Friday, July 22, 2005

Gong Xi Fa Cai

Hari Rabu 9 Februari 2005 bertepatan 1 Chia Gwee 2005 merupakan tahun baru Imlek. Gong Xi Fa Chai yang artinya kira-kira: ''Semoga Makmur Selalu'. Imlek tahun ini jatuh pada shio ayam. Bagi masyarakat Tionghoa punya arti penting untuk melihat nasib, jodoh, dan rezeki. Ayam diartikan sebagai binatang yang jinak kalau dielus-elus.

Karenanya harus hati-hati dalam mencari rezeki agar tidak mabur seperti ayam, apalagi sampai ke patok. Karena itu, berusaha di tahun ayam harus punya kesabaran tinggi. Di hari Imlek si Mamat mengucapkan selamat tahun baru kepada tauwkee (majikan) tempat ia bekerja di Manggabesar Glodok. Kita idup kan kudu saling hormat menghormati dan harga menghargai, pikirnya.

Menjelang Imlek rumah warga Tionghoa dibersihkan. Lantai dipel dan disikat, sedang dinding dikapur. Karena perayaan Imlek yang di daratan Cina bersamaan dengan musim semi, untuk mengingatkan perjalanan Zhao Jun atawa Dewa Dapur kelangit melapor pada Siang Tee tentang kelakuran orang-orang seisi rumah yang dicatat komplit ia orang punya perbuatan. Sedangkan di klenteng semua 'orang suci' meninggalkan posisinya untuk melaporkan suka duka di rayon mereka kepada Thi Kong. Sebagai perpisahan kepada 'orang suci' ini disiapkan sajian yang melimpah dan lezat-lezat. Tentu saja kemudian hidangan ini dimakan oleh keluarga yang menghidangkannya.

Sejak kedatangan para imigran dari Tionghoa ke Nusantara, niam gao atau kue keranjang, atawa kue Cina kata orang Betawi. Kue yang terbuat dari ketan, bewarna coklat muda dan manis rasanya, dimaksudkan agar para 'pelapor' yang sudah memakannya bisa mengeluarkan kata-kata manis kepada memberikan laporan ke langit. Bahkan ada yang mengoleskan madu sekeliling mulut dari gambar 'Dewa Dapur'. Dengan harapan agar laporan yang keluar dari mulut itu yang manis-manis dan menyenangkan.

Bagi orang Tionghoa, pada tahun baru Imlek diharapkan hujan turun selebat mungkin. Datangnya hujan diumpamakan seperti rezeki ngocor dari langit. Tapi, ketika Imlek 2002 saat hujan lebat dan banjir, banyak orang Tionghoa yang mengeluh karena terpaksa harus ngungsi dan menderita. Sedangkan menurut kepercayaan, di samping semakin banyak air tercurah dari langit, semakin bersih tercuci keburukan-keburukan yang lalu. Ada semacam pantangan yang juga kudu dipegang teguh. Di hari Imlek rumah tak boleh disapu. Dikhawatirkan bisa-bisa rezeki turut hilang. 'Rezeki' yang ditampung oleh rumah dan kebun yang baru dibersihkan dan disiram hujan, harus dibiarkan meresap.

Saat Imlek orang Tionghoa pergi ke Liong Bouw (kuburan) atawa ke perabuan. Sampai awal 1960'an, di Jakarta banyak sekali terdapat kuburan Tionghoa yang disebut 'sentiong'. Tidak heran di Jakarta ada Kampung Sentiong, di dekat Salemba, yang dulunya tempat pemakaman Cina yang luasnya puluhan hektar. Kini disulap jadi perumahan.

Menurut adat istiadat warga Tionghoa, hormat kepada orang tua atawa leluhur sesuatu kemustian. Sebagai pertanda anak yang puthau (berbakti). Sebaliknya anak yang tidak berbakti dan tidak mau mempedulikan ia punya orang tua atau leluhur merupakan anak yang u-hauw atawa doraka. Anak semacam ini harus dijauhkan karena dianggap tidak membalas budi orang tua.

Imlek di tempo doeloe (sampai 1950'an), terasa kurang afdol bila tidak disertai tanjidor, rombongan pemusik 5 - 8 orang, ngamen dari rumah ke rumah selama 15 hari. Sampai hari Cap Go Meh (malam ke-15 tahun baru Imlek). Cap Go Meh merupakan pesta penutup dari perayaan Imlek yang dirayakan dengan penuh kagumbiraan. Pesta semalam suntuk mulai dari malam pertama di Glodok, menyusul Senen, Tanah Abang, Palmerah, dan terakhir di Jatinegara, juga diikuti oleh warga Betawi. Banyak para tauw kee, babah, engko, dan pemilik toko, yang ngibing meliuk-liukkan badannya diiringi orkes Gambang Kromong. Ngibing dengan para wanita penghibur yang saat menerima saweran diselipkan di BH-nya. Pada acara seperti karnaval di Amerika Latin ini tidak sedikit yang 'teler' dan 'ambruk' karena kebanyakan nenggak minuman yang diharamkan. Sementara barongsai yang panjangnya sampai ratusan meter berlompatan di tengah-tengah penonton yang memagarinya.

Imlek terasa cemplang atawa hambar kalau tidak ada jeruk kuning yang melambangkan umur panjang. Di samping kue Cine tidak boleh ketinggalan kue apem - yang menjadi sumber pengharepan. Kue apem dibagian depannya diberi warna merah. Meskipun bagian dalamnya rada dekil karena berisi kacang ijo yang digerus.

Di samping pergi ke liong bouw (perabuan), warga Tionghoa saat Imlek banyak yang pergi ke klenteng. Di kawasan Jakarta Kota yang disebut China Town terdapat tidak kurang dari 20 klenteng. Yang paling ramai adalah Xuan Can Gong atawa Wihara Dharma Bhakti di Jl Petak Sembilan, sedikit di pedalaman Glodok. Klenteng yang dibangun pada 1650 masih tampak berdiri kokoh, seperti kokohnya orang Tionghoa yang berdiri kuat di Indonesia. Sekitar tahun tersebut, letnan (pembantu Kapiten Cina), mendirikan klenteng (bahasa Cina yinting) untuk menghormati Guan Yin. Itu dewi belas asih yang dikenal dengan nama Kwam Im. Semoga Imlek tahun ini membawa kesejahteraan bagi siahwee (masyarakat), dan Gong Xi Fa Chai, kata si Apiang kepada si Akew saat mengucapkan selamat Imlek.

(Alwi Shahab, wartawan Republika. 5 Feb 2005 )

Cap Go Meh dan Para Kapiten Cina

Orang Tionghoa baru saja merayakan Imlek, ia punya taon baru. Perayaan ini di tempo doeloe meriah banget. Beberapa hari sebelumnya diadakan Pasar Malam di Glodok. Penutupnya adalah perayaan cap go meh yang jatuh pada malam ke-15 setelah Imlek.

Cap go meh, pesta semalam di tempo doeloe bisa berlangsung empat-lima malam berturut-turut. Karena bukan saja dirayakan di lima wilayah, tapi mereka yang belum puas berhura-hura semalam suntuk, masih diteruskan ke Bogor, kemudian Cianjur dan Sukabumi. Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara jauh sebelum Belanda. Mereka datang dengan jung-jung dan sampan dari daratan Cina tanpa disertai istri. Tapi tidak peduli berapa banyak darah pribumi telah bercampur, mereka tetap mempertahankan identitas, kebudayaan dan tradisinya. Tidak heran di tempo doeloe banyak banget perayaan keagaam etnis Tionghoa. Setelah Imlek dan cap go meh, masih disusul dengan Ceng Beng bertepatan 100 hari setelah Imlek.

Di itu hari, orang Tionghoa ramai-ramai ke liong bouw (kuburan), membersihkan, merapikan, dan memperbaikinya, sebagai tanda penghargaan pada leluhur. Dulu di Jakarta banyak kuburan Cina yang besar-besar dan diberi nisan-nisan yang indah-indah. Kuburan ini sering dibongkar tangan jail. Maklum ada yang memasukkan barang berharga ke dalam peti yang terbuat dari kayu jati. Masih banyak lagi acara ritual dalam penanggalan Tionghoa kuno- berdasarkan jalannya rembulan (Im Lek) bukan jalannya matahari (Yan Lek), yang disebut kalender Gregorian seperti di Indonesia. Hari-hari tersebut sampai 1960'an masih diakui sebagai hari raya syah bagi etnis Tionghoa.

Di bulan Juni, jatuh hari raya Pek Cun (Toan Yang Cie. Pada hari itu mereka memakan kue bakcang, yang di dalamnya berisi daging. Di tempo doeloe peh coen dirayakan dengan karnaval perahu dan sampan di Ciliwung dan Cisadana (Tangerang). Saat perayaan, ratusan perahu dan sampan berseliweran dihiasi lampio warna-warni sehingga suasana malam sontak terang benderang. Di perahu dan sampan yang hilir mudik diiringi orkes co kek dan gambang keromong, lengkap dengan ia punya tetabuhan. Sementara di tepi-tepi kali yang dilewati karnaval para pedagang makanan mendirikan tenda dan gubuk-gubuk.

Diteruskan dengan hari raya Tiong Ciu (Cung Ciu), yang jatuh awal Oktober. Pada hari itu orang makan kue bulan (tiong ciu pia) berisi kacang ijo. Menjelang akhir Desember orang Tionghoa makan kue ronde. Tapi, sungai tempat karnaval ini jangan dibayangkan seperti sekarang. Ketika itu sungai masih lebar, dalam, jernih dan belum tercemar. Pacaran, kala itu berbeda dengan sekarang. Jangan harap bisa jalan berduaan. Apalagi saling gandengan. Gadis umur 15 tahun langsung dipingit. Tapi, saat pek cun pacaran diringankan. Caranya dengan saling melempar hwat kwee alias kue apem dan tiong cu pia yang bentuknya seperti bola kecil. Kue ini simbol pengharepan. Artinya segala apa mulanya kecil, lama-lama jadi besar. Kalau dalam lempar melempat kue ini ada kecocokan, proses selanjutnya bisa di duga: merembet ke perjodohan.

Hanya lima bulan setelah berkuasa, Jan Pieterszoon Coen mengangkat Souw Beng Kong (11 Oktober 1619) sebagai kapiten (administratur) penduduk Tionghoa di Batavia. Bencon, begitu kompeni (VOC) menyebutnya, saudagar besar Banten yang atas bujukan Coen bersama ratusan anak buahnya kemudian hijrah ke Batavia. Untuk mereka, Coen membangun perkampungan di muara Kali Ciliwung. Ia memegang jabatan sampai 1645. Ia digantikan Phoa Beng Gam, 'sang insinyur air' (1645-1663). Kapiten Phoa inilah pada 1648, yang meluruskan Ciliwung yang sebelumnya berkelok-kelok dan berbelok-belok. Hasil karyanya sampai kini masih terlihat dari sungai Ciliwung yang kiri kanannya diapit Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada yang tidak lagi berkelok-kelok hingga muara.

Saat Ni Hoe jadi kapiten (1736-1743), timbul pemberontakan yang amat hebat di Batavia, yang ber pusat di Glodok. Pemberontakan Cina ini memang dapat ditumpas VOC. Tapi harus dibayar mahal. Sekitar 5.000 sampai 10 ribu Tionghoa yang tidak mau kehormatannya dibecek-becek VOC mati ketika mengadakan perlawanan. Konon, kala itu mayat-mayat bergelimpangan di Glodok, seperti korban tsunami di Aceh.

Ketika orang Tionghoa semakin banyak di Batavia, Belanda mengangkat seorang mayor, yang membawahi kapiten dan letnan. Khouw Kim An adalah mayor Cina terakhir. Karena sejak masa pendudukan Jepang (1942-1945) jabatan ini dihapuskan. Sampai awal 1990'an kita masih menjumpai bekas kediaman Khouw di Jalan Gajah Mada, sekitar 100 meter dari pusat perdagangan Glodok. Tapi kini, rumah tersebut tertutup oleh pencakar langit yang dibangun Modern Group. Di Jakarta, peninggalan sejarah selalu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dan orang berduit. Keluarga Khouw sebagai layaknya Mayor Cina, mempunyai gedung-gedung di dekat tempat kediamannya.

Para kapiten dan mayor Cina itu, yang mengawasi masyarakatnya hidup laksana raja-raja Mandarin. Mereka jadi perantara dalam menerima uang pajak seperti jalinan rambut panjang, pajak kuku panjang (sebagai tanda orang yang santai), sumbangan untuk pembangunan jalan, jembatan, dan kanal. Di samping memungut pajak dari suhian tempat pelacuran dan perjudian. Belanda sendiri menjadi heran terhadap kemajuan mereka. Seperti di Batavia mereka punya rumah sakit sendiri sama besarnya dengan rumah sakit yang dibangun Belanda. Memiliki sekolah-sekolah yang lebih baik dari milik Belanda dan dalam jumlah yang lebih besar. Di samping rumah penampungan orang miskin, dan tentu saja kuil-kuil, balai-balai pertemuan, teater, restoran, dan rumah-rumah perjudian serta bordil.

(Alwi Shahab, wartawan Republika. 12 Feb 2005 )

Berani Memulai Bisnis

Seorang pemenang mampu menangkap peluang, berprestasi, berani bersaing, bertanggung jawab, dan tidak mudah menyerah. H Wahyu Saidi, (42 tahun), dengan bangga menyatakan bahwa mungkin dialah satu-satunya insinyur lulusan ITB yang kini berprofesi sebagai tukang bakmi. Pria kelahiran Palembang 24 Oktober 1962 lulusan Teknik Sipil ITB (1987) dan S2 Teknik Industri ITB (1991), memang patut berbangga. Karena sebagai dikemukakannya sendiri, 'Bakmi Langgara' dan 'Bakmi Tebet' yang didirikan dan dikembangkannya sejak tiga tahun silam, kini punya cabang di hampir seluruh tempat di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi).

Bahkan jangkauannya sudah meluas hingga ke Cilegon, Bandung, dan Yogyakarta. Lulusan Doktor Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (2000) itu mengungkapkan, Bakmi Langgara-nya sudah mempunyai 38 cabang dan Bakmi Tebet 47 cabang.

Sementara minat para pengusaha untuk bergabung dalam sistem waralaba yang dikembangkannya untuk kedua merek dagang itu masih cukup besar. ''Masih banyak calon mitra bisnis dan calon investor yang sudah menunggu untuk membuka cabang Bakmi Langgara maupun Bakmi Tebet,'' kata H Wahyu Saidi, dalam seminar entrepreneurship bertajuk ''Berani Memulai Bisnis'' yang diadakan oleh Kelompok Studi Ekonomi Islam Universitas Negeri Jakarta dan Harian Umum Republika, pekan silam di Kampus Universitas Negeri Jakarta. Rupanya sukses yang diraih sebagai ''Tukang bakmi'' (predikat yang selalu dibanggakannya), menyedot cukup banyak pengunjung dalam acara yang diteruskan dengan tanya jawab. Bukan saja dari kalangan mahasiswa, tapi lebih banyak lagi para usahawan yang tertarik dengan bidang usaha ini. Tidak kurang sekitar lima ratus orang hadir hingga panitia harus berulang kali menambah kursi.

Padahal, sebagai insinyur yang pernah menangani sejumlah proyek jalan tol di Jakarta dan sekitarnya, dia mengaku tidak pernah bermimpi untuk menjadi tukang bakmi. Lalu dia menceritakan saat-saat kehidupannya suram ketika tidak lagi bekerja di proyek jalan tol yang ditangani oleh Mbak Tutut, putri sulung Pak Harto. Hal itu terjadi ketika krisis moneter melanda negeri ini, dan rezim Soeharto tumbang. ''Kalau waktu itu ada yang mau menerima saya bekerja kembali sesuai dengan pendidikan saya, mungkin saya tidak menjadi tukang bakmi seperti sekarang,'' ujarnya dalam seminar yang dipandu Irwan Kelana, dari Republika.

Dia pun kemudian bercerita panjang lebar saat-saat dia akan memulai bisnis sebagai tukang bakmi. Lalu dia kemudian menceritakan kiat suksesnya. Misalnya, pantang menyerah, berani bersaing, berani berbeda, dan berani memulai. Lalu ia mempertanyakan mengapa ia memilih bisnis bakmi. Yang kemudian dijawabnya sendiri karena bakmi merupakan makanan populer. Di samping alternatif makanan pokok, dapat dinikmati setiap waktu, dikudap oleh semua umur dan hanya ada satu brand kuat kala itu, yakni Bakmi GM. Mengenai yang terakhir ini, menurutnya, cakupannya terbatas dan sasarannya menengah ke atas.

Mengenai lokasi, perlu berada di dekat keramaian, parkir cukup, persimpangan, pasar dan pertokoan, pasar, sekolah dan tempat ibadah, di kiri jalan pulang. Tapi, seperti dipaparkannya sendiri, sukses yang diraihnya ini tidak lepas dari kerja keras yang telah ditekuninya sejak masih menjadi mahasiswa teknik sipil ITB. ''Saya pernah berjualan durian di tepi jalan Setiabudi Bandung,'' kata mantan ketua Himpunan Mahasiswa Sipil ITB. Sebagai mahasiswa dari keluarga yang bukan kaya raya, untuk menambah uang kuliahnya ia juga pernah berjualan kambing di Geger Kalong Bandung saat Idul Adha.

Dalam hidup ini, kata Wahyu, harus berani menangkap peluang. Dalam hidup ini, katanya, ada sang pemenang. Ciri umumnya mampu menangkap peluang. Berprestasi, berani bersaing, bertanggung jawab dan tidak mudah menyerah. Sedangkan sang pecundang ciri umumnya memelihara kambing hitam, mengeluh, gelisah, melihat dunia selalu kelam, pesimis. Ada juga yang menyerah, dengan ciri utamanya tidak punya keinginan untuk maju. Dan salah satu kiat yang disampaikan kepada hadirin yang selama dua setengah jam mencecer dengan sejumlah pertanyaan adalah jangan pernah takut untuk bersaing. ''Coca Cola menjadi besar karena ada saingan Pepsi Cola,'' kata lelaki yang pernah menekuni agribisnis dan membuka restoran ikan patin.

Berani bermimpi
Pentingnya jiwa kewirausahaan juga ditekankan oleh Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof Dr Thamrin Abdullah. Menurutnya, seorang enterpreneur itu harus mempunyai sejumlah ciri, antara lain suka menciptakan visi baru, percaya diri, ulet, sabar, tegas dan terbuka. Selain itu, berani menanggung risiko, agresif, memperhatikan peningkatan kesejahteraan, dan memberikan penghargaan kepada karyawan teladan.

Banyak orang yang ingin berbisnis, namun mereka tidak berani untuk memulai. Untuk itu, Prof Thamrin memberikan tips. ''Untuk memulai bisnis, ada tiga hal pokok yang perlu dimiliki, yaitu mimpi, kerja keras, dan pengetahuan,'' tandasnya pada seminar yang sama. Mimpi, Thamrin menyebutnya ''visi'', sangat penting bagi seseorang yang ingin berbisnis. ''Orang yang tidak pernah bermimpi, tidak akan pernah mengalami mimpi jadi kenyataan. Hanya orang yang pernah bermimpi yang dapat menilai bahwa kenyataan lebih indah dari mimpi,'' tuturnya.

Ditambahkannya, hanya orang yang bermimpi yang dapat merasakan mimpi menjadi kenyataan. ''Mimpi dapat menjadi kenyataan manakala orang itu mau bekerja keras dan berilmu, serta berpikir positif,'' papar Thamrin. Dia memberikan empat kunci sukses. ''Pertama, Anda harus menanamkan kepercayaan bahwa hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, berarti Anda sudah melaksanakan pemasaran,'' ujarnya.

Kedua, berikanlah kepuasan pada pelanggan. Ketiga, berikan kepuasan kepada karyawan. Terakhir, pertahankan mutu atau standar mutu, inovasi, dan manajemen. ''Bila semua itu dilakukan, insya Allah Anda akan menjadi pebisnis yang sukses. Namun, langkah awal untuk mencapai semua itu adalah berani memulai bisnis,'' tandas Thamrin Abdullah.


(alwi shahab. 14 Feb 2005 )

Menelusuri Sejarah Kota Depok

Ketika Presiden Soeharto meresmikan Perumnas tahun 1976, penduduknya tidak lebih 100 ribu jiwa. Kala itu, ia hanya merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor. Hubungan ke Jakarta masih sulit. Jalan raya ke Pasar Minggu hanya satu jalur.

Kini Depok yang jadi kotamadya sejak 1999, penduduknya melonjak lebih dari 10 kali lipat. Berpenduduk 1.335.734 jiwa, ia sudah dikatagorikan sebagai kota besar. Laju penduduk masih terus melejit. Kini belasan perusahan real estat dengan penuh gairah tengah membangun ribuan rumah di Depok. Hingga hampir tidak tersisa lagi lahan persawahan dan perkebunan. Bahkan sejumlah situ ikut menciut, tergusur dan menghilang samasekali. Jadi hutan beton.

Penduduk Depok pernah disebut Belanda Depok. Anak-anaknya mendapat julukan sinyo, panggilan untuk anak Belanda. Sebutan ini tidak dapat dipisahkan dengan sejarah awal abad ke-18. Ketika 1714 Cornelis Chastelein, petinggi VOC dan tuan tanah Depok meninggal dunia dengan meninggalkan wasiat. Menghibahkan tanah Depok seluas 1.224 hektar pada para budaknya setelah lebih dulu mereka menukar agama jadi Kristen Protestan.

Keturunan para budak inilah yang dapat kita jumpai di Depok Lama dijuluki Belanda Depok. Julukan ini tidak menyenangkan mereka, karena dianggap antek Belanda. Tapi mereka tidak tersinggung disebut keturunan budak, karena kenyataan demikian. Lalu ada sejarawan Belanda menulis bahwa nama Depok berasal pada masa Cornelis Chastelein. H Nawawi Napih, penduduk Depok yang sejak 1991 mengadakan penelitian membantah Depok baru dikenal sejak masa Cornelis Chastelein membangun perkebunan di sini. Pendapatnya yang sama dikemukakan H Baharuddin Ibrahim dkk dalam buku 'Meluruskan Sejarah Depok'.

Karena sebelum Chastelein membeli tanah Depok, nama kota ini telah ada. Mereka mengutip cerita Abraham van Riebeeck ketika pada 1703, 1704, dan 1709 selaku inspektur jenderal VOC mengadakan ekspedisi menelusuri sungai Ciliwung. Melalui rute: Benteng (Batavia) - Cililitan - Tanjung (Tanjung Barat) - Seringsing (Serengseng) - Pondok Cina - DEPOK - Pondok Pucung (Terong). Tapi ada beda pendapat tentang Sejarah Depok yang disusun H Nawawi Napih dan H Baharuddin Ibrahim.

Napih, yang mendapat keterangan berdasarkan cerita MW Bakas, salah seorang keturunan asli Depok yang mengatakan, waktu perang antara Pajajaran dengan Banten-Cirebon (Islam) tentara Pajajaran membangun padepokan untuk melatih para prajuritnya dalam mempertahankan kerajaan. Padepokan ini dibangun dekat Sungai Ciliwung. Terletak antara pusat kerajaan Pajajaran (Bogor) dan Sunda Kelapa (Jakarta). Perkembangan selanjutnya padepokan ini disebut Depok sesuai lidah melayu.

Pendapat ini dengan alasan di sekitar Depok terdapat nama-nama kampung menggunakan bahasa Sunda. Seperti Parung Blimbing (di Depok Lama) di selatan, Parung Malela di utara dan Kampung Parung Serab di sebelah timur seberang Ciliwung berhadapan dengan Parung Belimbing. Semua kampung ini terletak di tepi kali Ciliwung. Kemungkinan kampung-kampung itu pada waktu perang dijadikan basis pertahanan tentara Pajajaran terhadap kemungkinan serangan Cirebon dan Banten ke pusat pemerintahan di Bogor melalui Kali Ciliwung. Kemungkinan lain sebagai basis pertahanan untuk menyerang Sunda Kelapa.

Sedangkan menurut ''Sejarah Singkat Kota Depok'' dinyatakan antara Perumnas Depok I dan Depok Utara terdapat tempat yang disebut Kramat Beji. Di sekitarnya terdapat 7 buah sumur berdiameter satu meter. Di bawah pohon beringin yang berada di antara ke 7 sumur terdapat sebuah bangunan kecil yang selalu terkunci. Di dalam bangunan yang masih dapat kita jumpai terdapat banyak sekali senjata kuno, seperti keris, tombak dan golok. Menurut keterangan di Kramat Beji, dulu sering diadakan pertemuan antara Banten dan Cirebon. Jadi senjata-senjata ini peninggalan tentara Banten waktu melawan VOC. Ditempat semacam ini biasanya diadakan latihan bela diri dan pendidikan agama yang sering disebut Padepokan. Jadi nama Depok kemungkinan besar dari kata Padepokan Beji.

Dengan judul ''Meluruskan Sejarah Depok'', H Baharuddin Ibrahim dkk membantah nama Depok dikaitkan dengan Pajajaran. Dengan alasan nama Depok di masa Pajajaran belum ditemukan, baik dalam naskah lama yang ditulis para penulis Portugis, maupun dalam cerita yang mengisahkan raja-raja Pajajaran. Padepokan baru dikenal setelah masa Islam. Karena tempat yang sama pada masa Hindu disebut Mandala.

Di padepokan inilah guru agama Islam mengajar pada para siswa atau santrinya. Di siang hari mereka bekerja di ladang, dan sore belajar agama. Para siswa ditempatkan pada sebuah asrama, sedangkan gurunya disediakan tempat di kompleks itu juga. Pelajaran yang diberikan selain pendidikan agama, juga seni bela diri (silat), dan kemungkinan latihan kemiliteran. Jadi pada masa Pajajaran, agama Islam telah berkembang di Depok.

Tapi yang jelas, diakui bahwa Depok pada masa Hindu merupakan jalur perniagaan penting. Karena berada di antara Pakuan dan Sunda Kelapa, Depok menjadi tempat persinggahan. Pelabuhan kecil yang ada di Depok ialah Cipanganteur, tukang getek menamakannya kali pengantar. Sekarang tempat tersebut bernama RAU lokasinya di Parung Malela (dekat kuburan Kristen di Depok Lama) dan terletak di tepi Ciliwung.


(Alwi Shahab, wartawan Republika. 19 Feb 2005 )

Dari Kemayoran ke Jaga Monyet

Sampai 1970'an nama Kemayoran sangat dikenal di dunia internasional. Para kepala negara atau tamu asing yang ingin ke Indonesia harus melalui Kemayoran sebelum bandara dipindahkan ke Cengkareng. Ketika berlangsung Konperensi Asia Afrika (KAA), April 1955, Bung Karno berhari-hari siaga di ruang VIP pelabuhan udara Kemayoran menyambut puluhan kepala negara, sebelum mereka diberangkatkan ke Bandung tempat berlangsungnya KAA.

Kemayoran sebagai salah satu kampung tua di Jakarta banyak didatangi pendatang setelah dibangunnya bandar udara (1935). Ia juga dikenal sebagai kawasan yang banyak dihuni Indo-Belanda hingga dapat julukan Belanda Kemayoran. Kemudian sebagian besar hengkang ke negeri Belanda ketika hubungan Indonesia dengan negara kerajaan ini putus pada 1957 karena soal Irian Barat (kini Papua).

Menyelusuri sejarahnya ke belakang, ketika Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) hendak membangun jalan darat dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jawa Timur) ia kekurangan biaya dan menjual tanah Kemayoran kepada orang kaya/tuantanah. Konon, nama Kemayoran berasal dari kata mayor. Mayor (pangkat kehormatan) kala itu hanya diberikan kepada orang Tionghoa yang mengepalai golongannya.

Di Kemayoran inilah Benyamin S dibesarkan dan kini diabadikan jadi nama jalan di Kemayoran. Demikian pula kakeknya, H Jiung seoranmg jagoan terkenal dan banyak menolong rakyat kecil. Untuk nama jembatan dan nama jalan. Kemayoran juga menyandang nama besar di bidang musik. Hingga dikenal keroncong Kemayoran. Pada 1920 - 1925 berdiri musik keroncong Lief de Java (Oud Bat avia), salah satu pemainnya Ismail Marzuki. Di musik ini juga dikenal M Sagi dengan penyanyi tunanetra Anni Landau.

Dari Kemayoran kita Kampung Petojo. Kalau sekarang Petojo salah satu pusat perdagangan dan bisnis di Ibukota, sampai awal ke-18 masih merupakan hutan belukar tanpa penghuni. Barulah setelah Phoa Bing Gam, kapiten Cina kedua pertengahan abad ke-18 membuat terusan Molenvliet (di kiri kanan Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk), guna menghubungkan Kota Lama dengan daerah selatan banyak berdatangan pendatang ke Petojo.

Petojo diambil dari Datuk Patuju, anak buah Aru Palaka yang datang ke Batavia meminta bantuan VOC dalam menghadapi Hasanuddin: Ayam jantan dari timur. Dulu (sampai 1950'an) di Jl Jaga Monyet (kini Jl Suryopranoto) ada pabrik es "Petojo'. Dari pabrik es inilah suplai es ke seluruh Jakarta. Kala itu di warung-warung Tionghoa ada khusus tempat menyimpan es balokan berukuran sekitar 2 X 3 meter.

Nama Jaga Monyet sampai 1970'an sangat terkenal. Karena ditempat ini Belanda membangun benteng pertahanan (sekitar gedung BRI sekarang) yang letaknya jauh di luar kota. Karena lebih banyak menjaga monyet yang berkeliaran ketimbang menghadapi monyet, benteng ini dinamakan Jaga Monyet. Di Petojo terdapat Jl Kesehatan. Dulunya disebut daerah Pabuaran karena penduduknya berasal dari daerah luar.

Sedangkan nama Petojo Binatu karena banyak penduduk jadi tukang binatu. Mereka mencuci di pinggir kali Ciliwung, hingga para tamu Hotel Des Indes (hotel paling mewah kala itu yang digusur awal 1970'an, dapat menikmati pemandangan orang mandi sambil berbugil ria sehingga jadi pentas tontonan bathing beuties. Bukan hanya di Molenvliet, di kampung-kampung yang dialiri Ciliwung banyak penduduk jadi tukang binatu. Ongkosnya 5 sen untuk kemeja dan satu setel sepicis (10 sen). Kala itu setrika diisi arang yang dipanaskan. Maklum belum ada setrika listrik.

Petojo kala itu dialiri dua sungai, Palis dan Cideng. Sungai Palis mengalir sepanjang Jl Kesehatan dan Sungai Cideng mengalir dari Jatibaru ke Cideng. Ke-13 sungai di Jakarta kala itu dijadikan alat transportasi membawa getek-getek bambu dari Tanah Abang ke Jakarta Kota. Getek-getek ini berjalan tenang di air yang jernih dan dalam, sambil harus berhati-hati agar tidak terkena mereka yang mandi, mencuci dan membuang hajat ditepinya.

Dari Petojo kita Kampung Jembatan Lima. Letaknya sangat strategis dapat dicapai oleh kendaraan mobil maupun kereta api. Perlu diketahui kereta api pertama Batavia - Boutenzorg (Bogor) dimulai 1873. Trem kuda 1869 dan disusul trem listrik 1899. Trem dibongkar masa Bung Karno (1961). Mobil baru mulai dikenal 1920'an merupakan simbol elitis dan ekslusif. Hanya orang Belanda tertentu yang memilikinya, dan kemudian segelintir kaum berada dari etnis lain.

Jembatan Lima di Jakarta Barat nama ini mengacu adanya 5 buah jembatan, yang kini sudah menghilang. Di Kampung Lima terdapat Kampung Sawah Lio karena dulunya tempat pembakaran batu bata (lio). Terdapat Gang Laksa, karena disana tinggal beberapa orang kaya yang punya uang berlaksa-laksana. Terdapat Kampung Petuakan sebagai tempat jual beli tuak. Di Kampung Lima juga ada Kampung Petak Serani. Dulu merupakan petak-petak tempat tinggal orang Serani (Kristen). Di kampung Lima juga terdapat rawa-rawa yang dipenuhi bunga teratai. Hingga dinamakan Kampung Teratai.

Adapun nama Tambora, kecamatan yang membawahinya, karena tiap pagi di asrama tentara terdengar suara tambur. Jadi nama-nama kampung tua di Jakarta biasanya diambil dari keadaan alam sekitar kampung tersebut atau peristiwa yang pernah terjadi.


(Alwi Shahab, wartawan Republika. 26 Feb 2005 )

Viosveld dan Pemain Bola Belanda

Lapangan Persija di Menteng, Jakarta Pusat akan dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai paru-paru kota. Kini, Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI Jakarta, telah siap untuk membangun RTH di eks lapangan sepakbola milik Persija yang luasnya 3,4 hektare. Di RTH ini juga akan dibangun sarana olahraga, rekreasi, dan kafe-kafe.

Lapangan ini mungkin salah satu di antara lapangan sepakbola tertua di Jakarta. Dibangun pada 1920'an oleh Voetbalbond Indische Omstreken Sport (VIOS). VIOS adalah nama klub sepakbola Belanda di Batavia, hingga lapangan ini pada masa penjajahan Belanda dinamakan Viosveld atau lapangan Vios. Dibangunnya lapangan ini saat banyak berdatangan warga Belanda ke Indonesia disertai keluarga. Di Indonesia, orang Belanda baik indo maupun totok, dikenal gila bola. Sejak abad ke-19 bangsa Indonesia sudah mengenal sepakbola. Pramudya Ananta Toer dalam buku 'Bumi Manusia' menceritakan kisah para pelajar HBS (semacam SMA sekarang) di Surabaya saat memperingati pelantikan Ratu Wilhelmina (nenek Ratu Beatrix sekarang ini), pada 6 September 1898 dengan pertandingan sepakbola.

Keberadaan lapangan VIOS kala itu adalah salah satu tempat konpetisi antarklub-klub di Jakarta. Karena kesebelasan UMS memiliki stadion di Petak Sinkian, Jakarta Barat. Chunghua di kawasan yang sama Taman Sari, Hercules di Deca Park (Monas), BVC memiliki lapangan di selatan Monas, dan Persija kala itu memiliki Lapangan di VIJ, Petojo. Jadi lapangan VIOS, kala itu merupakan salah satu dari banyaknya lapangan di Jakarta yang dimiliki oleh perkumpulan sepakbola di Jakarta. Seperti juga kesebelasan-kesebelasan di Liga Eropa. Seperti Stadion Della Alpi di Kota Turin, milik Juventus. Stadion Stamford Bridge di Loncdon milik Chelsea. Stadion Highbury milik Arsenal di London, Old Trafford, stadion milik MU di Manchester, dan Guisepe Meazza, stadion milik Inter Milan di Kota Milan.

Kembali pada sepakbola di Hindia Belanda (sebutan Indonesia kala itu), orang-orang Belanda di Indonesia pada tahun 1918 membentuk Nederlandsch Indcie Voetbal Bond (NIVB) yang membawahi bond-bond yang para pemainnya didominasi warga Belanda. Anggota-anggotanya dilarang bermain dengan perkumpulan sepakbola Inlander. Perkataan inlander merupakan penghinaan, sangat menyakitkan bangsa Indonesia. Sebagai rasa nasionalis di bidang olahraga (sepakbola), pada 1928 bertepatan dengan tahun Sumpah Pemuda, berdiri Voetballbond Indonesia Jakarta (VIJ). VIJ pada 1950 menjadi Persija.

Sekalipun melakukan rasialis bidang olahraga, sejumlah pemain Belanda mendapat simpati bangsa Indonesia akibat ketangguhannya bermain sepakbola. Seperti Denkelaar, Van der Poel, van Leeuwant, dan bekas kiper Belanda, Backhuys yang gawangnya sulit ditembus lawan. Pemain pribumi yang terkenal Mad Dongker, Abidin, Sumo, dan Tan Hwa Kiat (ayah pemain bola Tan Liong Houw/Tanoto). Tidak heran pada tahun 1938, sebagai kontingen Hindia Belanda ikut dalam kejuaraan World Cup di Prancis. Beberapa istilah bola yang berasal dari Indo Belanda adalah dribel (menggiring bola), treinen (latihan), passen (12 pas - penalti), oomhal (omhal), kop (sundul), voorzedght (porset), doorgebraakt (dobrak), centervoor (sentenpur, penyerang tengah, striker), competitie (kompetisi), pauze (pause, istirahat).

Kembali kepada upaya Pemda DKI Jakarta untuk menjadikan Stadion Menteng sebagai RTH, dikabarkan bahwa pengurus Persija yang sejak 1960 bermarkas di stadion tersebut tak setuju dengan rencana itu. Mereka menilai rencana didirikan arena olahraga hanya sementara. Karena tujuan akhir mendirikan mal di area bekas stadion. Yang tentu saja dibantah pihak Dinas Pertamanan dan Keindahan Pemprov DKI Jakarta.

Setidak-tidaknya alasan penolakan ini karena jauh sebelum masa krisis ekonomi, banyak pihak yang bernafsu ingin membangun proyek di lapangan Persija ini. Bahkan Indra Rukmanan, suami Mbak Tutut dan menantu Presiden Soeharto, pada 1997 berniat untuk membangun apartemen di sini. Bahkan, ia telah mempersiapkan perusahaan yang akan membangun stadion tersebut: PT Menteng Mitra Sarana. Setelah Pak Harto lengser, tidak terdengar lagi upaya Indra Rukmanan untuk membangun apartemen di stadion ini.

Yang jelas kala itu banyak yang menolak dibangunnya apartemen di lapangan Persija Menteng. Alasannya, sarana olahraga justru makin berkurang di Jakarta. Mestinya stadion ini diperluas, jangan malah dibuat apartemen, pendapat sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta kala itu. Pemprov DKI mengatakan, menyusul akan dialihfungsikan stadion Menteng, akan segera mengelola Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan dari tangan Bakrie Group. Pemprov DKI Jakarta selama ini memberikan subsidi miliaran rupiah per tahun untuk pembinaan olahraga di Jakarta termasuk sepakbola. Gubernur Sutiyoso bertekad ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang 'hijau royo-royo berkicau'.


(Alwi Shahab, Wartawan Republika. 12 Mar 2005 )

Dari Rumah Bung Karno ke Harmonita

Sejumlah seniman Betawi yang tergabung dalam LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) sedang getol-getolnya mengumpulkan bahan untuk Ensiklopedi Betawi. Sekalipun baru dimulai sebulan lalu, sudah lebih dari 3000-an entry telah terdata untuk ensiklopedi itu. Berisi nama tokoh, pahlawan nasional, pejuang kemerdekaan, alim ulama dan seniman Betawi. Juga nama masjid-masjid tua yang telah berusia ratusan tahun. Di samping nama-nama kampung dan tokoh masyarakat yang berada di kampung tersebut. Serta makna dan sejarah dari nama kampung, yang kini sudah banyak yang berubah nama.

Nama-nama Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Makassar, dan Kampung Bali, ratusan tahun lalu oleh pihak kolonial dijadikan sebagai kantong-kantong kaum pendatang untuk komoditas tertentu. Menunjukkan asal usul etnis Betawi yang merupakan percampuran etnis, ras, dan suku.Tidak ketinggalan para pemain sepakbola yang pernah berkiprah di Jakarta sejak masa kolonial hingga sekarang tengah ditata dalam ensiklopedi. Di samping nama Liong Houw dan Kiat Sek, juga pemain bola Belanda yang turut meramaikan persepakbolaan di Tanah Air. Seperti Van der Vijn, kiper PSSI tahun 1950'an yang hingga sekarang masih dikenang ketangkasannya dalam menangkap bola. Atau Van der Berg, bek kiri yang sukar ditembus lawan. Sebelum warga Belanda hijrah ke negerinya ketika terjadi konflik Irian Barat di Jakarta banyak terdapat pemain asal negeri Kincir Angin.

Beberapa gedung yang menjadi peninggalan masa penjajahan, baik yang masih berdiri tegak maupun yang telah tergusur, digambarkan kembali dalam ensiklopedi ini. Seperti bekas kediaman Bung Karno di Jl Proklamasi 56 (dulu Jl Pegangsaan Timur) yang telah dihancurkan tahun 1960. Kemudian oleh Presiden Soekarno dijadikan Gedung Pola (semacam Bappenas sekarang). Akibatnya generasi muda banyak yang tidak tahu di mana proklamasi kemerdekaan dilakukan. Ada yang mengira proklamasi langsungkan di Istana. Sejak lima tahun lalu ada rencana untuk membangun kembali kediaman Bung Karno seperti bentuknya semula. Bahkan segala persiapan ke arah ini sudah dilakukan.

Generasi sekarang juga diingatkan bahwa di Jakarta pernah berdiri gedung Harmonie. Gedung ini dibangun pada abad ke-19, dan sampai digusur dan kemudian dijadikan tempat parkir sekretariat (1980'an) merupakan tempat hiburan bergengsi. Di masa penjajahan gedung ini merupakan tempat pesta pora kaum ningrat Belanda, termasuk pesta-pesta taman. Di ujung Jl Gajah Mada, depan Harmoni terdapat Hotel des Indes, yang sampai 1960'an jadi tempat menginap tamu-tamu negara. Di Batavia, pernah terdapat tempat hiburan militer Concordia, yang kemudian dijadikan gedung parlemen pada masa RIS dan demokrasi liberal. Kini, Concordia menjadi bagian sayap kiri dari gedung Departemen Keuangan.

Ada tiga pahlawan nasional etnis Betawi: Mohamad Husni Thamrin, Marsekal Muda Dr Abdurahman Saleh, yang namanya diabadikan untuk nama jalan di Gedung Stovia, Senen, Jakarta Pusat. Dan terakhir seniman kelahiran Kwitang, Ismail Marzuki, yang namanya diabadikan sebagai tempat kegiatan seni dan kebudayaan (TIM). Khusus untuk seniman yang baru dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, LKB mengusulkan namanya juga diabadikan untuk salah satu nama jalan di Jakarta. Kemungkinan di Jl Cikini Raya, tempat TIM berada. Patung seniman yang menciptakan lebih 200 lagu ini, diusulkan untuk didirikan di depan TIM. Patung berukuran empat meter memperlihatkan ketika Ismail Marzuki tengah bermain biola. Pembuatnya Sumarno, pematung senior dari Bandung yang membuat patung Jenderal Soedirman di Jl Sudirman. Juga diusulkan agar di Jl Thamrin (di taman di depan gedung BI) dibangun patung pahlawan nasional Betawi, M Husni Thamrin.

Di antara nama kampung tua terdapat Ancol, yang kini menjadi tempat hiburan paling ramai dikunjungi warga. Nama Ancol mengandung arti tanah rendah berpaya-paya. Dulu bila laut sedang pasang air payau kali Ancol berbalik ke darat menggenangi kali sekitarnya, sehingga terasa asin. Wajarlah bila orang-orang Belanda zaman VOC menyebut kawasan tersebut sebagai zoutelante atawa tanah asin. Sebutan ini juga diberikan pada kubu pertahanan yang dibangun di situ tahun 1656. Sebuah harian beberapa hari lalu memperlihatkan bahwa benteng yang bersejarah ini tengah dibongkar.

Untuk menghubungkan kota Batavia yang berbenteng pada zaman itu dengan kubu tersebut, sebelumnya telah dibuat Terusan Ancol, yang sampai sekarang dapat dilayani perahu-perahu. Kemudian dibangun pula jalan paralel dengan terusan tersebut, dan kini telah dibangun jalan tol yang menghubungkan Priok - Ancol - Kota - Cengkareng. Para redaksi Ensiklopedi Jakarta yang dipimpin dr Atje Mulyadi dan Rusdi Saleh, juga tengah mengumpulkan nama-nama jalan tempo doeloe yang banyak berbau Belanda dan asing.

Seperti Gang Thomas (Jl Tanah Abang V), tempat keluarga mantan Menlu Ali Alatas pernah tinggal. Jl Solitude di Matraman, tempat pasukan Inggris berkonsentrasi ketika menyerang Belanda dan Prancis (1811). Willemlaan (kini Jl Perwira), kawasan yang pernah dijadikan sebagai tempat para perwira militer Belanda.Kala itu banyak nama jalan berasal dari tokoh masyarakat Arab seperti Gang Balweel di Kampung Melayu, Alataslaan di Cidurian (Cikini), Alhadadlaan (Kampung Melayu Kecil III). Juga nama jalan berasal dari tokoh masyarakat Tionghoa. Seperti Gang Leonie, nama gadis Tionghoa yang kesohor kecantikannya di Jatinegara. Gang Topekong di Krekot (Sawah Besar dan Senen).


(Alwi Shahab wartawan Republika. 2 Apr 2005 )

'Revolusi' Bulan April di Condet

Memasuki kawasan Condet dari arah Cililitan dikenal sebagai salah satu pusat kemacetan di Jakarta Timur. Padahal Condet, yang terdiri dari tiga kelurahan (Bale Kambang, Batu Ampar dan Kampung Tengah) luasnya 632 hektare kira-kira lebih separuh lapangan Monas pernah hendak dijadikan Cagar Budaya Betawi. Alasan Bang Ali 30 tahun lalu, karena 90 persen masyarakatnya asli Betawi. Kala itu, 60 persen penduduk Condet petani salak dan duku, 20 persen buah-buahan lainnya, dan hanya 15 persen buruh/karyawan.

Kini, kebun dan tanah pertanian berubah jadi perumahan dan gedung bertingkat. Tidak ditemui lagi duku dan salak condet yang manis dan masir. Pohon-pohon melinjo yang dijadikan emping ketika ratusan 'home industri'-nya menjamur di Condet kini sudah hampir tidak membekas. Warga Betawi sudah banyak hengkang. Sejumlah warga Betawi yang tersisa, kini tidak lagi menjual tanahnya seperti dulu. Mereka membangun rumah-rumah petak untuk dikontrakan. Hasil kontrakan cukup untuk hidup sederhana.

Banyak warga keturunan Arab dari Jakarta dan Jawa Timur kini tinggal di Condet. Seperti di Jl Condet Raya -- jalan raya dua jalur yang selalu macet --, kini banyak penjual minyak wangi, kitab bahasa Arab, madu Hadramaut dan Arab sampai rumah makan penjual nasi kebuli. Tentu saja sejumlah gedung dan kantor penampungan TKW.

Kita mengangkat masalah Condet, karena dalam bulan April ini ada peristiwa besar di sini. Tepatnya pada 15 April 1916, ketika Haji Entong Gendut memimpin para petani di depan rumah Lady Rollensin, pemilik tanah partikulir Cililitan Besar. Pada pertengahan abad ke-17 kawasan Cililitan merupakan bagian dari tanah partikulir Tandjong Oost (kini Tanjung Timur), saat dimiliki Pieter van der Velde.

Setelah beberapa kali berpindah tangan, awal abad ke-20 jadi milik keluarga Rollinson. Sisa-sisa gedung ini yang pernah terbakar masih kita dapati, saat masih jadi rumah peristirahatan Vila Nova. Terletak di depan Markas Latihan Rindam Kodam Jaya (ujung Jl Raya Condet), bersebelahan gedung PP dan Super Indo Market. Kala itu, gedung tuan tanah pekarangannya begitu luas hingga mencakup kawasan Tanjung Barat dan Kramat Jati. Belanda menamakan Groeneveld (lapangan hijau). Di sini terdapat peternakan sapi dengan produksi ribuan liter susu per hari untuk konsumsi masyarakat Belanda di Batavia.

Kembali kepada Entong Gendut, ia seorang berani. Gelar haji menunjukkan ia orang bertakwa. Berlainan dengan jagoan masa kini, waktu itu Entong Gendot pembela rakyat tertindas. Melawan kekuasaan kolonial: tuan tanah yang memeras, dibantu wedana dan menteri polisi yang disebut upas. Syahdan para tuan tanah masa itu tidak kalah serakahnya dengan para koruptor masa kini. Hingga masyarakat bertanya-tanya apakah pemerintahan SBY-YK bisa memberantas dan menghukum mereka.

Di Condet kekejaman terjadi saat Vila Nova yang sering dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk berakhir minggu, dijual pada Lady Robinson, orang kaya berkebangsaan Inggris. Lebih-lebih terhadap petani yang gagal membayar pajak. Dan tuan tanah kelewat getol mengadukan mereka ke landrad (pengadilan) untuk membikin perkara. Akibatnya banyak petani bangkrut, rumahnya dijual, tak jarang dibakar. Termasuk harta miliknya Pak Taba. Dan ketika eksekusi hendak dilaksanakan, rakyat Condet marah dan ramai-ramai mendatangi vila Nova guna menggagalkannya. Itu terjadi Februari 1916.

Insiden kedua April 1916. Waktu itu tengah berlangsung pertunjukan topeng. Dan ketika pertunjukan mendekati pukul 11 malam, terdengar teriakan-teriakan. Acara supaya dihentikan. Perintah datang dari Entong Gendut. Rakyat patuh kepada tokoh kharismatik ini dan mereka bubaran dengan tenang.

Rupanya kala itu Entong ingin membuat pemanasan. Ketika ia ditanya aparat kenapa ia berani nyetop pertunjukan topeng, ia menjawab: ''Demi Agama'. Ia hendak mencegah perjudian. Sambil dengan tegas dan memegang keris ia berikrar: 'Siap untuk membela petani yang jadi korban kejahatan tuan tanah'.

Kemudian ada info yang memberihu para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis banyak orang berkumpul di rumah Entong Gendut. Ketika wedana diiringi para upas berseru agar Entong keluar rumah, ia dengan suara mantap berkata: ''Saya akan keluar setelah shalat.'' Ketika ia keluar, disertai ratusan para pengikutnya sambil berteriak: Sabi'ullah gua kagak takut mati. Pertempuran yang tidak seimpang terjadi. Tapi pihak Belanda kewalahan. Kemudian bantuan datang, dan Entong Gendut tertembak mati sebagai sahid...

Setelah pemberontakan Entong Gendut dipadamkan, sikap tuan tanah makin kejam. Rakyat yang sudah biasa ditakut-takuti itu akhirnya berani lagi mencoba melawan peraturan tuan tanah yang kejam. Pemberontakan kedua terjadi tidak sampai dengan kekerasan senjata. Ini berupa penjajagan, sampai di mana keberanian antek-antek tuan tanah tadi. Percobaan dilakukan dengan penebangan pohon-pohon besar yang tumbuh di tanah kuburan. Demikianlah pada 1923 terjadi penebangan di tanah pekuburan di Condet, yang mereka namakan Kober. Suatu keberanian melawan tindakan yang diharamkan Belanda.

Setelah itu rakyat Condet makin berani melawan kompeni. Hingga tidak jarang yang menunggak pajak. Ini berlangsung hingga 1934. Dipelopori beberapa orang rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai tuan tanah keturunan Jan Ameen. Rakyat meminta bantuan hukum pada Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin dll. Rakyat Condet menang perkara, tetapi seperti diuraikan oleh Ran Ramelan, penulis buku ''Condet Cagar Budaya Betawi'', sejauh ini belum ada keputusan, sehingga datang Pemerintahan Federal. Untuk mengenang kepahlawanan Entong Gendut, pernah diusulkan agar salah satu jalan di Condet diabadikan nama almarhum.


(Alwi Shahab, Wartawan Republika. 9 Apr 2005)

Cerita Silat: Shao Lin Sie dan Bu Tong Pai

Film cerita silat (cersil) ternyata banyak penggemarnya. Tidak heran berbagai televisi kini berlomba menyiarkan tayangan cersil. Film berseri Return of the Condor Heroes yang tengah tayang di sebuah televisi swasta tiap malam, beberapa tahun lalu juga ditayangkan sebuah televisi swasta lainnya. Film yang pernah dibukukan dengan judul Pendekar Rajawali itu dibintangi Andi Lau (berperan sebagai Yo Ko).

Menurut pengamat masalah Cina, Leo Suryadinata, cersil di Indonesia punya sejarah amat panjang. Bukan hanya masyarakat Tionghoa, tapi masyarakat lainnya, juga menggemari cerita berlatar roman dan sejarah dari daratan Tiongkok itu.

Pada 1930-an, cersil berbahasa Indonesia sudah terbit di Indonesia. Para penulisnya etnis Tionghoa, yang kini dikenal sebagai Sastra Melayu- Tionghoa. Mula-mula untuk memenuhi permintaan kelompok peranakan yang sudah tidak bisa lagi berbahasa leluhurnya. Setelah perang dunia II (1942-1945), masyarakat Tionghoa di Nusantara mendirikan suratkabar berbahasa Cina. Ada yang berhaluan kiri (Kunchantang) dan kanan (Koumintang). Sebelum pihak komunis menguasai daratan Cina, etnis Tionghoa di Indonesia terbagi dua kelompok: pro Mao Ze Dong dan pro Chiang Kai Sek.

Surat-surat kabar tersebut memuat cersil untuk menarik pembaca. Pada 1958, karena Taiwan terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, surat kabar yang berkiblat ke Taiwan diberangus. Cersil terkenal kala itu antara lain Jenghu San Nuxie (Tiga Dara Pendekar Rimba Persilatan) dan Samhwa Nuxie (Pendekar Wanita Penyebar Bunga). Sampai sekarang kedua cersil tersebut sudah belasan kali dicetak setelah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Sementara, sejumlah surat kabar berbahasa Indonesia yang diterbitkan para peranakan Cina seperti Keng Po, Sin Po, Star Weekly, dan Pancawarna, secara tetap memuat cersil. Dan, ternyata sangat digemari, termasuk oleh para pembaca di luar keturunan Cina. Kemudian, cersil itu diterbitkan dalam bentuk buku. Buku-buku cersil bukan hanya laku di golongan Tionghoa, tapi juga pribumi, tulis Leo Suryadinhata dalam buku Sastra Peranakan Tionghoa-Indonesia.

Tahun 1960-an, politik Indonesia cenderung ke kiri-kirian. Dan, cersil dianggap sebagai karya 'kontra revolusi', sebutan yang sangat ditakuti saat itu dan sering dilontarkan oleh golongan kiri terhadap lawan-lawan politiknya.

Setelah G30S, cersil dalam bentuk saku tidak terhitung banyaknya. Sampai sekarang masih kita dapati di toko-toko buku, kios dan tempat penyewaan buku. Satu cersil terdiri dari 20-60 bahkan 70 jilid. Tiap bulan terbit dua atau empat jilid, dan butuh satu tahun untuk tamat. Menurut penelitian Leo Suryadinata, tiap seri dicetak 10 ribu hingga 15 ribu eksemplar. Film-film silat Hongkong dan Taiwan mendorong minat masyarakat untuk membaca cersil.

Pada 1980-an, banyak penerbit menerjemahkan cersil lama seperti Pang Coan Thian Lie (Bidadari Dari Sungai Es). Cersil terkenal lainnya adalah Sia Thiauw Eng Hiang yang terdiri dari 67 jilid. Cersil yang dibaca luas adalah Sin Tiauw Hiap Lu dan To Liong To (Golok Pembunuh Naga). Pembaca cersil banyak yang hafal kata-kata bahasa Cina yang diselipkan, seperti lwekang (tenaga dalam), dunia kangouw (persilatan), suheng (saudara seperguruan), sumoy (saudara perempuan seperguruan), dan piebu (pertandingan). Nama perguruan silat yang terkenal di Tiongkok, antara lain adalah Shao Lin Sie dan Bu Tong Pai.

Bercerita tentang cersil tidak dapat dipisahkan dari nama Kho Ping Ho yang mendadak meninggal Juli 1994. Menurut Leo Suryawinata, selama 30 tahun ia telah menulis 120 karya. Tapi penulis yang produktif ini tidak bisa baca dan tulis bahasa Cina. Asmaraman Kho Ping Ho yang lahir 1926 ini banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Sekalipun ia telah meninggal 11 tahun lalu, tapi buku-bukunya hingga sekarang masih beredar. Bila tiap jilid dibaca 25 orang, maka tiap edisinya kira-kira dibaca oleh 1,6 juta orang.

Mengapa masyarakat Indonesia senang membaca cersil? Karena cersil ada kemiripannya dengan cerita sejarah. Ada filsafatnya, percintaan dan pertarungan. Seperti dalam perkelahian antara yang baik dan jahat, yang baik selalu menang dan yang jahat kalah. Di samping itu, cersil mengasikkan dan sering membuat pembacanya terhanyut dalam fantasi. Di Indonesia penggemarnya termasuk sejumlah menteri. Seperti mantan Pangkopkamtib Sudomo dan mantan Menteri Penerangan Mashuri. Pernah diberitakan Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwo IX saat kurang sehat memaksakan diri menonton seri cersil sampai larut malam, yang mengakibatkan ia jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit (Majalah Tempo, 13 Juli 1985).

Mengenai sastra peranakan Tionghoa jumlahnya mencapai ribuan judul. Dengan jumlah pengarang ratusan orang. Tepatnya selama hampir 100 tahun, kesasteraan Melayu Tionghoa melibatkan 806 penulis dengan 3005 karya tulis. Suatu jumlah yang cukup fantastis. Karena menurut Prof Dr Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918-1967) kesasteraan modern Indonesia hanya melibatkan 175 penulis dan sekitar 400 karya. Dihitung sampai 1979 ada 287 penulis dan 770 karya. Dan sampai tahun 1960-an, tiras suratkabar Keng Po dan Sin Po paling besar di Indonesia.


(Alwi Shahab. 17 April 2005 )

Playboy Batavia Dihukum Gantung

Memasuki kawasan Glodok setelah melewati Pancoran terletak Jalan Toko Tiga. Kita tidak tahu dinamakan demikian. Tapi ada yang menyebutkan awalnya merupakan jalan dengan tiga toko. Orang Tionghoa menyebutnya Sha Keng Tho Kho. Dahulu di Jalan Toko Tiga Glodok, terdapat sejumlah toko tembakau, yang sekarang masih dapat kita jumpai dalam jumlah tidak banyak.

Paruh pertama abad ke-19, tepatnya pada 1830'an, di kawasan Toko Tiga terdapat sebuah toko tembakau terbesar di Batavia. Pemiliknya adalah Oey Thay, yang berasal dari Pekalongan. Waktu itu dagang tembakau sangat menguntungkan. Maklum di Batavia sebagian besar warganya memakan sirih. Hingga di rumah-rumah terdapat tempat sirih dan tempolong untuk membuang ludah sirih. Oey Thay sangat dikenal dan disegani masyarakat. Ia memiliki empat anak, satu wanita yang kemudian menikah dengan putra Bupati Pekalongan. Karena kedekatannya dengan Mayor der Chinezen, ia pun diangkat sebagai Lieutnan der Chinezen, untuk kawasan Kali Besar. Kala itu, pemimpin masyarakat Tionghoa diberi pangkat tituler: Mayor, Kapten, dan Letnan.

Oey Thay meninggal dalam usia 50 tahun, meninggalkan harta warisan bejibun bagi keluarganya. Beberapa bidang tanah sangat luas di Pasar Baru, Curug, Tangerang dengan sewa 95 ribu gulden setahun. Waktu itu dengan uang 10 gulden orang sudah bisa hidup sederhana. Selain itu, ia mewariskan sejumlah rumah, uang, perhiasan yang jumlahnya melebihi dua juta gulden. Hanya beberapa gelintir orang yang dapat dihitung dengan jari yang memiliki kekayaan sebesar itu.

Harta warisan yang konon tidak habis untuk tujuh turunan ini, membuat salah seorang putranya, Oey Tambahsia lupa diri. Berbekal dengan ketampanan yang luar biasa, Oey menjadi seorang remaja yang gemar berfoya-foya, dan mengejar para wanita. Ia kerap menghabiskan waktu berkuda keliling kota dengan pakaian mewah, ditemani beberapa centeng. Di kudanya yang diimpor dari Australia, Oey muda dengan matanya jelalatan mencari gadis-gadis molek untuk dirayunya. Tak sedikit keluarga yang menyembunyikan anak gadisnya dibalik pintu rumah tertutup dapat karena takut terlihat pria hidung belang ini.

Ia juga dikenal sebagai orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Di Jalan Toko Tiga, terdapat sebuah sungai yang kala itu airnya masih jernih. Tiap pagi, saat Oey Tambahsia buang air besar di kali tersebut, belasan orang menunggunya. Karena saat ia cebok menggunakan uang kertas untuk membersihkannya. Saat itu mereka yang telah menunggunya, saling rebutan. Hingga seringkali sampai ada yang luka-luka.

Setelah mencari gadis yang akan dijadikan umpan, sang playboy kemudian mengalihkan operasinya ke daerah Senen. Secara kebetulan, ia melihat seorang gadis molek dari keluarga Sim saat muncul dari balik pintu. Padahal ketika itu, gadis-gadis Tionghoa, seperti juga pribumi dipingit. Sulit keluar rumah tanpa ditemani orang tua dan kerabatnya. Gadis itu akhirnya menjadi istrinya.

Pesta pernikahannya disebut-sebut sebagai pernikahan terbesar yang tak ada tandingannya di Batavia. Begitu meriahnya pesta perkawinan memanggil wayang Cina, tayuban, arak-arakan, dan kembang api. Tidak tanggung-tanggung pesta ini berlangsung selama beberapa hari. Karuan saja membuat Mayor Cina Tan Eng Goang yang tinggal di jalan yang sama jadi geram. Demikian pula Dewan Cina yang merasa dilangkahi karena Oey mengadakan pesta dan menutup jalan tanpa meminta izin kepadanya.

Ternyata pesta besar dan meriah tidak menjamin kelanggengan rumah tangga suami istri ini. Hanya berlangsung beberapa minggu saja setelah perkawinan, istrinya di sia-siakan. Si tampan kembali pada kebiasaannya berfoya-foya. Ia memiliki vila di Ancol bernama Bintang Mas. Tempat ia melampiaskan hawa nafsunya. Bahkan, saat berada di Pekalongan untuk menghadiri acara keluarga, ia jatuh cinta pada seorang pesinden. Perempuan ini dibawa ke Batavia. Ketika kakak Gunjing bernama Sutedjo datang ke Batavia, Oey menjadi cemburu. Karena Guncing minta kakaknya tinggal bersama mereka dan memberikan kain batik buatannya sendiri. Oey pun memerintahkan dua orang kaki tangannya untuk menghilangkan Sutedjo.

Harta dan kekuasaan telah membutakannya. Ia menjadi pembunuh berdarah dingin. Ia juga telah menghilangkan nyawa menantu Mayor Cina yang menjadi pesaingnya dibidang bisnis. Masih banyak lagi kejahatan yang dilakukannya. Hingga akhirnya ia pun dijatuhi mati dengan cara digantung. Ketika ia naik ke tiang gantungan, Oey Tambahsia berjalan tegak dengan tangan terikat. Sang algojo kemudian menendang dingklik (tempat pijakan kaki yang dipakai berdiri). Dan terjeratlah leher Oey, terkapar dan mati dalam usia 31 tahun.

Kisah yang pernah terjadi di Jakarta tempo doeloe, Ahad (17/4), telah digelar kembali di Gedung Museum Sejarah Jakarta di Jalan Falatehan, Jakarta. Gedung ini dulunya merupakan Balaikota Batavia. Di gedung ini ditemukan penjara dan ruang pengadilan. Di gedung inilah Oey digantung dan diadili. Ratusan penonton yang ikut nimbrung acara pegelaran, seolah-olah melihat Oey Tambahsia hidup kembali. Seperti dikatakan Kepala Museum Sejarah Jakarta, kalau kali ini kami ingin menghadirkan kehidupan masayrakat Tionghoa, karena mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Batavia masa lalu. Ini merupakan pagelaran kelima dalam bentuk teater yang diselenggarakan Museum Sejarah Jakarta.


(Alwi Shahab, wartawan Republika. 23 Apr 2005 )

Dari Concordia ke Gedung Merdeka

Hari ini (24/4), para delegasi KTT Asia-Afrika 2005 selama enam jam berkunjung ke Bandung. Delegasi yang terdiri dari 58 kepala negara akan mengunjungi Gedung Merdeka tempat berlangsungnya KTT AA 50 tahun lalu.

Semangat Bandung yang diikrarkan 22 negara dari gedung ini menyebabkan hampir 100 negara di kedua benua kini telah merdeka. Kecuali, Negara Palestina yang kemerdekaannya kini tengah diperjuangkan oleh bangsa-bangsa AA, yang menjadi sekitar 2/3 penduduk dunia.

Bandung yang dipilih sebagai tempat KAA 1955 kala itu mendapat julukan sebagai kota kembang. Sedangkan pada masa kolonial, Belanda menjulukinya sebagai Parijs van Java -- Parisnya Jawa. Belanda sejak abad ke-19 ingin memperlihatkan daerah-daerah yang mereka taklukkan dan kuasai pada para pelancong di Eropa. Misalnya di Jawa, selain Bandung, mereka gunakan istilah Switzerland van Java untuk Garut, Venetie van Java untuk Batavia, dan Brava van Java untuk Semarang. Semuanya merupakan nama-nama tempat hiburan terkenal di Eropa.

Seperti di Bandung, mereka membangun hotel-hotel dan tempat hiburan untuk warga Eropa. Seperti gedung Merdeka di Jl Asia Afrika, dulu merupakan Societet Concordia yang dibangun 126 tahun lalu (1879) oleh arsitektur terkenal Belanda, Prof Ir CP Wolf Schoemaker. Di Batavia juga terdapat gedung hiburan Concordia, yang kini jadi bagian sayap kiri Departemen Keuangan di Lapangan Banteng.

Concordia kala itu merupakan tempat berkumpul dan bersenang-senang sekelompok warga Belanda tertentu. Di gedung ini, dengan membawa pasangan masing-masing, mereka berdansa sambil menikmati hiburan musik dan berbagai pertunjukan.

Hanya opsir berpangkat letnan II ke atas serta segelintir golongan menak yang boleh memasuki gedung itu. Pada zaman Jepang (1942-1945), gedung Concordia Bandung juga digunakan untuk tempat pertemuan perwira Jepang. Namanya dirubah menjadi Dai Toa.

Menjelang KTT AA 1955, Concordia kebangsaan kota Bandung tempo doeloe disulap menjadi tempat sidang. Namanya diganti menjadi Gedung Merdeka. Gedung Dana Pensiun dipoles menjadi gedung Dwi Warna. Hotel-hotel terkenal seperti Homann, Preanger, Astoria, Orient, tampak berwajah cerah setelah dipoles. Bungalow-bungalow di sepanjang jalan Lembang dan Ckiumbuleit serta Masjid Agung Bandung dipersiapkan untuk menyambut tamu.

Akomodasi untuk 1500 tamu peserta disiapkan di 14 hotel besar dan kecil. Jumlah itu masih harus ditambah lagi dengan 500 wartawan yang berdatangan dari berbagai negara. Sementara para ketua delegasi terdiri dari kepala negara, PM atau menteri lainnya tinggal di bungalow yang berhawa sejuk dan nyaman. Hotel termewah kala itu, Homann, Astoria, dan Preanger, disediakan untuk staf delegasi yang akan lebih banyak membutuhkan fasilitas administrasi. Para wartawan ditempatkan di Hotel Islam Swarha dekat tempat sidang.

Hubungan Jakarta-Bandung meliputi berbagai aspeknya ditingkatkan. Lapangan terbang Kemayoran, stasion KA, jalan raya, telpon, telegram ditingkatkan sesuai kebutuhan internasional. Kurang lebih 200 kendaraan disiapkan. Terdiri 140 mobil sedan, 30 taksi, dan 20 bus dengan 230 sopir. Bensin disuplai perusahaan minyak Stanvac 30 ton per hari.

Para tamu asing selama KTT menikmati makanan Indonesia. Seperti soto, sate, dan gado-gado. Tersedia juga makanan kecil seperti klepon, pukis, lemper, pastel, kue lapis dan tak ketinggalan makanan khas Bandung: kripik oncom yang renyah. Masalah makanan ini sepenuhnya gagasan Bung Karno yang wanti-wanti agar menonjolkan identitas nasional, termasuk soal pengisi perut.

Gedung Merdeka tempat sidang diselesaikan tepat pada waktunya. Meskipun pada hari pertama sempat bocor yang menimbulkan panik besar, tapi cepat dapat diatasi. Hingga kebocoran itu tidak pernah diketahui tamu-tamu asing. Salah satu persiapan yang sulit adalah penyediaan tenaga penerjemah. Penterjemah Inggris dan Prancis, dua bahasa yang banyak digunakan negara-negara AA, tidak mudah mendapatkannya. Mereka terpaksa didatangkan dari luar negeri.

Di Jakarta kegiatan di pusatkan di Bandara Kemayoran. Ketika para peserta delegasi tiba banyak penduduk Jakarta mengelu-ngelukan mereka. Perhatian besar ditujukan pada PM Chou En Lai, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, PM India Nehru yang datang bersama putrinya, Indira Gandhi. Nasser yang tinggi besar dan murah senyum, merupakan salah satu kepala negara yang paling banyak mendapat perhatian. Ketika itu, Nasser baru setahun jadi presiden. Ia menggulingkan Jenderal Mohamad Naguib. Naguib dan Nasser pada 23 Juli 1952 menurunkan Raja Farouk, seorang playboy berbadan tambun. Pada 1954, Nasser dengan dukungan para perwira muda menggulingkan atasannya itu.

Sejumlah delegasi khususnya Pakistan dan Srilanka mempersoalkan kehadiran Cina di KTT. Pro dan kontra komunis pun merebak. Tidak heran jika pidato Chou di KTT sangat dinanti-nantikan. Ia menyatakan kehadirannya di Bandung untuk mencari persatuan, bukan perbedaan. Ia juga menyatakan kebebasan beragama adalah satu prinsip yang diakui dunia modern. ''Sekalipun saya seorang atheis tapi menghormati mereka yang beragama,'' katanya.

Menjelang KTT pada 11 April 1955 terjadi musibah. Pesawat Kashmir Prince milik Air India yang dicarter RRC dan membawa sebagian delegasi negara peserta jatuh di perairan Natuna. Siaran Radio Peking (kini Beijing) menuduh AS dan Koumintang (Taiwan) sengaja telah mengusahakan kecelakaan itu untuk membunuh PM Chou. Sedang PM Nehru menyatakan curiga terhadap kecelakaan pesawat milik negaranya. Masalah Hospitality Committee juga merupakan berita tersendiri, terutama dilansir suratkabar oposisi. Konon, untuk para delegasi disediakan cewek-cewek geulis.

(Alwi Shahab. 24 Apr 2005 )

Romusha Alias Pekerja Paksa

PM Jepang Junichiro Koizami menyampaikan permintaan maaf yang mendalam atas kekejaman balatentaranya pada Perang Dunia II (1942-1945) yang mengakibatkan penderitaan rakyat di kawasan Asia. Permintaan maaf tersebut disampaikan saat bertemu Presiden RRC Hu Jintao di sela-sela KTT Asean 2005 di Jakarta.

Tampaknya, permintaan maaf itu tidak hanya ditujukan pada Cina dan Korea Selatan, tapi juga negara Asia termasuk Indonesia yang diduduki Jepang saat PD II. Akibat penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun rakyat Indonesia mengalami penderitaan luar biasa.

Hubungan Jepang dengan Cina dan Korsel akhir-akhir ini memburuk. Pasalnya Jepang dianggap tidak jujur dengan menghilangkan kekejamaan militernya pada mata pelajaran di sekolah-sekolah saat menduduki kedua negara itu. Demo-demo anti Jepang pun marak di kedua negara. Sejauh ini Korea Utara tidak mengajukan protes. Padahal ketika Jepang berkuasa di semenanjung Korea, kedua Korea (Utara dan Selatan) masih bersatu. Mereka baru terpisah setelah Perang Korea awal 1950-an.

Pada awal PD II Belanda dan sekutu-sekutunya tidak mampu menahan Blitzkrieg atau perang kilat Jepang yang prajuritnya bersemangat sangat tinggi. Dalam waktu tiga bulan, Inggris di Malaysia dan Birma (kini Myanmar), AS di Filipina, dan Belanda di Indonesia, bertekuk lutut pada Dai Nippon. Di Indonesia Jepang mendarat di Banten 5 Maret 1942 dan Belanda hanya dalam waktu singkat menyerah tanpa syarat. Kedatangan Jepang di Indonesia mula-mula dielu-elukan karena mereka berjanji akan membebaskan dan memberi kemerdekaan. Jepang menyebutkan dirinya sebagai 'saudara tua'. Waktu itu tinggi badan orang Jepang lebih pendek dari kebanyakan orang Indonesia, sehingga mereka disebut bangsa kate.

Hanya di awal pendudukan, Jepang bersikap baik. Setelah itu mereka sangat kejam. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana terbuat dari karung goni. Sedangkan wanita menggunakan kain dari karet yang panas menempel di tubuh. Hanya orang berada yang memiliki baju seadanya. Yang paling menyedihkan, rakyat sulit mendapat obat-obatan. Termasuk di rumah-rumah sakit. Mereka yang menderita koreng dan jumlahnya banyak sekali, sulit mendapatkan salep. Terpaksa uang gobengan di gecek dan ditemplok ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.

Sepeda kala itu bannya terbuat dari karet, atau 'ban mati'. Di sekolah-sekolah buku tulis terbuat dari kertas merang. Potlot dari arang, hingga sulit sekali menulis. Masa itu, banyak orang berebut makanan bekas di bak-bak sampah. Bila ada mayat di jalan tidak lagi mengagetkan. Jepang mengajarkan rakyat makan bekicot yang oleh orang Betawi disebut 'kiong racun'. Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir orang disegel. Hanya boleh mendengarkan siaran pemerintah Dai Nippon. Ketahuan menyetel siaran luar negeri dapat hukuman berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.

Pada malam hari seringkali terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara sekutu. Rakyatpun setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau lima orang bila terdengar sirene bahaya udara.

Kekejeman Jepang itu pernah difilmkan dengan judul Romusha, istilah Jepang yang berarti pekerja paksa. Film produksi 1972 yang telah lolos sensor itu tidak beredar karena ditahan oleh Deppen. Alasannya, mengganggu hubungan Indonesia-Jepang. Pada masa Orba, kebijakan pemerintah sulit dilawan. Meskipun ada sedikit protes dari pihak perfilman, tapi Deppen yang mendapat perintah dari 'atasan' tidak meladeninya. Konon, larangan film tersebut, seperti dituturkan produsernya Julies Rofi'ie, atas tekanan pemerintah Jepang.

Ratusan ribu tenaga kerja romusha dikerahkan dari pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia. Mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga banyak yang menolak jadi romusha. Dan, Jepang pun menggunakan cara paksa: setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja, setelah mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha dikerahkan ke medan pertempuran Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Burma dan beberapa negara lainnya. Banyak kisah-kisah sedih yang mereka alami di hutan belukar, hidup dalam serba kekurangan dan di tengah ancaman bayonet. Sampai kini masih banyak eks romusha korban PD II mengajukan klaim agar Jepang membayar konpensasi gaji mereka yang tidak dibayar selama jadi romusha.

Di samping romusha, yang juga menderita adalah para wanita Indonesia yang jadi fujingkau atau iugun yanfu alias -- perempuan pemuas seks tentara Jepang. Nasib mereka difilmkan pada 1983 dengan sutradara Sjuman Djaya. Fatima (Jenny Rachman) merelakan dirinya sebagai pengganti putrinya yang hendak diperkosa serdadu Jepang. Bersama ratusan wanita lainnya, Fatima kemudian dikirim ke Malaysia sebagai pemuas nafsu serdadu yang kesepian. Berlainan dengan Romusha, film Budak Nafsu itu diperbolehkan beredar.

Seperti juga eks romusha, mereka yang pernah menjadi fujingkau atau iugun yanfu juga telah menuntut ganti rugi pada pemerintah Jepang atas penderitaan yang luar biasa, yang mereka alami selama PD II. Tapi, kalaupun sekarang mereka masih hidup, rata-rata usianya di atas 80 tahun.


(Alwi Shahab. 1 Mei 2005 )

Mufti Betawi dari Pekojan

Mufti, menurut Ensiklopedi Islam (Departemen Agama RI) adalah orang yang mengeluarkan fatwa sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umat sehubungan dengan hukum Islam. Sejak MUI berdiri (1975), fatwa-fatwa yang dihasilkan dan disebarluaskan kepada umat Islam di Indonesia adalah ijtihad para ulama di lembaga tersebut. Untuk itu MUI memiliki Komisi Fatwa.

Pada pertengahan abad ke-19, Jakarta memiliki seorang mufti. Mufti yang banyak dikenal masyarakat kala itu bernama Habib Usman Bin Abdullah Bin Yahya. Habib kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini jadi mufti menggantikan Syekh Abdul Ghani. Ia diangkat jadi mufti setelah berkelana selama 22 tahun menimba ilmu di sekitar 13-14 negara dengan ulama-ulama ternama. Ia kembali ke Betawi pada 1279 H bulan Rabiul Awal.

Ulama kelahiran kampung Arab (Pekojan) Jakarta Barat ini kemudian menetap di Petamburan, Jakarta Pusat. Di sana Habib Usman telah mengarang dan menyusun kitab, terutama mengenai 'amalil yaum (amal amal harian) dan kitab-kitab yang berisi hal-hal yang mungkar, musyrik, syirik dan hal-hal yang bertentangan dengan akidah /ahlus sunnah wal jamaah.

Sebagai seorang mufti, Habib Usman sangat produktif menulis kitab-kitab yang menyangkut berbagai masalah agama. Menurut salah seorang cicitnya, MA Alaydrus (73), ia menulis tidak kurang dari 116 kitab, baik tebal maupun tipis. Kitabnya dalam huruf 'Arab gundul' masih dapat kita saksikan di Gedung Arsip Nasional, Salemba, Jakarta Pusat. Sifat Doe Poeloeh dan Irsyadul Anam adalah dua diantara sekian banyak kitab karangannya yang masih menjadi bacaan di majelis-majelis taklim tradisional.

Ayah Habib Usman adalah Habib Abdullah bin Agil bin Yahya, menantu seorang ulama Mesir yang bermukim di Pekojan, Syekh Abdurahman bin Ahmad Al-Misri. Ulama asal Mesir ini memiliki dua puteri, Aminah yang menikah dengan ayah Habib Usman, dan Fatmah yang menikah dengan Habib Muhammad Bahahsan. Ketika Habib Usman berusia 3 tahun, ayahnya kembali ke Mekah. Ia diasuh dan belajar agama pada kakeknya, ulama Mesir.

Pada usia 18 tahun ia menyusul ayahnya ke Mekah dan belajar ilmu agama dari sejumlah ulama di tanah suci. Di antara gurunya adalah Sayid Ahmad Zaini Dahlan yang buku-bukunya hingga kini banyak diajarkan di berbagai pesantren. Tujuh tahun di Mekah, Habib Usman kemudian belajar ke Hadramaut. Di sini selama beberapa tahun ia belajar pada para ulama setempat. Kemudian ia kembali ke Mekah dan terus ke Medinah. Antara lain, ia menuntut ilmu pada Syekh Muhammad Al-Azab -- pengarang kitab Maulid Azab yang banyak di bacakan pada acara-acara maulid di Indonesia.

Sebabgai pemuda yang selalu haus akan ilmu, ia kemudian belajar ke Mesir dan sempat menikah dengan wanita negara piramida itu. Kemudian ke Tunisia. Di sini ia sering bertukar pikiran dengan Mufti Tunis. Dari Tunis ia menuntut ilmu pada ulama terkemuka Aljazair, yang kala itu jadi jajahan Prancis. Terus ke Maroko dan berbagai negara Magribi.

Di negara-negara Afrika Utara itu ia memperdalam ilmu syariah. Kemudian meneruskan perantauannya ke Siria menemui para ulama di negara tersebut, sebelum meneruskan perjalanannya ke Turki, yang masih berbentuk kesultanan. Terus ke Baitul Maqdis di Yerusalem, dan kembali ke Mekah. Pada 1279 H ia kembali ke Batavia setelah menimba ilmu selama 22 tahun. Ia diangkat sebagai mufti Betawi 1289 H.

Sebagai pengarang yang menerbitkan lebih dari 100 kitab, Habib Usman mendirikan sendiri percetakan, yang dikenal dengan percetakan batu, karena klise/negatifnya masih dibuat dengan batu. Hasil dari usaha percetakannya itu untuk hidupnya sehari-hari bersama keluarga. Di majelis taklimnya berdatangan masyarakat dari segala penjuru Jakarta dan sekitarnya, termasuk para ulama. Diantara muridnya adalah Habib Ali Alhabsyi, pendiri majelis taklim Kwitang yang hingga kini masih beraktivitas, diteruskan cucunya, Habib Abdurahman.

Mufti Betawi ini meninggal pada 21 Shafar (1913 M) dalam usia lebih dari 93 tahun. Sebelum meninggal ia berwasiat: jangan dimakamkan di pemakaman khusus (tersendiri). Ia meminta dimakamkan di pemakaman umum Karet, Tanah Abang. Pada masa gubernur Ali Sadikin, tahun 1970-an, TPU Karet dibongkar dan dijadikan ruko serta perguruan Islam. Habib Usman juga berpesan agar jangan diadakan haul khusus untuk dirinya, kecuali membacakan doa dan fatihah. Habib Usman sangat mencela kepercayaan tahayul, pemakaian jimat, dan segala sesuatu yang berbau mistik.

Sebagai mufti, banyak pihak yang mengkritik kedekatan Habib Usman dengan orientalis Belanda, Snouck Hurgronye. Mr Hamid Algadri dalam bukunya, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunanm Arab, menulis bahwa kedekatannya dengan Snouck karena keyakinannya bahwa Snouck adalah seorang Muslim secara lahiriyah maupun batiniah. Ia tidak tahu bahwa Snouck hanya berpura-pura masuk Islam.

Snouk sendiri sempat mengawini wanita Muslimah sesuai dengan hukum-hukum Islam. Salah satu perkawinan itu, tulis Algadri, dengan Siti Saadiyah, putri wakil kepala penghulu. Tidak mungkin ia mengawinkan putrinya bila tidak yakin benar bahwa Snouk seorang Islam secara lahiriyah dan rohaniah. Dalam tipu dayanya dengan mengaku seorang Muslim, Snouck telah tinggal beberapa lama di Mekah, yang tidak boleh dimasuki oleh non-Muslim.


(Alwi Shahab. 8 Mei 2005 )

Menyusuri Kampung dan Tempat Tempo Doeloe

Jakarta sejak bernama Batavia banyak mengabadikan nama kampung, jalan, dan tempat mengacu pada peristiwa yang pernah terjadi atau terdapat di lokasi bersangkutan. Termasuk tokoh masyarakat yang pernah tinggal di tempat tersebut. Baik keturunan Belanda, Tionghoa, Arab, maupun pribumi. Mencerminkan Jakarta sejak tempo doeloe sudah dihuni masyarakat majemuk. Seperti Gang Thiebault (lidah Betawi menyebut Gang Tibo) di Jl Juanda III Jakarta Pusat. Mengabadikan Alfred Thiebault, seorang Belanda (1812) yang tinggal di tempat tersebut.

Memulai karir sebagai guru, ia kemudian jadi pengelola Klub Harmonie, tempat hiburan paling bergengsi kala itu. Gedung Harmonie akhir 1970'an dibongkar dan dijadikan tempat parkir gedudng Sekretariat Negara. Berkat kemahirannya, ia kemudian ditugaskan pula jadi pengelola 'Concordia' tempat hiburan untuk para opsir Belanda di Lapangan Banteng. Setelah kemerdekaan dijadikan gedung DPR pada masa RIS dan Demokrasi Liberal (1950-1959). Kini menjadi bagian dari Gedung Departemen Keuangan RI.

Jl Batuceper dulu bernama Brendesche Laan. Kini seperti juga Jl Pecenongan jadi pusat perdagangan dan bursa mobil serta motor di Jakarta. Pengusaha Eddy Tansil, kelahiran Makassar, mulai karirnya jual beli motor di sini. Setelah judi konglomerat, ia kabur dari penjara Cipinang, setelah menyuap petugas lembaga pemasyarakatan tersebut. Eddy Tansil yang jadi buronan hampir 10 tahun, menilep uang rakyat ratusan miliar perak. Sementara belasan konglomerat lainnya kini juga banyak mabur ke luar negeri, bawa kabur ratusan triliun rupiah. Ada yang bilang kalau dibelikan rumah sederhana, seluruh rakyat kecil dapat kebagian.

Jl Raya Tamansari, yang kini jadi salah satu pusat perdagangan di Jakarta Barat, dulu bernama Drossaer weg. Drossaer nama warga Belanda yang mendiami kawasan ini. Alaydruslaan (kini Jl Alaydrus) di dekat Jl Gajah Mada, mengabadikan Sayid Hoesin Alaydrus, yang memiliki tanah sangat luas di sekitar kawasan tersebut. Ia yang membangun Masjid An-Nawir yang semula mushola di Pekojan, Jakarta Barat.

Di Jakarta terdapat belasan yang berawal dari jati. Seperti Jatibaru, Jatibunder, Jatinegara, Jatipetamburan, Kramatjati, dan Jatiwaringin dan masih banyak lagi. Konon, pada abad ke-17 dan 18 jauh di selatan Batavia terdapat hutan jati. Karena laku keras di pasaran dunia, hutan jati ini oleh oknum-oknum VOC tanpa ampun ditebang secara besar-besaran. Seperti juga sekarang ini, hutan kita hampir habis digunduli para oknum yang tidak bertanggungjawab. Para oknum ini bekerjasama dengan pejabat pemerintah, dan mendapat beking oknum militer dan kepolisian. Rupanya mereka ingin meniru ulah oknum kompeni.

Di Condet, Jakarta Timur terdapat kelurahan Batuampar dan Balekambang. Menurut cerita, dulu di sini terdapat jalan yang diampari batu (Batuampar), dan bale peristirahatan yang mengambang di atas air kolom hingga disebut Balekambang. Sebelum memasuki Condet dari arah terminal Kampung Melayu, terdapat kawasan Cawang. Nama Cawang berasal nama seorang letnan Melayu yang mengabdi pada kompeni.

Enci Awang demikian sebutan nama letnan tersebut, yang lama kelamaan berubah jadi Cawang. Enci Awang adalah bawahan Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim di kawasan yang kini dikenal Kampung Melayu. Awal abad ke-20 Cawang pernah jadi buah bibir, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sairin alias bapak Cungok. Oleh pemerintah kolonial Sairin dituduh mendalangi kerusuhan di Tangerang (1924). Dia juga dituduh terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut di Condet (1916). Kala itu Condet bagian tanah partikelir Tanjung Oost (kini Tanjung Timur).

Masih di kawasan Jakarta Timur, di kecamatan Pasar Rebo, terdapat kelurahan Cijantung. Namanya berasal dari nama sebuah anak kali Ciliwung, yang dulu bernama Areman, dekat markas Brimob di Kelapa Dua sekarang. Pada pertengahan abad ke-17, kawasan ini sudah berpenghuni, seperti dilaporkan Kapten Frederick H Muller, yang memimpin ekspedisi pasukan Kompeni pertama yang menjelajah daerah selatan Meester Cornelis (Jatinegara). Saat penjelajahan ini, hutannya baru saja dibuka oleh Cornelis Senen. Ekspedisi Muller dilakukan, karena adanya berita-berita adanya gerombolan pejuang Islam dari Kesultanan Mataram di daerah pedalaman. Di samping adanya jalan darat yang biasa digunakan orang-orang Baten ke Priangan, melalui Muara Beres (di kawasan Depok), di tepi Kali Ciliwung.

Perjalanan Muller dari kastil Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta) di Jl Fatahilah, Jakarta Barat, dimulai 15 Nopember 1657, bersama pasukannya 24 orang dan dipadu 10 orang pribumi. Setelah berjalan selama tiga hari dengan susah payah merambah hutan belukar, menyuusuri tepi Kali Cuiliwung, barulah mereka sampai di Cijantung yang dihuni oleh 12 umpi, bernama Prajawangsa. Kalau sekarang dari Jatinegara ke Cijantung jalannya macet dan dipenuhi ribuan kendaraan, dulu hutannya demikian lebat hingga untuk mencapainya perlu waktu berhari-hari.

Memasuki kota tua Jakarta, sebelah utara Kantor Pos dan terminal Jakarta Kota, terdapat Jl Cengkeh. Jalan raya yang kini agak kumuh dan banyak dijumpai gedung dan perkantoran tua, sampai akhir abad ke-18 merupakan daerah paling elit di Batavia. Namanya pun kala itu Prinsentraat. Di kelilingi kanal di kiri kanannya, banyak rumah mewah milik warga Belanda. Mereka saling naik perahu saat saling berkunjung. Di sore hari, terutama malam Minggu, banyak pasangan muda-mudi bule berperahu memainkan gitar saat berpacaran.


(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Pintu Kecil di China Town Glodok

Pada awal abad ke-20, Pintu Kecil (seperti terlihat dalam foto) dijuluki ''Wall Street'', karena peranannya sebagai pusat kegiatan perdagangan dan bisnis Cina kala itu. Pintu Kecil bagian dari Glodok atawa China Town alias Pecinan, diabadikan pada akhir abad ke-19.

Dalam foto tampak sebuah delman tengah melintas di samping lalu lalang pejalan kaki termasuk pedagang kaki lima yang mangkali diemperan toko. Delman merupakan alat transportasi utama ketika itu. Pada 1860, seorang Belanda bernama FC Th Deelemen merancang kereta kuda beroda dua. Yang sampai kini populer dengan sebutan 'delman', diambil dari nama perancang.

Pintu Kecil, yang pernah pula dikenal dengan sebutan 'Pintu Amsterdam', terletak sedikit berada di luar 'kota berbenteng' di sekitar Pasar Ikan dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Sesuai namanya dulunya terdapat sebuah pintu kecil untuk masuk ke dalam benteng kota Batavia. Rumah dan gedung tua dengan arsitektur Cina yang banyak terdapat di sini, sampai 1960'an masih merupakan pemandangan sebagai kampung di negeri asal mereka. Tapi kini hanya tinggal beberapa gedung dan rumah. Ketika terjadi kerusuhan berdarah 20 Mei 1998, ratusan rumah dan gedung tua di Pintu Kecil dan kawasan Glodok dibakar dan dirusak, sementara barang-barang mereka dijarah.

Sampai kini, Pintu Kecil di pinggir jantung China Town Glodok masih merupakan salah satu pusat perdagangan dan bisnis yang banyak didatangi pembeli dari berbagai tempat di Jakarta dan tanah air. Ia terutama dikenal dengan perdagangan tekstil secara grosir. Para pedagang kemudian menjual kembali secara eceran.

Warga Cina jauh sebelum Belanda membangun Batavia (Mei 1619), telah banyak berdiam di kota ini. Mereka mula-mula tinggal di sekitar tepi Kali Ciliwung di Pintu Besar, yang kemudian merupakan bagian dari kota Batavia yang dikelilingi tembok. Setelah peristiwa pembantaian ribuan warga Cina pada September 1740, mereka tidak diperbolehkan tinggal di dalam kota. Glodok, tempat penampungan baru yang disediakan Belanda setelah pembantaian, terletak di luar kota Batavia ataua sekitar satu km sebelah utara pusat pemerintahan.

Ditetapkannya pemukiman Cina di Glodok termasuk Pintu Kecil dimaksudkan agar pihak penguasa (kompeni) mudah melakukan pengawasan terhadap mereka. Untuk itu, kawasan ini dijadikan Chineesche Kamp yang pengaturannya berada di bawah wewenang administratif para opsir Cina, semacam otonomi sekarang ini. Sebelum peristiwa berdarah yang paling suram di Jakarta, pada tahun 1720 Francois Valentijn, seorang menteri dari Negeri Belanda ketika mengunjungi Batavia membuat observasi tentang warga Cina di kota ini.

Dia menyimpulkan, mereka merupakan pekerja yang rajin dan terampil, dan penuh perhatian dalam menyuplai kebutuhan kota ini. Diantara warga Cina ini terdapat pedagang tangguh yang mensuplai porselen, cita dan pernis. Banyak di antara mereka yang menjadi pengrajin mebel dan perabotan rumah tangga, yang sebagian dapat kita saksikan di Museum Sejarah DKI di Jl Falatehan, Jakarta Barat. Pada awal abad ke-17 semakin banyak orang Cina berdatangan ke Batavia. Banyak di antara mereka yang bekerja sebagai petani karet, di sekitar kota tersebut.

Berdasarkan sensus 1920, jumlah warga asing Asia di Hindia Belanda terdiri: Cina (809.647), Arab (44,921), India (21,938) dan Jepang (3000). Pada tahun itu, mereka masing-masing mempunyai perwakilan di Volksraad (perwakilan rakyat bikinan Belanda).


(Alwi Shahab, wartawan Republika. 21 Mei 2005 )

Ketika VOC Menyerbu Jayakarta

Siang itu sejumlah bus, mikrolet dan angkot yang berdatangan dari arah selatan, harus mengantri ketika memasuki terminal Jakarta Kota. Kawasan tempat terminal itu berada lebih dikenal sebagai Kota Inten. Pasalnya, di sini dulu terdapat sebuah benteng VOC yang disebut Benteng Intan (Diamond).

Di tempat yang berdiri sebuah jembatan gantung, yang pada masa VOC dapat dibuka dan ditutup, itulah kira-kira keberadaan pusat kekuasaan pemerintahan Jayakarta. Berada di muara Ciliwung atau Kali Besar bagian barat. Perkiraan itu berdasarkan peta Ijzerman. Lokasinya diperkirakan hanya 300 meter dari pantai. Di bandar Sunda Kelapa itu, melalui hubungan dagang dengan berbagai bangsa, para kuli pelabuhan sibuk membongkar barang-barang ekspor dan impor. Di antara komoditi ekspor utama adalah rempah-rempah yang laku keras di pasar dunia. Ketika itu, rempah-rempah dibutuhkan untuk pengobatan, disamping untuk melawanan cuaca dingin.

Perkembangan perekonomian dan perdagangan itu membuat Sunda Kelapa bertambah ramai dengan penduduk makin banyak. Diperkirakan di bandar kota Jayakarta itu hidup 3.000 KK atau sekitar 15 ribu jiwa. Kota Jayakarta terbentang dari utara ke selatan, diapit dua anak sungai Ciliwung, di bagian barat dan timur. Pusat kota -- kira-kira di terminal angkutan -- terdapat alun-alun, dan di sebelah selatan terdapat keraton (dalem). Di barat alun-alun terdapat sebuah masjid, dan di sebelah utara ada sebuah pasar.

Tatakota -- dengan penempatan bangunan-bangunan seperti Jayakarta -- pada dasarnya tak berbeda dengan tata kota lainnya di pesisir utara Jawa, seperti Banten, Cerebon dan Demak. Bangunan ini mencerminkan pusat kekuasaan politik (keraton), keagamaan (masjid), pasar (perekonimian) dan alun-alun sebagai pusat pertemuan antara masyarakat dan raja beserta para anggota birokrat. Pada masa Pangeran Jayakarta Wijayakusumah -- yang menggantikan Tubagus Angke -- pagar kota yang semula dari bambu telah diganti tembok, terutama di pantai sebagai tirai laut.

Dikabarkan rakyat Jayakarta hidup damai dan tenang. Akibat perdagangan yang ramai di bandar Sunda Kelapa, mereka pun ikut menikmatinya. Namun, ketenangan itu tiba-tiba harus terhenti, ketika pada 14 Mei 1619, secara tiba-tiba datang serbuan VOC. Ini menunjukkan betapa jahatnya imperialisme dan kolonialisme bengsa Barat, dengan nafsu ingin menguasai bangsa-bangsa lain.

Albrecht Schmedlopp, seorang apoteker berkebangsaan Jerman yang saat itu menjadi serdadu VOC, menceritakan pengaklamannya saat penyerbuan VOC, dalam tulisannya berjudul Apa yang Terjadi di Jacatra. Ia yang disebutkan sebagai penulis netral menceritakan bagimana JP Coen tanpa kemanusiaan sedikitpun menghancurkan Jayakarta, termasuk sebuah masjid. Padahal ujarnya, orang Jawa (sebutan untuk pengikut Jayakarta), menginginkan perdamaian. Tapi penguasaha VOC tidak sedikitpun memperdulikan permintaan damai itu.

Pada 14 Mei 1619 pagi hari, tulis Schmedlopp, dari benteng kita (VOC) mengirimkan berbagai pasukan bersenjata ke kota dan istana (keraton). Kemudian membunyikan alarm sehingga seluruh masyarakat jadi panik. Setelah membuka gerbang benteng dan menyeberangi sungai (Ciliwung) dengan kapal kecil, pasukan VOC memasang tangga, menaikinya. Pendudukan demikian cepat dan tanpa banyak perlawanan sehingga orang-orang Jawa khilangan kotanya sebelum mereka menyadari, bahwa VOC akan mendudukinya.

Mereka hampir tidak memberi perlawanan. Mereka melarikan diri ke hutan terdekat. ''Setelah itu,'' tulis Schmidlopp, ''Pertama kita (VOC) menangkapi, kemudian membunuhi yang sisa. Kebakaran disertai kobaran api diiringi bunyi letupan-letupan sangat keras berlangsung selama tiga hari. Beberapa hari kemudian, orang mulai membangun sebuah kota dan kastil di seberang sungai. Karena menjadi berita yang sampai pada daerah sekitarnya, banyak orang asing dari berbagai negara berkunjung dan menetap di sini (Batavia). Hingga hanya dalam waktu satu tahun Batavia diperluas dua.''

Warga Jerman kelahiran Stutgart ini juga menceritakan tentang kedatangan orang Cina dari Banten. Hingga jumlah etnis ini mencapai empat ribu jiwa. Di samping orang Cina, berdasarkan laporan itu terdapat sekitar seribu orang Jerman dan Belanda, serta dua ribu orang 'hitam' -- umumnya para budak yang didatangkan dari India (Malabar), Birma (Myammar) dan Srilangka.

Sekalipun dapat ditaklukkan Belanda dalam suatu pertempuran yang sangat tidak seimbang, tapi para prajurit Jayakarta dipimpin Pangeran Ahmad Jakatra kemudian hijrah ke Jatinegara Kaum, yang jaraknya sekitar 20 km dari Jakarta Kota pusat pertahanan Belanda. Di daerah baru ini, yang kala itu letaknya sangat jauh dari pusat kota dan masih hutan belukar, mereka menyusun kekuatan. Sehingga selama 80 tahun menjadikan kota Batavia tidak aman. Para keturunan Pangeran Jayakarta ini makamnya terdapat di Jatinegara Kaum, termasuk makam sang pangeran. Seringkali banyak yang berziarah ke tempat ini.

Kalau sekarang kita memperingati HUT Jakarta tiap 22 Juni, menandai ditaklukkannya Portugis oleh balatentara Islam pimpinan Falatehan dari Demak, pemerintah kolonial selalu memperingati ulang tahun berdirinya Batavia tiap 14 Mei.


(Alwi Shahab. 22 Mei 2005 )

Pasar Baru Di Era 1920'an

Jalan Pasar Baru awal 1920'an atau 85 tahun lalu. Jembatan Pasar Baru yang selalu hiruk pikuk, tampak lengang. Alat transportasi didominasi sado atau delman. Tampak satu dua buah mobil buatan Eropa seperti Austin, Morris dan Fiat dengan bebas memasuki kawasan pertokoan.

Keberadaan Pasar Baru menyusul saat tumbuh pesatnya kawasan Weltevreden akibat banyaknya penduduk yang pindah ke kawasan yang lebih sejuk di selatan, katimbang kota lama di Pasar Ikan dan Jakarta Kota. Di dekat Pasar Baru terdapat pusat perbelanjaan Noordwijk (kini Jl Juanda), yang khusus menjual bahan pakaian dan aksesories yang didatangkan dari Eropa, termasuk dari pusat-pusat modenya. Di sekitar Pasar Baru terdapat tempat hiburan seperti klub malam 'Black Cat', kafe, dan gedung bioskop: Capitol, Astoria, Globe dan Cinema.

Foto ini diambil dari Gedung Kesenian atau Schouwburg oleh Tio Tek Hong, yang membuka toko di Pasar Baru dan memproduksi gramophone awal abad ke-20. Di antara jejeran pertokoan tampak Toko Bombay, milik orang India, dan di sebelahnya (gedung bertingkat) kini ditempati Apotik Kimia Farma. Orang India di Pasar Baru banyak penjual cita dan alat-alat olahraga. Mereka bersaing dengan orang Tionghoa yang jumlah pedagangnya jauh lebih banyak. Termasuk pemilik Toko De Zon, toko yang paling besar di pusat perdagangan ini.

Pada masa pemerintahan Bung Karno ketika nama-nama berbau asing diganti, toko ini bernama 'Sinar Matahari' yang juga merupakan arti De Zon dalam Belanda. Kini 'Matahari Grup' yang mulai usahanya dari Pasar Baru itu, telah emiliki puluhan pertokoan di pusat-pusat perbelanjaan di banyak tempat di Indonesia. Pasar Baru tempo doeloe merupakan salah satu tempat yang banyak dikunjungi warga asing saat mereka datang ke Batavia. Dinas Pariwisata Pemprov DKI Jakarta, sejak beberapa tahun lalu juga ingin menjadikannya sebagai wisata belanja dalam upaya menarik wisatawan asing ke Jakarta. Dengan adanya pusat wisata belanja mereka dapat konsentrasi berbelanja di satu tempat.

Di Pasar Baru banyak penjual valuta asing. Bila yang lewat dandanannya agak perlent secara bisik-bisik akan ditanyai: 'dolar-dolar'. Di era Presiden Soekarno, Pasar Baru merupakan pasar gelap atau black market jual beli dolar. Kala itu, orang yang ingin bepergian ke luar negeri, lebih dulu menukar rupiahnya dengan dolar atau mata uang asing lainnya di Pasar Baru dengan nilai jauh lebih tinggi, katimbang menukar di Bank Indonesia. Maklum kala itu, belum ada money changer yang sekarang bertebaran di mana-mana. Menyadari nilai rupiah terus melemah dan merosot, Bung Karno kala itu melarang media massa mengumumkan kurs mata uang asing terhadap rupiah. Maka maraklah jual beli dolar di pasar gelap.

(Alwi Shahab, wartawan Republika. 28 Mei 2005 )

Kehidupan di Batavia 1920-an

Pada tahun 1928 Batavia berpenduduk 450 ribu jiwa, 25 ribu diantaranya orang Eropa. Di antara orang Eropa itu, dua pertiganya Indo-Belanda. Mereka tersebar diseluruh kota, hidup dalam rumah besar maupun dalam tempat tinggal sederhana. Bahkan banyak yang tinggal di sepanjang jalan becek dan kotor di kampung-kampung yang terletak di pinggir kota, seperti Kemayoran, Jakarta Pusat. Kampung ini dikenal dengan istilah Belanda Kemayoran. Maksudnya, Indo Belanda yang tinggal di Kemayoran.

Tapi, bukan hanya di Kemayoran. Di beberapa kampung juga banyak tinggal para Indo Belanda mapun totok. Kalau yang belakangan ini tidak mau bergaul dengan orang kampung, tidak demikian dengan para Indo. Saat tinggal di Kwitang semasa kecil, saya banyak bergaul dengan para Indo Belanda. Hampir tiap hari bermain sepakbola dengan mereka baik di lapangan Kwitang, maupun Gambir (kini Monas). Warga Belanda dan Indo meninggalkan Indonesia pertengahan 1950-an ketika hubungan kedua negara putus karena masalah Irian Barat (Papua).

Kembali ke situasai Batavia 1928, kala itu rumah-rumah besar mendominasi pusat kota. Sampai 1950-an, di jalan raya antara Kramat, Salemba, Matraman, dan Jatinegara, terdapat banyak rumah (gedung) besar dengan pekarangan yang begitu luas. Kini gedung-gedung tersebut berubah fungsi menjadi perkantoran, perusahaan dan perhotelan. Salah satunya adalah Gedung Arsip Nasional dan Departemen Sosial, keduanya di Salemba yang dulunya merupakan rumah tinggal. Rumah-rumah tersebut pada awalnya dibangun sebagai tempat tinggal di luar kota (county residence) bagi orang Eropa, namun secara bertahap mereka terserap menjadi wilayah pinggiran kota.

Ketika itu, tulis Pamela Pattynama dalam buku Recalling the Indies, status dan kemakmuran penduduk dapat diukur dari tempat tinggalnya. Beberapa rumah menyerupai istana dengan ruangan dingin beratap tinggi yang dilengkapi galeri dan teras marmer dilatari dengan halaman rumput, hiasan pohon palem dan pohon lainnya.

Kala itu, kawasan Menteng baru saja dibangun (awal 1920-an). Di atas tanah seluas 600 hektar, ratusan pekerja termasuk para arsitek, terlihat sibuk membangunm Menteng untuk dijadikan sebagai kawasan elit Eropa. Ketika Menteng dibangun, para penduduknya (warga Betawi), dipindahkan ke Karet, Jakarta Pusat. Mereka yang tergusur telah meningkatkan ganti rugi dari lima sen menjadi lima perak (gulden) per m2. Syarikat Islam (SI) yang kala itu baru berdiri turut berperan membela penduduk hingga mendapat ganti rugi yang layak.

Seperti diceritakan Pamela Pattynama, dosen luar biasa pada Amsterdam University yang mengadakan penelitian untuk tesisnya, rumah-rumah besar tempat tinggal para elit Indo, memilikki banyak pembantu. Pada pukul lima pagi koki sudah menyiapkan kopi tubruk untuk tuan rumah sambil mengisap cerutu. Sementara tukang-tukang kebun menyapu dan membersihkan halaman dengan sapu lidi besar. Sedangkan tukang rumput membersihkan dan memangkas rumputnya. Sementara para babu sibuk menyiapkan hidangan sarapan yang terdiri dari bubur, roti dan biskuit, dengan selai atau keju.

Dalam kehidupan sehari-hari para Indo lebih banyak mengikuti adat istiadat penduduk setempat. Para wanitanya, bila berada di dalam rumah menggunakan kebaya dan kain batik. Baru di luar rumah mereka mengenakan pakaian Barat. Sedangkan pria memakai piyama pada sore hari setiba dari kantor. Sementara para nyonya memakai kimono atau hoskut. Kala itu, kantor-kantor umumnya berada di kawasan Kota. Mereka ke kantor dengan menggunakan mobil, delman atau trem listrik, yang mendominasi angkutan ketika itu.

Sepeda juga banyak digunakan, se hingga di jalan-jalan Batavia ada jalur khusus untuk sepeda. Pukul 12.00 siang, saat jam istirahat kantor, dari rumah dikirimkan rantang berisi nasi, sayur mayur, dan kerupuk. Rupanya kala itu di kantor-kantor tidak terdapat kantin seperti sekarang. Atau mungkin harganya lebih mahal.

Kehidupan kala itu sangat tenang, tidak dipusingkan oleh kemacetan lalu lintas, dan gangguan keamanan. Tidak heran pada sore hari mereka dapat berpesiar dengan leluasa ke pusat-pusat pertokoan di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Pasar Baru. Mereka akan membeli kosmetik dan barang-barang renik serta melihat-lihat desain terbaru Bonnefaas, perancang busana terkenal. Tujuan utama dari jalan-jalan shopping mereka adalah toko The Little Swiss Fashion House dan Vesteeg Fashionj Emporium untuk memperoleh pakaian wanita yang mewah.

Jika tidak menemukan apapun yang mereka sukai, mereka akan mengunjungki toko Maison dxe Bonneterie dan toko Au Printemps di Jl The Risjwijk (kini diujung Hayam Wuruk), yang masih memperoleh koleksinya langsung dari Paris. Dalam waktu pertengahan mereka minum kopi di Stam and Wijen, atau membeli es krim di Ragusa's (sampai kini masih buka di Jl Veteran I).

Ketika itu, film bicara baru saja dimulai menggantikan film bisu. Sejumlah bioskop kelas satu antara lain Rembrandt Theatre, Globe Bioscoop, Decapark, dan Troelie. Kini hanya tinggal bioskop Globe di Pasar Baru. Bintang film yang jadi pujaan penonton, khususnya para gadis, adalah Rudolph Valentino, yang berwajah tampan dan seksi.

Pada hari-hari Minggu bila tidak ke tempat peranginan di Buitenzorg (Bogor), para pemuda dan gadis pergi ke zwembad (pemandian) Manggarau atau Cikini di Weltevreden. Jadi tradisi kala itu, di kolam renang dari pukul 11 ada pertunjukan band. Para muda-mudi ini datang ke kolam renang dengan sepeda motor empat gigi -- Royal Enfield dan Harley Davidson. Setelah berenang dan dengar musik, mereka pun berdansa, dan splitjes (meminum minuman beralkohol).


(Alwi Shahab. 29 Mei 2005 )

Matraman Berasal dari Mataram

Sepintas foto yang diabadikan tahun 1870-an, atau sekitar 130 tahun lalu seperti sebuah daerah pedesaan terpencil. Tak akan ada yang membayangkan inilah Jalan Raya Matraman tempo doeloe. Ketika itu, di kiri kanan jalan terdapat banyak pohon kelapa dan pisang, sedangkan di pinggir jalan raya terdapat tiang lampu minyak yang dinyalakan pada malam hari.

Terlihat rumah-rumah sederhana dengan dinding bambu. Kini sepanjang Jl Matraman yang hiruk pikuk dan selalu macet, hampir tidak terdapat lagi rumah tinggal. Jl Matraman kini jadi kawasan bisnis dengan sejumlah hotel, perkantoran, departemen, rumah sakit, gedung pencakar langit lainnya.

Di tengah Jl Matraman kini diberi pagar besi hingga ada menjuluki 'Tembok Berlin'. Maksudnya, untuk memisahkan tawuran antara para pemuda di Jl Pal Meriam dan Jl Tegalan dengan 'anak tangsi' di Berland. Mereka beberapa tahun lalu merupakan dua musuh bebuyutan karena pertikaian soal politik. Para pemuda Berland ketika itu banyak yang menjadi anggota Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan ABRI jadi pendudukung Golkar.

Sebaliknya pemuda Palmeriam dan Tegalan menjagokan PPP. Saat kampanye Pemilu, bila iring-iringan Golkar lewat Palmeriam dan Tegalan mereka akan diganggu pemuda kedua daerah yang sebagian besar penduduknya warga Betawi. Hal yang sama terjadi bila kampanye PPP lewat Berland.

Di awal pemerintahan VOC, tentara Islam dari kerajaan Mataram dua kali menyerang Batavia (1628 dan 1629). Di tempat ini mereka menggali parit pertahanan. Di sinilah tempat pasukan Mataram bertahan pada malam hari sambil berupaya mendekati kota Batavia. Menyebabkan daerah ini disebut Matraman, berasal dari kata Mataram.

Matraman kembali jadi pusat pertahanan Belanda dan Prancis pada masa Gubernur Jenderal, Marsekal Herman Willem Daendels (1808-1811). Ketika mereka menghadapi pihak Inggris. Negeri Belanda kala itu ditaklukkan Prancis, termasuk Batavia. Armada Inggris yang ditunggu sejak lama baru mendarat di Cilincing pada 4 Agustus 1811, saat gubernur jenderal Jan Willem Jansen baru saja menggantikan Daendels. Inggris menyerang Batavia dari Malaka dan Borneo (Kalimantan) untuk mendapatkan angin musim. Tiba di Cilincing setelah dua bulan berlayar.

Pada 8 Agustus 1811 balatentara Inggris yang berjumlah 11.960 personel memasuki kota yang sudah dikosongkan. Dua hari kemudian mereka menyusur ke selatan. Menyapu tangsi-tangsi militer di sekitar lapangan Banteng, Monas dan Senen. Kemudian menyusup ke arah lebih selatan, dan terjadi pertempuran yang hebat di Matraman yang telah disiapkan untuk melawan Inggris. Kubu Belanda yang terletak di Jl Tegalan Matraman direbut Inggris. Demikian juga kubu pertahanan (arsenal) Belanda di Pal Meriam. Di selatan Matraman terdapat Rawabunga. Dulunya bernama Rawabangke. Konon, di rawa inilah banyak pasukan kedua belah pihak mati dan ditimbun di rawa, hingga dinamakan Rawabangke. Sejak saat itu dimulai pendudukan Inggris di Pulau Jawa hingga 1816. Dengan Sir Thomas Raffles sebagai letnan gubernur.


(Alwi Shahab, wartawan Republika. 4 Jun 2005 )

Kenangan Masa Kecil di Batutulis

Berbelok kearah kiri setelah melewati Jl Juanda, Jakarta Pusat, kita memasuki Jalan Pecenongan. Gedung paling ujung yang terletak antara Jl Juanda dan Pecenongan terdapat kantor PT Astra. Gedung yang cukup besar dan terletak di hook ini dulunya toko buku dan percetakan Van Dorp, milik Belanda.

Boleh dikata, Van Dorp toko buku terbesar dan terlengkap di Jakarta kala itu. Gunung Agung dan Gramedia belum muncul. Seperti juga berbagai perusahaan milik Belanda, toko buku itu 'diambil alih' pertengahan 1950-an akibat sengketa Irian Barat (Papua). Di kiri Jalan Pecenongan, dulu terdapat Gang Bongkok. Gang buntu yang dihuni warga Betawi. Mereka banyak yang berprofesi sebagai tukang binatu. Baju dan pakaian mereka cuci di Kali Ciliwung yang jaraknya tidak lebih dari seratus meter. Masih di Jalan Pecenongan, di sebelah kiri jalan menuju arah Sawah Besar terdapat Gang Abu.

Saya punya cukup banyak pengalaman ketika masa kanak-kanak tinggal di kampung ini. Seperti juga Gang Abu, banyak jalan yang sudah menghilang. Ada yang karena diganti namanya, banyak juga yang tergusur menjadi pertokoan dan pencakar langit. Semua lorong atau jalan di sini menjadi Jalan Batutulis I sampai XX.

Di Gang Abu dulu banyak berdiam keturunan Arab berdampingan dengan warga Betawi. Seperti almarhum M Asad Shahab, pendiri kantor berita Arabian Press Board (APB), pada tahun 1940 sampai 1950 tinggal di Gang Panjang (kini Jalan Batutulis I). Ketika revolusi fisik, APB berjasa besar menyiarkan proklamasi kemerdekaan ke negara-negara Arab, sehingga Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Di Gang Panjang terdapat sasana tinju, yang pada 1950-an dan 60-an menghasilkan banyak petinju terkenal seperti Bobby Nyoo dan Jacky Nyoo.

Di Gang Lebar (kini Jalan Batutulis XIII), kala itu terdapat rumah kediaman KHM Syafi'i Alkhadzami, yang kini mengajar dan membuka majelis taklim di belasan tempat. Ia pernah menjadi ketua MUI DKI Jakarta (1985-1990). Dalam usia 9 tahun dia telah khatam Alquran seperti juga banyak dilakukan anak Betawi kala itu. Kiai ini pernah mengajar di Masjid Gang Abu, berseberangan dengan rumah Habib Husein Alaydrus, cicit pendiri masjid Luar Batang, Pasar Ikan.

Di Jalan Pecenongan dulu terdapat toko buku dan penerbit G Kolff & Co. Kolff merupakan toko buku dan percetakan pertama di Jakarta, berdiri pada 1848. Pendirinya seorang Belanda bernama Johannes Cornelis Kolff. Mula-mula berkantor di Buiten Nieuwpoort (kini Pintu Besar Selatan). Kolff juga aktif di bidang pers. Dialah yang menyeponsori surat kabar terkemuka di Indonesia: Java Bode. Kantor Kolff di Pecenongan, sekarang menjadi Hotel Red Topp. Di sini juga terdapat Hotel Imperium, disamping perkantoran, restoran, dan showroom beberapa perusahaan mobil besar. Boleh dikata kini sudah tidak ada lagi rumah tinggal di Pecenongan.

Hal yang sama juga kami dapati di Jalan Batutulis, yang terletak di sebelah kirinya. Di sinilah Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo pernah tinggal semasa anak-anak. Dia tinggal bersama kakeknya, H Abdul Manaf, yang pada masa itu menjadi salah seorang tokoh NU. Kesetiannya pada NU ditularkan pada puteranya, H Syah Manaf. Seperti juga kakek dan pamannya, Ir Fauzi Bowo mengikuti jejak mereka menjadi ketua NU Jakarta Raya. Bersebelahan dengan kediaman kakeknya, terdapat rumah SMR Shahab. Dia adalah importir film-film Mesir dan pengelola bioskop Alhambra, di Sawah Besar. Bioskop ini khusus memutar film-film Mesir, sebelum tersaingi film India. Di depan bioskop terdapat Pasar Ciplak, tempat para seniman sering berkumpul.

Di Jalan Batutulis terdapat kluster tempat mendidik calon biarawati Katolik. Tempat ini terbentang dari Jalan Juanda hingga Jalan Batutulis, yang panjangnya lebih dari 500 meter. Pada masa VOC (1602-1799) agama Katolik dilarang berkembang di seluruh daerah kompeni. Baru pada 1806, ketika Louis Bonaparte menjadi Raja Belanda, agama Katolik boleh berkembang. Louis adalah adik Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte, yang berhasil menaklukkan Belanda. Pihak Prancis menyatakan memberikan perlindungan yang sama terhadap semua agama. Pada 8 Mei dicapailah kesepakatan antara Raja Louis Bonaparte dan Vatikan, hingga agama Katolik dibolehkan berkembang di Nusantara.

Penduduk Tugu, Jakarta Utara, yang beragama Protestan, dulunya Katolik. Mereka diberikan tempat tersebut setelah mengganti agamanya jadi Protestan. Di Depok, bekas keturunan budak telah dibebaskan oleh Chastelein, setelah mereka masuk Protestan. Berbelok ke kiri dari Jalan Batutulis, terdapat Jalan Juanda III. Dulu bernama Gang Thieubalt (Gang Tibo, kata orang Betawi). Jalan yang kini hanya dihuni perkantoran, rumah makan, dan berbagai tempat bisnis lainnya, mengabadikan seorang Belanda, Alfred Thiebault. Memulai karir sebagai guru, ia kemudian menjadi pengelola klub hiburan militer Concordia di Lapangan Banteng (kini menyatu dengan Depkeu). Kemudian jadi pengelola Klub Hiburan elit Belanda, Harmonie. Kini bagian dari gedung Setneg.

Di Gang Thiebault terdapat toko roti Bogerien, yang kesohor di Jakarta sampai 1950-an. Di sini juga terdapat rumah makan Italia Chez Morio yang banyak didatangi anak-anak muda. Di dekatnya terdapat Masjid Kebon Kelapa. Di masjid ini, sejak 1940-an dikembangkan ajaran tarekat oleh KH Abdul Fatah. Di dekatnya terdapat Brendesch Laan (kini Jalan Batuceper). Kemudian Gang Bedeng. Bedeng berasal dari nama pengusaha es warga Belanda: Buddungh. Di Gang Bedeng tinggal seorang ahli fikih kenamaan, almarhum Habib Abdullah Shami Alatas. Banyak ulama Betawi yang berguru kepadanya. Di kawasan ini sekarang hampir tidak terdapat lagi perumahan. Rupanya Jakarta berkembang terlalu cepat, sehingga di kanan-kiri jalan-jalan raya sudah hampir tidak tersisa lagi rumah-rumah tinggal.


(Alwi Shahab, 5 Jun 2005 )