Muttaqin, Ketua Komite Solidaris Islam H.Lukman Harun dan Habib Muhammad Alhabsyi dari Majelis Taklim Kwitang.

Di tempat resepsi kami dilayani oleh pengawal kerajaan yang membawa cangkir kecil sambil menyuguhkan kopi yang dicampur kapulaga dan jinten hitam hingga menghangatkan badan. Begitu kopi diberikan kepada kita langsung diminum dan kemudian diberikan kepada orang yang berada di sampingnya.

Ada suatu kebiasaan orang Arab yang membuat mereka senang. Kalau jenggotnya di elus-elus dan dipegang terutama oleh cowok. Seorang jamaah haji menuturkan ketika dia berbelanja di Madinah kepada orang tersebut ternyata harganya menjadi murah. Kaos kaki dari lima real menjadi satu real. Kiat bahwa pembeli adalah raja seringkali tidak berlaku di tanah suci. Apalagi kalau kita menawar dagangannya dengan harga murah. Para pedagang bisa marah atau pura-pura tidak mendengar ketika dagangannya seharga 20 real ditawar lima real.

Tapi sekarang ini dengan makin membanjirnya pedagang terutama dari India, Bangladesh dan Pakistan mereka dengan ramah dan tersenyum menyapa kita. 'Siti Rahmah .. Siti Rahmah ... homsah (lima real).' Entah siapa namanya, kalau wanita dari Indonesia seringkali mendapat panggilan Siti Rahmah.

(alwi shahab )

Saturday, December 01, 2007

Menengok Perjuangan Habib Ahmad bin Abdullah Alatas di Pekalongan

Tiba-tiba saja Kotamadya Pekalongan menjadi lebih semarak pada 21-23 November lalu. Ratusan bus dan mobil dari berbagai daerah memasuki kota 'batik', ini dengan membawa ribuan jamaah yang datang dari berbagai tempat di Jawa. Belum lagi mereka yang datang dengan kereta api. Bahkan ada jamaah dari luar Jawa yang datang dengan pesawat atau kapal laut melalui Semarang. Akibatnya, sejumlah losmen di kota ini menjadi kewalahan hingga tidak dapat lagi menerima para tamu, termasuk Hotel Nirwana, hotel paling bergengsi di kota itu. Padahal, bagian terbesar dari para tamu itu menginap di rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan tempat khaul seorang ulama besar Pekalongan.

Membanjirnya umat Islam ke Pekalongan, yang waktunya bersamaan dengan Muktamar NU di Lirboyo, Kediri, adalah untuk menghadiri khaul atau peringatan wafatnya ke-73 Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas. Dari jumlah umat Islam yang datang dari berbagai tempat untuk menghadiri khaul itu menunjukkan, bahwa sekalipun ia telah meninggal dunia hampir tiga perempat abad lalu, tapi hingga kini kiprah perjuangannya masih tetap dikenang. Memperingati khaul untuk mengenang seorang tokoh agama dengan berbagai acara, di Indonesia merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh warga Nahdliyin dengan berbagai acara, yang puncaknya menziarahi kubur almarhum.

Khaul ke-73 Habib Ahmad sendiri berlangsung pada hari Senin (22/11) atau bertepatan dengan 14 Sya'ban 1420 Hijriah dengan mengadakan ziarah ke makam almarhum. Berbagai acara yang digelar dalam rangkaian khaul ini ialah, pada hari Ahad (21/12), diadakan pembacaan Dala'il al-Khaerat, berisi shalawat puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu dibawakan oleh almarhum di dalam majelis-majelisnya semasa ia hidup.

Ribuan santri dan jamaah yang berdatangan dari kodya dan kabupaten Pekalongan serta berbagai tempat lainnya, duduk mengitari makam Habib Ahmad di ruang khusus berukuran sekitar 10x20 meter, di pemakaman umum Sapuro, Pekalongan. Mereka seolah-olah larut dalam kesahduan ketika dengan suara keras menggeleng-gelengkan kepala bershalawat dan berzikir kepada Allah SWT.

Menurut seorang penjaga makam di Sapuro, tiga hari sebelum acara khaul telah berdatangan kaum Muslimin dan Muslimat dengan menggunakan sembilan bus dari Purwokerto, Bogor, Sukaraja, Semarang, dan Demak. Mereka berziarah hingga larut malam. Sebagaimana terjadi tiap tahun, penjaga makam ini meyakini, bahwa sampai dua hari setelah acara khaul tempat ini masih terus didatangi para penziarah.

Seperti dituturkan oleh Haji Wagio, 40, sehari sebelum acara khaul, ia dan rombongannya datang dari Surabaya ke Pekalongan dengan 23 buah bus patas. Tiap bus memuat 70 orang. Menurut Wagio, kunjungannya ke Pekalongan ini dalam rangka 'Tour Ziarah Walisongo dan Khaul Akbar'. Mengingat para jamaah bukan saja dari Surabaya, tapi juga dari berbagai tempat di Jatim, menurut Wagio, ini menunjukkan bahwa Habib Ahmad dikenal cukup luas di Jawa Timur.

Rombongan yang berjumlah hampir 1.500 orang ini, bermalam di sekitar rumah-rumah penduduk yang dengan sukarela menyediakan tempat untuk mereka. Sedangkan untuk makam dan minum, disediakan oleh tuan rumah, yang dipimpin oleh Habib Abdullah Bagir Alatas, cicit almarhum. Rumah almarhum sendiri, yang terletak di Jalan Haji Agus Salim 29, Pekalongan yang bagian depannya menjadi Masjid Raudah dan tempat kegiatan keagamaan, juga menampung ratusan para jamaah dari luar kota. Habib Bagir sendiri merupakan generasi keempat penerus Habib Ahmad, setelah ayahnya Habib Ahmad bin Ali Alatas, meninggal dunia hari Ahad (19/12), seminggu sebelum acara khaul.

Sehari menjelang khaul, pada malam harinya di Masjid Raudah diselenggarakan acara khatam shahih Bukhari, salah satu mata pelajaran keagamaan yang diberikan kepada murid-muridnya selama almarhum hidup. Imam Bukhari, yang lahir di Bukhara, Asia Tengah (dulu bagian dari Uni Soviet), pada 194 H, selama 16 tahun telah mengumpulkan ratusan ribu hadits. Kemudian ia menyaring hadits itu dan hanya beberapa ribu saja yang dinilainya dapat dipercaya. Ketelitiannya dalam periwayatan hadits, menyebabkan para ulama hadits belakangan menempatkan kitab Sahih al-Bukhari sebagai peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadits yang muktabar.

Amar ma'ruf nahi munkar

Pada puncak acara khaul, yang berlangsung Senin (22/11), dibacakan manakib atau riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas. Ia dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman, pada 1255 Hijriah atau 1836 Masehi. Setelah menguasai Alquran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama, ia melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama terkenal lainnya.

Kemudian, ia menimba ilmu yang lebih banyak lagi di Mekkah dan Madinah. Sekalipun mendapatkan tempaan ilmu dari berbagai ulama terkenal di kedua Kota Suci itu, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruh didikan dan asuhannya atas pribadi Habib Ahmad, adalah Assayid Ahmad Zaini Dahlan. Yang belakangan ini, adalah seorang pakar ulama di Mekkah yang memiliki banyak murid dan santrinya. Baik dari Mekah sendiri maupun negara-negara Islam lainnya. Termasuk para tokoh ulama dan kiai dari Indonesia, seperti Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan, Madura, dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari, Jombang, Jatim, pendiri NU dan kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping KH Murtadha, tokoh ulama Betawi akhir abad ke-19.

Di antara murid atau orang seangkatan Ahmad Zaini Dahlan di Mekkah adalah Imam Nawawi Al-Bantani, seorang pemukiman Indonesia di Arab Saudi, pengarang kitab-kitab kuning. Di antaranya Tafsir Munir, yang bukan saja dijadikan acuan oleh ahli tafsir di Indonesia, tapi juga di hampir semua dunia Islam.

Setelah usai dan lulus menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad oleh guru besarnya itu ditugaskan untuk berdakwah dan mengajar di Mekkah. Di kota kelahiran Nabi ini, ia dicintai dan dihormati segala lapisan masyarakat, karena berusaha meneladani kehidupan Rasulullah.

Setelah tujuh tahun mengajar di Mekkah, ia kemudian kembali ke Hadramaut. Setelah tinggal beberapa lama di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu, sedang banyak-banyaknya para imigran dari Hadramaut ke Indonesia, di samping untuk berdagang juga menyebarkan agama.

Setibanya di Indonesia, ia kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu yang dinilainya masih membutuhkan dukungan pensyiaran Islam, maka tergeraklah hatinya untuk menetap di kota tersebut. Saat pertama menginjakkan kakinya di kota ini, ia melaksanakan tugas sebagai imam Masjid Wakaf yang terletak di Kampung Arab (kini Jl Surabaya). Kemudian ia membangun dan memperluas masjid tersebut.

Di samping menjadi imam, di masjid ini Habib Ahmad mengajar membaca Alquran dan kitab-kitab Islami, serta memakmurkan masjid dengan bacaan Daiba'i, Barjanzi, wirid dan hizib di waktu-waktu tertentu. Ia juga dikenal sebagai hafidz (penghapal Alquran).

Melihat suasana pendidikan agama waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah, yang letaknya berseberangan dengan Masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah Salafiyah waktu itu, hingga banyak menghasilkan ulama-ulama. Madrasah ini, yang didirikan lebih sekitar satu abad lalu, menurut Habib Abdullah Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern, yang kemudian berkembang di kota-kota lain.

Menurut sejumlah orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan penuturan ayah atau mereka yang hidup pada masa Habib Ahmad, habib ini selalu tampil dengan rendah hati (tawadhu), suka bergaul, dan marah bila dikultuskan.

Kendati demikian, kata cicitnya Habib Abdullah Bagir, ''Beliau tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah atau melihat orang yang meremehkan soal agama.'' Seperti menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Menurut Bagir, kakeknya ibarat Khalifah Umar bin Khatab, yang tegas-tegas menentang setiap melihat kemungkaran. Tidak peduli yang melakukannya itu orang awam atau pejabat tinggi.

Sebagai contoh disebutkan, para wanita, tidak akan berani lalu lalang di depan kediamannya tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Tidak peduli wanita Muslim, maupun wanita Cina dan Belanda, menggunakan tutup kepala bila lewat di tempat kediamannya. Pernah seorang isteri residen Pekalongan, dimarahi karena berpapasan dengannya tanpa menggunakan tutup kepala. Cerita-cerita yang berhubungan dengan tindakan Habib Ahmad ini sudah begitu tersebar luas di tengah masyarakat Pekalongan. Bahkan, setiap perayaan yang menggunakan bunyi-bunyian seperti drumband, mulai perempatan selatan sampai perempatan utara Jl KH Agus Salim, tidak dibunyikan karena akan melewati rumahnya. Ia juga sangat keras terhadap perjudian dan perzinahan, sehingga hampir tidak ada yang berani melakukannya di kota ini, saat beliau masih hidup.

Keberaniannya dalam menindak yang munkar itu, rupanya diketahui oleh sejumlah sahabatnya di Hadramaut. ''Saya heran dengan Ahmad bin Thalib Alatas yang dapat menjalankan syariat Islam di negeri asing, negeri jajahan lagi,'' kata Habib Ahmad bin Hasan Alatas, seorang ulama dari Hadramaut.

Habib Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf, Jl Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal pahanya, akibat jatuh, hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu ia mengalihkan kegiatannya di kediamannya, termasuk shalat berjamaah dan pengajian.

Penderitaan ini berlanjut hingga meninggalnya pada malam Ahad, 24 Rajab 1347 H atau 1928 M, dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di pekuburan Sapuro, Kodya Pekalongan. Namun peringatan khaulnya diselenggarakan setiap tanggal 14 Sya'ban, bersamaan dengan malam Nifsu Syaban, yang tiap tahun dihadiri ribuan orang, tidak jarang dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Ketika ia meninggal dunia, hampir seluruh penduduk kota Pekalongan dan sekitarnya mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir. ''Belum pernah di kota Pekalongan terdapat pengantar jenazah seperti ketika wafatnya Habib Ahmad,'' kata Habib Alwi Alatas, 70, salah seorang kerabatnya.

Karena itulah, setiap khaulnya selalu dihadiri oleh ulama terkemuka, termasuk almarhum KH Abdullah Syafe'i, dan kini putranya KH Abdul Rasyid AS, serta KH Abdurrahman Nawi, dari Jakarta.

(AS, Republika 25 Nov 99)