Friday, July 22, 2005

Ketika VOC Menyerbu Jayakarta

Siang itu sejumlah bus, mikrolet dan angkot yang berdatangan dari arah selatan, harus mengantri ketika memasuki terminal Jakarta Kota. Kawasan tempat terminal itu berada lebih dikenal sebagai Kota Inten. Pasalnya, di sini dulu terdapat sebuah benteng VOC yang disebut Benteng Intan (Diamond).

Di tempat yang berdiri sebuah jembatan gantung, yang pada masa VOC dapat dibuka dan ditutup, itulah kira-kira keberadaan pusat kekuasaan pemerintahan Jayakarta. Berada di muara Ciliwung atau Kali Besar bagian barat. Perkiraan itu berdasarkan peta Ijzerman. Lokasinya diperkirakan hanya 300 meter dari pantai. Di bandar Sunda Kelapa itu, melalui hubungan dagang dengan berbagai bangsa, para kuli pelabuhan sibuk membongkar barang-barang ekspor dan impor. Di antara komoditi ekspor utama adalah rempah-rempah yang laku keras di pasar dunia. Ketika itu, rempah-rempah dibutuhkan untuk pengobatan, disamping untuk melawanan cuaca dingin.

Perkembangan perekonomian dan perdagangan itu membuat Sunda Kelapa bertambah ramai dengan penduduk makin banyak. Diperkirakan di bandar kota Jayakarta itu hidup 3.000 KK atau sekitar 15 ribu jiwa. Kota Jayakarta terbentang dari utara ke selatan, diapit dua anak sungai Ciliwung, di bagian barat dan timur. Pusat kota -- kira-kira di terminal angkutan -- terdapat alun-alun, dan di sebelah selatan terdapat keraton (dalem). Di barat alun-alun terdapat sebuah masjid, dan di sebelah utara ada sebuah pasar.

Tatakota -- dengan penempatan bangunan-bangunan seperti Jayakarta -- pada dasarnya tak berbeda dengan tata kota lainnya di pesisir utara Jawa, seperti Banten, Cerebon dan Demak. Bangunan ini mencerminkan pusat kekuasaan politik (keraton), keagamaan (masjid), pasar (perekonimian) dan alun-alun sebagai pusat pertemuan antara masyarakat dan raja beserta para anggota birokrat. Pada masa Pangeran Jayakarta Wijayakusumah -- yang menggantikan Tubagus Angke -- pagar kota yang semula dari bambu telah diganti tembok, terutama di pantai sebagai tirai laut.

Dikabarkan rakyat Jayakarta hidup damai dan tenang. Akibat perdagangan yang ramai di bandar Sunda Kelapa, mereka pun ikut menikmatinya. Namun, ketenangan itu tiba-tiba harus terhenti, ketika pada 14 Mei 1619, secara tiba-tiba datang serbuan VOC. Ini menunjukkan betapa jahatnya imperialisme dan kolonialisme bengsa Barat, dengan nafsu ingin menguasai bangsa-bangsa lain.

Albrecht Schmedlopp, seorang apoteker berkebangsaan Jerman yang saat itu menjadi serdadu VOC, menceritakan pengaklamannya saat penyerbuan VOC, dalam tulisannya berjudul Apa yang Terjadi di Jacatra. Ia yang disebutkan sebagai penulis netral menceritakan bagimana JP Coen tanpa kemanusiaan sedikitpun menghancurkan Jayakarta, termasuk sebuah masjid. Padahal ujarnya, orang Jawa (sebutan untuk pengikut Jayakarta), menginginkan perdamaian. Tapi penguasaha VOC tidak sedikitpun memperdulikan permintaan damai itu.

Pada 14 Mei 1619 pagi hari, tulis Schmedlopp, dari benteng kita (VOC) mengirimkan berbagai pasukan bersenjata ke kota dan istana (keraton). Kemudian membunyikan alarm sehingga seluruh masyarakat jadi panik. Setelah membuka gerbang benteng dan menyeberangi sungai (Ciliwung) dengan kapal kecil, pasukan VOC memasang tangga, menaikinya. Pendudukan demikian cepat dan tanpa banyak perlawanan sehingga orang-orang Jawa khilangan kotanya sebelum mereka menyadari, bahwa VOC akan mendudukinya.

Mereka hampir tidak memberi perlawanan. Mereka melarikan diri ke hutan terdekat. ''Setelah itu,'' tulis Schmidlopp, ''Pertama kita (VOC) menangkapi, kemudian membunuhi yang sisa. Kebakaran disertai kobaran api diiringi bunyi letupan-letupan sangat keras berlangsung selama tiga hari. Beberapa hari kemudian, orang mulai membangun sebuah kota dan kastil di seberang sungai. Karena menjadi berita yang sampai pada daerah sekitarnya, banyak orang asing dari berbagai negara berkunjung dan menetap di sini (Batavia). Hingga hanya dalam waktu satu tahun Batavia diperluas dua.''

Warga Jerman kelahiran Stutgart ini juga menceritakan tentang kedatangan orang Cina dari Banten. Hingga jumlah etnis ini mencapai empat ribu jiwa. Di samping orang Cina, berdasarkan laporan itu terdapat sekitar seribu orang Jerman dan Belanda, serta dua ribu orang 'hitam' -- umumnya para budak yang didatangkan dari India (Malabar), Birma (Myammar) dan Srilangka.

Sekalipun dapat ditaklukkan Belanda dalam suatu pertempuran yang sangat tidak seimbang, tapi para prajurit Jayakarta dipimpin Pangeran Ahmad Jakatra kemudian hijrah ke Jatinegara Kaum, yang jaraknya sekitar 20 km dari Jakarta Kota pusat pertahanan Belanda. Di daerah baru ini, yang kala itu letaknya sangat jauh dari pusat kota dan masih hutan belukar, mereka menyusun kekuatan. Sehingga selama 80 tahun menjadikan kota Batavia tidak aman. Para keturunan Pangeran Jayakarta ini makamnya terdapat di Jatinegara Kaum, termasuk makam sang pangeran. Seringkali banyak yang berziarah ke tempat ini.

Kalau sekarang kita memperingati HUT Jakarta tiap 22 Juni, menandai ditaklukkannya Portugis oleh balatentara Islam pimpinan Falatehan dari Demak, pemerintah kolonial selalu memperingati ulang tahun berdirinya Batavia tiap 14 Mei.


(Alwi Shahab. 22 Mei 2005 )

No comments: