Jakarta sejak bernama Batavia banyak mengabadikan nama kampung, jalan, dan tempat mengacu pada peristiwa yang pernah terjadi atau terdapat di lokasi bersangkutan. Termasuk tokoh masyarakat yang pernah tinggal di tempat tersebut. Baik keturunan Belanda, Tionghoa, Arab, maupun pribumi. Mencerminkan Jakarta sejak tempo doeloe sudah dihuni masyarakat majemuk. Seperti Gang Thiebault (lidah Betawi menyebut Gang Tibo) di Jl Juanda III Jakarta Pusat. Mengabadikan Alfred Thiebault, seorang Belanda (1812) yang tinggal di tempat tersebut.
Memulai karir sebagai guru, ia kemudian jadi pengelola Klub Harmonie, tempat hiburan paling bergengsi kala itu. Gedung Harmonie akhir 1970'an dibongkar dan dijadikan tempat parkir gedudng Sekretariat Negara. Berkat kemahirannya, ia kemudian ditugaskan pula jadi pengelola 'Concordia' tempat hiburan untuk para opsir Belanda di Lapangan Banteng. Setelah kemerdekaan dijadikan gedung DPR pada masa RIS dan Demokrasi Liberal (1950-1959). Kini menjadi bagian dari Gedung Departemen Keuangan RI.
Jl Batuceper dulu bernama Brendesche Laan. Kini seperti juga Jl Pecenongan jadi pusat perdagangan dan bursa mobil serta motor di Jakarta. Pengusaha Eddy Tansil, kelahiran Makassar, mulai karirnya jual beli motor di sini. Setelah judi konglomerat, ia kabur dari penjara Cipinang, setelah menyuap petugas lembaga pemasyarakatan tersebut. Eddy Tansil yang jadi buronan hampir 10 tahun, menilep uang rakyat ratusan miliar perak. Sementara belasan konglomerat lainnya kini juga banyak mabur ke luar negeri, bawa kabur ratusan triliun rupiah. Ada yang bilang kalau dibelikan rumah sederhana, seluruh rakyat kecil dapat kebagian.
Jl Raya Tamansari, yang kini jadi salah satu pusat perdagangan di Jakarta Barat, dulu bernama Drossaer weg. Drossaer nama warga Belanda yang mendiami kawasan ini. Alaydruslaan (kini Jl Alaydrus) di dekat Jl Gajah Mada, mengabadikan Sayid Hoesin Alaydrus, yang memiliki tanah sangat luas di sekitar kawasan tersebut. Ia yang membangun Masjid An-Nawir yang semula mushola di Pekojan, Jakarta Barat.
Di Jakarta terdapat belasan yang berawal dari jati. Seperti Jatibaru, Jatibunder, Jatinegara, Jatipetamburan, Kramatjati, dan Jatiwaringin dan masih banyak lagi. Konon, pada abad ke-17 dan 18 jauh di selatan Batavia terdapat hutan jati. Karena laku keras di pasaran dunia, hutan jati ini oleh oknum-oknum VOC tanpa ampun ditebang secara besar-besaran. Seperti juga sekarang ini, hutan kita hampir habis digunduli para oknum yang tidak bertanggungjawab. Para oknum ini bekerjasama dengan pejabat pemerintah, dan mendapat beking oknum militer dan kepolisian. Rupanya mereka ingin meniru ulah oknum kompeni.
Di Condet, Jakarta Timur terdapat kelurahan Batuampar dan Balekambang. Menurut cerita, dulu di sini terdapat jalan yang diampari batu (Batuampar), dan bale peristirahatan yang mengambang di atas air kolom hingga disebut Balekambang. Sebelum memasuki Condet dari arah terminal Kampung Melayu, terdapat kawasan Cawang. Nama Cawang berasal nama seorang letnan Melayu yang mengabdi pada kompeni.
Enci Awang demikian sebutan nama letnan tersebut, yang lama kelamaan berubah jadi Cawang. Enci Awang adalah bawahan Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim di kawasan yang kini dikenal Kampung Melayu. Awal abad ke-20 Cawang pernah jadi buah bibir, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sairin alias bapak Cungok. Oleh pemerintah kolonial Sairin dituduh mendalangi kerusuhan di Tangerang (1924). Dia juga dituduh terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut di Condet (1916). Kala itu Condet bagian tanah partikelir Tanjung Oost (kini Tanjung Timur).
Masih di kawasan Jakarta Timur, di kecamatan Pasar Rebo, terdapat kelurahan Cijantung. Namanya berasal dari nama sebuah anak kali Ciliwung, yang dulu bernama Areman, dekat markas Brimob di Kelapa Dua sekarang. Pada pertengahan abad ke-17, kawasan ini sudah berpenghuni, seperti dilaporkan Kapten Frederick H Muller, yang memimpin ekspedisi pasukan Kompeni pertama yang menjelajah daerah selatan Meester Cornelis (Jatinegara). Saat penjelajahan ini, hutannya baru saja dibuka oleh Cornelis Senen. Ekspedisi Muller dilakukan, karena adanya berita-berita adanya gerombolan pejuang Islam dari Kesultanan Mataram di daerah pedalaman. Di samping adanya jalan darat yang biasa digunakan orang-orang Baten ke Priangan, melalui Muara Beres (di kawasan Depok), di tepi Kali Ciliwung.
Perjalanan Muller dari kastil Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta) di Jl Fatahilah, Jakarta Barat, dimulai 15 Nopember 1657, bersama pasukannya 24 orang dan dipadu 10 orang pribumi. Setelah berjalan selama tiga hari dengan susah payah merambah hutan belukar, menyuusuri tepi Kali Cuiliwung, barulah mereka sampai di Cijantung yang dihuni oleh 12 umpi, bernama Prajawangsa. Kalau sekarang dari Jatinegara ke Cijantung jalannya macet dan dipenuhi ribuan kendaraan, dulu hutannya demikian lebat hingga untuk mencapainya perlu waktu berhari-hari.
Memasuki kota tua Jakarta, sebelah utara Kantor Pos dan terminal Jakarta Kota, terdapat Jl Cengkeh. Jalan raya yang kini agak kumuh dan banyak dijumpai gedung dan perkantoran tua, sampai akhir abad ke-18 merupakan daerah paling elit di Batavia. Namanya pun kala itu Prinsentraat. Di kelilingi kanal di kiri kanannya, banyak rumah mewah milik warga Belanda. Mereka saling naik perahu saat saling berkunjung. Di sore hari, terutama malam Minggu, banyak pasangan muda-mudi bule berperahu memainkan gitar saat berpacaran.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Friday, July 22, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment