Friday, July 22, 2005

Cerita Silat: Shao Lin Sie dan Bu Tong Pai

Film cerita silat (cersil) ternyata banyak penggemarnya. Tidak heran berbagai televisi kini berlomba menyiarkan tayangan cersil. Film berseri Return of the Condor Heroes yang tengah tayang di sebuah televisi swasta tiap malam, beberapa tahun lalu juga ditayangkan sebuah televisi swasta lainnya. Film yang pernah dibukukan dengan judul Pendekar Rajawali itu dibintangi Andi Lau (berperan sebagai Yo Ko).

Menurut pengamat masalah Cina, Leo Suryadinata, cersil di Indonesia punya sejarah amat panjang. Bukan hanya masyarakat Tionghoa, tapi masyarakat lainnya, juga menggemari cerita berlatar roman dan sejarah dari daratan Tiongkok itu.

Pada 1930-an, cersil berbahasa Indonesia sudah terbit di Indonesia. Para penulisnya etnis Tionghoa, yang kini dikenal sebagai Sastra Melayu- Tionghoa. Mula-mula untuk memenuhi permintaan kelompok peranakan yang sudah tidak bisa lagi berbahasa leluhurnya. Setelah perang dunia II (1942-1945), masyarakat Tionghoa di Nusantara mendirikan suratkabar berbahasa Cina. Ada yang berhaluan kiri (Kunchantang) dan kanan (Koumintang). Sebelum pihak komunis menguasai daratan Cina, etnis Tionghoa di Indonesia terbagi dua kelompok: pro Mao Ze Dong dan pro Chiang Kai Sek.

Surat-surat kabar tersebut memuat cersil untuk menarik pembaca. Pada 1958, karena Taiwan terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, surat kabar yang berkiblat ke Taiwan diberangus. Cersil terkenal kala itu antara lain Jenghu San Nuxie (Tiga Dara Pendekar Rimba Persilatan) dan Samhwa Nuxie (Pendekar Wanita Penyebar Bunga). Sampai sekarang kedua cersil tersebut sudah belasan kali dicetak setelah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Sementara, sejumlah surat kabar berbahasa Indonesia yang diterbitkan para peranakan Cina seperti Keng Po, Sin Po, Star Weekly, dan Pancawarna, secara tetap memuat cersil. Dan, ternyata sangat digemari, termasuk oleh para pembaca di luar keturunan Cina. Kemudian, cersil itu diterbitkan dalam bentuk buku. Buku-buku cersil bukan hanya laku di golongan Tionghoa, tapi juga pribumi, tulis Leo Suryadinhata dalam buku Sastra Peranakan Tionghoa-Indonesia.

Tahun 1960-an, politik Indonesia cenderung ke kiri-kirian. Dan, cersil dianggap sebagai karya 'kontra revolusi', sebutan yang sangat ditakuti saat itu dan sering dilontarkan oleh golongan kiri terhadap lawan-lawan politiknya.

Setelah G30S, cersil dalam bentuk saku tidak terhitung banyaknya. Sampai sekarang masih kita dapati di toko-toko buku, kios dan tempat penyewaan buku. Satu cersil terdiri dari 20-60 bahkan 70 jilid. Tiap bulan terbit dua atau empat jilid, dan butuh satu tahun untuk tamat. Menurut penelitian Leo Suryadinata, tiap seri dicetak 10 ribu hingga 15 ribu eksemplar. Film-film silat Hongkong dan Taiwan mendorong minat masyarakat untuk membaca cersil.

Pada 1980-an, banyak penerbit menerjemahkan cersil lama seperti Pang Coan Thian Lie (Bidadari Dari Sungai Es). Cersil terkenal lainnya adalah Sia Thiauw Eng Hiang yang terdiri dari 67 jilid. Cersil yang dibaca luas adalah Sin Tiauw Hiap Lu dan To Liong To (Golok Pembunuh Naga). Pembaca cersil banyak yang hafal kata-kata bahasa Cina yang diselipkan, seperti lwekang (tenaga dalam), dunia kangouw (persilatan), suheng (saudara seperguruan), sumoy (saudara perempuan seperguruan), dan piebu (pertandingan). Nama perguruan silat yang terkenal di Tiongkok, antara lain adalah Shao Lin Sie dan Bu Tong Pai.

Bercerita tentang cersil tidak dapat dipisahkan dari nama Kho Ping Ho yang mendadak meninggal Juli 1994. Menurut Leo Suryawinata, selama 30 tahun ia telah menulis 120 karya. Tapi penulis yang produktif ini tidak bisa baca dan tulis bahasa Cina. Asmaraman Kho Ping Ho yang lahir 1926 ini banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Sekalipun ia telah meninggal 11 tahun lalu, tapi buku-bukunya hingga sekarang masih beredar. Bila tiap jilid dibaca 25 orang, maka tiap edisinya kira-kira dibaca oleh 1,6 juta orang.

Mengapa masyarakat Indonesia senang membaca cersil? Karena cersil ada kemiripannya dengan cerita sejarah. Ada filsafatnya, percintaan dan pertarungan. Seperti dalam perkelahian antara yang baik dan jahat, yang baik selalu menang dan yang jahat kalah. Di samping itu, cersil mengasikkan dan sering membuat pembacanya terhanyut dalam fantasi. Di Indonesia penggemarnya termasuk sejumlah menteri. Seperti mantan Pangkopkamtib Sudomo dan mantan Menteri Penerangan Mashuri. Pernah diberitakan Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwo IX saat kurang sehat memaksakan diri menonton seri cersil sampai larut malam, yang mengakibatkan ia jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit (Majalah Tempo, 13 Juli 1985).

Mengenai sastra peranakan Tionghoa jumlahnya mencapai ribuan judul. Dengan jumlah pengarang ratusan orang. Tepatnya selama hampir 100 tahun, kesasteraan Melayu Tionghoa melibatkan 806 penulis dengan 3005 karya tulis. Suatu jumlah yang cukup fantastis. Karena menurut Prof Dr Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918-1967) kesasteraan modern Indonesia hanya melibatkan 175 penulis dan sekitar 400 karya. Dihitung sampai 1979 ada 287 penulis dan 770 karya. Dan sampai tahun 1960-an, tiras suratkabar Keng Po dan Sin Po paling besar di Indonesia.


(Alwi Shahab. 17 April 2005 )

No comments: