Friday, October 29, 2004

Kursi Penguasa

SUATU hari Bahlul naik ke tahta Raja Harun. Para pengawal berlarian ke arahnya, lalu mengusirnya dengan tongkat dan batu.
Bahlul berpaling ke arah Harun, "Aku duduk di kursi ini selama satu menit, tetapi sudah sangat menderita. Kasihan mereka yang duduk di sini
sepanjang hidupnya."

Dikutip dari buku:
Humor-humor Sufi, Menimba Kearifan Praktis, Massud Farzan, Penerbit Hikmah, Jakarta, April 2004

Thursday, October 21, 2004

Pengakuan

SESORANG mengaku dirinya Tuhan. Dia dihadapkan kepada Khalifah. Kata Khalifah:
"Tahun lalu ada sesorang yang mengaku sebagai Nabi. Lalu ia dihukum mati."
"Tindakan yang tepat," sahut orang itu, "karena aku tidak pernah mengutusnya"

Dikutip dari buku:
Humor-humor Sufi, Menimba Kearifan Praktis, Massud Farzan, Penerbit Hikmah, Jakarta, April 2004

Tuesday, October 12, 2004

RRI dan Upit Sarimanah

Laporan : Alwi Shahab


Kemarin, 11 September 2004, merupakan Hari Radio. Radio Republik Indonesia (RRI) telah berdiri sejak 59 tahun lalu. Pendirian RRI dilakukan bersamaan dengan saat pengambilalihan studio radio yang saat itu masih dikuasai Jepang. Tapi, siaran radio di Indonesia sudah dimulai sejak penjajahan Belanda. Tepatnya pada saat Perang Dunia I. Saat itu pemerintah kolonial di Negeri Belanda merasakan perlunya hubungan yang cepat dengan jajahannya di Hindia Belanda. Dan untuk komunikasi yang cepat inilah mereka membuat radio ketimbang melalui telegrafi kabel laut.

Sebelum TVRI nongol (Agustus 1963), RRI satu-satunya hiburan yang menjangkau masyarakat luas. Pendengarnya sampai ke desa-desa terpencil. Salah satu siaran favorit RRI, khususnya di Jakarta dan Jawa Barat, adalah kesenian Sunda. Kesenian ini disiarkan langsung dari Gedung Musium Nasional di Medan Merdeka Barat. Pesindennya Upit Sarimanah yang memiliki paras hitam manis dan selalu tampil berpakaian kain dan kebaya.

Banyak yang tergila-gila dengan suara Upit Sarimanah hingga saat siarannya berlangsung tiap Ahad pagi Museum Nasional ramai pengunjung. Penggemarnya ada yang dari Bandung. Saking banyaknya penggemar yang datang, saat menyanyi Upit duduk di bangku khusus yang letaknya lebih tinggi dari dalang dan para pemain tetabuhan. Ketika menyanyi dengan suara melengking-lengking para penonton bertepuk tangan dan bersuit. Lagu Upit yang pernah hit di 1950-an dan 1960-an adalah Polos Tomo.

Tahun 1970-an ketika pensiun dari sinden, Upit memilih profesi sebagai mubalighah. Sebagai jurudakwah ia mendapat banyak panggilan. Dengan suaranya yang merdu, saat dakwah dia melantunkan lagu dan berpantun berisi ajakan pada umat ber-amar ma'ruf nahi munkar. Sinden yang ramah tamah dan murah senyum ini tidak merasa kehilangan gengsi saat mendatangi kampung-kampung yang kumuh. Tidak tergiur amplop lebih besar hingga mengabaikan panggilan masyarakat tidak berpunya.

RRI pada malam Ahad suka mengadakan pertunjukan Wayang Kulit (Jawa) dan Wayang Golek (Sunda). Bukan hanya dari Studio III, siaran langsung ini juga dilakukan dari Gedung PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) yang kala itu letaknya di Jl Tambak, Pegangsaan, dan gedung Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Manggarai.

Pada 1950-an yang memiliki radio masih sedikit. Di masa itu ada yang dinamakan radio roti karena bentuk dan besarnya seperti roti. Radio ini diproduksi Philips. Setelah pada 1957 Bung Karno menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (Barat), Philips digantikan Ralin. Akibat sedikitnya radio, membuat masyarakat nimbrung di radio milik tetangga atau kenalannya jika berlangsung acara semalam suntuk di radio. Dalam acara semalam suntuk itu, pendengar patungan ngopi dan kue. Tak jarang jika acara terus berjalan hingga pukul 03.00 dinihari penikmat radio itu mendengarkan radio sambil makan nasi goreng.

Siaran RRI yang banyak digemari kala itu Orkes Melayu (OM) yang pada 1970-an menjadi dangdut. Diantara OM yang siaran tetap di RRI adalah OM Kenangan (pimpinan Husein Aidid), Om Sinar Medan (Fauzi Aseran), OM Bukit Siguntang (Abdul Chalik), dan OM Irama Agung pimpinan Said Effendi. Tidak ketinggalan Orkes Gumarang pimpinan Asbon dengan lagu-lagu Minangnya. Biduanita OM terkenal kala itu Nurseha, Ellya Khadam, dan Juhana Satta. Kalau OM di tahun 1960-an sudah mulai melagukan lagu-lagu berirama India, tapi biduanita gaek Emma Gangga masih mempertahankan irama Melayu Deli.

Tiap tahun RRI juga menyelenggarakan Pemilihan Bintang Radio jenis seriosa, keroncong, dan langgam. Bintang radio yang terjaring kala itu antara lain Bing Slamet yang kemudian mencuat sebagai pelawak. Penyanyi lainnya adalah Norma Sanger, Sam Saimun, Said Effendi, Ping Astono, Ade Ticoalu, Ebet Kadarusman, dan Sambas yang kemudian menjadi penyiar TVRI. Gedung RRI di Medan Merdeka Barat dihadiri banyak orang saat berlangsung pemilihan bintang radio. Mungkin tidak kalah meriahnya dengan kontes AFI, KDI, dan Indonesian Idol saat ini.

Orkes RRI Studio Jakarta kala itu dipimpin oleh komponis kenamaan Syaiful Bachri yang kemudian hijrah ke Malaysia saat konfrontasi. Kala itu RRI secara berkala mengadakan panggung gembira dengan pelawak-pelawak Bing Slamet, Eddy Sud, Ateng, Iskak, dan S Bagio. Walhasil kala itu manggung di RRI merupakan kebanggan bagi para artis karena suaranya didengar jutaan orang. Belum ada radio swasta satu pun seperti sekarang ini yang jumlahnya mencapai ribuan pemancar.

Tidak heran kalau Presiden Soekarno memanfaatkan RRI untuk mengemukakan ide dan politiknya. Saat berpidato, Bung Karno selalu melakukan siaran langsung di RRI. Bung Karno mempunyai penyiar dan komentator khusus, yaitu Darmosugondo yang menjadi kesayangannya. Sayangnya komentator RRI ini suka melebih-lebihkan keadaan. Seperti, acara rapat umum Bung Karno yang dihadiri ribuan orang oleh Darmosugondo dilaporkan puluhan ribu atau ratusan ribu orang.

Ketika pecah konfrontasi, RRI menambah frekwensi ke perbatasan Malaysia. Dan hampir tiap jam menyerukan ''Ganyang Malaysia'' seperti yang dikomandokan Bung Karno. Yang paling menjadi sasaran kala itu adalah PM Malaysia, Tengku Abdurahman. Para pemuda terutama dari kelompok kiri saat berdemo membakar patung PM Malaysia itu.

Titin Sumarni Si Putri Solo

Laporan : Alwi Shahab, Wartawan Republika


Ketika Titin Sumarni mulai muncul di dunia perfilman nasional pada 1953, namanya langsung meroket sebagai artis papan atas perfilman Indonesia. Mojang geulis asal Sunda kelahiran Surabaya, 28 Desember 1930, ini saat tampil pertama kali dalam film Putri Solo produksi perusahaan film Bintang Surabaya telah merebut hati penonton.

Kala itu film satu-satunya hiburan di luar rumah. Televisi baru muncul 10 tahun kemudian. Titin Sumarni dengan tahi lalat di bibirnya membuat penonton tergila-gila. Dia pun mengalahkan rivalnya kala itu, Netty Herawati, Komalasari, Ellya Rosa, dan Ermina Zaenah. Kehadirannya cukup menggairahkan perfilman nasional yang saat itu menghadapi saingan film-film Melayu (sebelum jadi Malaysia) dan India. Sayangnya, karier Titin yang gemilang di dunia film tidak diikuti kehidupan rumah tangganya. Dia bercerai dengan Mustari, seorang pegawai biasa. Kemudian, dia menikah dengan Saerang, pengusaha kaya dari Sulawesi Utara.

Film terakhirnya Janjiku (1956). Lama tidak muncul di dunia film, banyak orang melupakanny. Tiba-tiba Titin Sumarni dikabarkan dalam keadaan sakit. Bukan hanya itu, setelah kembali menjanda, hidupnya melarat, tidak memiliki rumah dan tidak punya uang untuk berobat. Rekan-rekan artis pun mengumpulkan dana sebelum ia meninggal dunia pada 15 Mei 1966 dalam usia 35 tahun.

Hal yang hampir serupa juga terjadi pada Tan Tjeng Bok. Sebagai penyanyi keroncong dan pemain sandiwara (1920-1940), dia pernah mencapai puncak kariernya. Ketika jadi bintang keliling Dardanella, Tan Tjeng Bok laksana magnet, banyak menarik penonton perempuan.

Di samping digelar Si Item, Tan juga digelari Douglas Fairbank (bintang Hollywood terkenal kala itu). Ia memiliki mobil Studebaker saat hanya beberapa gelintir orang Indonesia memiliki mobil. Raden Mochtar, bintang yang juga laris ketika itu, hanya memiliki sebuah mobil. Tan Tjeng Bok secara rutin muncul di TVRI dalam Komedia Jakarta dan Senyum Jakarta. Tapi, kekayaan dan ketenaran yang diraihnya sejak muda ludes saat menjelang tuanya.

Menjelang meninggal pada 1982 (lahir 1900), seperti Titin Sumarni, Si Item juga jatuh melarat. Ketika ia dirawat di rumah sakit, sebuah surat kabar di Ibu Kota membuka Dompet Tan Tjeng Bok. A Hamid Arief ketika meninggal (1992) juga dikabarkan tidak memiliki rumah sendiri. Padahal, ia sejak 1940-an telah malang-melintang dalam dunia film dan hiburan.

Masih banyak lagi contoh sejumlah artis, penyanyi, maupun selebriti saat meninggal dunia dalam keadaan merana dan miskin. Tapi, SM Ardan (72), dari Sinematek Indonesia, tidak sependapat bila dikatakan artis angkatan lama 'lupa darat', hidup berfoya-foya, tidak memikirkan hidup masa depan dibandingkan artis dan selebriti sekarang ini. Contohnya, Inul Darasista yang memiliki rumah mewah seharga lima miliar rupiah, lebih bersifat gengsi katimbang investasi masa depan.

Bahkan, Ardan yang pengetahuannya di dunia film dianggap sebagai 'kamus berjalan', menilai artis sekarang ini lebih banyak menghamburkan uang dan kurang berpikir untuk masa depan. Sebagai contoh, ia menyebutkan sejumlah artis yang menghabiskan ratusan juta rupiah saat merayakan ulang tahun. Termasuk untuk merayakan ulang tahun anaknya. Ini menunjukkan bahwa efek kehidupan glamor sekarang ini jauh lebih dahsyat katimbang artis tempo doeloe. Padahal, kalau mereka sudah tidak terkenal lagi akan dilupakan orang, seperti Titin Sumarni dan sejumlah artis masa lalu.

Di dunia film bersamaan dengan Titin Sumarni, muncul Nurnaningsih. Ia meninggal pada 21 Maret 2004. Pernah nasib sial menimpa dirinya. Sebuah foto seorang wanita yang tubuhnya hampir tidak berpakaian telah di-crope dan dimontase dengan muka Nurnaningsih. Tentu saja warga Jakarta menjadi heboh dan berusaha mendapatkan 'foto telanjang' itu. Bahkan, lebih heboh dari VCD 'Bandung Lautan Asmara'.

Meskipun hanya berbikini, pada tahun 1950-an pakaian seperti itu sudah dianggap menghebohkan. Dengan cara berbisik-bisik para pria berusaha mendapatkannya. Tentu saja saat itu belum dikenal video. Nurnaningsih mencuat namanya karena film Krisis produksi Perfini (1953) yang disutradai Usmar Ismail. Film ini bertahan selama lima minggu di bioskop kelas satu, Metropole. Masih berminggu-minggu lagi main di bioskop kelas dua.

Film Krisis menceritakan 'krisis perumahan' di Jakarta saat banyak pendatang berbondong-bondong di Jakarta. Termasuk mereka yang kembali dari hijrah ke Yogyakarta setelah revolusi (1945-1950). Akibatnya, satu rumah ditempati oleh beberapa keluarga. Terjadilah pertengkaran karena rebutan ke kamar mandi, pertengkaran antaristri dan anak-anak. Selain Nurnaningsih, para pemain lainnya Rendra Karto dan Tina Mellinda. Pada awal 1960-an muncul film Tiga Dara yang juga sukses besar. Pemainnya antara lain Mieke Wijaya, Indriati Iskak, dan Citra Dewi.

Mak Comblang, Si Tukang Ngejodoin

Laporan : Alwi Shahab, Wartawan Republika


Istilah 'jodoh di tangan hansip' masih cukup populer sekarang. Maksudnya, sebagai ejekan terhadap para muda dan mudi yang kawin setelah sebelumnya ditangkap hansip karena sedamg 'bermesraan'. Umumnya terjadi pada tengah malam. Tapi, sekarang hansip yang punya tugas jaga keamanan dan ketertiban kampung tidak perlu lagi mencampuri urusan demikian. Sekarang bukan rahasia lagi hubungan sebelum nikah seolah-olah menjadi hal biasa. Meminjam istilah psikolog terkenal, Sartono Mukadis, muda-mudi kita sudah lebih matang di bidang seks. Terlihat dalam sinetron dan berbagai tayangan di televisi yang melibatkan muda-mudi sejak SLTP. Padahal, kemandirian mereka jauh lebih mundur dibanding muda-mudi angkatan sebelumnya.

Dalam ihwal perjodohan ini, di masyarakat Betawi dikenal adanya 'Mak Comblang'. Istilah kerennya mediator atau perantara dalam hal perjodohan muda-mudi. Maklum, sampai 1950-an cukup banyak gadis yang masih dipingit. Untuk keluar rumah saja mesti ditemani keluarga atau pembantu. Tapi, ada acara khusus seperti pesta perkawinan atau 'keriyaan' si gadis yang sudah disiapkan berdandan dan bersolek seindah mungkin tidak jarang ditaksir si ibu untuk jadi calon mantu. Bahkan, tidak jarang si pemuda yang naksir dan minta dikawinkan oleh gadis idamannya. Nah, di sinilah diperlukan adanya Mak Comblang. Sesuai namanya, dia perempuan berumur (paruh baya) dan sudah memiliki keahlian terampil dalam mencari calon menantu.

Tiap keluarga yang akan dikunjungi Mak Comblang akan menampilkan anak gadisnya setelah lebih dulu didandani seindah mungkin. Si ibu pun sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk Mak Comblong dan rombongan. Ketika terjadi pembicaraan antara orang tua dan Mak Comblang, si gadis lebih dulu masuk ke kamar. Setelah terjadi kecocokan, sang jejaka pun sudah berani datang ke rumah si gadis ngelancong. Ngelancong pertama kali biasanya si jejaka ditemani kawannya. Ia belum berani datang sendiri. Dalam ngelancong ini si jejaka belum bertemu secara langsung dengan gadis pujaannya karena tujuannya adalah memperkenalkan diri kepada keluarga si gadis.

Apalagi, 'colak-colek' seperti pacaran sekarang. Setelah itu ngelancong agak sedikit lebih bebas. Tapi, tetap masih dalam pengawasan orang tua si gadis. Setelah segalanya berjalan lancar, terjadilah acara melamar berupa permintaan resmi dari keluarga pria kepada keluarga wanita. Saat itu juga keluarga pria akan mendapat jawaban dari pihak wanita, apakah lamarannya diterima atau ditolak. Kemudian, dilanjutkan dengan tanda putus atau tunangan. Yang berarti calon none mantu telah terikat dan tidak lagi dapat diganggu oleh pihak lain. Begitu pula dengan calon tuan mantu. Setelah itu dilanjutkan dengan akad nikah. Masyarakat Betawi biasanya menyelenggarakan akad nikah hari Jumat.

Alasannya, pada hari Jumat orang Betawi tidak pergi jauh-jauh dari rumahnya karena ada kewajiban Shalat Jumat. Sebelum akad nikah diadakan acara 'bawa tanda putus'. Pada acara ini diserahkan bawaan tanda putus. Setelah acara ini ditentukan hari dan tanggal pernikahan. Mahar atau mas kawin menjadi pembicaraan pokok. Pada tempo doeloe dengan mendengar permintaan dari pihak calon none mantu, seorang utusan dari keluarga tuan calon mantu akan segera memahami berapa jumlah biaya yang diperlukan. Ada pun ketika menyebut maharÿ20atau mas kawin, orang Betawi punya tatakrama sendiri. Dia tidak akan menyebut langsung apa dan berapa permintaan yang diinginkan. Biasanya pihak calon none mantu mengutarakannya dengan gaya bahasa atau ungkapan yang tersirat.

Misalnya, ''None kita mintanye mate bandeng seperangkat.'' Berarti pihak si gadis menghendaki mas kawin seperangkap perhiasan emas bermata berlian. Jika pihak gadis mengatakan, ''None kita mintanye mate kembung seperangkat'', berarti mas kawin yang diminta seperangkat perhiasan emas bermata berlian. Ketika pihak pengantin pria menyerahkan tanda putus, beberapa jenis bawaan yang mengiringi mahar, antara lain sirih nanas lamaran yang melambangkan pernyataan rasa hormat dan ungkapan rasa gembira pihak keluarga pria kepada calon besar. Bawaan lain adalah miniatur masjid berisi jumlah uang lamaran. Masjid sendiri diartikan sebagai lambang keteguhan akidah Islamiyah. Tidak boleh ketinggalan sepasang roti buaya yang perempuannya menggendong seekor buaya kecil (anak buaya) di punggungnya.

Ini sebagai lambang telah berakhirnya masa bujangan dengan melaksanakan pernikahan. Buaya menurut pengertian orang Betawi adalah jenis satwa yang ulet, panjang umur, kuat, dan juga termasuk satwa yang sabar dan setia. Tapi, buaya, seperti dikemukakan tokoh Betawi KH Irwan Sjafi'ie, melambangkan sifat orang Betawi yang sabar dan santun, tapi akan bertindak tegas bila diganggu. Biasanya pada malam resepsi yang sampai 1960-an diadakan di rumah-rumah dengan mamasang pelampang diadakan malam hiburan. Ada yang diimeriahkan oleh orkes gambus atau orkes melayu. Maka, sejumlah pemain dangdut kala itu, seperti Johana Satar, Ellya Khadam, Elvie Sukaesih, M Mashabi, dan Munif Bahasuan, terlihat manggung di pesta pernikahan di kampung-kampung. Belum ada wanita yang berani joget di panggung saat itu.

Kamp Tawanan Perang Jepang

Laporan : Alwi Shahab


Kerajaan Belanda hanya mengakui kemerdekaan RI pada 27 Desember 1949 saat ditandatanganinya penyerahan kedaulatan sebagai hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Bukan 17 Agustus 1945 seperti yang kita proklamasikan. Tapi, sejak pendudukan Jepang di Indonesia (Maret 1942-Agustus 1945) dianggap pula sebagai berakhirnya penjajahan dari kolonial Belanda. Sekalipun Angkatan Perang Belanda NICA (Koninklijk Nederlands Indisch Lager) beberapa bulan setelah proklamasi datang ke Indonesia --membonceng pasukan Sekutu--, tapi harus menghadapi perlawanan fisik dari bangsa Indonesia.

Tapi, Belanda mungkin mengira kekuasaannya masih akan langgeng. Karenanya pada 1948 ia membangun kota satelit, yaitu Kebayoran Baru. Kawasan di Jakarta Selatan ini kala itu masih merupakan sebuah kampung luar kota yang dihuni warga Betawi. Kini Kebayoran Baru telah padat penduduk dan berkembang sangat luar biasa dengan pusat pertokoan, mal, klab malam, dan berbagai ruang publik lainnya.

Baiklah kita kembali dulu ke masa pendudukan Jepang. Warga Belanda yang selama ratusan tahun mempunyai status sebagai warganegara kelas satu, benar-benar dalam keadaan menderita. Warga Belanda yang jumlahnya kala itu cukup besar ini ditawan balatentara Dai Nippon. Kemudian bersama-sama tentara Inggris dan Australia disekap di kamp-kamp tahan militer dan sipil. Diantara warga Eropa hanya orang Jerman yang mendapat pengecualian karena bersama dengan Italia merupakan sekutu Jepang.

Menurut catatan, lebih 100 ribu tawanan perang warga Eropa di internir (ditawan) Jepang. Mereka ditempatkan diberbagai kamp di seluruh Indonesia. Banyak cerita mengerikan dan memilukan tentang nasib tawanan di kamp interniran. Dengan semboyan Untuk Kemakmuran Asia, Jepang bermaksud untuk menghilangkan semua pengaruh Barat. Semua orang yang bukan Asia nasibnya akan berakhir dalam kamp-kamp tawanan perang dan sipil.

Ada yang menarik di kamp tawanan ini. Laki-laki dan perempuan dipisahkan guna mencegah terjadinya hubungan seksual. ''Akibatnya terjadi hubunganm homoseksual dan lesbian di kamp-kamp,'' tulis Joost Cote dalam Recalling the Indies. Bahkan hubungan seksual antara penjaga kamp Jepang dan tahanan perempuan pun terjadi. Seorang tahanan wanita menulis, ''Saya tidak akan lupa apa yang mereka lakukan pada bapak saya. Kempetei (polisi militer Jepang) menahan dia bersama kakak saya. Kakak saya harus duduk di depan bapak dan harus menyaksikan bapak ditusuk dengan tongkat merah membara yang dibungkus batok kelapa yang dibakar. Kemudian dicap di muka bapak dalam waktu yang lama.'' Masih banyak lagi kisah-kisah menyedihkan dalam kamp-kamp tahanan perang dan sipil Jepang.

Di Jakarta terdapat belasan tempat yang oleh Jepang dijadikan sebagai kamp tawanan perang dan sipil. Seperti tempat penampungan kuli-kuli kontrak di Sluiweg (kini Matraman) yang berisi tak kurang dari tiga ribu tawanan laki-laki Belanda dari berbagai tempat di Batavia. Jumlahnya makin membengkak ketika September 1944 ditempatkan pula para wanita dan anak-anak. Ketika September 1945, setelah Jeopang tekuk lutut, tentara sekutu menemukan 1.900 tawanan Belanda dalam keadaan menyedihkan.

Di Bukitduri yang kini menjadi kompleks pertokoan di Jatinegara, juga dijadikan tempat tawanan pria Belanda dan Eropa. Di Jl Jagamonyet (kini Jl Suryopranoto) bekas markas KNIL pun sempat dijadikan tempat tawanan perang KNIL asal Maluku. Sedangkan, di penjara Glodok (kini pertokoan Harco) jadi kamp tawanan pertama orang Eropa. Tawanan perang yang dipenjara di kamp ini berjumlah 1.500 orang yang kebanyakan serdadu Inggris dan Australia. Rumah Sakit Jiwa di Grogol, Jakarta Barat, menjadi kamp tawanan 1.400 orang Belanda. Sementara di kamp pengungsi Koja, Tanjung Priok, mendekam 800 tahanan Inggris yang didatangkan dari Bandung. Demikian pula di Kampung Makassar dan puluhan tempat lainnya yang tersebar di Jakarta.

Jauh di masa sebelumnya hubungan Belanda dan Jepang memiliki sejarah yang kompleks. Pada 1899 penduduk Jepang di Hindia Belanda memperoleh kedudukan hukum yang sama dengan orang Eropa. Warga Jepang menjadi satu-satunya kelompok nonEropa yang statusnya disamakan dengan warga Eropa sebagai hasil Perjanjian Dagang 1896. Sekitar 1900 terdapat sekitar 500 orang Jepang di Hindia Belanda yang mayoritas wanita penghibur. Pada awal masa VOC juga banyak penghibur dari Pulau Dasima (Jepang). Bahkan, Gubernur Jenderal Jacques Specx (1629-1632) pengganti JP Coen memiliki seorang putri bernama Sara, hasil dari kumpul kebo-nya dengan wanita Jepang.

Pada 1940 menjelang Perang Dunia II jumlah orang Jepang meningkat pesat menjadi 8000 orang. Mereka umumnya hidup secara tertutup. Konon banyak yang jadi mata-mata untuk negaranya yang memudahkan penguasa Jepang memperoleh kemenangan pesat ketika menyerbu Hindia Belanda.

Pada awal Perang Dunia II Belanda masih bersikap netral terhadap Jepang. Baru Juli 1941 pemerintah Hindia Belanda menanggalkan sikap netralnya dengan berpihak pada AS (Sekutu) seiring pelaksanaan embargo atas ekspor ke Jepang setelah invasi Jepang ke Indochina Selatan. Pada Januari 1942 balatengara Dai Nippon dengan semangat bushido-nya mulai menyerang Hindia Belanda. Hanya dalam tempo dua bulan (8 Maret 1942) Angkatan Perang Belanda (KNIL) bertekuk lutut.

Cikini Atawa Cekini

Laporan: ALWI SHAHAB

Jalan Cikini Raya merupakan salah satu kawasan elit di Jakarta. Kawasan yang bertetangga dengan Menteng dan Gondangdia ini adalah juga salah satu kampung tua di Jakarta. Sampai akhir 1960-an, Cikini dengan kebun binatangnya, menjadi tempat rekreasi di Jakarta. Di kebun binatang ini kemudian Gubernur DKI Ali Sadikin membangun Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia pun menggusur bioskop Garden Hall, bioskop kelas satu di Jakarta. Podium, sebuah bioskop lebih kecil di dekatnya juga tergusur. Di sebelah TIM yang juga merupakan bagian dari rumah pelukis Raden Saleh sampai 1970-an masih terdapat kolam renang Cikini. Kolam renang yang dibangun pada 1930-an ini sampai 1970-an masih berdiri dan banyak didatangi warga ibukota dari berbagai tempat. Mendatangi Cikini yang oleh warga Betawi dilafalkan Cekini ini pada tempo dulu, seperti dikemukakan H Amarullah Asbah, mantan anggota DPRD DKI Jakarta, di belakang Jl Raya Cikini dulu banyak terdapat perkampungan Betawi. Antara lain Cikini Kecil, lokasinya di belakang Hotel Sofyan Cikini sekarang. Kini, seperti juga banyak kampung lainnya di Jakarta, Cikini Kecil sudah tidak tersisa. ''Tidak ada pemukiman Betawi lagi karena arealnya telah dibeli atau dibebaskan developer (pengembang),'' ujar Amarullah yang lahir dan besar di Cikini. Disebut Cikini Kecil karena arealnya tak begitu luas. Di pemukiman Betawi ini, sambungnya, dulunya terdapat sebuah makam keramat.

Tokoh yang sangat terkenal di Cikini Kecil sampai 1960-an adalah Bir Ali. Nama sesungguhnya Muhammad Ali. Disebut demikian karena ia suka minum bir. Bir Ali yang mantan militer ini pernah malang melintang di dunia kejahatan. Ia pernah menembak mati Kun Utoyo. Korban dibunuh ketika hendak naik motor membonceng istri Bir Ali. Bir Ali juga pernah menembak mati Ali Badjened, seorang kaya raya di Jakarta. Konon, bersama Kusni Kasdut ia pernah terlibat perampokan emas di Museum Nasional pada pertengahan 1950-an. Ketika ditahan di LP Cipinang ia mengajar ngaji para napi lainnya. Menurut seorang yang kenal dekat dengannnya, Bir Ali juga pernah memadamkan pemberontakan para napi di LP Cipinang. Amarullah sendiri ketika kecil tinggal di tepi Ciliwung di Kampung Cikini Binatu (kini Jl Raden Saleh II).

Disebut demikian karena di situ banyak tinggal tukang binatu yang memanfaatkan kali Ciliwung yang kala itu masih jernih. Langganan mereka adalah tuan dan nyonya Belanda yang tinggal di Cikini. Di sini juga banyak tinggal tukang delman (sado). ''Saya sendiri dari keluarga tukang delman,'' ujar Amarullah. Kala itu, Kampung Cikini yang kini kumuh banyak terdapat lapangan tempat kandang kuda. Kuda-kuda oleh tukang delman di Cikini juga dimandikan di Ciliwung. Sebelumnya, di belakang Pasar Cikini yang megah depan stasiun kereta api Cikini, ada kampung Cikini Kramat Kamboja. Kampung yang juga dikenal sebagai Gang Ampiun ini dilintasi kereta api barang yang mangkal di Gang Kenari (samping FK UI). Yang masih menjadi peninggalan tempo dulu di sini adalah para pedagang yang berjejer hingga ke stasiun KA Cikini. Para tukang kembang di Pasar Cikini sudah merupakan generasi turun temurun sejak kakek mereka.

Sampai 1970-an, di sini tinggal H Asnawi, ahli pengobatan tulang yang oleh orang Jakarta di sebut dukun pateh. Entah berapa ribu orang penderita patah tulang yang telah ditolongnya. Saya sendiri pada 1953 ketika tangan patah karena main bola di Lapangan Ikada (Monas) dibawa ke H Asnawi. Di kampung ini juga tinggal perintis musik dangdut (dulu bernama orkes Melayu) dari keluarga Harris. Seperti, A Harris dan Bahfen Harris. A Harris yang terkenal dengan lagu Kudaku Lari pernah kawin dengan bintang film Malaysia, Rodiah, janda penyanyi dan aktor P Ramlee, bintang legendaris Malaysia. Di Jl Raya Raden Saleh terdapat RS DGI Cikini yang dulunya merupakan rumah pelukis kelahiran Semarang ini. Di jalan ini ada sebuah poliklinik yang pernah dihebohkan sebagai tempat praktek aborsi. Entah sudah berapa ribu janin dibunuh di poliklinik ini yang terbanyak akibat hamil di luar nikah. Restoran Oasis yang terdapat di jalan ini masih tampak megah hingga kini. Gedung ini dibangun awal abad ke-20 oleh seorang baron Belanda yang pada 1940 ditangkap atas tuduhan menjadi kaki tangan Jerman. Restoran ini dihiasi dengan banyak lukisan, patung, dan permadani sangat mahal. Tidak ketinggalan sejumlah barang antik dari Prancis, Jerman, dan Belanda menjadi koleksi gedung ini.

Sesudah 1940, gedung Oasis, menurut Willard A Hanna dalam Hikayat Jakarta, berturut-turut digunakan sebagai tempat tinggal gubernur jenderal yang beristrikan orang Amerika (yakni sebagai tempat persembunyian mereka ketika tentara Jepang berada di ambang pintu). Oasis sempat dijadikan sebagai tempat tinggal para opsir tinggi Jepang. Sesudah Perang Dunia II gedung itu menjadi tempat tinggal pejabat perwakilan Angkatan Laut AS yang bergabung dalam tentara Sekutu. Ketika masih menjabat Menristek dan Ketua BPPT, BJ Habibie sering menjamu tamu-tamu asing di tempat ini. Menulis Cikini terasa kurang afdol tanpa menyebut Masjid Jami Cikini yang dibangun Raden Saleh. Amarullah memaparkan, masjid yang berusia lebih satu abad ini dulu menjadi tempat mengajar Habib Salim Bin Djindan dan Habib Alwi Djamalullail. Keduanya dikenal sebagai dai vokal dan seringkali tanpa tedeng aling-aling melontarkan kritik pada pemerintah kolonial Belanda. Mereka beberapa kali dijebloskan dalam penjara baik pada masa Belanda, Jepang, hingga Pemerintahan Soeharto.

Orang Betawi Menyambut Ramadhan

ALWI SHAHAB, WARTAWAN REPUBLIKA

Bulan Ramadhan yang akan tiba beberapa hari lagi bagi warga Betawi sangat dinanti-nanti. Di perkampungan-perkampungan Betawi, terutama di masa-masa lalu, saat bulan Puasa rakyat tidak berbuat sesuatu yang mencolok, seperti merokok atau makan-minum di luar rumah. Mereka rata-rata melakukan ibadah puasa sehingga anjuran Gubernur dan MUI agar kita menghormati orang berpuasa tidak perlu dikumandangkan. Bahkan, sampai 1960-an tak ada warung makanan dan minuman yang buka saat Ramadhan.

Anak Betawi sejak usia tujuh tahun telah dididik kedua orang tuanya untuk berpuasa. Mula-mula setengah hari sampai Dzuhur. Bahkan, tidak jarang mereka yang berusia 10 tahun berpuasa hingga Maghrib.

Ada satu sifat orang Betawi dalam menyambut para tamu yang datang ke ke diamannya, yaitu menyegerakan menyuguhi tamu. Tetapi, selama bulan Ramadhan pada siang hari suguhan dipastikan tidak akan keluar meski air teh atau air putih.

Kentalnya orang Betawi terhadap Islam karena sejak kecil telah 'dibuang ngaji'. Artinya, dididik membaca Alquran. Mengaji bagi mereka suatu keharusan. Karena itu, di samping bersekolah di pagi hari, anak-anak Betawi rata-rata mengaji pada siang atau sore hari. Tidak heran pengajian-pengajian, terutama di masa lalu, hidup subur di perkampungan Betawi. Sementara, orang dewasanya mengaji di masjid-masjid atau mushala. Bukan hanya mengaji Alquran, tapi juga mempelajari fikih, ushuluddin, hukum, dan pengetahuan mengenai Islam, di samping bahasa Arab sampai ke tasawuf. Mereka betul-betul hablum minallah dan hablum minannas, berbakti pada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia.

Sehari sebulan puasa, di kampung-kampung anak-anak memukul beduk menyambut datangnya bulan suci. Mereka memukul beduk sepanjang hari hingga Maghrib. Hanya berhenti sebentar dekat Dzuhur dan Ashar.

Yang jadi pemandangan khas sehari menjelang Ramadhan, para ibu dan gadis bersuci dengan keramas atau mencuci rambut dengan air arang merang di pinggir-pinggir kali yang kala itu airnya jernih. Maklum belum ada shampo seperti sekarang. Itu sebagai lambang membersihkan diri dan hati menyambut bulan suci.

Para ibu masak lebih enak dari hari-hari biasa. Jauh hari sebelumnya mereka telah membuat kue, seperti dodol, wajik, rengginang, dan tape uli. Pokoknya selama Ramadhan makanan yang disuguhkan lebih enak ketimbang hari-hari biasa.

Ada istilah bagi bapak-bapak warga Betawi, yakni 'mencari dalam 11 bulan untuk satu bulan'. Pada beberapa perkampungan Betawi hal ini masih berlaku. Maksudnya, selama 11 bulan mereka bekerja keras mencari nafkah dan satu bulan penuh untuk ibadah. Tidak jarang para orang tua di malam hari setelah Shalat Tarawih melanjutkan bertadarus Alquran dan Tahajud hingga Sahur.

Siangnya baru mereka tidur. Hingga selama Ramadhan umumnya mereka bisa khatam Alquran sebanyak tiga kali. Tiap malam semua masjid dan surau (langgar) penuh jamaah melaksanakan Tarawih.

Sebulan sebelum Ramadhan masyarakat Betawi sudah menyambutnya dengan 'andilan'. Artinya, warga beramai-ramai patungan membeli sapi atau kerbau yang akan dipotong menjelang Idul Fitri. Hampir tiap rumah ikut andilan. Tidak heran ada kampung yang membeli kerbau atau sapi hingga 50 ekor.

Sebagai masyarakat yang kental dalam agama, tentu saja warga Betawi menyisihkan pula daging yang mereka potong untuk fakir miskin. Ran Ramelan, dalam bukunya Condet Cagar Budaya menulis bahwa di kawasan ini saat memotong kerbau ramai sekali. Tradisi demikian sampai saat ini masih terus berlangsung di perkampungan-perkampungan Betawi.

Beberapa hari menjelang bulan Ramadhan, seperti juga setelah Hari Raya Idul Fitri, warga Betawi banyak yang mengunjungi permakaman untuk berziarah kepada keluarga yang lebih dulu meninggalkan mereka. Orang Betawi tidak mengenal istilah 'nyekar'. Tapi, ziarah kubur.

Mereka yang bertempat tinggal di perkampungan masyarakat Betawi jangan khawatir terlambat sahur. Untuk menyiapkan makan sahur, orang Betawi sudah bangun pada pukul 01.00 atau 02.00 dini hari. Pada jam-jam tersebut para pemuda mengitari rumah-rumah sambil membawa kencrengan atau memukul tiang listrik berseru, ''Saur ..... saur .... saur.'' Sekarang ada yang menggantikan dengan orkes dangdut.

Kalau Allah tidak Ikut Campur

NASRUDDIN membeli kain dan ingin membuat gamis. Maka, dia mendatangi tukang jahit yang terkenal di daerahnya."Kapan selesai?" tanya Nasruddin."Insya Allah, seminggu deh," jawab tukang jahit.

Seminggu kemudian, Nasrudin datang lagi. Ternyata, kainnya belum diapa-apain. "Insya Allah, tiga hari kelar," kata tukang jahit menyakinkan Nasruddin. Nasruddin, meskipun kecewa, akhirnya menerima juga. Dan, tepat tiga hari kemudian, dia datangi lagi si tukang Jahit. Eh... ternyata gamisnya belum selesai juga. "Kembalilah dua hari lagi. Insya Allah, gamis Tuan sudah selesai."

"Memang pasnya berapa hari sih kalau Allah nggak ikut campur?" tanyaNasruddin jengkel.

Dikutip dari buku: Hikmah Jenaka ala Nasruddin Hoja, Dwi Bagus MB, Penerbit Al Bayan Mizan, Bandung, April 2004