Friday, July 22, 2005

Menelusuri Sejarah Kota Depok

Ketika Presiden Soeharto meresmikan Perumnas tahun 1976, penduduknya tidak lebih 100 ribu jiwa. Kala itu, ia hanya merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor. Hubungan ke Jakarta masih sulit. Jalan raya ke Pasar Minggu hanya satu jalur.

Kini Depok yang jadi kotamadya sejak 1999, penduduknya melonjak lebih dari 10 kali lipat. Berpenduduk 1.335.734 jiwa, ia sudah dikatagorikan sebagai kota besar. Laju penduduk masih terus melejit. Kini belasan perusahan real estat dengan penuh gairah tengah membangun ribuan rumah di Depok. Hingga hampir tidak tersisa lagi lahan persawahan dan perkebunan. Bahkan sejumlah situ ikut menciut, tergusur dan menghilang samasekali. Jadi hutan beton.

Penduduk Depok pernah disebut Belanda Depok. Anak-anaknya mendapat julukan sinyo, panggilan untuk anak Belanda. Sebutan ini tidak dapat dipisahkan dengan sejarah awal abad ke-18. Ketika 1714 Cornelis Chastelein, petinggi VOC dan tuan tanah Depok meninggal dunia dengan meninggalkan wasiat. Menghibahkan tanah Depok seluas 1.224 hektar pada para budaknya setelah lebih dulu mereka menukar agama jadi Kristen Protestan.

Keturunan para budak inilah yang dapat kita jumpai di Depok Lama dijuluki Belanda Depok. Julukan ini tidak menyenangkan mereka, karena dianggap antek Belanda. Tapi mereka tidak tersinggung disebut keturunan budak, karena kenyataan demikian. Lalu ada sejarawan Belanda menulis bahwa nama Depok berasal pada masa Cornelis Chastelein. H Nawawi Napih, penduduk Depok yang sejak 1991 mengadakan penelitian membantah Depok baru dikenal sejak masa Cornelis Chastelein membangun perkebunan di sini. Pendapatnya yang sama dikemukakan H Baharuddin Ibrahim dkk dalam buku 'Meluruskan Sejarah Depok'.

Karena sebelum Chastelein membeli tanah Depok, nama kota ini telah ada. Mereka mengutip cerita Abraham van Riebeeck ketika pada 1703, 1704, dan 1709 selaku inspektur jenderal VOC mengadakan ekspedisi menelusuri sungai Ciliwung. Melalui rute: Benteng (Batavia) - Cililitan - Tanjung (Tanjung Barat) - Seringsing (Serengseng) - Pondok Cina - DEPOK - Pondok Pucung (Terong). Tapi ada beda pendapat tentang Sejarah Depok yang disusun H Nawawi Napih dan H Baharuddin Ibrahim.

Napih, yang mendapat keterangan berdasarkan cerita MW Bakas, salah seorang keturunan asli Depok yang mengatakan, waktu perang antara Pajajaran dengan Banten-Cirebon (Islam) tentara Pajajaran membangun padepokan untuk melatih para prajuritnya dalam mempertahankan kerajaan. Padepokan ini dibangun dekat Sungai Ciliwung. Terletak antara pusat kerajaan Pajajaran (Bogor) dan Sunda Kelapa (Jakarta). Perkembangan selanjutnya padepokan ini disebut Depok sesuai lidah melayu.

Pendapat ini dengan alasan di sekitar Depok terdapat nama-nama kampung menggunakan bahasa Sunda. Seperti Parung Blimbing (di Depok Lama) di selatan, Parung Malela di utara dan Kampung Parung Serab di sebelah timur seberang Ciliwung berhadapan dengan Parung Belimbing. Semua kampung ini terletak di tepi kali Ciliwung. Kemungkinan kampung-kampung itu pada waktu perang dijadikan basis pertahanan tentara Pajajaran terhadap kemungkinan serangan Cirebon dan Banten ke pusat pemerintahan di Bogor melalui Kali Ciliwung. Kemungkinan lain sebagai basis pertahanan untuk menyerang Sunda Kelapa.

Sedangkan menurut ''Sejarah Singkat Kota Depok'' dinyatakan antara Perumnas Depok I dan Depok Utara terdapat tempat yang disebut Kramat Beji. Di sekitarnya terdapat 7 buah sumur berdiameter satu meter. Di bawah pohon beringin yang berada di antara ke 7 sumur terdapat sebuah bangunan kecil yang selalu terkunci. Di dalam bangunan yang masih dapat kita jumpai terdapat banyak sekali senjata kuno, seperti keris, tombak dan golok. Menurut keterangan di Kramat Beji, dulu sering diadakan pertemuan antara Banten dan Cirebon. Jadi senjata-senjata ini peninggalan tentara Banten waktu melawan VOC. Ditempat semacam ini biasanya diadakan latihan bela diri dan pendidikan agama yang sering disebut Padepokan. Jadi nama Depok kemungkinan besar dari kata Padepokan Beji.

Dengan judul ''Meluruskan Sejarah Depok'', H Baharuddin Ibrahim dkk membantah nama Depok dikaitkan dengan Pajajaran. Dengan alasan nama Depok di masa Pajajaran belum ditemukan, baik dalam naskah lama yang ditulis para penulis Portugis, maupun dalam cerita yang mengisahkan raja-raja Pajajaran. Padepokan baru dikenal setelah masa Islam. Karena tempat yang sama pada masa Hindu disebut Mandala.

Di padepokan inilah guru agama Islam mengajar pada para siswa atau santrinya. Di siang hari mereka bekerja di ladang, dan sore belajar agama. Para siswa ditempatkan pada sebuah asrama, sedangkan gurunya disediakan tempat di kompleks itu juga. Pelajaran yang diberikan selain pendidikan agama, juga seni bela diri (silat), dan kemungkinan latihan kemiliteran. Jadi pada masa Pajajaran, agama Islam telah berkembang di Depok.

Tapi yang jelas, diakui bahwa Depok pada masa Hindu merupakan jalur perniagaan penting. Karena berada di antara Pakuan dan Sunda Kelapa, Depok menjadi tempat persinggahan. Pelabuhan kecil yang ada di Depok ialah Cipanganteur, tukang getek menamakannya kali pengantar. Sekarang tempat tersebut bernama RAU lokasinya di Parung Malela (dekat kuburan Kristen di Depok Lama) dan terletak di tepi Ciliwung.


(Alwi Shahab, wartawan Republika. 19 Feb 2005 )

No comments: