Tuesday, October 12, 2004

Cikini Atawa Cekini

Laporan: ALWI SHAHAB

Jalan Cikini Raya merupakan salah satu kawasan elit di Jakarta. Kawasan yang bertetangga dengan Menteng dan Gondangdia ini adalah juga salah satu kampung tua di Jakarta. Sampai akhir 1960-an, Cikini dengan kebun binatangnya, menjadi tempat rekreasi di Jakarta. Di kebun binatang ini kemudian Gubernur DKI Ali Sadikin membangun Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia pun menggusur bioskop Garden Hall, bioskop kelas satu di Jakarta. Podium, sebuah bioskop lebih kecil di dekatnya juga tergusur. Di sebelah TIM yang juga merupakan bagian dari rumah pelukis Raden Saleh sampai 1970-an masih terdapat kolam renang Cikini. Kolam renang yang dibangun pada 1930-an ini sampai 1970-an masih berdiri dan banyak didatangi warga ibukota dari berbagai tempat. Mendatangi Cikini yang oleh warga Betawi dilafalkan Cekini ini pada tempo dulu, seperti dikemukakan H Amarullah Asbah, mantan anggota DPRD DKI Jakarta, di belakang Jl Raya Cikini dulu banyak terdapat perkampungan Betawi. Antara lain Cikini Kecil, lokasinya di belakang Hotel Sofyan Cikini sekarang. Kini, seperti juga banyak kampung lainnya di Jakarta, Cikini Kecil sudah tidak tersisa. ''Tidak ada pemukiman Betawi lagi karena arealnya telah dibeli atau dibebaskan developer (pengembang),'' ujar Amarullah yang lahir dan besar di Cikini. Disebut Cikini Kecil karena arealnya tak begitu luas. Di pemukiman Betawi ini, sambungnya, dulunya terdapat sebuah makam keramat.

Tokoh yang sangat terkenal di Cikini Kecil sampai 1960-an adalah Bir Ali. Nama sesungguhnya Muhammad Ali. Disebut demikian karena ia suka minum bir. Bir Ali yang mantan militer ini pernah malang melintang di dunia kejahatan. Ia pernah menembak mati Kun Utoyo. Korban dibunuh ketika hendak naik motor membonceng istri Bir Ali. Bir Ali juga pernah menembak mati Ali Badjened, seorang kaya raya di Jakarta. Konon, bersama Kusni Kasdut ia pernah terlibat perampokan emas di Museum Nasional pada pertengahan 1950-an. Ketika ditahan di LP Cipinang ia mengajar ngaji para napi lainnya. Menurut seorang yang kenal dekat dengannnya, Bir Ali juga pernah memadamkan pemberontakan para napi di LP Cipinang. Amarullah sendiri ketika kecil tinggal di tepi Ciliwung di Kampung Cikini Binatu (kini Jl Raden Saleh II).

Disebut demikian karena di situ banyak tinggal tukang binatu yang memanfaatkan kali Ciliwung yang kala itu masih jernih. Langganan mereka adalah tuan dan nyonya Belanda yang tinggal di Cikini. Di sini juga banyak tinggal tukang delman (sado). ''Saya sendiri dari keluarga tukang delman,'' ujar Amarullah. Kala itu, Kampung Cikini yang kini kumuh banyak terdapat lapangan tempat kandang kuda. Kuda-kuda oleh tukang delman di Cikini juga dimandikan di Ciliwung. Sebelumnya, di belakang Pasar Cikini yang megah depan stasiun kereta api Cikini, ada kampung Cikini Kramat Kamboja. Kampung yang juga dikenal sebagai Gang Ampiun ini dilintasi kereta api barang yang mangkal di Gang Kenari (samping FK UI). Yang masih menjadi peninggalan tempo dulu di sini adalah para pedagang yang berjejer hingga ke stasiun KA Cikini. Para tukang kembang di Pasar Cikini sudah merupakan generasi turun temurun sejak kakek mereka.

Sampai 1970-an, di sini tinggal H Asnawi, ahli pengobatan tulang yang oleh orang Jakarta di sebut dukun pateh. Entah berapa ribu orang penderita patah tulang yang telah ditolongnya. Saya sendiri pada 1953 ketika tangan patah karena main bola di Lapangan Ikada (Monas) dibawa ke H Asnawi. Di kampung ini juga tinggal perintis musik dangdut (dulu bernama orkes Melayu) dari keluarga Harris. Seperti, A Harris dan Bahfen Harris. A Harris yang terkenal dengan lagu Kudaku Lari pernah kawin dengan bintang film Malaysia, Rodiah, janda penyanyi dan aktor P Ramlee, bintang legendaris Malaysia. Di Jl Raya Raden Saleh terdapat RS DGI Cikini yang dulunya merupakan rumah pelukis kelahiran Semarang ini. Di jalan ini ada sebuah poliklinik yang pernah dihebohkan sebagai tempat praktek aborsi. Entah sudah berapa ribu janin dibunuh di poliklinik ini yang terbanyak akibat hamil di luar nikah. Restoran Oasis yang terdapat di jalan ini masih tampak megah hingga kini. Gedung ini dibangun awal abad ke-20 oleh seorang baron Belanda yang pada 1940 ditangkap atas tuduhan menjadi kaki tangan Jerman. Restoran ini dihiasi dengan banyak lukisan, patung, dan permadani sangat mahal. Tidak ketinggalan sejumlah barang antik dari Prancis, Jerman, dan Belanda menjadi koleksi gedung ini.

Sesudah 1940, gedung Oasis, menurut Willard A Hanna dalam Hikayat Jakarta, berturut-turut digunakan sebagai tempat tinggal gubernur jenderal yang beristrikan orang Amerika (yakni sebagai tempat persembunyian mereka ketika tentara Jepang berada di ambang pintu). Oasis sempat dijadikan sebagai tempat tinggal para opsir tinggi Jepang. Sesudah Perang Dunia II gedung itu menjadi tempat tinggal pejabat perwakilan Angkatan Laut AS yang bergabung dalam tentara Sekutu. Ketika masih menjabat Menristek dan Ketua BPPT, BJ Habibie sering menjamu tamu-tamu asing di tempat ini. Menulis Cikini terasa kurang afdol tanpa menyebut Masjid Jami Cikini yang dibangun Raden Saleh. Amarullah memaparkan, masjid yang berusia lebih satu abad ini dulu menjadi tempat mengajar Habib Salim Bin Djindan dan Habib Alwi Djamalullail. Keduanya dikenal sebagai dai vokal dan seringkali tanpa tedeng aling-aling melontarkan kritik pada pemerintah kolonial Belanda. Mereka beberapa kali dijebloskan dalam penjara baik pada masa Belanda, Jepang, hingga Pemerintahan Soeharto.

No comments: