Wednesday, December 19, 2007

Habib Abubakar, Pendiri Jamiat Kheir

Batavia, sebutan kota Jakarta tempo dulu, di tahun 1900 sedang memasuki periode kota kolonial modern. Sistem transportasi dan komunikasi berkembang pesat. Angkutan kereta api Jakarta-Bogor mulai diperkenalkan, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok semakin ramai oleh pendatang dari Belanda dan Eropa.

Tapi hanya orang-orang Belanda saja yang menikmati kemajuan tersebut. Sementara masyarakat pribumi, termasuk orang-orang keturunan Arab, masih saja bergelut dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Terhadap keturunan Arab ini, Belanda menganggap keberadaan mereka di Indonesia sangat membahayakan politik kolonialnya yang anti-Islam. Pada waktu bersamaan, semangat Pan-Islamisme tengah berkobar di Turki dan pejuang Islam kaliber internasional dari Ahlul-Bayt, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bergaung hingga ke Indonesia.

Di Indonesia, paham Pan-Islamisme pun masuk, dan kaum Alawiyyin dituduh sebagai pembawanya. Tidak mengherankan bila Belanda begitu benci kepada Islam dan orang-orang keturunan Arab. Di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah, citra buruk Arab digambarkan secara kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah. Menurut Mr Hamid Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, banyak kalangan Arab dan Muslim enggan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda. Dalam situasi tekanan kolonial itulah, seorang tokoh alim ulama, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, berinisiatif mendirikan sebuah perguruan Islam, Jamiat Kheir, tahun 1901.

Bukan hanya mengajarkan agama, lembaga ini juga memberikan pendidikan umum. Bersama Abubakar bin Ali Shahab, bergabung sejumlah pemuda Alawiyyin yang mempunyai kesamaan tekad memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda jahat Belanda yang anti-Islam. Mereka antara lain, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad Alhabsyi, dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama ini, Jamiat Kheir tumbuh pesat. Mereka lantas memindahkan pusat organisasi ini dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang).

Kegiatan organisasi ini meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen. Organisasi ini juga dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam. Sebut misalnya KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H Samanhudi (tokoh Budi Utomo), dan H Agus Salim. Beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota, atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.

Mendapat gemblengan Hadramaut

Habib Abubakar lahir di Jakarta tanggal 28 Rajab 1288 H (130 tahun lalu), dari seorang ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut. Ibunya bernama Muznah binti Syech Said Naum merupakan keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman (Di zaman Gubernur Ali Sadikin tahun 70-an, pemakaman ini dipindahkan ke Jeruk Purut dan Karet, dan lahannya dipergunakan untuk membangun rumah susun pertama di Indonesia).

Dalam usia 10 tahun, tepatnya tahun 1297H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. Di sana, Abubakar muda menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas hanya dengan berguru, beliau selalu mendatangi tempat-tempat pengajian dan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka. Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura. Tiba di Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Setelah mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut, Habib Abubakar lantas mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.

Pada usia 50 tahun atau pada tanggal 1 Mei 1926, untuk kedua kalinya beliau kembali berangkat ke Hadramaut disertai dua orang putranya, Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir, dan Mukalla sebelum akhirnya tiba di Damun, Hadramaut, pada tanggal 20 Zulqaidah 1344 H. Di tempat-tempat yang disinggahi, Habib Abubakar juga selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Tiba di Hadramaut, dia memperbaiki sejumlah masjid, antara lain masjid Al-Mas. Bahkan, ia juga membangun masjid Sakran yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya. Habib Abubakar tidak pernah jemu berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin.

Sampai kini, madrasah yang didirikannya di Damun masih berdiri dengan baik, begitu juga Yayasan Iqbal yang didirikannya di kota itu. Pada 27 Syawwal 1354 H, Habib Abubakar sampai di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di tanah suci berbarengan dengan kedatangan Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi dari Kwitang, seorang ulama besar di Jakarta yang menjadi shahabat karibnya. Mereka bersama-sama menziarahi tempat-tempat mulia dan parah tokoh ulama. Tanggal 11 Safar 1356 H bertepatan dengan 23 April 1937 M, ia berangkat pulang ke Jakarta. Kegiatan sosial dan pendidikan menjadi perhatian utamanya selama berada di Indonesia. Pada 14 November 1940, ia menghadiri pembukaan madrasah/ma'had di Pekalongan. Madrasah ini dibangun oleh sepupunya, Habib Husein bin Ahmad bin Abubakar Shahab.

Pembukaan sekolah di Pekalongan ketika itu mendapat sambutan meriah bukan saja dari warga setempat, tapi juga dari tokoh masyarakat Jakarta, Cirebon, Solo, Gresik, dan Surabaya. Di samping itu perjuangan Habib Abubakar untuk kemajuan agama tidak pernah berhenti. Bukan hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga untuk mendermakan harta bendanya. Sebagai wakil dari Al-Rabithah Al-Alawiyyah, ia telah beberapa kali ditugaskan mencari dana bukan hanya untuk kepentingan kelompok Alawiyyin, tapi juga masyarakat luas. Pada tanggal 18 Maret 1944 M, saat pendudukan Jepang, ia wafat di Jakarta. Habib Abubakar dimakamkan di pekuburan wakaf kakeknya di Tanah Abang. Ia meninggalkan tujuh orang putra-putri yang juga menekuni jalan dakwah.

SD Islam Binakheir

Mengawinkan Kurikulum Nasional-Internasional

Ada keistimewaan khusus dari SD Islam Binakheir. Sekolah yang terletak di Jl Tole Iskandar, Depok ini memadukan berbagai unsur terbaik kurikulum nasional terbaru (2006) serta kurikulum internasional yang diadopsi dari lembaga pendidikan berpengalaman dan berprestasi. Adalah SD Islam Lazuardi GIS yang dijadikan acuan, sekaligus penyelia sekolah ini.

SD Islam Binakheir juga menerapkan sistem tritunggal, yaitu bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab. Sekolah ini memadukan antara agama dan sains serta didukung oleh guru-guru yang berpengalaman dan dan bereputasi di dunia pendidikan.

Dalam menyelanggarakan kegiatannya, SD Islam Binakheir memanfaatkan semua temuan mutakhir di bidang pendidikan. ''Antara lain metode contextual learning, quantum learning, accelarated learning, dan paradigma kecerdasan majemuk (multiple intellegences),'' ujar Kepala Sekolah Binakheir, Fauziah Shahab, Senin (3/4).

Kesemuanya mengarah kepada pendidikan partisipatif yang merangsang pengembangan pengembangan wawasan, kreativitas, inisiatif, dan kemampuan siswa. Selain itu juga mengembangkan kepribadian dan akhlak mulia anak dalam suasana yang ramah, akrab lingkungan, dan menyenangkan.

Binakheir School, merupakan bagian dari Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir yang berdiri lebih dari satu abad lalu (lihat box). Perguruan Islam yang kini berpusat di Tanah Abang, Jakarta Pusat ini juga memiliki cabang di kota-kota Solo, Pekalongan, dan Surabaya.

Perintis pendidikan Islam modern

Menjelang akhir abad ke-19 di Negeri Belanda terjadi pergolakan politik hebat antara kaum liberal dan konservatif. Dengan bantuan kaum modal (kapitalis), pihak liberal memperoleh kemenangan besar. Apa yang terjadi di negeri Belanda ini besar pengaruhnya di Tanah Air. Karena kaum modal menghendaki agar di Hindia Belanda dijalankan ekomomi liberal, yakni kebebasan berusaha dan berniaga.

Yang paling merasakan perubahan ini tentunya Batavia. Akibat berbondong-bondongnya modal swasta, baik dari Belanda, Eropa laibnnya, bahkan juga AS. Untuk melancarkan administri pemerintahan dan modal asing, pemerintah kolonial memerlukan tenaga terdirik. Maka dibangunlah sekolah-sekolah. Sayangnya Belanda melakukan diskriminasi. Khususnya pada kaum Muslimin dan anak-anak mereka. Sementara Islam sering dilecehkan.

Karena itulah, pada awal 1901, secara diam-diam sejumlah habib dan kiai mendirikan Jamiatul Kheir. Lembaga Islam ini lahir untuk menjawab ketimpangan pendidikan waktu itu. Lembaga pendidikan Islam ini mendapat dukungan luas dan dengan cepat menjadi terkenal. Para murid bukan hanya dari Jakarta, tapi juga berbagai tempat di Indonesia.

Jamiat Kheir boleh dikatakan merupakan lembaga pendidikan Islam modern pertama di Indonesia. Sebelumnya hanya berbentuk pengajian dari rumah ke rumah. Lembaga ini mula-mula berdiri di Pekojan, Jakarta Barat, yang kala itu sebagian besar penghuninya keturunan Arab. Setelah berjalan dua tahun, pada 1903 Jamiat Kheir meminta izin resmi pada pemerintah Hindia Belanda.

Karena dicurigai, izin tidak berjalan mulus. Baru pada 1905 keluar pengesahan dari pemerintah keolonial. Itu pun dengan syarat tidak boleh mendirikan cabang di lain tempat. Karena itu, cabang-cabangnya di Solo, Pekalongan, dan Surabaya muncul dengan nama lain. Karena tujuannnya untuk mencerdaskan umat, sejumlah tokoh Islam bergabung dengan Jamiat Kheir. Seperti HOS Tjokroaminoto (Syarikat Islam), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan H Agus Salim.

Jamiat Kheir juga ikut menggaungkan gerakan Pan Islam dari Sayid Jamaluddin Al-Afghani, Syeikh Muhammad Abduh, dan Sayid Rasyid Riudha. Dengan mendatangkan majalah-majalah dari Timur Tengah. Pada Oktober 1919, Jamiat Kheir pindah ke Tanah Abang, hingga kini.

Visi yayasan Jamiat Kheir adalah menjadi lembaga dakwah dan pendidikan Islam yang unggul serta menghasilkan anak didik berwawasan Islam yang menguasai ilmu pengetahuan. Sedangkan misinya menyiarkan agama Islam dan pengajaran bahasa Arab.

Friday, December 07, 2007

Pajak Kepala dan Rumah Pelacuran

Pemerintah kini mengenjot pemasukan dari sektor pajak untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara yang makin membengkak setelah harga minyak di pasaran dunia mendekati 100 dolar AS per barel. Tidak heran kalau separuh dari 62 ribu pegawai Departemen Keuangan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Dari jumlah itu sebanyak 3000 orang adalah tenaga auditor. ''Kami membutuhkan paling sedikit delapan ribu auditor.'' kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Gubernur Jenderal VOC JP Coen punya kelihaian dalam memungut pajak. Begitu dia mengangkat Souw Beng Kong sebagai Kapitan Cina, ia pun mengeluarkan peraturan pada 9 Oktober 1619: Tiap orang Cina yang berumur antara 16 sampai 60 tahun wajib membayar pajak sebesar 1,5 reak per kepala. Tidak main-main. Pajak yang cukup memberatkan itu berlaku 200 tahun, sampai 1900.

Ketika daratan Cina dikuasai oleh dinasti Mancu, adat istiadat dari negara di bagian utara Korea ini ditularkan kepada negara jajahannya. Maka rakyat Cina mengikuti jejak penjajah. Rambut bagian atas dicukur sampai licin, dan bagian belakang dipanjangkan kemudian dikepang atawa dikuncir seperti layaknya wanita. Selain disibukkan urusan melicinkan kepala bagian atas yang cepat tumbuh seperti layaknya kita mencukur jenggot, tiap kepala juga dikenai pajak.

Bukan hanya pajak kepala. Belanda menyadari kesukaan warga Cina pada judi dan hampir dilakukan di tiap acara, termasuk saat kematian di kalangan keluarga. Belanda juga mengagumi kesenangan mereka akan seks. Maka diberlakukanlah pajak judi dan pajak rumah pelacuran (suhian).

Selain itu, masih ada pajak kuku panjang yang menandakan orang kaya yang santai. Juga pajak tembakau dan pemotongan babi. Kalau sekarang pembayar pajak diingatkan melalui surat, ketika itu di kediaman Kapiten Cina dipasang bendera, mengingatkan agar masyarakatnya segera membayar pajak. Sampai sekarang di Jakarta Kota terdapat kampung Tiang Bendera.

Sedangkan warga Cina yang berdiam di luar wilayah kota, membayar pajak pada potia yakni kepala atau mandor pengelola perkebunan atau pertanian. Seperti juga sekarang petugas pajak ada yang bermain dengan pembayar pajak demikian pula terjadi di masa lalu. Masyarakat Cina di Indonesia, terutama generasi mudanya, pernah melakukan perlawanan terhadap keharusan memakai kuncir. Mereka sudah tidak mau melakukannya lagi sejak 1904, meskipun generasi tua menganggapnya sebagai adat lelahur. Kebiasaan ini baru dihapus tahun 1911, ketika Cina sudah merdeka.

Belanda juga mengangkat para kapiten dari berbagai etnis lainnya. Maksudnya agar berbagai etnis di Batavia mengikuti adat istiadat leluhur etnisnya masing-masing. Seperti orang Sunda dan Jawa memperkuat adat istiadat leluhur mereka. Begitu juga dengan etnis-etnis India, Arab, dan Eropa. Tapi dibandingkan etnis Cina, bangsa-bangsa Asia dianggap tidak seberapa penting oleh Belanda.

Setiap kelompok rasial mempunyai pemimpin yang dipilih oleh kelompoknya, yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur jenderal dan diberi tanggung jawab memelihara ketenteraman dan ketertiban di kampung-kampung. Tapi tak ada gengsi dan kekuasaannya yang menyamai kapiten Cina.

Ada dua keuntungan VOC dengan pengaturan warga pribumi yang ditempatkan di luar kastil dan tembok kota. Pertama, sebagai pertahanan kota terhadap serangan dari luar, terutama dari Banten dan Mataram. Dan, kedua, dengan memberikan wilayah tempat bermukimn di luar kota, berarti mengembangkan kota dan pengelolaan pertanian-perkebunan di wilayah tersebut.

Dengan begitu VOC tidak perlu mengeluarkan dana lagi bagi penghidupan mereka. Bersama dengan warga Cina, warga pribumi mengembangkan wilayah pinggiran yang disebut Ommelanden menjadi kawasan yang menghidupi Batavia. Berlainan dengan pemukim Indonesia yang harus menjaga keamanan kota, warga Cina lebih suka memberi konpensasi dengan membayar pajak kepala yang dikenakan kepada mereka selama 1620-1900.

Orang Cina di Batavia yang jumlahnya pernah mencapai hampir separuh penduduk kota terlibat dalam hampir semua pekerjaan: mulai tukang bangunan, pemasok bahan bangunan, tukang besi, tukang kayu, ahli melapis barang-barang emas, sampai kepada perikanan, pembuatan garam serta pertanian dan pengelolaan gula dan tebu.

Seperti halnya opsir Cina, komandan pribumi tidak mendapatkan gaji dari VOC. Mereka hanya terima tunjangan saja. Komandan pribumi juga memegang lisensi untuk memungut pajak. Tetapi jenisnya agak terbatas, yakni pajak pemotongan hewan, pajak berdagang di atas perahu atau kapal, dan pajak pasar ikan.

Berlainan dengan komandan pribumi, para kapiten Cina seperti Souw Beng Kong mengurus masyarakat Cina laksana raja-raja Mandarin. Orang Cina membangun rumah sakit mereka sendiri dan menjalankannya sendiri tidak kalah dengan rumah sakit Belanda kini menjadi Museum Mandiri di depan stasion kereta api Jakarta Kota. Mereka juga membangun sekolah-sekolah yang tidak kalah dengan sekolah yang dibangun Belanda.

(Alwi Shahab )

Salemba: Daendels vs Raffles

Inilah foto Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, pada akhir abad ke-19 saat dimulainya fotografi di Batavia. Pada masa penjajahan Salemba bernama Struiswijk. Jalan yang tampak masih senyap di kiri kanannya dipenuhi pepohonan yang rindang yang sekarang ini kering kerontang dan penuh pertokoan. Salemba merupakan salah satu jalan yang dibangun oleh Daendels ketika memerintah (1808-1811) hingga dikenal dengan jalan Daendels.

Salemba terletak di perbatasan antara Batavia dan Meester Cornelis. Kenapa demikian? Karena sejak 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atawa gemeente, yakni gemeente Batavia dan Meester Cornelis (kini Jatinegara). Baru tahun 1935 gemeente Batavia digabungkan dengan Meester Cornelis.

Dalam foto juga tampak jalan trem uap dari Jatinegara-Salemba-Senen, dan Jakarta Kota. Sedangkan dari kejauhan tampak trem uap yang tengah menggelinding dari arah Jatinegara menuju Kota. Juga tampak gerobak kuda tengah mengangkut muatan di tengah jalan yang sunyi senyap.

Salemba mulai banyak dikenal ketika pemerintah Belanda membangun perguruan tinggi yang kini bernama UI. Lusinan para alumni UI yang telah menjadi menteri. Dan dari UI inilah berbagai kegiatan mahasiswa dilancarkan untuk menumbangkan Bung Karno. Bagi calon mahasiswa lulus UI merupakan suatu kebanggaan. Di belakang Fakultas Kedokteran UI terdapat RSUP Tjipto Mangunkusumo yang juga menjadi tempat praktek para mahasiswa kedokteran.

Rumah sakit ini dulu dikenal dengan nama CBZ. Berbelok kekiri dari depan UI, terletak Jl Salemba Tengah. Di ujung jalan ini terdapat penjara Salemba. Pada masa kolonial penjara ini juga dijadikan tempat memenjarakan para pejuang yang oleh Belanda dinilai ingin menumbangkan pemerintah kolonial. Waktu itu banyak di antara mereka yang bergerak di bawah tanah.

Salemba dalam sejarah juga mencatat pada Agustus 1811 bala tentara Inggris setelah terlebih dulu menguasai Kota dan Senen, tanpa mengenal ampun melaju ke kawasan ini Salemba, jalan yang dibangun Daendels. Anak revolusi Prancis ini telah menyiapkan tangsi-tangsi di sekitar Matraman yang kala itu masuk dalam bagian Meester Cornelis.

Ribuan tentara Inggris dengan mati-matian bertempur melawan pasukan Belanda/Prancis (saat itu Batavia dikuasai Prancis). Tentara gabungan Belanda-Prancis yang menyerah, sebanyak 6.000 orang pasukannya ditawan. Setelah pesta kemenangan dan peperangan dilupakan, opsir-opsir Inggris yang muda mengadakan pesta pora dan menemukan teman pesta dansa di kalangan gadis-gadis Belanda dan Indo dengan penuh gairah.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Penyebaran Islam di Betawi

Sejarawan keturunan Jerman, Adolf Heuken SJ, dalam buku Masjid-masjid Tua di Jakarta, menulis tiada masjid di Jakarta sekarang ini yang diketahui sebelum 1640-an. Dia menyebutkan Masjid Al-Anshor di Jl Pengukiran II, Glodok, Jakarta Kota, sebagai masjid tertua yang sampai kini masih berdiri. Masjid ini dibangun oleh orang Moor -- artinya pedagang Islam dari Koja (India).

Sejarah juga mencatat pada Mei 1619, ketika VOC menghancurkan Keraton Jayakarta, termasuk sebuah masjid di kawasannya. Letak masjid ini beberapa puluh meter di selatan Hotel Omni Batavia, di antara Jl Kali Besar Barat dan Jl Roa Malaka Utara, Jakarta Kota.

Untuk mengetahi sejak kapan penyebaran Islam di Jakarta, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, bisa dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Syekh Quro, atau Syekh Hasanuddin, berasal dari Kamboja. Mula-mula maksud kedatangannya ke Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh urung meneruskan perjalanannya ke timur. Ia menikah dengan seorang gadis Karawang, dan membangun pesantren di Quro.

Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang. Di kemudian hari, seorang santri pesantren itu, yakni Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam. Banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya.

Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar.

Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527), Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke.

Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi.

Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik -- melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki 'ilmu' yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan rersi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur).

Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar komplek Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi 'isi' aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan (1527).

Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan (1518). Sementara, di Lemah Abang, Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan perlawanan terhadap Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi.

Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi bermula pada abad ke-19 dengan tokoh-tokoh Guru Safiyan atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat.

Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.

Kemudian, sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawakitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi'ie, dan KH Tohir Rohili.

Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.

(Alwi Shahab )

Hukuman Gantung di Alun-alun

Inilah hukuman gantung di masa kolomial pada awal abad ke-20. Tapi pelaksanaan eksekusi bukan di Lapangan Balai Kota (Stadhuis) yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta di Jakarta Kota. Namun eksekusi hukuman gantung terakhir terhadap seorang perampok bernama Tjoe Boen Tjeng terjadi di tempat ini pada 1896, dia memberlakukan korbannya seorang wanita Tionghoa secara kejam, yang juga sekarang ini banyak sekali terjadi di Jakarta. Ketika hukuman gantung berlangsung di Balai Kota Jakarta Utara, si pelaku pidana mati di tiang gantungan dengan pedang atau semacam guilotine primitif.

Kalau sekarang ini terpidana mati ditembak di tempat yang disembunyikan, dulu disaksikan banyak orang seperti terlihat dalam foto. Bahkan masyarakat secara luas diminta untuk menyaksikannya. Ketika terjadi eksekusi terhadap perampok Tjoen Boen Tjeng, yang paling banyak menyaksikan justru kaum wanita. Rupanya mereka bersimpati kepada korban perampokan seorang wanita. Tapi yang jelas hati wanita tempo doeloe lebih tabah karena tidak gentar melihat hukuman yang sangat sadis itu.

Setelah hukuman gantung tidak lagi dilakukan di alun-alun Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah DKI dengan penjara bawah tanahnya yang sangat menyeramkan. Penjara kemudian dipindahkan kesebelah timur Jl Hayam Wuruk dan bersebrangan kali dengan Hotel Jayakarta. Dalam gambar terlihat di tengah alun-alun disiapkan tiang gantungan dengan sebuah tangga bambu. Di bawahnya samar-samar terlihat seorang narapidana yang berpakaian putih-putih dengan bagian muka tertutup juga dengan kain putih. Berdiri ditangga seorang algojo dan begitu tambang ditarik maka tercekiklah si pidana mati. Di bagian kiri dengan baju hitam-hitam tampak sejumlah pengawal penjara.

Mereka yang ditahan karena perkara sipil, diharuskan membawa makanan atau minta makanan yang dikirim dari luar. Seperti juga masa kini, para sipir penjara sering meminta 'uang rokok' supaya mengizinkan makanan yang dikirim itu benar-benar disampaikan pada yang bersangkutan. Sejak zaman VOC jabatan sipir dianggap basah. Apalagi sekarang ini penjara menjadi tempat transaksi narkoba. Dan banyak tuduhan orang dalam ikut bermain. Seperti Eddy Tansil yang menilep uang negara ratusan miliar pada masa Pak Harto belasan tahun lalu berhasil melarikan diri berkat 'jasa' seorang petugas penjara Cipinang.

Dalam 'Cerita si Conat', seorang kepala perampok yang hidup pertengahan abad ke-19, pengarang FDJ Pangemanan menulis saat-saat ia menjalani hukuman mati di alun-alun Rangkasbitung, Banten, pada 5 April 1855. Eksekusi disaksikan ribuan orang yang memenuhi alun-alun. Dan setelah si Conat naik tangga gantungan, semua orang bersorak dan berteriak. ''Conat! Selamat jalan.''

Kalau sekarang banyak perampok setelah keluar dari penjara mereka mengulangi lagi perbuatan kejinya akibat hukuman yang tidak berat. Berlainan di zaman VOC, kejahatan dengan melakukan perampokan tidak ampun lagi dijatuhi hukuman mati atau hukuman kerja paksa puluhan tahun dengan kaki dirantai.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Bersalaman dengan Raja Faisal di Mina

Saya pertama kali ke Tanah Suci pada Juni 1973. Itupun untuk melaksanakan ibadah umroh setelah berkunjung ke Aljazair menghadiri 10 tahun kemerdekaan negara di Afrika Utara itu. Dari Aljier saya mampir ke Jeddah. Waktu itu, KBRI berada di kota yang terletak di tepi Laut Merah ini. Dubes RI di Arab Saudi kala itu dijabat H Rus'an memberikan saya pakaian ihram untuk umroh. Perjalanan dari Jeddah ke Mekah naik mobil besar merk Impala keluaran Chevrolet (AS). Begitu memasuki Masjidil Haram -- yang belum semegah sekarang --, dan melihat Ka'bah saya terharu hingga meneteskan air mata.

Apalagi waktu itu saya masih muda teringat akan dosa-dosa. Sambil berharap nantinya dapat melaksanakan ibadah haji. Karena tidak ada persiapan samasekali saya tidak pergi ke Madinah berziarah kepada Nabi Muhammad SAW.

Rupanya doa saya ini dikabulkan. Karena suatu ketika menjelang musim haji 1974, ketika tengah membuat berita kegiatan Pak Harto, saya mendapat telepon dari Pak Bustaman, sekretaris Menteri Sosial HMS Mintaredja yang kala itu juga sebagai ketua umum PPP. Saya (Antara) bersama rekan Merdeka diminta untuk menunaikan rukun Islam kelima.

Kala itu merupakan tahun kedua pemberangkatan jamaah haji dengan pesawat udara. Tapi masih banyak calon haji (calhaj) yang berangkat dengan kapal laut. Setelah istirahat beberapa jam di Madinatul Hujaj di Jeddah -- di sini kami bergabung dengan jamaah dari mancanegara --, kami diberangkatkan ke Mekah dengan bus tanpa AC karena waktu itu belum ada angkutan ber-AC.

Kami dibawa langsung ke tempat Syeikh Abbas, seorang mukimin yang berasal dari Jawa Barat. Kami disuguhi minuman dari ketel. Seperti kebiasaan di Arab Saudi kala itu, kita bergantian minum dalam gelas yang sama.

Kala itu, para calon jamaah haji diwajibkan untuk untuk tinggal di tempat syeikh yang mereka pilih. Kita diberi makanan seperti beras dan berbagai lauk pauk. Karena saya tidak bisa masak, saya memilih makan di luar. Di Mekkah dan juga Madinah terdapat banyak rumah makan yang menyajikan masakan Indonesia. Tapi jangan minta martabak, karena di Arab seperti juga di India martabak tidak dikenal.

Kali ini saya berkesempatan ziarah ke makam Rasul di Masjid Nabawi Madinah. Tapi tidak mendapat arbain. Karena ada kawan yang datang dari Kedubes RI di Syria membawa mobil mengajak saya ke rumah pamannya di Jeddah.

Di Jeddah saya mendatangi kembali KBRI. Nasib baik, Atase Pers KBRI Arifin menawarkan saya menjadi tamu negara. Kerajaan Arab Saudi tiap tahun mengundang dua wartawan dari negara-negara Islam untuk berhaji. Kebetulan tidak ada wakil dari Indonesia.

Maka jadilah saya tamu negara setelah mendatangi Kementerian Penerangan Arab Saudi. Saya mendapat mobil khusus untuk mengantar jemput dari Jeddah ke Mekah. Saya disediakan tempat penginapan di Hotel Kandara, salah satu hotel terbaik kala itu.

Karena belum puasa, saya berziarah ke Madinah, dari Jeddah saya kemudian pergi ke kota Nabi. Dalam perjalanan setelah memasuki kota Madinah sambil terus menerus mengucapkan shalawat, saya hampir mendapat kecelakaan. Ban mobil yang kami tumpangi pecah.

Beruntung sang sopir sangat tenang menghadapi kejadian ini. Dia menggunakan versneling untuk memperlambat laju mobil. Kalau saja dia mengerem mobil akan terbalik. Saya teringat peristiwa yang dialami tokoh NU Subchan ZE meninggal dunia karena mobilnya terbalik karena bannya meletus.

Di Arafah kami -- rombongan wartawan mancanegara -- ditempatkan di tenda khusus. Di Mina, kami ikut hadir pada resepsi di istana dan saya bersalaman dengan Raja Faisal. Di antara yang hadir dari Indonesia adalah H Mohammad Natsir, ketua Arabithah Alam Islam dan ketua Dewan Dakwah Indonesia, Gubernur DKI Ali Sadikin, Sekjen DDI Harsono, Ketua MUI HAMKA, tokoh Islam dari Persis E.Z.Muttaqin, Ketua Komite Solidaris Islam H.Lukman Harun dan Habib Muhammad Alhabsyi dari Majelis Taklim Kwitang.

Di tempat resepsi kami dilayani oleh pengawal kerajaan yang membawa cangkir kecil sambil menyuguhkan kopi yang dicampur kapulaga dan jinten hitam hingga menghangatkan badan. Begitu kopi diberikan kepada kita langsung diminum dan kemudian diberikan kepada orang yang berada di sampingnya.

Ada suatu kebiasaan orang Arab yang membuat mereka senang. Kalau jenggotnya di elus-elus dan dipegang terutama oleh cowok. Seorang jamaah haji menuturkan ketika dia berbelanja di Madinah kepada orang tersebut ternyata harganya menjadi murah. Kaos kaki dari lima real menjadi satu real. Kiat bahwa pembeli adalah raja seringkali tidak berlaku di tanah suci. Apalagi kalau kita menawar dagangannya dengan harga murah. Para pedagang bisa marah atau pura-pura tidak mendengar ketika dagangannya seharga 20 real ditawar lima real.

Tapi sekarang ini dengan makin membanjirnya pedagang terutama dari India, Bangladesh dan Pakistan mereka dengan ramah dan tersenyum menyapa kita. 'Siti Rahmah .. Siti Rahmah ... homsah (lima real).' Entah siapa namanya, kalau wanita dari Indonesia seringkali mendapat panggilan Siti Rahmah.

(alwi shahab )

Saturday, December 01, 2007

Menengok Perjuangan Habib Ahmad bin Abdullah Alatas di Pekalongan

Tiba-tiba saja Kotamadya Pekalongan menjadi lebih semarak pada 21-23 November lalu. Ratusan bus dan mobil dari berbagai daerah memasuki kota 'batik', ini dengan membawa ribuan jamaah yang datang dari berbagai tempat di Jawa. Belum lagi mereka yang datang dengan kereta api. Bahkan ada jamaah dari luar Jawa yang datang dengan pesawat atau kapal laut melalui Semarang. Akibatnya, sejumlah losmen di kota ini menjadi kewalahan hingga tidak dapat lagi menerima para tamu, termasuk Hotel Nirwana, hotel paling bergengsi di kota itu. Padahal, bagian terbesar dari para tamu itu menginap di rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan tempat khaul seorang ulama besar Pekalongan.

Membanjirnya umat Islam ke Pekalongan, yang waktunya bersamaan dengan Muktamar NU di Lirboyo, Kediri, adalah untuk menghadiri khaul atau peringatan wafatnya ke-73 Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas. Dari jumlah umat Islam yang datang dari berbagai tempat untuk menghadiri khaul itu menunjukkan, bahwa sekalipun ia telah meninggal dunia hampir tiga perempat abad lalu, tapi hingga kini kiprah perjuangannya masih tetap dikenang. Memperingati khaul untuk mengenang seorang tokoh agama dengan berbagai acara, di Indonesia merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh warga Nahdliyin dengan berbagai acara, yang puncaknya menziarahi kubur almarhum.

Khaul ke-73 Habib Ahmad sendiri berlangsung pada hari Senin (22/11) atau bertepatan dengan 14 Sya'ban 1420 Hijriah dengan mengadakan ziarah ke makam almarhum. Berbagai acara yang digelar dalam rangkaian khaul ini ialah, pada hari Ahad (21/12), diadakan pembacaan Dala'il al-Khaerat, berisi shalawat puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu dibawakan oleh almarhum di dalam majelis-majelisnya semasa ia hidup.

Ribuan santri dan jamaah yang berdatangan dari kodya dan kabupaten Pekalongan serta berbagai tempat lainnya, duduk mengitari makam Habib Ahmad di ruang khusus berukuran sekitar 10x20 meter, di pemakaman umum Sapuro, Pekalongan. Mereka seolah-olah larut dalam kesahduan ketika dengan suara keras menggeleng-gelengkan kepala bershalawat dan berzikir kepada Allah SWT.

Menurut seorang penjaga makam di Sapuro, tiga hari sebelum acara khaul telah berdatangan kaum Muslimin dan Muslimat dengan menggunakan sembilan bus dari Purwokerto, Bogor, Sukaraja, Semarang, dan Demak. Mereka berziarah hingga larut malam. Sebagaimana terjadi tiap tahun, penjaga makam ini meyakini, bahwa sampai dua hari setelah acara khaul tempat ini masih terus didatangi para penziarah.

Seperti dituturkan oleh Haji Wagio, 40, sehari sebelum acara khaul, ia dan rombongannya datang dari Surabaya ke Pekalongan dengan 23 buah bus patas. Tiap bus memuat 70 orang. Menurut Wagio, kunjungannya ke Pekalongan ini dalam rangka 'Tour Ziarah Walisongo dan Khaul Akbar'. Mengingat para jamaah bukan saja dari Surabaya, tapi juga dari berbagai tempat di Jatim, menurut Wagio, ini menunjukkan bahwa Habib Ahmad dikenal cukup luas di Jawa Timur.

Rombongan yang berjumlah hampir 1.500 orang ini, bermalam di sekitar rumah-rumah penduduk yang dengan sukarela menyediakan tempat untuk mereka. Sedangkan untuk makam dan minum, disediakan oleh tuan rumah, yang dipimpin oleh Habib Abdullah Bagir Alatas, cicit almarhum. Rumah almarhum sendiri, yang terletak di Jalan Haji Agus Salim 29, Pekalongan yang bagian depannya menjadi Masjid Raudah dan tempat kegiatan keagamaan, juga menampung ratusan para jamaah dari luar kota. Habib Bagir sendiri merupakan generasi keempat penerus Habib Ahmad, setelah ayahnya Habib Ahmad bin Ali Alatas, meninggal dunia hari Ahad (19/12), seminggu sebelum acara khaul.

Sehari menjelang khaul, pada malam harinya di Masjid Raudah diselenggarakan acara khatam shahih Bukhari, salah satu mata pelajaran keagamaan yang diberikan kepada murid-muridnya selama almarhum hidup. Imam Bukhari, yang lahir di Bukhara, Asia Tengah (dulu bagian dari Uni Soviet), pada 194 H, selama 16 tahun telah mengumpulkan ratusan ribu hadits. Kemudian ia menyaring hadits itu dan hanya beberapa ribu saja yang dinilainya dapat dipercaya. Ketelitiannya dalam periwayatan hadits, menyebabkan para ulama hadits belakangan menempatkan kitab Sahih al-Bukhari sebagai peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadits yang muktabar.

Amar ma'ruf nahi munkar

Pada puncak acara khaul, yang berlangsung Senin (22/11), dibacakan manakib atau riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas. Ia dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman, pada 1255 Hijriah atau 1836 Masehi. Setelah menguasai Alquran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama, ia melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama terkenal lainnya.

Kemudian, ia menimba ilmu yang lebih banyak lagi di Mekkah dan Madinah. Sekalipun mendapatkan tempaan ilmu dari berbagai ulama terkenal di kedua Kota Suci itu, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruh didikan dan asuhannya atas pribadi Habib Ahmad, adalah Assayid Ahmad Zaini Dahlan. Yang belakangan ini, adalah seorang pakar ulama di Mekkah yang memiliki banyak murid dan santrinya. Baik dari Mekah sendiri maupun negara-negara Islam lainnya. Termasuk para tokoh ulama dan kiai dari Indonesia, seperti Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan, Madura, dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari, Jombang, Jatim, pendiri NU dan kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping KH Murtadha, tokoh ulama Betawi akhir abad ke-19.

Di antara murid atau orang seangkatan Ahmad Zaini Dahlan di Mekkah adalah Imam Nawawi Al-Bantani, seorang pemukiman Indonesia di Arab Saudi, pengarang kitab-kitab kuning. Di antaranya Tafsir Munir, yang bukan saja dijadikan acuan oleh ahli tafsir di Indonesia, tapi juga di hampir semua dunia Islam.

Setelah usai dan lulus menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad oleh guru besarnya itu ditugaskan untuk berdakwah dan mengajar di Mekkah. Di kota kelahiran Nabi ini, ia dicintai dan dihormati segala lapisan masyarakat, karena berusaha meneladani kehidupan Rasulullah.

Setelah tujuh tahun mengajar di Mekkah, ia kemudian kembali ke Hadramaut. Setelah tinggal beberapa lama di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu, sedang banyak-banyaknya para imigran dari Hadramaut ke Indonesia, di samping untuk berdagang juga menyebarkan agama.

Setibanya di Indonesia, ia kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu yang dinilainya masih membutuhkan dukungan pensyiaran Islam, maka tergeraklah hatinya untuk menetap di kota tersebut. Saat pertama menginjakkan kakinya di kota ini, ia melaksanakan tugas sebagai imam Masjid Wakaf yang terletak di Kampung Arab (kini Jl Surabaya). Kemudian ia membangun dan memperluas masjid tersebut.

Di samping menjadi imam, di masjid ini Habib Ahmad mengajar membaca Alquran dan kitab-kitab Islami, serta memakmurkan masjid dengan bacaan Daiba'i, Barjanzi, wirid dan hizib di waktu-waktu tertentu. Ia juga dikenal sebagai hafidz (penghapal Alquran).

Melihat suasana pendidikan agama waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah, yang letaknya berseberangan dengan Masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah Salafiyah waktu itu, hingga banyak menghasilkan ulama-ulama. Madrasah ini, yang didirikan lebih sekitar satu abad lalu, menurut Habib Abdullah Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern, yang kemudian berkembang di kota-kota lain.

Menurut sejumlah orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan penuturan ayah atau mereka yang hidup pada masa Habib Ahmad, habib ini selalu tampil dengan rendah hati (tawadhu), suka bergaul, dan marah bila dikultuskan.

Kendati demikian, kata cicitnya Habib Abdullah Bagir, ''Beliau tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah atau melihat orang yang meremehkan soal agama.'' Seperti menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Menurut Bagir, kakeknya ibarat Khalifah Umar bin Khatab, yang tegas-tegas menentang setiap melihat kemungkaran. Tidak peduli yang melakukannya itu orang awam atau pejabat tinggi.

Sebagai contoh disebutkan, para wanita, tidak akan berani lalu lalang di depan kediamannya tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Tidak peduli wanita Muslim, maupun wanita Cina dan Belanda, menggunakan tutup kepala bila lewat di tempat kediamannya. Pernah seorang isteri residen Pekalongan, dimarahi karena berpapasan dengannya tanpa menggunakan tutup kepala. Cerita-cerita yang berhubungan dengan tindakan Habib Ahmad ini sudah begitu tersebar luas di tengah masyarakat Pekalongan. Bahkan, setiap perayaan yang menggunakan bunyi-bunyian seperti drumband, mulai perempatan selatan sampai perempatan utara Jl KH Agus Salim, tidak dibunyikan karena akan melewati rumahnya. Ia juga sangat keras terhadap perjudian dan perzinahan, sehingga hampir tidak ada yang berani melakukannya di kota ini, saat beliau masih hidup.

Keberaniannya dalam menindak yang munkar itu, rupanya diketahui oleh sejumlah sahabatnya di Hadramaut. ''Saya heran dengan Ahmad bin Thalib Alatas yang dapat menjalankan syariat Islam di negeri asing, negeri jajahan lagi,'' kata Habib Ahmad bin Hasan Alatas, seorang ulama dari Hadramaut.

Habib Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf, Jl Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal pahanya, akibat jatuh, hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu ia mengalihkan kegiatannya di kediamannya, termasuk shalat berjamaah dan pengajian.

Penderitaan ini berlanjut hingga meninggalnya pada malam Ahad, 24 Rajab 1347 H atau 1928 M, dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di pekuburan Sapuro, Kodya Pekalongan. Namun peringatan khaulnya diselenggarakan setiap tanggal 14 Sya'ban, bersamaan dengan malam Nifsu Syaban, yang tiap tahun dihadiri ribuan orang, tidak jarang dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Ketika ia meninggal dunia, hampir seluruh penduduk kota Pekalongan dan sekitarnya mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir. ''Belum pernah di kota Pekalongan terdapat pengantar jenazah seperti ketika wafatnya Habib Ahmad,'' kata Habib Alwi Alatas, 70, salah seorang kerabatnya.

Karena itulah, setiap khaulnya selalu dihadiri oleh ulama terkemuka, termasuk almarhum KH Abdullah Syafe'i, dan kini putranya KH Abdul Rasyid AS, serta KH Abdurrahman Nawi, dari Jakarta.

(AS, Republika 25 Nov 99)

Monday, November 19, 2007

Hukuman Mati di Betawi

Adanya hukuman mati di Indonesia lebih dipertegas lagi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan tidak bertentangan dengan UUD 45. Khususnya terhadap pelaku kejahatan narkotika, sebanyak 62 orang telah divonis hukuman mati. Belum lagi terhadap kasus terorisme dan berbagai kejahatan lainnya.

Sayangnya, banyak koruptor yang jelas-jelas menilep uang rakyat se-abrek-abrek tidak mendapat hukuman keras. Bahkan, seorang yang dituduh melakukan pembalakan hutan di Sumut divonis bebas oleh majelis hakim, sementara maling ayam dihukum berat. Hukuman mati bukan hal baru bagi Indonesia. Sejak masa kompeni empat abad lalu hukuman ini telah melayangkan banyak nyawa. Bahkan jauh sebelumnya, di masa-masa kerajaan, hukuman mati telah dilaksanakan.

Tapi, siapa yang mulai dihukum mati pada zaman VOC? Yang jelas gubernur jenderal JP Coen pernah memancung seorang calon perwira muda VOC bernama Pieter Contenhoef di alun-alun Balai Kota (Stadhuis), kini Museum Sejarah Jakarta.

Pasalnya, pemuda berusia 17 tahun itu tertangkap basah saat 'bermesrahan' dengan Sara, gadis berusia 13 tahun yang dititipkan di rumah Coen. Sara sendiri, didera dengan badan setengah telanjang di pintu masuk Balai Kota. Sara adalah puteri Jacquees Speex dari hasil kumpul kebonya dengan wanita Jepang.

Pada 29 Juli 1676 di tempat yang sama dilaksanakan hukuman terhadap empat orang pelaut karena membunuh orang Cina. Kemudian, hampir dalam waktu bersamaan enam budak belian dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya pada malam hari.

Pada masa kompeni hukuman bagi 'penjahat' memang berat. Pelaksanaan hukuman mati pada tiang gantungan, dengan pedang atau guillotine primitif, dilaksanakan di depan serambi Balai Kota pada hari-hari tertentu setiap bulan. Seorang Mestizo, putra seorang ibu pribumi dan ayah berkulit putih, digantung hanya karena mencuri. Sementara delapan pelaut dicap dengan lambang VOC yang panas dan membara, karena disersi dan pencurian.

Prajurit VOC wajib memiliki disiplin yang tinggi. Mereka yang melalaikan tugas tidak ampun lagi akan mendapatkan hukuman berat. Pernah dua tentara Belanda digantung karena selama dua malam meninggalkan pos mereka. Perzinahan, apalagi perbuatan serong, mendapat hukuman berat. Ini dialami oleh seorang wanita Belanda, istri seorang guru, dikalungi besi dan kemudian ditahan dalam penjara wanita selama 12 tahun karena beberapa kali melakukan perselingkuhan.

Kalau sekarang ini eksekusi dengan tembak sampai mati tidak akan dilakukan di muka umum, dulu saat guilletin masih berlaku, masyarakat diminta untuk mendatangi tempat eksekusi. Menyaksikan bagaimana kepala terpisah dari badan. Untung Suropati lolos dari eksekusi karena dibantu oleh Suzanna, puteri majikannya yang menaruh hati pada budak dari Bali ini. Malah Untung berhasil membunuh Kapten Tack, ketika hendak menumpas pemberontakan yang dipimpinnya.

Prasasti Kapten Tack dapat kita saksikan di Museum Prasasti di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Pieter Elberveld dan beberapa orang pengikutnya yang dituduh hendak melakukan pemberontakan menjelang malam tahun baru 1722 juga dieksekusi secara kejam. Badannya dirobek jadi empat bagian kemudian dilempar keluar kota untuk santapan burung. Kita juga dapat menjumpai prasastinya di Museum Prasasti.

Oey Tambahsia, yang dijuluki playboy Betawi, pada abad ke-19 juga tewas di tiang gantungan. Dia tidak pernah puas terhadap wanita, selalu mengejar wanita -- tidak peduli anak dan istri orang. Padahal, ia masih remaja. Termasuk melakukan pembunuhan terhadap sejumlah wanita dan pesaing bisnisnya. Oey menaiki tiang gantungan dengan tenang dan wajah berseri dalam usia 31 tahun. Kepada sang algojo dia berkata: ''Dikantongku ada sejumlah uang. Ambillah asal kau tidak terlalu kejam menghukumku.''

Pada 1963, Bung Karno menandatangi hukuman mati terhadap pemimpin DI/TII Kartosuwirjo yang melakukan pemberontakan di Jawa Barat. Menurut keterangan, sebelum menandatanganinya, Bung Karno terlebih dulu shalat Magrib dan berdoa. Eksekusi itu kemudian dilakukan di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu).

Penjahat kelas kakap yang dijatuhi hukuman mati pada masa Bung Karno adalah Kusni Kasdut. Dia merampok di tempat perhiasan emas di Museum Nasional, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ketika peristiwa kejahatan ini terjadi, Monas dengan menaranya yang menjulang sedang dibangun. Hingga ada yang secara iseng mengusulkan, penjahat kelas kakap sebaiknya dihukum dengan melemparnya dari menara Monas.

Dalam peristiwa Cikini usaha pembunuhan terhadap Bung Karno para pelakunya juga dituntut hukuman mati. Mereka adalah Saadon, Tasrif dan Yusuf Ismail. Saat ini, dalam kasus terorisme, tiga orang divonis mati, yakni Imam Samudera, Amrozi dan Ali Gufran. Sejauh ini mereka menolak untuk meminta grasi kepada presiden. Dalam kasus kejahatan narkotika, PN Tangerang perlu diacungi jempol. Merekalah yang paling getol menuntut hukuman mati terhadap bandar dan penjahat pengedar narkoba.

Dari 62 kejahatan narkoba yang di vonis mati, 21 orang divonis oleh PN Tangerang. Di antaranya enam orang wanita. Diantara mereka terdapat warganegara Nigeria, Thailand, Angola, Zimbabwe, Malawi, Pakistan dan Belanda.

(Alwi Shahab )

Ayo Kembali Bersepeda!!

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada para bupati dan wali kota membuat jalur untuk sepeda sebagai alternatif transportasi para pekerja menuju kantornya. Selain bersih dan ramah lingkungan, bersepeda juga hemat secara ekonomi dan menyehatkan para pengayuhnya. Sepeda bukan barang baru di Indonesia. Bahkan sampai tahun 1950'an pernah mendominasi transportasi di Jakarta, di samping becak. Ke sekolah dan perguruan tinggi orang naik sepeda. Demikian juga para pekerja ke kantor-kantor pulang pergi bersepeda. Di tempat-tempat tersebut, termasuk bioskop dan tempat hiburan ada parkir khusus untuk sepeda. Maklum kala itu mobil dan motor yang sekarang jumlahnya seabrek-abrek belum banyak jumlahnya. Kalau pun ada milik orang-orang tajir (kaya).

Sepeda pertama muncul di Batavia -- sebutan Jakarta kala itu -- pada tahun 1890. Pada waktu itu sepeda merk 'Rover' yang harganya 500 gulden menjadi kebanggaan luar biasa bagi para pemiliknya. Pedagang sepeda pertama seorang Belanda bernama Gruyter. Tokonya terletak di Gambir -- dekat Monas sekarang --. Di tempat ini dia memiliki sebidang tanah lapang untuk tempat balapan sepeda bagi para pelanggannya. Pesertanya hanyalah orang Belanda dan Cina saja. Karena merekalah yang mampu membelinya. Pada tahun 1937 di Batavia tercatat 70 ribu sepeda atau satu sepeda untuk delapan penduduk. Penduduk baru sekitar 600 ribu jiwa.

Kalau saja rakyat Jakarta yang belasan juta banyak bersepeda saat ke kantor, polusi di Ibu Kota yangh sudah hampir kagak ketulungan bisa berkurang. Demikian pula dengan kemacetan lalu lintas akibat jumlah mobil dan motor yang meningkat drastis. Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Fauzi menyatakan siap membuka jalur khusus bila jumlah yang bersepeda mencapai satu juta orang. Di masa kolonial Belanda membuka jalur khusus untuk sepeda.

Bersepeda, menurut Kenneth Cooper pencetus olah raga aerobik sangat menyehatkan. Menurut definisi yang dipopulerkan oleh Cooper, aerobik adalah setiap aktivitas fisik yang dapat memacu jantung dan peredaran darah, termasuk dengan bersepeda. Sedangkan menurut Prof dr Dede Kusmana, ahli jantung dari RS Jantung Harapan Kita, dengan bersepeda secara teratur bukan hanya kebugaran jasmani yang meningkat, tapi kadar lemak darah yang jelek (kolesterol LDL, kolesterol total dan trigliserida) yang menyebabkan penyakit jantung akan menurun. Sebaliknya kadar lemak yang baik akan meningkat.

Di masa kolonial, naik sepeda pada malam hari harus memakai lentera. Bersepeda tanpa lampu pada malam hari tidak akan akan kena tilang. Dendanya lima gulden suatu jumlah bisa makan sederhana selama sebulan. Istilah 'damai' antara polisi dan pengendala tidak terdapat kala itu. Saking banyaknya orang bersepeda, di kampung-kampung terdapat bengkel sepeda yang kini digantikan bengkel motor. Pemilik sepeda tiap tahun harus membayar pajak yang disebut peneng. Demikian juga delman atau sado. Warga Belanda bila bekerja ke Jakarta Kota juga naik sepeda disamping trem. Mereka umumnya memilih sepeda merk Batavus atau Fongers yang doortrap) injak maju dengan rem kaki. Orang pribumi kaya menyukai sepeda merk Raleigh yang aksesoris, dan jika dienjot berbunyi 'tik - tik - tik -.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Pamor Arab Singapura

Ketika berada di Kampung Glam, Singapura, saya masih merasakan suasana Timur Tengah. Menjelajahi jalan-jalan berapit pohon palem di Bussorah Street, Arab Street dan Muscat Street, kita akan temukan toko-toko, kafe dan pusat jajanan, yang menjual berbagai produk, mulai dari produk khas Bali, batik pekalongan, karpet aneka warna, sampai nasi briyani dengan gulai kambingnya khas Timur Tengah.

Pada malam hari, di kawasan Kampung Glam -- termasuk Haji Lane -- kita dapat berjingkrak-jingkrak mengikuti irama zapin yang penggemarnya bukan hanya keturunan Arab, tapi juga India. Seperti juga yang sudah menjadi trend di rumah-rumah makan Timur Tengah di Jakarta, di Kampung Glam kita akan mendapati masyarakat yang tengah mengisap shisha (pipa rokok beraroma Timur Tengah).

Komunitas Muslim di Singapura, termasuk keturunan Arab, menikmati gaya hidup urban yang modern sambil tetap menjalankan kewajiban agama. Islam dianut secara luas oleh setidaknya 14 persen dari populasi total penduduk Singapura atau hampir setengah juta jiwa. Di Singapura terdapat 59 masjid -- banyak diantaranya berdiri di pusat perdagangan -- yang dirawat secara bersih, dengan tempat wudhu dan toilet seperti di hotel berbintang. Diantara masjid-masjid tersebut dibangun oleh keturunan Arab, yang menurut salah seorang di antara mereka jumlahnya di Singapura sekitar 10 ribu jiwa.

Seperti juga di Indonesia, keturunan Arab di Singapura mulai berdatangan pada abad 18 dan 19. Raffles yang membangun Temasek menjadi Singapura mewujudkan keinginannya untuk mendatangkan pedagang Arab agar turut berkecimpung di bidang bisnis. Seperti juga di Indonesia, mayoritas pionir Arab yang datang ke Singapura berasal dari Hadramaut (Yaman Selatan).

Di Singapura banyak juga orang Arab Singapura yang berasal dari Indonesia, mengingat Raffles baru membangun kota singa ini pada tahun 1819 setelah berkuasa di Indonesia, terutama dari Jawa dan Sumatera. Diantara mereka yang terkenal adalah kelompok Aljunaid, Alsagoff dan Alkaff.

Ketiga klan itu merupakan pedagang kaya raya di Singapura, memiliki tanah luas dan perumahan di banyak tempat. Dalam usaha dagang mereka sampai hampir ke seluruh Nusantara. Imperium Alsagoff bahkan memiliki armada kapal sendiri (1871). Pada 1874, mereka telah memiliki empat buah kapal uap, untuk mengangkut 3.476 jamaah haji dari seluruh kepulauan Indonesia dan semenanjung Malaysia.

Kala itu di Singapura ada banyak perwakilan syikh dari Mekkah. Malah beberapa haji yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena kehabisan biaya, oleh Alsagoff dipekerjakan di perkebunan mereka di Pulau Kukup. Alsagoff juga mempunyai rumah mewah yang diberi nama Constantinopel Estate. Karena, salah seorang keluarga Sagoff, Syed Ahmad, merupakan konsul kehormatan Turki di Singapura.

Pemerintah Hindia Belanda pernah memprotes dan menuduhnya mengeksploitir orang-orang Indonesia yang tidak punya uang setelah melakukan rukun Islam kelima dan mempekerjakan mereka sebagai kuli kontrak. Salah seorang keluarga Alsagoff, Syed Ibrahim, pernah menjadi konsul Arab Saudi di Singapura. Mereka membangun Madrasah Alsagoff, yang sampai kini masih berdiri di Singapura.

Salah satu keluarga Alsagoff lainnya, Syed Ahmad bin Muhammad, kawin dengan putri bangsawan Bugis yang kaya raya, Hajjah Fatimah. Mereka dikarunia putra bernama Muhammad yang dipanggil Nungcik. Di Kampung Glam terdapat masjid Hajjah Fatimah yang dibangun wanita keturunan Bugis itu. Pamor keturunan Arab ketika itu adalah rumah dan tanah di sepanjang Arab Street kepunyaan Syarifah Badriah, putri paling tua Syed Muhammad Alsagoff.

Di Singapura, imperium Alkaff juga mempunyai nama terhormat. Begitu juga di Jakarta. Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, tepatnya di Jl Kwitang 21, di antara deretan toko buku Gunung Agung terdapat sebuah rumah besar yang sampai awal 1960-an masih ditempati keluarga Alkaff. Keluarga ini mempunyai puluhan, bahkan ratusan rumah sewa, di Kampung Kwitang. Di Singapura, Alkaff juga memiliki tanah dan rumah mewah, yang kini berubah fungsi menjadi tempat rekreasi, restoran dan pertamanan.

Pionir pertama keluarga Alkaff yang datang ke Singapura adalah Muhammad bin Abdurahman Alkaff dari Jawa. Setelah meninggal dunia, adiknya, Shaikh Alkaff, mengambil alih usahanya. Mereka bukan hanya memiliki tanah dan perumahan di Jakarta dan Singapura, tapi juga di Hadramaut. Tanah-tanah Alkaff yang luas di Singapura itu dibeli paksa oleh PM Lee Kuan Yew dengan harga sangat murah.

Sedangkan kediaman Alkaff yang mewah untuk ukuran kala itu diambil alih oleh ABRI pada saat terjadi konfrontasi RI dengan Malaysia. Karena, keluarga ini warga Singapura yang kala itu masih menjadi bagian dari Malaysia. Seperti juga keluarga Aljunaid dan Alsagoff, keluarga Alkaff juga membangun Masjid Alkaff di Kampung Melayu.

Di samping madrasah Alsagoff, di Singapura juga terdapat Madrasah Aljunaid yang merupakan salah satu kebanggaan umat Islam di Singapura. Madrasah ini berdekatan dengan kawasan Muslim Kampung Glam. Lulusan madrasah ini banyak yang ditampung di Universitas Al-Azhar, Kairo. Madrasah ini memiliki 1.200 murid dari TK sampai SLTA. Di madrasah ini pemerintah Singapura yang sekuler mengizinkan para siswinya untuk berjilbab, dan prianya berkopiah hitam.

Setidaknya, Madrasah Aljunaid merupakan salah satu peninggalan ketika keturunan Arab masih menunjukkan pamornya di Singapura. Setelah perang dunia II (1942-1945) kejayaan bisnis dan ekonomi keturunan Arab dan juga India Muslim menurun di Singapura. Tapi tempat peribadatan dan pendidikan Islam masih tetap bertahan di tengah modernisasi Singapura yang sekuler.

(Alwi Shahab )

Masjid Tua Dikepung Pusat Perbelanjaan

Masjid Al-Makmur di Jl KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, merupakan salah satu dari belasan masjid tua yang masih tersisa di Jakarta. Masjid ini dibangun pada tahun 1704 oleh para keturunan bangsawan Kerajaan Islam Mataram pimpinan KH Muhammad Asyuro.

Kini masjid yang berusia lebih tiga abad itu terkepung oleh hingar bingar pusat perdagangan Tanah Abang, salah satu pusat perdagangan terbesar di Jakarta. Di kiri kanan masjid jami ini sudah tidak ditemukan lagi perumahan penduduk karena hampir seluruh daerah sekitarnya menjadi pusat kegiatan bisnis.

Sejarah masjid yang cukup tersohor di Jakarta itu terjadi ketika Sultan Agung dua kali menyerang kota Batavia (1618 dan 1619). Sekalipun mengalami kegagalan tapi para bangsawan Mataram merupakan juru dakwah yang handal. Di antara mereka kemudian menetap di Jakarta menjadi da'i dan membangun masjid sejumlah masjid, yang masih kita dapati di beberapa tempat di Ibu Kota.

Masjid Al-Makmur seperti terlihat dalam gambar mula-mula hanya sebuah mushola berukuran 12x8 meter. Pada 1915 diperluas oleh Habib Abu Bakar Alhabsyi, salah seorang pendiri rumah yatim piatu Daarul Aitam di jalan yang sama. Luas masjid menjadi 1.142 m2 ketika Habib Abubakar memberikan tanah sebagai wakaf. Tahun 1932 masjid diperluas lagi atas tanah wakaf Salim Bin Muhammad bin Thalib. Kemudian pada tahun 1953 diperluas hingga luasnya menjadi 2.175 m2.

Sayangnya, di depan masjid yang sangat bersejarah ini, di depannya tampak kumuh. Terutama oleh para pedagang kaki lima yang mangkal di depan masjid dan tumpah ruah ke jalan. Sementara mobil dan motor menjadikannya sebagai tempat parkir saat mereka hendak berbelanja ke pusat-pusat perdagangan Tanah Abang.

Akibat pengembangan jalan, kini Masjid Al-Makmur hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak malati dan list-plang dengan lima lubang angin serta dua menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri kanan bangunan utama. Sementara pedagang kaki lima kadang-kadang dengan enaknya menjajakan dagangannya di muka masjid. Jadi lenbgkap sudah kesendirian Masjid Al-Makmur yang makin terus dikepung baik oleh pertokoan, pusat bisnis, dan pedagang eceran yang makin banyak mencari doku di Tanah Abang.

Tapi ketika masih ada kuburan wakaf, kini jadi rumah susun Tanah Abang, warga keturunan Arab yang meninggal dunia sebelum dimakamkan terlebih dulu jenazahnya dishalatkan di Masjid Al-Makmur. Para pedagang dan pembeli di Pasar Tanah Abang juga menjadikan masjid tua ini sebagai tempat shalat mereka terutama shalat dzuhur dan ashar.

Makin berkembangnya bisnis di Tanah Abang, mengakibatkan Jalan KH Mas Mansyur dan sekitarnya seperti Kebon Kacang I sampai Kebon Kacang VI kini sudah berubah fungsi. Sebagian besar rumah telah menjadi tempat pertokoan, ekspedisi, dan gudang-gudang. Tidak heran kalau harga tanah yang berdekatan dengan Proyek Pasar Tanah Abang termasuk termahal di Jakarta. Seperti ketika pembangunan jembatan Metro Tanah Abang, rumah-rumah yang tergusur mendapat ganti rugi Rp 10 juta per m2. Menurut sejumlah warga, harga tanah milik mereka saat ini harganya Rp 20 juta per meter persegi.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Kisah-kisah dari Condet

Belum lama berselang, Gubernur DKI Fauzi Bowo telah meresmikan pemancangan tiang pertama pembangunan jembatan Kali Ciliwung yang menghungkan Pasar Minggu dan Condet.

Sejak jembatan itu jebol karena dilanda banjir Pebruari lalu, warga Condet yang ingin ke Pasar Minggu mengalami kesulitan. Mereka harus melalui jembatan darurat dari kayu, yang tidak bisa lagi dilalui kendaraan bermotor. Akibatnya, ratusan tukang ojek yang mangkal di kedua kawasan di Jakarta Timur itu berkurang penghasilannya.

Condet, yang gagal menjadi cagar budaya Betawi, namanya berasal dari nama sebuah anak sungai Ci Liwung yaitu Ci Ondet. Ondet, atau ondeh, atau ondeh-ondeh, adalah nama pohon semacam buni, yang buahnya biasa dimakan.

Data tertulis pertama yang menyinggung Condet adalah catatan perjalanan Abraham van Riebeek, waktu masih menjadi direktur jenderal VOC (sebelum menjadi gubernur jenderal). Riebeek dan rombongannya, pada 24 September 1709, berjalan melalui anak sungai Ci Ondet. Kala itu pusat kegiatan VOC berada di Pasar Ikan, Jakarta. Dari sini sejauh kurang lebih 15 km ia dan rombongan menyusuri sungai.

Keterangan kedua terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya -- salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Sebelum dibuang oleh Belanda pada April 1716, pangeran menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan.

Keterangan ketiga, adalah resolusi pimpinan Kompeni di Batavia tertanggal 8 Juni 1753, yaitu keputusan tentang penjualan tanah di Condet seluas 816 morgen (52.530 ha), seharga 800 ringgit kepada Frederik Willem Freijer. Kemudian kawasan Condet menjadi bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur), atau Groeneveld.

Kawasan Condet yang gagal dijadikan cagar budaya Betawi -- meliputi tiga kelurahan, yaitu Batuampar, Kampung Tengah (dulu disebut Kampung Gedung) dan Balekambang. Ada legenda yang melekat pada nama Batuampar, sebagaimana diceritakan para orang tua di Condet kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet.

Pada jaman dulu ada sepasang suami istri bernama Pangeran Geger dan Nyai Polong, yang memiliki beberapa orang anak. Salah seorang anak gadisnya diberi nama Siti Maemunah, yang kesohor ke seantero tempat karena kecantikannya. Suatu ketika Maemunah dilamar oleh Pangeran Tenggara asal Makasar yang tinggal di sebelah timur Condet, untuk putranya, Pangeran Astawana.

Lamaran itu diterima dengan syarat asal dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersenang-senang di atas empang, dekat kali Ciliwung yang harus selesai dalam waktu semalam. Permintaan itu disanggupi, dan terbukti, menurut sahibulhikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang pinggir Ciliwung, sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari batu, mulai dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara.

Tempat jalan yang diampari batu itu selanjutnya disebut Batuampar. Sedangkan bale (balai) peristirahatan yang seolah-olah mengambang di atas air kolom itu diberi nama Balekambang.

Kelurahan Kampung Gedong (kini Kampung Tengah) dinamakan demikian karena di sana berdiri sebuah gedung peristirahatan (landhuis) tuan tanah, pemilik tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur). Gedung yang terletak di depan Rindam Jaya (dahulu halamannya sangat luas) itu oleh pemiliknya diberi nama Groeneveld, yang berarti Lapangan Hijau. Dari gedung ini mulai dari Tanjung Priok (jalan menuju Depok) sampai ke perempatan Pasar Rebo, Jalan Raya Bogor, terbentang jalan yang dulu kanan kirinya ditanami pohon asam.

Tuan tanah pertama dari kawasan itu adalah Pieter van de Velde, asal Amersfoort (Belanda), yang pada pertengahan abad ke-18 berhasil memupuk kekayaan, berkat kedudukannya yang kini dikenal dengan istilah basah. Setelah peristiwa pemberontakan Cina (Oktober 1740), dia berhasil menguasai tanah-tanah kapiten Cina Ni Hu-kong, yang terletak di selatan Meester Cornelis (Jatinegara) sebelah timur kali Ciliwung.

Setelah ditambah tanah-tanah partikulir lainnya yang dibelinya sekitar tahun 1750, maka terbentuklah Tanah Partikelir Tandjong Oost. Tanjung Timur mengalami perkembangan pesat saat dikuasai Daniel Cornelius Helvetius, yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan.

Villa Tanjung Timur kini sebagian dijadikan asrama Polri dan 1972 sebagian lagi terbakar merupakan tempat singgah para petinggi VOC ketika mereka melakukan perjalanan ke Buitenzorg (Bogor) dengan menggunakan kereta kuda.

Di villa itu pada 1749 berlangsung pertemuan akrab antara gubernur jenderal Baron von Imhoff dan Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah pada 1720 menjadi istri pangeran mahkota Banten dan berpengarah besar pada suaminya saat ia menjadi sultan (1733).

Menurut sejarawan Adolf Heyken, akibat ulah Syarifah para pangeran merasa tidak aman dan melarikan diri ke Batavia. Syarifah Fatimah digambarkan sebagai wanita, yang selain cantik, juga cerdas dan terdidik, hingga dapat mempengaruhi suaminya, Sultan Zainul Arifin.

Pertemuannya dengan von Imhoff di Tanjung Timur memancing kemarahan rakyat Banten hingga timbul pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa (1750) yang bermarkas di Gunung Munara, dekat Ciseeng, Parung, Bogor. Syarifah terpaksa menyingkir dari Banten sewaktu teman dekatnya, von Imhoff, meninggal (1750). Setahun kemudian (1751) Syarifah meninggal saat menjalani pembuangan di Pulau Edam (Kepulauan Seribu).

(Alwi Shahab )

Gas Merubah Wajah Batavia

Pemerintah saat ini tengah menggalakkan konvensi minyak tanah ke gas (elpiji) di Jakarta yang rencananya harus terwujud paling lambat akhir tahun ini. Proyek Pemerintah Provinsi DKI dan PT Pertamina (Persero), pemakaian gas menggantikan minyak tanah dapat menghemat anggaran sekitar 40 triliun rupiah per tahun. Meski sebelumnya banyak mendapat reaksi kini sudah semakin banyak rumah tangga yang menggunakan gas. Terlihat dari banyaknya tabung gas yang dijual di toko dan warung di kampung-kampung.

Dalam foto yang diabadikan oleh fotografer Woodbury & Page pada 1872, merupakan perusahaan gas kala itu yang dikelola oleh The Nederlandsch Indische Maatschappij berlokasi di Jl Ketapang (kini Jl KH Zainul Arifin) di Jalan Gajah Madah -- dekat Krukut -- Jakarta Barat. Pembangunan pabrik gas dimulai ketika Nopember 1859 pemerintah Hindia Belanda memberikan kewenangan pada perusahaan L.J. Emhoven & Co dari Den Haag, Belanda untuk membangun penerangan gas di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara), yang ketika itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri.

Pembangunannya selesai pada 1861 dan penyaluran gas dilakukan oleh perusahaan milik Belanda: Nederlands Indies Gas Company, yang sampai kini masih berlokasi di Gang Ketapang. Sebelum energi listrik dipakai secara luas, pada waktu itu gas buatan telah banyak dimanfaatkan sebagai proses energi di tempat-tempat umum. Energi gas mulai dioperasikan pertama kali di Batavia di kediaman gubernur jenderal (kini Istana Negara) di Risjwijk (kini Jalan Veteran). Istana Negara semula merupakan perumahan pribadi milik J.A. van Braan. Kediamannya ini sangat luas hingga ke Medan Merdeka Utara (kini Istana Merdeka). Lalu dibeli oleh pemerintah untuk dijadikan kediaman gubernur jenderal.

Beroperasi gas ke rumah-rumah, perkantoran dan tempat rekreasi membuat gairah kehidupan masyarakat Batavia, terutama kehidupan di malam hari. Maka bermunculanlah tempat-tempat hiburan malam di Batavia, sementara dengan munculnya kapal uap dan kemudian pembukaan Terusan Suez, makin banyak warga Belanda dan Eropa berdatangan ke Batavia.

Pelayanan gas juga ikut mendongkrak industri yang makin banyak bermunculan. Orang-orang Eropa ini banyak membangun rumah semacam bungalow dengan pekarangan luas. Gaya hidup orang Eropa digambarkan tak berbeda dengan kehidupan Eropa. Mereka menciptakan gaya hidup rekreasi yang serupa dengan di tempat asalnya.

Kembali kepada pengelolaan inudstri gas, bersamaan dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda pada 1958, pemerintah mengambil alih usaha tersebut yang telah berlangsung selama seabad. Sampai tahun 1960'an meskipun energi listrik sudah lama nongol, tapi masih banyak rumah-rumah yang menggunakan gas. Di Jakarta pemakaian minyak tanah oleh warga satu juta liter. Hingga subsidi yang dikeluarkan untuk pemakaian minyak tanah Rp 4 triliun per tahun atau setara Rp 4 ribu per liter.

( Alwi Shahab, wartawan Republika )

Thursday, November 01, 2007

Siti Rahmah... Siti Rahmah

"Siti Rahmah" adalah panggilan yang paling banyak diteriakkan para pedagang di Tanah Suci, baik di Makkah maupun Madinah, terhadap para wanita Indonesia, baik saat haji maupun umroh. ''Siti Rahmah... Siti Rahmah, harga murah, homsah (lima) real,'' kata mereka untuk menarik para pembeli wanita.

Sebutan "Siti Rahmah" untuk wanita Indonesia saat beribadah ke Tanah Suci bukan hanya muncul akhir-akhir ini. Teriakan semacam itu sudah muncul sejak lebih seabad lalu. Sejak abad ke-18 orang Betawi telah banyak yang menunaikan ibadah haji. Meskipun untuk menunaikan rukun Islam kelima itu mereka harus menempuh perjalanan berbulan-bulan dengan kapal layar.

Setelah menjalankan ibadah haji, ada yang pulang dan ada yang bermukim di sana. Mereka yang bermukim menggunakan al Betawi sebagai nama keluarga. Memang merupakan kebiasaan para pemukim dari Nusantara di Makkah menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Syekh Abdul Somad al Falimbangi dari Palembang. Syekh Arsyad Al-Banjari dari Banjarmasin, Syekh Basuni Imam al Sambasi dari Sambas (Kalimantan Barat).

Pada awal abad ke-19 seorang ulama Betawi bernama Syekh Djunaid bermukim di Makkah. Ia pun memakai nama Syekh Djunaid al-Betawi. Ia amat termashur, karena dipercaya menjadi Imam Masjidil Haram. Dia juga mengajar agama Islam di serambi masjid tersebut. Muridnya bukan hanya dari Nusantara, tapi juga umat Islam dari berbagai belahan dunia. Konon, Syekh Djunaid yang telah kesohor di Negeri Hijaz itu mempunyai istri bernama Siti Rahmah.

Diduga, itulah asal mulanya, sehingga sejak ratusan tahun lalu wanita Indonesia yang beribadah ke Tanah Suci dipanggil ''Siti Rahmah''. Panggilan ini populer hingga sekarang, meski zaman telah berubah dan para keluarga Betawi menamakan putera-puterinya dengan nama modern.

Syekh Djunaid mulai bermukim di Mekah sejak 1834. Salah seorang puterinya kawin dengan Imam Mudjitaba yang diberi gelar waliullah oleh masyarakat Islam di Tanah Suci. Orang Betawi berguru kepadanya ketika ia bermukim di Makkah selama 40 tahun. Di antara muridnya adalah Guru Mansyur dari Jembatan Lima (Jakarta Barat) dan Guru Mugni dari Kuningan, dekat perumahan Pertamina. Guru Mujitaba kembali ke Betawi pada tahun 1904.

Tokoh satu angkatan dengan Syekh Djunaid adalah para mukiman Indonesia yang bukan saja terkenal di dalam negeri tapi juga di manca negara, seperti Syekh Abdul Somad al-Falimbangi. Di Makkah ia berguru pada Syekh Mohammad Saman. Ia memiliki keahlian dalam bidang tauhid dan tasawuf. Di antara banyak tulisan hasil karyanya adalah Hidayat al Salihin. Dalam salah satu bukunya ia menganjurkan agar kaum Muslim Indonesia berjihad di jalan Allah melawan penjajah Belanda. Anjuran itu tertuang dalam dua suratnya, masing-masing untuk Hamengkubuono I dan Pangeran Singasari.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) juga seorang mukiman di Arab Saudi yang terkenal, karena mengarang buku fiqih Perukunan Melayu yang menjadi pegangan selama 200 tahun. Ia seorang tokoh ilmu fiqih, tasauf dan falak. Selama di Makkah dia belajar pada Syekh Abdurahman al-Misri, seorang ulama Mesir yang mengajar di Jakarta. Al-Misri mengawini salah satu putera Syekh Djunaid al-Betawi. Dia meninggal di Jakarta dan dimakamkan di Petamburan, Jakarta Barat.

Tokoh lainnya, Syekh Ahmad Ripangi (1786-1859), lahir di Kendal, Jawa Tengah, dan bermukim di Makkah selama delapan tahun. Setelah kembali ke Indonesia dia tidak mau tunduk pada pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya sering merugikan umat Islam. Akibatnya, gubernur jenderal Hindia Belanda, tanggal 9 Mei 1859, mengasingkan dam memenjarakannya di Ambon. Dia dianggap membakar semangat nasional dengan azas Islam yang membahayakan pemerintah kolonial.

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916) juga seorang mukimin terkenal di Negeri Hijaz. Dia bermukim di Makkah selama 10 tahun dan merangkap sebagai guru besar di Masjidil Haram. Dia mengarang banyak buku. Di antara muridnya adalah KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Haji Abdul Karim Amarullah (ayah Buya Hamka), dan H Mahmud Ismail Djambek.

Mukimin Indonesia yang paling kesohor di dunia Islam adalah Syekh Nawawi al-Banteni. Ulama besar, penulis dan pendidik dari Banten, ini masih keturunan Maulana Hasanudin, pendiri Kerajaan Islam Banten. Begitu banyaknya karya beliau di dunia Islam, hingga pemerintah Arab Saudi, Mesir dan Suriah, memberikan gelar kehormatan kepadanya Sayid Ulama Al-Hedjas, Mufti, dan Fakih.

Syeh Nawawi pergi ke Makkah dalam usia 15 tahun dan bermukim selama tiga tahun. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram. Seperti Syekh Ahmad Nahrawi, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Di Madinah ia belajar pada Syekh Muhamad Khatib al-Hambali. Setelah tiga tahun berada di Tanara, Banten, ia kembali ke Tanah Suci dan mengajar di Masjidil Haram.

Kelebihan Syekh Nawawi telah terlihat sejak kecil. Ia hapal Alquran pada usia 18 tahun. Sebagai seorang syekh ia menguasai seluruh cabang ilmu agama, seperti tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh dan bahasa Arab. Menurut suatu sumber, ia mengarang sekitar 115 buah kitab, sedangkan sumber lain menyebut 99 buah kitab dari berbagai disiplin ilmu.

Jadi, sejak ratusan tahun lalu telah banyak mukimin Indonesia di Tanah Suci yang menjadi tokoh agama, tapi tidak kurang banyaknya yang kini berperan dalam bidang pemerintahan di Arab Saudi.
(Alwi Shahab )

Dermaga yang Menjadi Kampus IPB

Bukan saja pendatang, orang Bogor sendiri sulit menjelaskan mengapa kampung di mana berdiri Kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) bernama dermaga, alias pelabuhan. Hingga banyak yang bertanya-tanya kalau dermaga mana lautnya? Tidaklah dapat mereka bayangkan bahwa di bawah jembatan Cihideung Udik dekat kampus IPB pada masa Pakuan Pajajaran terdapat pelabuhan penting. Di pelabuhan inilah arus barang dibawa dengan prau (perahu). Komoditasnya terdiri dari lada, kopi dan kapulaga. Komoditas-komoditas ini melalui kali Cihideung dibawa ke Sunda Kalapa.

Dalam gambar tampak Kampung Dermaga, Bogor yang sejak 1 September 1963 berdiri Institut Pertanian Bogor (IPB). Kampung ini letaknya di barat laut kota Buitenzorg (Bogor). Johannes Rach, seorang perwira dan juga pelukis VOC mengambil gambar kampung Dermaga pada 1772 saat mengikuti perjalanan Gubernur Jenderal Van der Parra meninjau kegiatan arus barang komoditas di Dermaga.

Gubernur Jenderal sendiri bersama istrinya dalam gambar ini tampak tengah dipayungi saat menuju Dermaga Kali Cihideung. Kala itu angkutan di dominasi melalui air (sungai). Dalam gambar tampak sepasukan tentara dengan memegang lembing berbaris siap memberi hormat kepada gubernur jenderal dan rombongan. Di belakangnya tampak sejumlah kapal layar dengan empat bendera (Belanda): merah, putih dan biru tengah merapat di kali Cihideung. Inilah yang menyebabkan kawasan ini dinamakan Dermaga sampai sekarang.

Dalam gambar goresan tangan pelukis Rach terlihat betapa sibuknya kegiatan bongkar muat di Dermaga pada abad ke-18. Terlihat sejumlah gerobak sado yang membawa dan mengangkut barang sementara di tepi sungai terlihat kantor pabean (bea cukai) dan tempat menyimpan berbagai komoditas.

Mengenai nama dermaga di kota Bogor, sampai ada yang berspekulasi bahwa dulunya mesti ada laut. Tidaklah mereka bayangkan bahwa dibawah jembatan Cihideung ketika pada masa Pajajaran terdapat pelabuhan penting. Di Jakarta, kali Cihideung dinamakan kali Cideng. Lalu berbelok di kali Opak, seterusnya tiba di Kali Besar. Di sini komoditas itu dilelang kepada para pembeli yang datang dari mancanegara. Begitu pentingnya dermaga ketika itu, menyebabkan gubernur jenderal sendiri mengadakan peninjauan ke pelabuhan sungai tersebut. Menurut majalah 'Kita Sama Kita', komoditas pertanian tersebut dihasilkan oleh para petani dan pedagang Tionghoa di Leuwiliang di Ciampea, Bogor.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Dari Zaamdvoord ke Cibodas

Meski sebagian besar penduduk Jakarta pulang mudik, tapi sejak hari pertama Lebaran tempat-tempat hiburan tumpah ruah didatangi masyarakat. Tempat-tempat yang paling banyak didatangi warga untuk berekreasi adalah Taman Impiah Jaya Ancol, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan Kebon Binatang Ragunan. Sedangkan objek wisata di luar kota yang ramai didatangi warga adalah Kebon Raya Bogor dan peranginan di kawasan Puncak.

Sampai hari ke-empat lebaran (Selasa) Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) telah didatangi lebih 500 ribu orang untuk berekreasi di tepi pantai Teluk Jakarta. Menurut Humasd TIJA, pihaknya yakin sampai akhir pekan Lebaran tempat rekreasi ini akan didatangi sekitar 1,5 juta pengunjung. Hari Sabtu dan Minggu merupakan puncak ledakan pengunjung. Untuk menyambut Lebaran tahun ini, TIJA mendatangkan Circus on Ice dari Moskow.

Dikabarkan ratusan ribu pengunjung juga telah mendatangi TMII salah satu tempat hiburan bergengsi si Jakarta. Kita boleh memuji Ibu Tien Soeharto karena idenyalah TMII dibangun tahun 1970-an. Padahal, ketika dia mengemukakan idenya untuk membangun TMII hampir tiap hari mahasiswa demo untuk menentangnya. Tapi istri Pak Harto ini tetap teguh untuk mewujudkan cita-citanya itu. TMII kini menjadi kebanggaan Indonesia dan banyak dikunjungi wisatawan asing.

Dalam ihwal rekreasi di hari-hari Lebaran, kita harus kudu tahu bahwa kebiasaan ini telah berlangsung sejak lama. Pada tahun 1940-an sampai 1960-an, yang paling banyak diserbu orang saat Lebaran adalah Kebon Binatang Cikini (KBC) kini menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM) tempat kediaman pelukis terkenal, dan seorang penyayang binatang.

Karena terletak di pusat kota (Cikini), untuk pergi ke KBC dulu cukup naik becak atau trem listrik. Maklum, ketika itu mobil pribadi hanya milik oirang-orang kaya. Bahkan jumlah motor yang sekarang ini sudah memadati jalan-jalan di Jakarta dulu baru ratusan. Dulu kebanyakan motor-motor besar buatan Eropa seperti Harley Davidson, BSA, Norton, dan Java. Sedangkan mobil juga dari Eropa dan AS seperti Fiat (Italia) dan Opel (Jerman), Chevrolet (AS). Pada 1950-an kendaraan ini dijadikan angkutan penumpang dan dinamakan Opelet dari kata Opel.

Dulu banyak orang yang pergi rekreasi dengan naik sepeda, yang padamasa Belanda memiliki jalur khusus. Termasuk rekreasi ke pantai Zaandvoord (orang Betawi menyebutnya sampur), sekitar 3 km dari Ancol. Di pantai yang masih belum tercemar (kini tempat galangan kapal), dan tanpa membayar sepeserpun itu, para keluarga dapat menggelar tikar untuk makan lesehan setelah berenang sepuasnya.

Dari Stasion Tanjung Priok ke Zaandvoord bisa juga naik becak. Pada tahun 1950-an dan 1960-an becak juga ikut mendominir angkutan di Jakarta. Pada akhir 1950-an, saat penduduk Ibukota belum 3 juta jiwa, jumlah becak mencapai 30 ribu buah. Jumlah ini meningkat hampir dua kali pada tahun 1970-an, ketika becak mulai dibatasi dan kemudian dilarang. Para wartawan ketika itu melakukan tugas reportase dengan naik becak atau trem listrik yang tamat riwayatnya pada tahun 1960.

Seperti juga sekarang, tempat-tempat rekreasi menyediakan hiburan bagi para pengunjungnya. Kalau sekarang ini didominasi dangdut dan akhir-akhir ini lagu-lagu pop, dulu yang populer adalah grup lawak Bing Selamet, Eddy Sud, Ateng dan Iskak keempatnya sudah meninggal dunia yang sering tampil di Kebon Binatang Cikini (KBC). Kemudian, muncul lawak S Bagio, US-US, Oslan Husein dan Alwi.

Setelah awal 1970-an Kebon Binatang dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan, di bekas KBC sempat dibangun bioskop Garden Hall. Di depannya terdapat lapangan tenis tempat latihan petenis kenamaan ketika itu: Kece Sudarsono dan Tan Liep Tjiaw.

Ketika itu, bioskop juga merupakan tempat yang ramai dikunjungi saat Lebaran. Maklum, televisi belum muncul ketika itu. Sayangnya, banyak tukang catut dan preman di bioskop-bioskokp. Kalau filmnya bagus, harga tiket di tukang catut bisa dua kali lipat harga resmi.

Tempat rekreasi di luar kota yang banyak didatangi pengunjung adalah Kebon Raya Bogor. Untuk pergi ke Bogor ketika itu biasa naik oplet masih satu jalur Bogor-Jakarta dan Jakarta-Bogor. Membangun jalan tol belum menjadi impian pemerintah ketika itu. Jalan raya Ciputat-Parung-Bogor belum diaspal. Tapi, herannya tidak terjadi kemacetan seperti sekarang.

Pergi ke Puncak kala itu nikmatnya bukan main, meskipun harus naik kendaraan dan bus tanpa AC. Dari Bogor sampai Puncak di kiri kanan jalan belum banyak vila seperti sekarang. Udara masih bersih dan hawanya jauh lebih dingin dari sekarang ini. Tidak terjadi kemacetan seperti sekarang ini -- yang membuat orang harus menghadapi stress saat pergi dan pulang dari Puncak.

Tempat rekreasi terkenal di Puncak ketika itu adalah taman raya Cibodas. Beberapa hari setelah Lebaran banyak yang mengadakan rekreasi ke Cibodas dengan menyewa truk. Bung Karno dulu sering membawa para tamu negara ke Cibodas, seperti Presiden Voroshilov dari Uni Soviet, yang sangat mengagumi taman rekreasi Cibodas. Dia bersama Bung Karno mau berlama-lama berada di daerah yang sejuk dan penuh taman itu.
(Alwi Shahab )

Nyai Dasima di Kampoeng Kwitang

Inilah Kampoeng Kwitang, Jakarta Pusat pada pertengahan 1876 atau sekitar 131 tahun lalu. Jakarta di zaman Betawi pada abad ke-19 merupakan 'setengah hutan'. Penghuninya belum banyak seperti sekarang yang penuh sesak dan sumpek. Di antara pepohonan yang tumbuh lebat di sekitarnya, tampak sebuah rumah keluarga Eropa. Di depannya tampak sebuah jembatan dari kayu - yang sekarang menghubungkan antara Kampung Kwitang dengan Jalan Parapatan. Di depan rumah berpagar tembok tampak sebuah lampu gas di pekarangan yang luas. Lampu gas, ketika foto ini diabadikan oleh Jacobus Anthonie Meessen, baru nongol di Batavia 1864. Pabrik gas berlokasi di Gang Ketapang -- dekat Jl Gajah Mada --, yang entah kenapa namanya diganti pada tahun 1960 menjadi Jl KH Zainul Arifin. Adanya lampu gas yang menggantikan lilin dan minyak tanah dinikmati oleh penduduk setelah dibangunnya instalasi gas di jalan-jalan raya dan perkampungan. Pabrik gas yang telah berusia satu setengah abad sampai sekarang masih berdiri di Gang Ketapang.

Jacobus Anthonie Meessen, yang banyak mengabadikan gedung-gedung di Batavia merupakan pemilik rumah di Kampung Kwitang. Dia lahir di Utrecht, Belanda, pada 6 Desember 1836 dan merantau ke Batavia 1860. Dia juga mengisi kolom foto-foto iklan di harian Sumatra Courant di Padang dan 'Java Bode'di Batavia.

Kwitang yang terkenal dengan majelis taklim tiap Ahad pagi, pernah menjadi latar belakang roman sejarah 'Nyai Dasima' versi SM Ardan, seniman dan budayawan Kwitang. Dasima adalah istri piaraan tanpa nikah tuan Edward W, seorang Inggris, yang akhirnya kawin dengan Samiun tukang sado dari Kwitang. Nyai Dasima yang berasal dari Desa Ciseeng, Parung, Bogor, akhirnya mati dibunuh oleh Bang Puase, jagoan dari Kwitang atas suruhan istri tua Samiun, Hayati. Nyai yang bahenol ini dibunuh kira-kira di dekat rumah yang terlihat di foto. Mayatnya dilemparkan ke kali (kira-kira samping toko buku Gunung Agung) dan ditemukan di dekat kediaman tuan Edward W di Pejambon, di belakang kantor Ditjen Perhubungan Laut sekarang ini.

Nyai Dasima versi G. Francis -- yang pernah menjadi redaktur surat kabar besar pada abad ke-19 -- menggambarkan selain tuan W semuanya jahat. Bahkan direkonstruksi demikian rupa sehingga mencuat citra orang Betawi yang memiliki sifat-sifat penghasut, haus harta, irasional, berpikiran sempit, pencuriga, perusuh, dan masih berbagai sifat jahat lainnya. Dan semua sifat buruk itu berasal dari tradisi budaya dan agama yang dianut: Islam. JJ Rizal dalam pengantar di buku 'Nyai Dasima', mengutip pernyataan Ardan bahwa Nyai Dasima versi kolonial memperlihatkan nada anti-Muslim yang pada masanya berarti antipribumi.

Nyai Dasima, berdasarkan versi kolonial menjadi istri Samiun karena diguna-guna melalui seorang ulama Wak Lihun. Menurut Ardan, Dasima datang ke Samiun atas kesadaran sendiri ingin lepas dari orang asing. Setelah ia diingatkan hukumnya haram kawin tanpa nikah. Ulama terkemuka, HAMKA pernah berkomentar bahwa Dasima rela meninggalkan tuannya dan hidup bergelimang harta setelah diingatkan bahwa dalam Islam nikah merupakan suatu 'kemustian' dalam hubungan suami - istri.

(Alwi Shahab, Wartawan Republika )

Gelar Imam, Syekh, Habib dan Sayid

Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :

IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji (Khawarij). Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.

SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat ‘Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman al-Muq’ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan ‘Alawi.

Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia, tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke Hadramaut untuk menjadi da’i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.

Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya. Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya. Ia memiliki banyak kebun kurma. Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah mencapai tingkat mujtahid mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud dalam shalat Dzuhur.
Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan dakwah serta amat tekun beribadah.

Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah al-Haddad, ia merupakan salaf ba’alawi terakhir yang harus ditaati dan diteladani.

HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa buku. Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.

SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.

Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya muncul sebutan "Ba'alawi" yang hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan "Ba'Alawi" diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.

Tuesday, October 30, 2007

Asyraf Hadhramaut

Asyraf Hadhramaut

dan peranan mereka dalam menyebarkan islam di Asia Tenggara

Dr. Muhammad Hasan Al-Aydrus

( pengajar Sejarah Modern di Universitas Uni Emirat Arab )


Diketik ulang oleh

Abdullah bin Gasim Al-Aydrus

Bogor

17 september 2005

Diterjemahkan dari Asyraf Hadhramaut,

karya Dr. Muhammad Hasan Al-Aydrus Terbitan Darul Mutanabbi, Abu Dhabi – UAE

Penerjemah : Ali Yahya

Diterjemahkan atas biaya Alwi bin Shaleh Al-Aydrus

Diterbitkan oleh Abdullah bin Ahmad Assegaf bekerja sama dengan Penerbit Lentera, Jl. Melati Bakhti No.7 Jakarta 13430

Desain Sampul : Eja Ass.

Cetakan pertama, Sya'ban 1416 H/ Januari 1996


Daftar isi


Persembahan

untuk ayahku tercinta

Hasan Ahmad Alwi Alaydrus

yang telah berjasa sejak awal adanya naskah ilmiah ini

tanpanya risalah ini tidak akan ada

cinta dan penghargaanku hanya untuk beliau


Pengantar

Asia Tenggara dianggap sebagai wilayah yang paling banyak pemeluk agama Islamnya. Yang termasuk wilayah ini adalah pulau-pulau yang terletak di sebelah Timur India sampai Lautan Cina dan mencakup Indonesia, Malaysia dan Filipina.

Islam masuk ke Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya dengan dakwah yang damai dan bukan dengan ketajaman mata pedang. Ia masuk dengan perantaraan orang-orang Arab Hadhramaut, dalam hal ini para syarif ( gelar untuk keturunan Rasul, Penj) dari keturunan Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa. Beliau diberi laqob (gelar) Al-Muhajir karena hijrah dari Bashrah setelah kota itu menghadapi serangan umum Khawarij dan pemberontakan orang-orang kulit hitam. Ketika itu ia memutuskan berngakat ke Hijaz dan menetap setahun di Madinah Al-Munawwarah ketika Makkah Menghadapi serangan orang-orang Qaramithah. Kemudian beliau melaksanakan haji dan thawaf mengelilingi ka'bah tanpa ada Hajar Aswad yang ketika itu bawa ke Hijr sehingga tempat batu itu menjadi kosong.

Kemudian Imam Ahmad bin Isa memutuskan hijrah ke Hadhramaut. Disana ia menghadapi orang-orang Khawarij, sehingga ia dan anak cucunya dapat menghapus mazhab Ibadhiy dan menyebarkan mazhab Syafi'i. Setelah itu salah satu cucunya Muhammad Shohib Marbath menyempurnakan perjalanannya dan menyebarkan mazhab Syafi'i di daerah Zhufar.

Para syarif hadhramaut juga hijrah ke Afrika Timur, India, dan Asia Tenggara untuk menyebarkan dakwah Islamiyah dan mengajarkan para penduduknya pokok-pokok ajrab agama yang hanif (lurus) ini.

Kita nanti akan sampai pada para da'i yang pertama dari kalangan syarif Hadhramaut yang memainkan peran pening dalam menyebarkan Islam di Asia Tenggara khususnya di Indonesia. Yang paling penting diantara mereka adalah para da'i pertama yang berjumlah 9 orang dan dikenal dengan nama 'Sunan' yang artinya "wali" dan sebagian besar dari mereka adalah para syarif hadhramaut dari keturunan Ahmad bin Isa.


BAB I

Nasab Para Syarif di Hadhramaut

Nasab para syarif / sayid di Hadramaut berpangkal pada Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhy bin Ja’far Ash-Shadiq, cucu imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah dan pemimpin pemuda ahli surga.

Imam Husein bin Ali

Dari Ya’la bin Murrah berkata ia: Telah bersabda Rasulullah SAW:1

“Husein dari aku dan aku dari Husein, Allah mencintai orang yang mencintai Husein, Husein adalah cucu dari para cucu”

Berkata Al-Imam Al-Akbar Dr.Abdul Halim Mahmud Syeikhul-Azhar:2

“Sesungguhnya nasab Sayidina Husein R.A. hampir saja terputus seandainya bukan karena anugerah Allah. Anugerah Allah inilah yang mengekalkan keturunannya. Pada nereka terdapat keharuman Rasulullah SAW. Pada mereka juga terdapat orang-orang yang akhlaknya pemurah, pemberani, dan hati yang penuh dengan keimanan serta ruh yang selalu memandang ke atas, tidak disibukkan oleh dunia dengan segala perhiasannya yang membuatnya menjadi ingin kekal di dunia dan menuruti hawa nafsunya. Tidak , sekali-kali tidak sesungguhnya jiwa mereka dihiasi teladan yang tinggi dan kekal disertai kepahlawanan dalam bentuknya yang terbaik dan bersama kebenaran dimanapun berada. Sesungguhnya jiwa mereka seumpama orang yang membantu orang yang berjuang di jalan kebaikan, yaitu di jalan Allah”

Sayidina Husein sungguh telah memasuki suatu pertempuran menentang orang yang bathil dan mendapatkan syahidnya di sana. Pertempuran ini banyak mengalirkan darah orang-orang yang bersamanya, sedang sisanya ditawan. Ahlul bait telah digiring sebagai tawanan. Tidak tersisa keturunan Husein yang laki-laki setelah pertempuran ini kecuali Ali bin Al-Husein R.A. yag diberi lagob (gelar) ‘Zainal Abidin’ (hiasan para ahli ibadah)

Al-Imam Zainal Abidin Ali bin Al-Husein

Imam Ali Zainal Abidin diberi gelar ‘Zainal Abidin’ dan As-Sajjad’ (yang banyak sujud) dan nama serta gelar-gelar yang lain. Ia tumbuh dari kedua orang tua yang mulia. Salah satunya Al-Imam Husein bin Ali R.A., anak dari puterinya Rasulullah SAW dan penyejuk matanya di dunia. Ia (Imam Ali Zainal Abidin) juga putera dari Sulafah binti Yazdajird, raja persi.

Dr. Abdul Halim Halim Mahmud, seorang Imam besar dan Syeikhul-Azhar, berkata:3

“Zainal Abidin tumbuh dengan jiwa yang kenyang dengan ruhaniyah datuknya (s.a.w), dengan ketaqwaan ayahnya dan ketinggian pribadi ibunya yang merupakan keturunan para raja dan didikan para kaisar.”

Ath-Thohir bin Abdullah Al-Lahyawi4 mengatakan bahwa Zainal Abidin hidup bersama kakeknya Ali bin Abi Thalib selama 2 tahun, bersama pamannya Al-Hasan 10 tahun, bersama ayahnya Al-Husein 11 tahun dan sesudah itu hidup selama 34 tahun. Ia meninggal diracun oleh Al-Walid bin Abdul Malik.

Penyair Farazdaq dalam qashidahnya yang masyhur mengatakan tentang Ali Zainal Abidin:

Inilah orang yang dikenal jejak langkahnya

Oleh butiran pasir yang dilaluinya

Baitullah pun mengenalnya

Dan dataran tanah suci sekelilingnya

Dialah putera insan terbaik

Dari hamba Allah seluruhnya

Dialah manusia yang bertaqwa

Yang bersih lagi suci

Apabila orang Quraisy melihatnya

Berkatalah penyambung lidah mereka

Kepada kemuliaan pribadinya

Berpuncaklah segala kemuliaan

Ia bernasab setinggi bintang kejota

Seanggun langit di cakrawala

Yang sulit untuk mencapainya

Baik orang Arab maupun selainnya

Disaat ia menuju Ka’bah

Untuk mencium hajar yang mulia

Ruknul-Hatim enggan melepaskannya

Karena tahu betapa ia tinggi nilainya

Imam Muhammad Al-Bagir

Beliau adalah anak Ali Zainal Abidin yang tertua dan salah satu dari Imam Dua Belas menurut mazhab Imamiyah. Ia dilahirkan pada tahun 59 H di Madinah pada masa kehidupan kakenya al-Husein. Masa kehidupannya penuh dengan pekerjaan-pekerjaan besar, di antaranya dibukanya lembaga-lembaga keilmuan, pembahasaan ilmiah dan sastra. Pelajaran yang diberikannya di Madinah Al-Munawwarah dihadiri oleh para ulama dan fuqaha besar. Para utusan berdatangan kepadanya untuk mengambil manfaat darinya.

Ia terlibat dalam gerakan pemikiran, keilmuan, dan kemasyarakatan dan banyak yang dituju oleh para penuntut kebenaran. Muhammad Al-baqir semasa dengan para raja-raja dari mulai Muawiyah sampai Yazid bin Abdul Malik. Ia wafat pada tahun 113 H di masa Hisyam bin Abdul Malik. Puteranya empat orang, tetapi keturunannya setelah itu hanya melalui Ja’far Ash-Shadiq menurut ijma’ Bukhari dan Muslim. Maka orang yang mengaku bernasab kepada Muhammad Al-Baqir tanpa melalui ja’far Ash-Shadiq adalah seorang pengaku yang dusta.5

Imam Ja'far Ash-Shadiq

Asy-Syarif Ahmad bin Muhammad Sholih Al-Baradighi mengatakan bahwa nasab para sayid/syarif di Hadramaut berpangkal pada nasab Imam Ja’far Ash-Shadiq melalui anaknya Muhammad bin Ali Al-Uraidhi. Nasab para syarif Alawiyin Hadramaut bermuara pada Syarif Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shidiq.6 Ia diberi gelar ‘Ash-Shidiq’ karena kebenarannya dalam kata-katanya. Ia juga diberi nama ‘Amudusy-Syaraf’ (Tiang Kemuliaan).7 Ia adalah seorang imam yang utama, mempunyai ilmu, keutamaan, dan kemurahan.

Imam Muhammad bin Ali Al-Uraidhi dan Hijrahnya dari Madinah ke Iraq

Ia adalah Abu Isa Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shidiq. Ia tinggal di Bashrah, demikian juga anaknya Isa. Disana pula Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa dilahirakan dan dibesarkan.8

Imam Muhammad bin Ali Al-Uraidhi adalah anak tertua dilahirkan di Madinah. Kemudian pindah bersama ayahnya ke Bashrah. Ia wafat pada tahun 203 H pada usia 59 tahun.

Ayahnya dinamai dengan Al-Uraidhi sebagai nisbah kepada ‘Al-Uraidh’ yaitu nama suatu begeri yang terletak pada jarak 4 mil dari kota Madinah Al-Munawwarah. Ayahnya ini adalah putera terkecil dari Imam Ja’far Ash-Shadiq yang wafat ketika ia masih kecil. Kemudian bersama saudaranya Muhammad bin Ja’far Ash-Shadiq ia pergi ke Makkah dimana ia mengadakan pergerakan disana.9

Disebutkan dalam kitab “Tarikh Baghdad” karangan Ibn Al-Khatib bahwa:

“ Muhammad bin Ja’far Ash-Shadiq pergi ke Makkah pada masa pemerintahan Al-Ma’mun. Ia mengajak orang untuk memba’atnya. Maka penduduk Hijaz membai’atnya sebagai khalifah. Ia adalah keturunan Ali bin Abi Thalib yang pertama dibai’at oleh mereka. Hal itu terjadi pad tahun 200 H.”

Serelah itu Abu Ishaq Al-Muaqqim melaksanakan haji dan mengutus orang yang memeranginya. Kemudian ia menangkapnya dan membawanya ke Baghdad dalam pengawalannya. Pada saat itu Al-Ma’mun berada di Khurasan. Maka ia (Muhammad bin Ja’far Ash-Shadiq) dihadapkan kepadanya. Tetapi kemudian Al-Ma’mun memaafkannya. Ia hanya tinggal sebentar sampai ia wafat di Jurjan pada tahun 203 H.10

Imam Ahmad bin Isa dan Hijrahnya dari Iraq ke Hadhramaut

Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shidiq hidup di masa yang penuh dengan kebudayaan dan nama-nama yang masyhur seperti Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Al-Ashma’i, Ibnu Ishaq, Muhammad bin Jarir Ath-Thobari, dan para imam ahlul bait. Sedang di Bashrah ada Ibnu Al-Qazzaz, Ash-Shan’ani, Al-Haratsi, dan Muhammad bin Ahmad Al-Bishri seorang alim dari kalangan syiah yang wafat pada tahun 327 H. Lalu datang juga ke Bashrah Al-Mas’udi dan Ath-Thobari.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir (karena hijrah dari Iraq ke Hadramaut) hidup dalam suasana yang penuh dengan hal-hal yang saling bertentangan. Ilmu, sastra, dan filsafat di satu sisi dan di sisi lainnya kejadian-kejadian berdarah, ketakutan, dan kekhawatiran. Ia menyaksikan apa yang disaksikan oleh saudaranya Muhammad bin Isa. Ia mengepalai suatu gerakan, lalu maju dengan pasukannya dan menguasai satu wilayah.11

Ibnul-Khatib dalam kitabnya “Tarikh Bagdad” mengatakan:

“Telah memberi kabar kepada kami Abul-Ala’ Muhammad bin Ali Al-Wasithi, berkata ia, telah memberi kabar kepada kami Zahl bin Ahmad Ad-Dibaji, berkata ia, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobari berkata kepada kami:

Ahmad bin Isa Al-Alawiy mengatakan kepadaku dalam tulisannya dari Bashrah:12

Ketahuilah bahwa saudara-saudara kita

Yang dapat dipercaya itu sedikit

Dan apakah ada kesempatan untukku

Menuju yang sedikit itu ?

Bertanyalah pada orang-orang

Niscaya kau kan tahu

Orang yang kurus di antara yang gemuk

Tiap sesuatu itu ada bukti dan petunjuknya

Berkata Abu Ja’far Ath-Thobari:

Lalu aku menjawabnya:

Pemimpinku mempunyai persangkaan yang buruk

Tentang perjuangan orang yang berjuang

Maka masih adakah kesempatan untukku

Untuk berbaik sangka ?

Perhatikanlah wahai pemimpinku

Apa yang aku sangka dan aku katakan

Sesungguhnya persangkaan yang baik darimu

Itulah yang baik bagiku.

Apa yang dikatakan oleh Ath-Thobari di atas menunjukkan kedudukan Imam Ahmad bin Isa di sisinya. Jika ia (Imam Ahmad bin Isa) lebih tua, maka itu sudah semestinya dan merupakan penghormatan baginya. Padahal kenyataannya sebaliknya, karena Ath-Thobari lebih tua darinya.13

Hijrahnya Imam Ahmad bin Isa dari Hijaz ke Hadhramaut

Imam Ahmad bin Isa melihat terpecah-pecahnya keturunan Ali bin Abi Thalib, keadaan yang memburuk, adanya kerusakan dan kejadian berdarah yang dialaminya sehingga tidak ada lagi keamanan dan tempat untuk menetap. Juga fitnah orang-orang kulit kitam telah meninggalkan bekas yang buruk dalam kehidupan, ditambah lagi pemberontakan orang-orang Qaramithah dan serangan mereka ats Bashrah (310 H) membuat orang-orang yang sabar pun tidak dapat lagi untuk bersabar. Ketika mereka memasuki Bashrah, Imam Ahmad bin Isa sedang berada di tengah-tengah keluarga dan penduduk Bashrah berada dalam kegelisahan dan kekhawatiran sebagaimana yang disampaikan oleh sahabatnya Muhammad bin Jarir Ath-Thobari. Karena keadaan tidak memungkinkan untuk tetap tinggal disana dan ia yakin bahwa berangkat pada saat itu sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi, maka ia memutuskan untuk meninggalkan Iraq, dimana ia meninggalkan harta dan sebagian anak-anaknya.14

Yang demikian itu ia lakukan meskipun ia menikmati berbagai keistimewaan, diantaranya ia adalah pemimpin keluarga Al-Uraidhiyah ( yang dinisbahkan kepada Imam Ali Al-Uraidhi), kemudian ia dan ayahnya adalah naqib para syarif Alawiyin, mereka berdua juga adalah imam dan pemuka besar orang-orang Bashrah serta merupakan bintang-bintang kejora mereka. Walau demikian ia memutuskan hijrah dari itu semua.

Pada tahun 317 H berangkatlah suatu kafilah besar dari Bashrah pada masa pemerintahan Al-Muqtadirbillah (290-320 H) melewati padang pasir membawa Imam Ahmad bin Isa dan istrinya Zainab binti Abdullah bin Al-Hasan bin Ali Al-Uraidhy, anaknya Ubaidillah dan istrinya Ummul Banin binti Muhammad bin Isa bin Muhammad, serta cucunya Ismail yang diberi gelar ‘Ibn Ubaidillah’ serta para pengikut mereka yang berjumlah sekitar 70 orang. Kafilah ini melalui jalan Syam yang panjangnya mencapai 712 mil.

Ikut bersamanya juga lima orang yang bukan pengiringnya. Di antara mereka dua orang adalah anak-anak pamannya. Mereka adalah kakek dari “Bani Qadim” dan “Bani Al-Mahadilah”. Mereka adalah sahabat-sahabat Al-Muhajir sebagaimana tiga orang lainnya Ja’far bin Abdullah Al-Azadi kakek dari Al-Masyaikh Al-Makhdum, Mukthar bin Abdullah bin Sa’d kakek Al-Masyaikh Al-Mukhtar, dan Syuwayyah bin Faraj Al-Ashbihaniy.15

Sa’id Bawazir, seorang ahli sejarah dari Hadramaut, mengatakan bahwa keputusan Imam Ahmad bin Isa hijrah dari Bashrah, berangkat bersama keluarga dan para pengikutnya yang berjumlah lebih dari 70 orang adalah pada masa sulitnya perjalanan karena tidak ada kapal laut dan kendaraan selain kafilah onta yang melewati pdang tandus yang luas dengan langkah-langkahnya yang berat pada perjalanan yang sulit dan berbahaya.16 Ia meninggalkan sebagian anak-anaknya bersama keluarga mereka di Bashrah. Mereka adalah Muhammad, Ali, dan Hasan.17

Kemudian Imam Al-Muhajir sampai di Madinah dan menetap disana selama setahun. Ketika ia berada di Madinah, masuklah orang-orang Qaramithah ke Makkah di bawah pimpinan Abu Thohir bin Abi Sa’id pada tanggal 17 Dzulhijah tahun 317 H. Mereka mencabut Hajar Aswad dan membawanya ke Hijr sehingga tempatnya menjadi kosong. Pada tempat yang kosong itu orang-orang meletakkan tangannya untuk bertabarruk selama 22 tahun.

Pada tahun berikutnya (318 H) Imam Ahmad bin Isa menuju Makkah diikuti keluarga dan para pengikutnya. Ia melakukan ibadah haji dan di tempat Hajar Aswad hanya menyentuhnya saja. Disana ia mendengar apa yang dilakukan oleh orang-orang Qaramithah ketika memasuki Makkah dan mendengar tentang berkembangnya orang-orang Khawarij di Arab Selatan.

Kemudian ia memutuskan berangkat ke Yaman, menembus segala penjuru Hijaz, ‘Asir, dan Yaman. Lalu ia berbelok ke timur ke arah Hadramaut.18

Mengapa Imam Al-Muhajir Hijrah ke Hadhramaut ?

Mengapa Imam Al-Muhajir memilih Hadramaut dan tidak pergi ke Khurasan yang hijau atau tidak tinggal di Hijaz atau Yaman sebagaimana anak-anak pamannya tinggal? Mengapa tidak berangkat ke Mesir dimana hati penduduknya selalu beserta ahlul bait sejak permulaan Islam? Mengapa pula tidak pergi ke Sind, India padahal disana banyak terdapat keluarga Abu Thalib dan para pengikut mereka? Atau mengapa tidak pergi ke tempat lain dan hanya bermaksud ke Hadramaut, mengapa?

Apakah ia pergi untuk menghadapi orang Khawarij dan menjadi benteng terhadap orang-orang Qaramithah yang telah maju dan menguasai kota Amman? Kalau tidak mengapa ia berangkat ke suatu negeri yang tidak terdapat disana suatu kekayaan atau sesuatu yang memikat hatinya dan tidak pula terdapat seorang pun dari putera-putera pamannya?19

Maka masuklah Imam Al-Muhajir ke Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam da’wahnya dan menempuh cara yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka banyak orang-orang Khawarij yag datang kepadanya dan taubat di tangannya setelah mereka berusaha menentang dan mencacinya.

Ia jug menolong qabilah Al-Masyaikh Al-Afif. Dan bergabung juga dengannya qabilah ‘Kandah’ dan ‘Madij’. Mereka meninggalkan mazhab Ibadhiy dan bercampur dengan orang-orang yang datang dari Iraq. Minoritas Sunnah dan Syiah sekitar Al-Washil Al-Jadid juga berpaling kepadanya. Hanya orang-orang Khawarij yang lainnya menentangnya dan menyalakan api peperangan terhadapnya. Tetapi ia dan orang-orang yang besertanya walaupun dalam jumlah yang sedikit dapat menang pada pertempuran “Bahran”.

Sampai saat ini masih tetap dikatakan orang suatu perumpaan: “ Dimana engkau wahai orang yang lari dari Bahran?” kemenangan itu adalah suatu kemenangan bersama bagi orang Sunni dan Syiah dalam melawan orang Khawarij,20 karena seperti diketahui Imam Al-Muhajir adalah Sunni dan bermazhab Syafi’i.

Sejarawan Hadramau Sa’id Bawazir mangatakan bahwa orang-orang Ibadhiyin memerangi Al-Muhajir karena mereka tersingkir dari tinggal di Hadramaut dan orang-orang Sunni maupun Syiah di Hadramaut dan Yaman bersatu untuk menolongnya. Maka berkecamuklah peperangan diantara kedua pihak. Pada peperangan ini orang-orang Ibadhiyun mendapatkan bantuan dari orag-orang sekaumnya dari Amman dan daerah lainnya, sedangkan Al-Muhajir mendapatkan bala bantuan dan keuangan yang dibawa oleh qafilah-qafilah di darat dan kapal-kapal laut yang dikirim oleh anaknya Muhammad yang ia tinggalkan ditempat lamanya sebagai wakil dirinya dalam menjaga segala miliknya, kurmanya, dn perdagangannya yang luas.

Ketika terjadi peperangan yang menentukan diantara keduanya di daerah Bahran yaitu saat Al-Muhajir tinggal di Bahrain terpecahlah keberanian orang-orang Ibadhiyun. Setelah itu Al-Muhajir pindah ke bukit Bani Jasyir.

Karena itu jelaslah bahwa Imam Al-Muhajir menyatakan dengan terang-terangan mazhab dan aqidahnya dan mengajal orang kepada aqidahnya itu yang membuat orang-orang Ibadhiyun berpikir mencari siasat menghadapinya dan menghadapi perkembangan mazhab dan aqidahnya dengan segala cara. Dan sesungguhnya orang-orang Alawiyin menutupi diri mereka dengan membawa senjata sebagaimana metode para sahabat dalam ilmu dan pengalamannya. Tetapi setelah berakhir mazhab Ibadhiy dan tampil kemukanya mazhab Syafi’i mereka mulai dengan mazhab shufi sejak zaman Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam.21

Ahli sejarah dari Hadramaut Muhammad Asy-Syathiri mengatakan bahwa mazhab Ibadhiyah adalah mazhab yang dominan disan dimana mereka mempunyai pengaruh dalam pelaksanaan berbagai hal dihadapan mereka. Tetapi Imam Al-Muhajir dengan ilmunya, kekuatan pribadinya, dan keberaniannya mampu menyebarkan mazhab Sunni Syafi’i di Hadramaut sehingga akhirnya setahap demi setahap dapat menempati tempat mazhab Ibadhiy sesuai dengan cara perkembangan mazhab. Berkata ia dan murid-muridnya dari kalangan ahlussunnah berubahlah tanah Hadramaut menjadi negeri Sunni Syafi’i. Dan sebelum berakhir abad ke tujuh mazhab Ibadhiy telah lenyap sama sekali dari Hadramaut dan merata mazhab Sunni disana.22

Imam Alwi bin Ubaidillah bin Imam Al-Muhajir

Imam Al-Muhajir mempunyi empat orang putera, yaitu Ali, Al-Husein, Ubaidillah, dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke hadramaut dan mendapat seorang anak yang bernama Alwi. Ia adalah anak pertama dari cucu Imam Al-Muhajir yang dilahirkan di Hadramaut. Karena itu para sayid / syarif di sana disebut dengan Al-Alawiyin atau qabilah ‘Ba alawi’.

Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif23 mengatakan bahwa Alawiyin dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.

Datuk pertama yang orang Hadramaut bagi qabilah ini adalah Alwi bin Ubaidillah. Ia adalah kelahiran Hadramaut. Anak cucunya tersebar di kota-kota Hadramaut dan Zhufar, khususnya di kota Tarim yang disebutkan oleh Amir Syakib Arsalan ketika mentelaah kitab “Al-Masyra’ Al-Rawi” ketika menceritakan pribadi-pribadinya yang pada umumnya dilahirkan di Tarim dan hafal Al-Quran. Maka Amir Syakib Arsalan mengatakan aku ingin mengarang suatu kitab yang bernama “Alhajar al-Karim fi man wulida bi Tarim.”

Nasywan Al-Hamiri (wafat tahun 573 H) ketika mengunjungi Tarim dan mendapatkannya bagikan seorang pengantin dan disana terdapat para syarif Hadramaut mengatakan:24

“Semoga Allah memelihara saudara-saudaraku yang semasa denganku yang didalam negeri Tarim bagaikan bintang-bintang yang bersinar.”

Al-Imam Shohib Marbath Muhammad bin Ali dan keturunannya (573-653)

Ia adalah Imam Muhammad Shohib Marbath bin Ali Kholi’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Ubaidillah bin Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa. Ayahnya diberi laqob “Kholi’ Qasam” sebagai nisbah kepada negeri al-Qasam yang merupakan tempat mereka di negeri Bashrah,25 dimana dari tempat itu ia mendapat harta dan membeli tanah didekat kota Tarim di Hadramaut dengan harga 20.000 dinar dan ditanaminya pohon kurma untuk mengenang kota Qasam di Bashrah yang tadinya dimiliki oleh kakeknya Al-Imam Al-Muhajir yang merupakan tanah yang luas disana didekat teluk Arab dan penuh kurma pada masa itu.26

Imam Muhammad Shohib Marbat dilahirkan di kota Tarim dan ia hafal al-Quran.27 Ia dinamai dengan Shohib Marbah karena ia tinggal disana. Ia sering pergi ke berbagai penjuru sehingga sampai di Marbath di daerah Zhufar dan menetap disana ia mendapatkan sambutan dan penghormatan dari penduduknya, dan bertambah tersebar keharuman namanya. Ia tinggal disana sampai wafat dan kuburnya di Marbath terkenal.28

Keutamaan yang besar bagi Imam Muhammad Shohib Marbath karena ia memasukkan mazhab Imam Syafi’i dan Aqidah Ahlussunnah ke Zhufar setelah tadinya penduduknya adalah orang Khawarij dari sekte Ibadhiyah. Ia berhasil dengan kemampuannya yang hebat merubah aqidah mereka menjadi aqidah ahlussunnah dan bermazhab Syafi’i.

Ia telah melakukan peranan seperti peranan yang telah dilakukan oleh kakeknya Al-Imam Al-Muhajir dalam memasukkan mazhab Syafi’i di Hadramaut. Dan sebagaimana kakeknya hijrah dari Bashrah ke Hadramaut, ia hijrah ke Zhufar.29 Demikian pula cucu-cucunya dan keturunannya hijrah ke Asia dan Afrika setelah itu.

Kakek dari semua Syarif Alawiyin di Hadramaut dan ditempat hijrah yang lain adalah Syeikhul Imam Muhammad Shohib Marbath.30 Dan kepada kedua orang anaknya bernasablah semua sayid/syarif di dalam dan di luar hadramaut.

Mereka berdua adalah Alwi yang bergelar ‘Ammul-Faqih’ dimana bernasab kepadanya keluarga Abdul Malik yang dikenal dengan keluarga “Azhmat Khan” di India. Demikian pula para da’i pertama yang menyebarkan Islam di Asia Tenggara yang akan kita kemukakan nanti. Sedangkan anak yang kedua adalah Ali dan keturunannya melalui anaknya Muhammad yang bergelar ‘al-Faqih Al-Muqaddam’. Ia mempunyai 3 orang anak yaitu Ahmad, Ali, dan Alwi.

Lalu Alwi menurunkan Al-Imam Muhammad Maula Ad-Dawilah yang menurunkan Al-Imam Abdurrahman As-Saqqaf. Kemudian dibawahnya anaknya Syeikhul-Imam Abubakar As-Sakran.

Abubakar As-Sakran mempunyai seorang anak yang terkenal dengan nama Al-Aydrus, yaitu Al-Imam Abdullah Al-Aydrus bin Abubakar As-Sakran bin Abdurrahman As-Saqqaf bin Muhammad Maula Ad-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shohib Marbath.

Al-Imam Abdullah Al-Aydrus (811-865 H) diberi gelar oleh kakeknya Abdurrahman As-Saqqaf dengan gelar Al-Aydrus yang dikatakan berasal dari kata “Al-Aytarus”. Kakeknya wafat ketika ia berusia 8 tahun, sedang ketika ayahnya wafat ia berusia 10 tahun. Lalu ia diasuh oleh pamannya Asy-Syeikh Umar Al-Muhdar. Ia memperoleh ilmu dari pamannya ini dan dari sejumlah ulama besar di Hadramaut, Yaman, Makkah Al-Mukaramah, dan Madinah Al-Munawwarah.

Pamannya yaitu Al-Muhdar wafat ketika ia (Al-Aydrus) berusia 25 tahun. Lalu orang-orang bersepakat untuk mengajukannya untuk memegang kepemimpinan para Sayid/Syarif Alawiyin setelah pamannya Umar Al-Muhdhar dan banyak menghasilkan ulama.

Sejarawan Muhammad Dhiya’Syahab, seorang pentahqiq nasab para Syarif Hadramaut mengatakan bahwa qabilah Al-Aydrus adalah suatu keluarga yang terkenal dalam bidang keilmuan, politik, dan kemasyarakatan. Mereka banyak memiliki orang-orang besar (istimewa) yang berkhidmat pada ilmu dan masyarakat. Mereka juga terlibat dalam urusan-urusan umum.

Pada masa sekarang mereka banyak tersebar di Hadramaut, Jazirah Arab sebelah Selatan, Zhufar, Hijaz, Ahsa’, daerah-daerah lain di Jazirah Arab, Iraq, Mesir, India, Afrika Timur, dan Asia Tenggara.

Di daerah rengat, Sumatera terdapat sejumlah besar dari mereka, yaitu yang bernasab kepada Syarif Zein bin Alwi “Shohib Taribah” bin Ahmad bin Abdullah “ Shohib Ath-Thoqoh”. Yang pertama kali masuk ke Rengat adalah Ali bin Abdullah bin Hasan bin Umar bin Zein Al-Aydrus pada masa Sultan Hasan Shalih.

Di daerah Trengganu, Malaysia terdapat beberapa keluarga ini. Jam’iyyah Al-Rabithah Al-Alawiyah di Indonesia telah menghitung jumlah mereka di jawa, di beberapa bagian pulau Sumatera, dan pulau-pulau di Indonesia bagian Timur, yaitu berjumlah 1057 orang pada tahun 1358 H. Perhitungan ini belum mencakup seluruh pelosok Indonesia, Malaysia, dan Filipina.31

Keluarga syarif di Hadramaut mempunyai cabang-cabang yang banyak. Yang paling terkenal diantaranya: Al-Habsyi, Al-Aththas, Al-Hamid.


BAB II

Hijrahnya para syarif hadramaut ke asia tenggara

Para syarif dan hijrah

Sejarah telah mencatat macam-macam hijrah yang berbeda-beda. Di antaranya hijrah karena lari dari kerasnya kehidupan dan kezaliman penguasa. Sebagian lagi karena mencari keselamatan dari peperangan. Seringkali orang yang hijrah menemui penderitaan dalam perjalanan. Terkadang mereka tidak mendapatkan tempat yang cocok untuk hidup, sehingga mereka melanjutkan perjalanannya di padang tandus atau di lautan sampai mereka menemui orang yang mengasihani dan menghormati mereka, sehingga mereka dapat tinggal di antara masyarakat yang baru dan memberi keamanan.

Terlepas dari sebab-sebabnya, hijrah mempunyai pengaruh yang besar dalam penyebaran Islam. Setelah menetap di daerah-daerah yan baru, mulailah da’wah Islamiyah di antara ummat yag tadinya tidak mempunyai hubungan dengan Islam atau mempunyai pengetahuan tentangnya. Maka mereka menerima Islam dengan hati yang terbuka. Setelah mereka mngenal Allah dan pindah ke peradaban Islam yang tinggi, mereka mengakui kebaikan para da’inya dan mengenang nama-namanya di hati mereka.32 Inilah yag kita temukan di daerah-daerah dan pada ummat-ummat yang memeluk agam Islam dan kemudian menjadi pembela-pembelanya.

Kita banyak menemukan anak cucu dan keturunan Imam Ja’far Ash-Shadiq yang hijrah dan tersebar di berbagai daerah baik atas kehendak mereka ataupun karena masalah politik. Pada mulanya mereka tersebar di daerah-daerah yang bertetangga dengan Iraq dan Jazirah Arab. Mereka hijrah ke Syiraz, Qum, dan Khurasan.

Kita saksikan sekarang anak cucu dan keturunan mereka di berbagai pelosok Hadramaut dan di daerah pesisir lautan Hindia, seperti Asia Tenggara, India, dan Afrika Timur. Para da’i dan ulama-ulama mereka mempunyai peranan yang besar di tanah air mereka yang baru. Karena itu para penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya memuliakan mereka karena karya mereka yang baik dan agung.

Setelah berakhir hijrah ini ke tempat tinggal mereka di daerah-daerah yang baru, mereka biasanya berbaur dalam masyarakat dimana mereka tinggal, sebagaimana yang terjadi pada diri Imam Muhammad bin Ali Al-Uraidhi dan anak-anaknya hijrah dari Madinah ke Bashrah. Juga cucunya Ahmad bin Isa yang hijrah dari Bashrah ke Hijaz kemudian ke Hadramaut, lalu menetap disana. Anak cucunya juga berbaur dalam masyarakat yang baru. Setelah itu hijrah mereka yang pertama adalah ke India. Dari sana ke Asia Selatan dan juga ke Afrika Timur.

Kita menemukan juga pada sebagian orang di Afrika Selatan, dan juga para muslimin Filipina pengaruh darah Arab yang banyak. Khususnya anak-anak para penguasa dan pemimpin yang selalu menyebutkan kakek-kakek mereka yang orang Arab. Sebagian mereka, jika tidak kebanyakan dari mereka, mengaku bernasab pada keturunan para syarif Hadramaut. Demikian juga dengan sebagian anak-anak penguasa di kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan. Demikian juga di Malaysia dan Brunei.

Dr. C. Snouck Hurgronye seorang orientalis Belanda mengatakan sesungguhnya “Tuanku Kota Karang” yang nerupakan seorang musuh yang terbesar bagi Belanda meyakini dan membela kepercayaannya bahwa pada darah penduduk Aceh mengalir darah Arab. Ia menyatakan hal ini dalam khutbah-khutbahnya yang keras melawan Belanda. Nama orang alim ini sebenarnya adalah Tuanku Abbas yang merupakan Qadhi pada kesultanan Aceh ketika berjuang melawan penjajahan Belanda dan juga penasehat Syeikh Sulaiman pemimpin pasukan jihad Islami.

Karena ini dapat dikatakan bahwa pembauran terjadi secara bertahap. Seandainya orang-orang yang hijrah itu tidak melebur dalam masyarakat setempat, niscaya keturunan Arab akan tetap jelas setelah melalui masa yang panjang. Padahal keadaannya tidak demikian.33

Dapat dikatakan bahwa para Syarif Hadramaut menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua hijrah:

Yang pertama, hijrah para syarif yang datang pada masa Bani Umayah karena lari dari Iraq, setalah penindasan Bani Umayah terhadap Alawiyn. Tujuan mereka pada hijrah ini adalah pulau-pulau di Filipina.

Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad Al-Anshari dalam kitabnya “Nukhbatud-dahri fi ajaibil barri wal bahri” menerangkan tentang kedatang mereka. Ia mengatakan34 suatu kaum dari Alawiyin masuk pada enam pulau sebelah Timur yang dinamai Sila (Sili), lalu mereka menetap dan mempunyai anak keturunan di sana. Mereka memiliki tempat-tempat itu dan wafat di sana. Demikian yang dikatakan para ahli. Dan sebagian di antara pulau-pulau Sila adalah sebagian pulau-pulau Filipina sekarang. Penyebaran isalam pada masa ini terbatas dan tidak melewati daerah-daerah dan masa tertentu.

Adapun hijrah kedua mempunyai pengaruh yang besar dalam penyebaran Islam ke sebagian besar Asia Tenggara. Demikian pula masa sampai sekarang ini. Hijrah ini adalah setelah menetapnya anak cucu Imam Al-Muhajir.

Hijrah ini sampai ke Asia Tenggara melalui dua tahap, yaitu: Tahap pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India.

Sejarawan Hadramaut Sholah Al-Bakri dalam kitabnya “Tarikh Hadramaut”35 tahun 1936 mengatakan tidak diragukan lagi bahwa hijrahnya orang Arab Hadramaut ke Jawa dan ke pulau-pulau sekitarnya adalah hijrah terbesar dalam sejarah mereka. Mereka memasuki Timur jauh pada masa lautan penuh dengan bahaya. Lalu mereka turun di pulau-pulau yang subur itu. Diantara hasil terbesar hijrah ini adalah lenyapnya agama Budha dan tegaknya agam Islam

Hijrahnya para syarif hadramaut ke India lalu dari sana ke Asia Tenggara

Hijrahnya para syarif Hadramaut ke India dan dari sana ke Asia Tenggara, merupakan sebab dari ketidakpahaman sebagian besar sejarawan khususnya sejarawan Eropa. Kesalahan mereka adalah bahwa mereka menganggap para da’i yang datang ke Asia Tenggara adalah dari India.

Sebagian mereka membandingkannya dengan orang-orang terdahulu yang datang dari India, dimana mereka datang ke Indonesia dengan membawa agama Hindu dan Budha, sebagaimana dikatakan oleh Brian May dalam bukunya tentang Indonesia bahwa agama Islam menyerupai agama Hindu karena ia datang ke Indonesia dari India, menetap di sebagian Sumatera pada abad ke 13 Masehi sebelum berkembang ke berbagai pelosok Indonesia pada abad ke 15.36

Da’i Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab ketika memberikan catatan atas kitab “Hadhir Al-Alam Al-Islami” karya Amir Syakib Arsalan37 mengatakan:

Dari segi ini para sejarawan Eropa menerangkan secara serampangan tentang para da’i yang di tangan mereka orang-orang Jawa masuk Islam. Satu ketika mereka mengatakan bahwa para da’i ini berasal dari Gujarat. Sedang pada kesempatan lain mereka mengatakan bahwa para da’i ini adalah orang-orang Persi. Dalam masalah ini mereka hanya berputar-putar dan tidak lepas dari kebodohan.

Mereka berpendapat bahwa para da’i tersebut datang dari negeri-negeri itu tanpa mengetahui hakekat mereka yang sebenarnya. Sesungguhnya orang-orang Arab Hadramaut dengan dipimpin oleh para syarif Alawiyin sering pulang pergi ke Malabar, Gujarat, Kalikut, dan negeri-negeri lain di India. Di sana mereka mempunyai pusat-pusat perdagangan dan keagamaan. Dan banyak orang Alawiyin yang mempunyai asram-asrama yang terbuka untuk para penuntut ilmu. Banyak juga kapal-kapal yang pergi ke pesisir Hadramaut menuju Malabar kemudian ke pesisir India di sebelah Timur. Dari sana menuju Sumatera dan Aceh, kemudian ke Palembang lalu ke Jawa.38

Kita dapat membantah pendapat orang-orang Eropa itu karena berbagai sebab, yaitu:

Pertama, masalah hijrahnya para syarif Hadramaut dan menetapnya mereka di India.

Para syarif Hadramaut hijrah ke pesisir India dan menetap disana pada abad X Masehi atau sebelum itu, seperti keluarga Bani Abdul Malik bin Alwi “Ammul-Faqih Al-Muqaddam” bin Muhammad Shohib Marbath yang wafat pada tahun 613 H. Keturunannya tersebar di India dan mereka mempunyai keistimewaan dalam keberanian dan kekuatan. Mereka mendirikan kerajaan di sana yang terkenal dengan nama “Azhmat Khan”.

Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim Syarif Abdullah bin Husein bin Muhammad Bafaqih ke kota “Kanur” dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai ia wafat. Lalu Syarif Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya Syarif Syeikh bin Abdullah Al-Aydrus. Ketika kakeknya tersebut wafat pada tahun 990 M ia menempati kedudukannya sampai tahun 1003 M ketika wafat di Surat.

Sultan Kharm berhubungan dengan Syarif Abubakar bin Husein Al-Aydrus yang wafat di kerajaan Abad pada tahun 1048 M. Juga raja Anbar berhubungan dengan Syarif Abubakar bin Husein bin Abdurrahman dari keluarga Ahmad bin Al-Faqih Al-Muqaddam. Sultan Bijapur yaitu Sultan Mahmud Syah bin Sultan ‘Aidil Syah juga berhubungan dengan syarif ini dan menjadikannya teman khususnya. Syarif ini adalah seorang yang pemurah kepada orang-orang yang datang kepadanya. Adapun Syarif Ali bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad adalah seorang penasehat dari raja Anbar yang juga berhubungan dengan Syarif Ja’far Ash-Shadiq bin Zainal Abidin Al-Aydrus (997-1064 M) di kerajaan Abad. Syarif ini datang mengajar di daerah Deccan dan mengajar bahasa Persi dan menterjemahkan kitab “Al-Aqd Al-Nabawi” ke dalam bahasa tersebut. Sultan Burhan Nizham Syah juga berhubungan dengannya. Mereka semua mempunyai kedudukan di sisi sultan Haidarabad dan lainnya.

Al-Allamah Syarif Baqir bin Umar bin Aqil Bahsan Jamalullail pulang pergi ke India sampai wafat pada tahun 1076 M sesudah ia kembali ke Hadramaut di kota Tarim.

Buku-buku biografi penuh dengan orang-orang yang hijrah ke berbagai daerah dan menetap di daerah-daerah itu. Sebagian keluarga-keluarga Arab itu telah melebur dalam masyarakat itu sedangkan yang lainnya masih dikenal di India dan di Asia Tenggara. Di antara mereka adalah:39 Keluarga Al-Qadri, Al-Muthahhar, Al-Haddad, Al-Basyaiban, Khaneman, Al-Aydrus, bin Syahab, bin Syeikh Abubakar, As-Saqqaf, Bafaqih, Jamalullail, Al-Habsyi, Asy-Syatiri, Al-Baidh, Aidid, Al-Jufri. Keluarga ini semua keturunan dari Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa.

Yang kedua, sulitnya mengarungi lautan dari Hadramaut ke Asia Tenggara tanpa melalui India.

Sungguh merupakan suatu hal yang sangat sulit jika tidak mustahil mengarungi lautan langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara, khususnya karena kiata mengetahui bahwa kapal-kapal perniagaan yang sederhana yang menuju ke India dan dari sana ke Asia Tenggara.

Bahkan kapal-kapal modern pada masa kita sekarang pun harus melalui pelabuhan India untuk mengambil perbekalan bahan bakar, makanan, air, dan persiapan-persiapan lainnya sebelum menuju ke Asia Tenggara karena jarak dari Hadramaut ke Asia Tenggara sangat jauh.

Da’i Muhammad Abdurrahman bin Syahab mengatakan:40

“yang dimaksudkan adalah mungkin orang-orang Eropa yang mengatakan tentang hal ini telah mempunyai persangkaan yang salah dikarenakan para da’i itu datang melalui jalan India.”

Hal tersebut diatas memang benar karena tidak seorang pun yang mengarungi lautan dari Hadramaut ke Jawa, melainkan mereka menuju kesana melalui India. Dan disana terdapat markas mereka, bahkan disana telah berdiri kerajaan-kerajaan dimana para pekerja yang mendirikannya adalah sebagian syarif Hadramaut, seperti kerajaan Anbar.

Sebagian di antara pekerja dalam mendirikannya adalah berdasarkan petunjuk-petunjuk Syarif Ali bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Karena itu terdapat kisah yang aneh yang disebutkan dalam kitab “Aqdul jawahir wad-durar” dan dinukilkan oleh pengarang Khulashoh Al-Atsar. Silahkan anda membacanya. Sedangkan Amir Jauhar Saharti tidak lain adalah murid dari Al-Imam Syeikh bin Abdullah Al-Aydrus.

Di antara penyebab timbulnya persangkaan yang salah dari para sejarawan Eropa tersebut adalah pakaian yang dikenakan oleh orang-orang Alawiyin mirip dengan yang dikenakan oleh para ulama Persi. Dalam perkataan-perkataan mereka terdapat persangkaan-persangkaan yang dapat diketahui oleh setiap pengamat.

Perlu disebutkan bahwa memang ulama-ulama Hadramaut mengenakan pakaian dan sorban hijau mirip dengan yang dikenakan oleh ulama-ulama Persi. Keserupaan ini disebabkan karena keduanya berasal dari asa yang sama. Sesungguhnya yang mengenakan sorban hijau biasanya adalah para ahlul bait. Di sana (Persi) terdapat sebagian cabang dari keturunan Imam Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan pada masa yang sama terdapat cabang lain yang hijrah ke Hadramaut yaitu keturunan Imam Al-Muhajir bin Isa.

Yang ketiga, perbedaan mazhab antara orang India dan para syarif Hadramaut.

Seandainya kita kembali ke India, kita akan dapati diantara mereka sejumlah besar orang syiah dan firqah-firqah lainnya. Orang-orag sunninya bermazhab Hanafi. Sedangkan para da’i yang menyebarkan agama Islam di Asia Tenggara adalah bermazhab Syafi’i yang merupakan mazhab para syarif Hadramaut. Adanya perbedaan ini adalah bukti terbaik bahwa mereka yang datang dari India atau melalui India dan menyebarkan agama Islam di Asia Tenggara adalah para syarif Hadramaut yang menetap di India atau datang dari Hadramaut melalui jalur India.

Ada orang yang menggunakan kata ‘Al-Magharibah’ terhadap satu cabang keluarga Al-Basyaiban yang termasuk syarif Hadramaut dan menghubungkan nasab mereka dengan para da’i dari Maghrib. Mungkin mereka menggunakan nama itu untuk keluarga Al-Basyaiban ini karena mereka datang dari sebelah Barat pulau Jawa dan letak semenanjung Arab dimana Hadramaut terletak di sebelah Selatannya adalah di sebelah Barat jika dilihat dari Jawa.

Kubur-kubur yang terdapat di Mojoagung merupakan suatu contoh dari nasab mereka. Diantara mereka adalah Kyai Al-Allamah Mansur bin Thoha bin Muhammad bin Baqir bin Mujahid bin Ali Asghor bin Ali Akbar bin Sulaiman bin Abdurrahman bin Umar bin Muhammad bin Ahmad Abibakar Asy-Syaibani yang dikuburkan didaerah Mojoagung.

Terdapat sejumlah besar Al-Basyaiban di Cirebon, Pekalongan, Balikpapan, dan sebagainya. Dan Abdurrahman dimana nasab mereka (keluarga Al-Basyaiban) kembali kepadanya, wafat pada tahun 973 H dan anaknya Abdullah wafat di Aceh dan mempunyai keturunan di India, di Balqam, dan di Deccan.41


BAB III

Sejarah masuknya islam ke asia tenggara

Ada beberapa pendapat tentang masuknya Islam ke Asia Tenggara. Kami akan membatasi pada dua pendapat saja. Yang pertama pendapat orang-orang Eropa dan yang kedua pendapat sejarawan Arab dan muslim.

Pendapat orang-orang Eropa Barat

Orang-orang Eropa menghubungkan temuan-temuan geografi kepada penyelidikan bangsa mereka. Bahkan masuknya Islam ke Asia Tenggara pun mereka kembalikan kepada temuan seorang bangsa mereka yaitu seorang pengembara Italia yang bernama Marcopolo.

Hal ini adalah sesuatu yang tidak kita sukai dan tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Seolah-olah sejarah masuknya Islam ke daerah tersebut tidak diketahui oleh dunia pada umunya dan oleh orang-orang Islam dan Arab pada khususnya, kecuali ketika orang Eropa ini (Marcopolo) datang ke Sumatera dan menemukan orang Islam disan dan mengungkapkannya. Seolah-olah juga orang Islam tidak mengetahui hal itu kecuali melalui orang Eropa ini.

Dari kenyataan ini maka kita wajib untuk tidak menghubungkan tiap sesuatu kepada orang Kristen Barat, melainkan kepada kenyataan ilmiah. Sejarah masuknya Islam ke Asia Tenggara dan peran yang dimainkan oleh para Syarif Hadramaut tidak diketahui oleh orang Barat atau mereka sengaja tidak menunjukkan hal itu.

Walau demikian kami akan mengemukakan apa yang disebutkan oleh orang-orang Barat, lalu apa yang dikatakan oleh orang Arab dna muslimin. Pendapat sebagian besar sejarawan Eropa secara mutlak berpegang pada apa yang disebutkan oleh pengembara Italia Marcoplo bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara adalah pada abad ke 13 Masehi di sebelah Utara pulau Sumatera dan mereka membatasi pendapat mereka pada perjalanan Marcopolo ini ke daerah tersebut pada 1292 M dengan perkataannya seperti yang termuat didalan buku “Ensiklopedia Dunia Islam”.42

“ sesungguhnya semua penduduk negeri ini adalah penyembah berhala kecuali di kerajaan kecil Perlak yang terletak di Timur Laut Sumatera dimana penduduk kotanya adalah orang-orang Islam. Sedangkan penduduk yang tinggal di bukit-bukit mereka semuanya adalah penyembah berhala atau orang-orang biadab yang memakan daging manusia”

M. C. Ricklefs dalam bukunya tentang sejarah Indonesia modern mengatakan:

“Penetapan pertama tentang Islam dan orang-orang muslim di Indonesia adalah bahwa pertama mereka berada di bagian Utara Sumatera ketika Marcopolo melihat mereka sewaktu ia kembali dari perjalanannya dari negeri China tahun 1292 M ketika itu ia mendapati Perlak sebagai kota orang-orang Islam sedangkan dua daerah yang terdekat dengannya yaitu Basma dan Samara bukan Islam. Keduanya biasanya disebut bersama-sama dengan daerah Islam Pasai.

Karena penamaan ini sebelum kedatangan Marcopolo, maka hal ini menimbulkan tanda tanya. Mungkin saja daerah Samara buka Samudra itu sendiri. Tetapi jika ya demikian, maka Marcopolo salah ketika mengatakan kota itu bukan kota Islam. Karena sesungguhnya di sana terdapat beberapa batu bertulis dan merupakan pemerintahan Islam pertama di Samudra. Sultan Malaka yaitu Shaleh berada di sana tahun 696 H (1297 M). Dengan demikian itulah masa pertama yang jelas tentang adanya masyarakat Islam yang pertama di Indonesia dan Malaysia.”43

Dari pembahasan tadi jelaslah bahwa Islam benar-benar ada dan tersebar diantara para penduduk Sumatera bagian Utara dan daerah Malaka di Malaysia sebelum kedatangan Marcopolo. Hanya kita belum bisa memastikan secara tepat sejarah masuknya Islam di daerah ini dan kapan penduduknya memeluk agama yang hanif (lurus) ini. Karena itu dapat dikatakan bahwa Islam telah tersebar sebelum kedatangan Marcopolo ke daerah itu. Kalau tidak bagaimana penduduk daerah itu memeluk agama Islam ketika ia datang ?

Karena itu kita yakin bahwa merupakan suatu kesalahan menghubungkan masuknya Islam dengan kunjungan Marcopolo ke Sumatera. Untuk itu kami akan kemukakan pendapat sejarawan Arab dan Muslim yang paling dekat dengan kebenaran karena kedekatan mereka dengan tempat-tempat kejadian dan mereka juga penduduk daerah itu serta mengalir darah Arab di dalam diri sebagian mereka.

Pendapat Sejarawan Arab dan Muslim

Kami akan kemukakan beberapa pendapat sejarawan Arab dan Muslim tentang sejarah Asia Tenggara sebagai berikut:

  1. Muhammad Dhiya ‘Syahab dan Abdullah bin Nuh dari Indonesia mengatakan:44

“ Banyak buku-buku sejarah dari Barat dan orang-orang yang mengikutinya yang mengira bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 M, tetapi saya berkeyakinan bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara jauh sebelum masa yang diduga oleh orang-orang asing itu dan para pengikut mereka,”

  1. Mufti kesultanan Johor, Malaysia Syarif Alwi bin Thohir Al-Haddad mengatakan:45

“Pendapat-pendapat para sejarawan tentang masuknya Islam ke Asia Tenggara adalah tidak tepat. Terutama pendapat sejarawan Eropa yang menetapkan masuknya Islam ke Jawa pada tahun 800-1300 H, di Sumatera dan Malaysia pada abad ke 7 Hijriah. Kenyataan yang benar bertentangan dengan apa yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Islam telah mempunyai raja-raja di Sumatera pada abad ke 6 bahkan ke 5 Hijriah.”

Kemudian ahli sejarah dan mufti ini mengatakan:

“Kami telah menyebutkan kesalahan yang terjadi tentang masuknya Islam ke Sumatera, negeri-negeri Melayu, Kepulauan Sulu dan Mindanao. Islam telah masuk ke daerah-daerah tersebut sebelum waktu yang disebutkan oleh orang-orang Eropa. Bukti-bukti telah menunjukkan hal tersebut. Demikian juga yang terjadi tentang masuknya Islam ke Jawa dan China.

Rahasia (kunci) kesalahan ini sebagaimana dikatakan adalah, bahwasanya orang-orang Jawa tidak mempunyai penanggalan tahunan yang tepat sebelum masuknya Islam dan sesungguhnya hal itu terjadi jauh setelah itu dan dimasukkan pada kejadian-kejadian dalam sejarah.

Orang-orang yang mengatakan demikian mempunyai beberapa bukti, di antaranya bahwasanya mereka (orang-orang Jawa) menyebutkan kelahiran Sunan Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Uluwwul Islam Makhdum Ishaq pada tahun 1355 tahun jawa, dan ayahnya masuk ke Jawa setelah masuknya Syarif Al-Husainy Raja Carmen yang masuk pada tahun 1313 tahun Jawa. Setelah itu masuk raden Rahmat, seorang penyebar Islam di Jawa Timur,tahun 1316 tahun Jawa. Bibinya yang merupakan anak Raja Campa yang menjadi istri raja Majapahit menerimanya dengan penerimaan yang baik.

Mereka menyebutkan tentang menetapnya bibinya ini dalam masa kehidupan yang panjang sampai jatuhnya ibukota Majapahit di tangan orang-orang Islam. Para peneliti menemukan makamnya yang masih terpelihara di pekuburan Majapahit yang bergaya Islam dan dituliskan di atasnya tahun wafatnya pada tahun 1320 tahun Jawa.

Keterangan-keterangan di atas ditambah lagi dengan apa yang disebutkan oleh sejarah-sejarah Sulu dan Mindanao, bahwasanya Makhdum datang ke daerah-daerah tersebut sebagai da’i pada tahun 1380 M yaitu tahun 782 H bertepatan dengan 1308 tahun Jawa. Maka antara masuknya Makhdum Ishaq ke Jawa dan tahun ini terdapat perbedaan yang tak kurang dari 47 tahun.

Mereka juga mengatakan bahwa Raden Fatah (Abdul Fatah) dilahirkan kurang lebih pada tahun 1313 tahun Jawa dan mengalahkan ayahnya yang memerintah Majapahit dan menyingkirkannya pada tahun 1402 tahun Jawa. Maka usia Raden Fatah ketika itu 89 tahun, maka berapa usia ayahnya ketika itu?

Kesemuanya itu dan lain-lainnya yang tidak kami sebutkan, membuktikan bahwa penanggalan tersebut dibuat-buat, dimasukkan atau ditambahkan begitu saja pada peristiwa-peristiwa sejarah.

Cara-cara yang tepat dapat membawa kepada hakekat permasalahan ini yang sebenarnya adalah mengambil tahun kejadian-kejadian masuknya Islam ke Jawa dengan sejarah nasuknya Islam ke Sumatera, Sulu, Mindanao, Brunei, Campa, dan Carmen. Sesungguhnya para da’i Islam telah berhasil di daerah-daerah tersebut sebelum berhasilnya da’i-da’i Islam di Jawa. Dan sesungguhnya Islam dapat berkuasa di Jawa Timur dan dan Jawa Barat sesudah atau semasa dengan berkuasanya di tempat lain, sehingga dapat menyamai Sumatera dalam hal itu. Tahun-tahun kejadiannya adalah tepat dengan dituliskannya tahun-tahun wafat raja-raja Islam pada batu-batu diatas kubur dengan penanggalan Hijriah. Sebagian dari hal itu telah disebutkan sebelum ini.

Dan diantara kuburan-kuburan dan tulisan-tulisan diatas batu-batu kubur dari marmer adalah yang terdapat di Brunei, sebagaimana juga terdapat di Sumatera dan Gresik, di Jawa”

Pada bagian lain berkata mufti Alwi bin Thohir Al-Haddad ini:46

“Sesungguhnya sebagian sejarawan yang dapat dipercaya mengatakan bahwa tegaknya da’wah Islamiyah di daerah-daerah pulau Jawa bagian Timur pada tahun 648 H. Yang demikian itu didapat dari perjanjian antara kerajaan-kerajaan Islam tersebut dengan Ratu dari Pasundan yang terdapat pada catatan-catatan sejarah.

Ahli sejarah ini dapat dipercaya dan dikenal karena ia telah mengumpulkan data-data dari sumber-sumber sejarah Indonesia yang tidak oernah dikumpulkan oleh seorangpun sebelumnya. Kebanyakan orang yakin bahwa Islam telah masuk ke Sumatera sekitar tahun 1270-1275 M atau tahun 670-675 H. Sebenarnya Islam telah tersebar disana sejak tahun 1100 M atau tahun 597 H sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian tulisan-tulisan yang merupakan bukti-buktinya. Yang demikian itu adalah hasil dari penelitian yang dilakukan oleh seorang alim Syarif Muhammad bin Ahmad bin Semith Al-Alawy Al-Husainy Al-Hadhramy yang disebarluaskan pada tanggal 22 Jumadil Akhir 1352 H bertepatan dengan 8 Oktober 1933 M.”

  1. Adapun Dr. Muhammad Zaitun47 mengatakan:

“Walaupun para sejarawan menyebutkan masuknya Islam ke Malaysia pada abad ke-6 H (abad ke 12 M), pendapat yang lebih kuat adalah Islam telah mask kesana jauh sebelum itu. Mungkin tahun yang disebutkan oleh mereka hanya menjelaskan catatan-catatan sejarah (prasasti) yang sampai kepadanya sesudah pemerintah wilayah-wilayah tersebut memeluk agama Islam dan terbentuk kesultanan-kesultanan Islam di daerah tersebut. Di Malaysia, wilayah kedah adalah wilayah yang paling cepat memeluk Islam.”



BAB IV

para syarif hadramaut dan peranan mereka dalam penyebaran islam di asia tenggara

Para Syarif Hadramaut memainkan peranan yangn besar dalam da’wah Islamiyah di Asia Tenggara. Baik sejarawan Arab maupun Barat telah menyebutkan tebtang mereka dan peranan mereka. Sesungguhnya hijrahnya mereka dari Hadramaut di Arab ke tempat yang jaraknya ribuan mil melalui laut tidak ditujukan kecuali untuk menyebarkan Islam di daerah-daerah yang jauh dari negeri mereka, dan bukan untuk mencari keuntungan material maupun moral.

Sejarawan Yaman Muhammad Abdul Qadir Bamuthrif mengatakan:48

“Orang-orang Alawiyin memulai hijrah mereka dari hadramaut, lalu mereka melalui benua Asia dan Afrika. Di sana sampai kini terdapat keluarga-keluarga mereka yang sebagiannya mempunyai peran yang diingat dalam berbagai segi aktifitas kemanusiaan. Secara khusus sebagian orang-orang Alawiyin yang hijrah mempunyai peran yang penting dalam menyebarkan da’wah Islamiyah di Afrika Timur, di pulau-pulau di lautan Hindia, di India, kepulauan Melayu, Indonesia, dan Filipina.”

Alwi bin Thohir Al-Haddad mengatakan:49

“Pembahasan ini tidak jauh dengan apa yang telah kami sebutkan tentang pembicaraan mengenai silsilah para syarif Alawy, puncak kemunculan dan tersebarnya mereka, peranannya dalam menyebarkan Islam di pulau-pulau dan wilayah-wilayah yang jauhnya dari negeri mereka sampai lima ribu mil, dan juga apa yang mereka sebarkan dan jelaskan dari ajaran-ajaran agama. Mereka mengajak umat yang berbeda-beda dan banyak jumlahnya ke dalam agama Islam sehingga puluhan juta orang masuk Islam. Mereka mendirikan kerajaan-kerajaan Islam berdasarkan hukum-hukum syariah sehingga sampai ke kepulauan Halmahera, dan yang berdekatan dengan pulau Papua (Irian), dan yang disebutkan sebelumnya sebagai kepulauan ‘Wak-wak’ pada masa dahulu sebelum wilayah itu dikuasai oleh orang Barat.”

Mereka melakukan hal itu tanpa pasukan kecuali keinginan yang kuat, tanpa kekuatan kecuali keyakinan dan keimanan, tanpa bekal kecuali tawakal, dan juga tanpa kapal-kapal laut ataupun peralatan perang. Tidak ada pada mereka kecuali keimanan dan Al-Qur’an. Mereka dapat mencapai apa yang tidak dapat dicapai oleh beribu-ribu orang yang mempunyai jumlah dan perbekalan yang banyak.

Sesungguhnya kenanganku kepada sejarah para da’i yang baik ini yang mengarungi lautan dan menghadapi daerah-daerah yang menakutkan adalah suatu hak mereka yang wajib atas diri kita, bahkan termasuk hak-hak agama Islam dan hak Nabi kita Muhammad SAW yang memerintahkan kita menyampaikan ajarannya dan berda’wah.

William Langer mengatakan:50

“Kerajaan Majapahit pada abad ke 14 M mendirikan kerajaan perdagangan yang kekuasaannya meluas sampai ke Brunei, Sumatera, pulau-pulau di Filipina, dan Semenanjung Melayu tetapi antara tahun 1405-1407 M dengan cepat kesultanan Islam Arab dapat menempati tempat Majapahit pada abad ke-15 M. Perjuangan Islam meluas dari kedudukannya yang utama di Malaka ke seluruh pulau-pulau di Asia Tenggara. Secara resmi sekitar 20 kerajaan-kerajaan kecil memeluk Islam.”

Gustav Le Bon mengatakan:51

“Kita tidak pernah menyaksikan dalam sejarah suatu umat yang mempunyai pengaruh yang nyata seperti orang Arab. Semua umat yang berhubungan dengan orang-orang Arab akan mengikuti peradaban mereka walaupun sebentar. Ketika orang-orang Arab hilang dari pentas sejarah, penakluk-penakluk mereka seperti Turki dan Mongol mengikuti tradisi mereka”

Ya, memang peradaban Arab telah mati sejakk beberapa abad yang lalu, tetapi dunia tidak mengenal di negeri-negeri yang membentang dari pantai lautan Atlantik sampai ke India dan dari laut Tengah sampai ke padang pasir, selain pengikut-pengikut Nabi Muhammad SAW dan bahasa mereka.

Itulah yang dikatakan oleh Gustav Le Bon tentang peran orang-orang Arab dalam menyebarkan Islam. Seandainya kita tahu bahwasanya para Syarif Hadramaut dari keturunan Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa adalah yang menyebarkan da’wah Islamiyahm dan bahwa cita-cita mereka yang pertama, yang terakhir dan satu-satunya adalah menyampaikan risalah Islam tanpa niat lain dari nafsu duniawiyah maka itulah di antara sebab-sebab yang terpenting yang membantu cepatnya penyebaran Islam sehingga penduduk Asia Tenggara memeluknya, dan juga menjadi dekat dan menghormati mereka karena akhlak mereka dan perjuangan mereka dalam menyebarkan da’wah Islamiyah yang ikhlas karena Allah SWT.

Van Den Berg mengatakan:52

“Sesungguhnya pengaruh yang besar dlm penyebaran Islam adalah dari para Sayid/Syarif. Ditangan mereka tersebarlah Islam diantara para sultan-sultan Hindu di Jawa dan lainnya. Seandainya ada orang-orang Arab Hadramaut selain mereka, mereka tidak mempunyai pengaruh seperti tu. Sebab dari kenyataan ini adalah karena mereka keturunan dari pembawa risalah yang membawa ajaran Islam”

Adapun Muhammad bin Abdurrahman bin Syihab telah menyebutkan dalam kitab “Hadhir Al-‘Alam Al-Islami” karangan Syakib Arsalan:53

“ Datuk-datuk kita mempunyai keahlian dalam menetapkan nasab sehingga mereka menjadikan sebuha sejarah yang khusus untuk gelar-gelar, demikian juga sejarah yang khusus mengenai ibu-ibu mereka, demikian selanjutnya. Tetapi mereka tidak mengharap pujian karena karya-karya mereka di negeri-negeri dimana mereka pergi dan menyebarkan da’wah Islamiyah disana karena mereka cenderung untuk tawadhu’, menaklukkan hawa nafsu, dan tidak rela menurutinya. Tetapi kita perlu menyebutkan dan menyebarkannya sekarang, karena orang-orang yang sadar telah mengetahuinya. Sebuah ungkapan menyatakan jika seorang tidak menghiraukan isyarat burung balam pada malam hari, niscaya ia akan tidur (tanpa mengetahui bahaya yang mengancam).

Berikut ini kami akan menyebutkan beberapa bukti dan sejarah penyebaran da’wah serta para da’i pertama yang menyebarkan di Asia Tenggara.

Hasil seminar masuknya islam di Indonesia

Dari tanggal l7 sampai dengan 20 maret 1963 di kota Medan telah diadakan seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia yang dihadiri oleh sejumlah besar budayawan dan sejarawan Indonesia. Mereka membicarakan tentang masuknya Islam di Indonesia, cara-cara berkembangnya, dan orang-orang yang membawanya.

Setelah dilakukan pembahasan dan diskusi maka seminar memutuskan:54

  1. Dari sumber-sumber yang kami telaah maka kami mengerti bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali pada abad pertama Hijriah (antara abad ke-8 dan ke-9 Masehi).
  2. Daerah pertama yang dimasuki Islam adalah pantai Sumatera bagian Utara. Setelah terbentuknya masyarakat Islam dn setelah mendapatkan kebebasan dalam bidang politik maka raja Muslim pertama adalah di daerah Aceh.
  3. Orang-orang Indonesia setelah itu mempunyai peran dalam da’wah Islamiyah.
  4. Sbagian da’i-da’i pertama adalah para pedagang.
  5. Da’wah Islamiyah berlangsung secara damai.
  6. Islam mendatangkan kebudayaan dan peradaban yang tinggi bagi Indonesia yang merupakan unsur-unsur pembentuk kepribadian Bangsa Indonesia.
  7. Merupakan suatu hal yang penting adanya suatu badan yang melakukan suatu penelitian dan penyusunan tentang sejarah Islam di Indonesia dalam bentuk yang lebih luas dan tetap. Kami berpendapat badan ini sebaiknya berada di Medan dengan mendirikan cabang-cabangnya di berbagai tempat yang penting, terutama di Jakarta.

Ketetapan Majlis Musyawarah

Masjlis Musyawarah berkumpul untuk membahas masuknya Islam ke Indonesia dan dihadiri oleh 165 orang ulama. Keputusannya dalam bentuk sebuah risalah dikirimkan kepada:

Menteri Agama di Jakarta

Menteri Penghubug Alim Ulama di Jakarta

Kepala Kantor Penerangan Agama di Surabaya

Kepala Kantor Penerangan Agama di Pasuruan

Inilah keputusannya:55

Majlis Musyawarah, Tuan Wagiri Pasuruan.

No.63

Hal: Masuknya Islam Ke Indonesia

Pasuruan 12 Mei 1962

Yth. Sdr. Ketua Seminar Masuknya Islam ke Indonesia

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Dengan hormat.

Kami atas nama Majlis Musyawarah menyampaikan bahwa Mjlis Musyawarah dalam pertemuannya yang ketiga pada 8 Dzulhijjah 1382 H bertepatan dengan 20 April 1962 yang dihadiri oleh sekitar 165 ulama setelah mendengarkan, membahas, dan mencari bukti-bukti tentang hal tersebut di atas memutuskan bahwa yang pertama memasukkan Islam ke Indonesia adalah para Syarif Alawiyin dari Hadramaut yang bermazhab Syafi’i.

Demikianlah, semoga dapat dimaklumi dan dapat diamalkan sebagaimana mestinya. Terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Ketua, H. Ahmad Khalil Nawawi

Wakil Sekretaris Abdul Ghani Ali

Atas nama Majlis Musyawarah Tuan Wagiri Pasuruan

Masuknya Para Syarif Hadhramaut ke Aceh, Sumatera

Seperti diketahui daerah pertama yang dimasuki Islam terletak di Pulau Sumatera, khususnya di bagian Utara. Yang demikian itu dapat kita perhatikan pada bab dua hasil seminar di kota Medan bahwa Aceh adalah daerah pertama di Indonesia yang dimasuki Islam. Kitab-kitab Melayu menyebutkan bahwa raja muslim pertama yang memerintah Aceh adalah Jenan Syah pada tahun 1205 M. Ia bukan penduduk asli negeri tersebut, melainkan datang dari luar dan menikah dengan penduduk asli. Lalu mereka menerimanya sebagai raja.56

Syarif Hadramaut yang termasuk pertama datang ke Aceh adalah Syarif Ahmad bin Muhammad bin Abubakar Asy-Syili. Kerajaan Aceh memuliakannya pada masa itu dan salah seorang menterinya menikahkannya dengan seorang anak gadisnya. Lalu ia tinggal dan mempunyai keturunan disana. Sebelum itu telah ada beberapa orang syarif Hadramaut yang telah memasuki Aceh. Di antara mereka adalah Syarif Abubakar bin Husein yang wafat tahun 1000 M. Juga Syarif Abubakar bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Umar bin Alwi Asy-Syathiri. Pada masanya banyak yang masuk ke Aceh dan tersebar di sana pada awal abad ke 11. kurang lebih pada masa yang sama Syarif Ali bin Umar bin Ali Ba’mar masuk ke pulau Jawa, lalu menyebarkan da’wah Islamiyah disana.57

Mengenai hal tersebut Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab mengatakan:58

“Seandainya hal seperti ini dibentangkan kita akan melihat kesalahan para sejarawan Eropa dalam menerangkan orang pertama yang masuk ke negeri-negeri Jawa dan mengislamkan penduduknya.”

Apakah Sayid Ibrahim yang dikuburkan di Gresik dan yang ditangannya penduduk Jawa memeluk Islam bukan dari kalangan Alawiyin? Sekali-kali tidak.

Seandainya pangkal pertama dari sejarah nasab Alawiyin dibentangkan pada kita, niscaya kita akan dapat memperoleh bukti-bukti mengenai banyak hal. Tetapi sangat disayangkan mereka (sejarawan Barat) mereka cukup dengan sejarah nasab yang ada pada mereka yang menukil dari pangkal pertama itu, tanpat menggabungkannya dengan apa yang disebutkan oleh orang-orang yang tidak berhubungan dengan mereka di tempat-tempat yang jauh.

Dimana pangkal sejarah nasab yang dikarang oleh Abul Hasan Ali bin Abubakar bin Syeikh As-Saqqaf yang ternama “Al-Jawahir As-Saniyyah fi nasabah Al-‘Itrah Al-Huseniyyah”, yang dikumpulkan dan diperbaiki setelah itu oleh Sayid Ali bin Ahmad bin Ali bin Hasan Abu Jabhat, dan yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan oleh Tajul-Arifin Zainal Abidin Al-Aydrus?

Memang sejarah nasab yang sebelumnya diterbitkan oleh Syeikh bin Abdullah Al-Aydrus disangka hilang. Tetapi kemudian didapatkan oleh Sayid Abdurrahman bin Syeikh Al-Kaff. Selain itu terdapat pula satu naskah yang berharga yang didapatkannya pada koleksi Syarif Alawiyin dari kalangan Al-Aydrus di India. Di dalamnya disebutkan tentang banyak orang yang pindah dari Hadramaut dari kalangan para syarif.

Disamping itu dalam kitab “Al-Masyra’ Al-Rawi” sejumlah nama ulama syarif Alawiyin Hadramaut yang masuk ke Indonesia beberapa abad sebelum kedatangan Belanda, khususnya ke daerah Aceh.

Diantara orang-orang yang terkenal disana adalah Syarif Hasyim yang memainkan peranan yang penting dalam peperangan yang terkenal dengan perang Bugis sebelum penjajah Belanda dan yang lainnya menduduki Indonesia. Keluarga Hasyim adalah termasuk dari kalangan Syarif Alawiyin “Aal Ammul Faqih Al-Muqaddam” bin Shohib Mirbath dari Zhufar. Banyak terdapat dari mereka di daerah Banjar, pulau Kalimantan dan di Ceylon (Srilangka).

Nasab mereka berpangkal kepada Syarif Hasyim bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi yang dikenal dengan ‘Ammul Faqih’. Ada orang yang lebih dahulu dari mereka masuk ke Aceh yaitu Sayid Hasyim bin Muhammad, yang wafat pada tahun 678 H, bin Abdullah bin Mubarak bin Abdullah yang wafat pada tahun 884 H bin Muhammad bin Abdullah Ba ‘Alawi,

Didaerah Aceh ada beberapa pemakaman yang terdiri dari banyak makam Syarif Alawiyin. Ada sejumlah sultan dari kalangan Syarif yang memegang pemerintahan di daerah itu yang dikenal oleh penduduknya sampai sekarang dengan sebutan ‘Habib’, yang merupakan kata yang digunakan untuk setiap orang dari Arab dari kalangan Syarif.59

Di daerah itu kita dapati kuburan beberap sultan dan raja, diantaranya kubur Al-Malik Al-Kamil yang memerintah Aceh. Kemudian setelah itu Al-Malik Ash-Sholih yang menggantikannya di kampung Blang Mey dengan kuburan-kuburan lain yang banyak. Pada batu nisan sebagian kubur itu terdapat tulisan-tulisan yang dipahat, sebagiannya dari marmer, sebagian lagi dari batu granit.

Diatas kubur Al-Malik Al-Kamil tertulis keterangan bahwa ia wafat pada hari Ahad tanggal 7 Jumadil Ula thun 607 H bertepatan dengan 1210 M. Juga terdapat kubur sepupunya seorang panglima dimana penduduk daerah Kayu dan daerah-daerah yang terletak di sebelah Barat Sumatera masuk Islam melalui perantaraannya, yaitu Al-Malik ash-Sholih yang wafat pada tanggal 8 Ramadhan tahun 696 H bertepatan dengan 1296 M. Diantara yang tertulis diatas kuburnya adalah kalimat-kalimat berikut ini:60

Sesungguhnya dunia itu fana, tidak ada yag tetap didunia

Sesungguhnya dunia itu bagaikan rumah, yang dibuat laba-laba

Cukuplah bagimu wahai penuntut ilmu, makanan darinya

Yang sedikit saja, karena setiap yang berada didunia akan mati

Setelah ia wafat yang memegang pemerintahan adalah anaknya, Sultan Muhammad Azh-Zhahir yang wafat pada malam ahad tanggal 12 Dzulhijjah 726 H yang bertepatan dengan 1325 M. Setelah ia wafat yang memerintah Sultan Ahmad bin Sultan Muhammad Azh-Zhahir, ia wafat pada hari jumat tanggal 4 Jumadil Akhir tahun 809 H bertepatan dengan 1407 M. Setelah itu yang memegang pemerintahan adalah Ali Zainal Abidin, kemudian saudara kandungnya Shalahudding, kemudian Abdullah bin Shalahudin dan istrinya yaitu Ratu Bahiyyah binti Zainal Abidin yang wafat tahun 811 H bertepatan dengan 1408 M, kemudian saudaranya Johan Parabu yang wafat pada tahun 848 H (1444 M) dan lain-lain.

Dari keluarga-keluarga inilah berasal orang-orang tua dari raja-raja Brunei, Carmen, Serawak, Sulu, Sebu, Mindanao, Kanawi yang disebut Al-Alawiyah sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Najeeb Shaliby pada fasal yang menerangkan tentang kumpulan pulau-pulau yang jumlahnya mencapai 1700 pulau dan juga menyebutkan perbatasan-perbatasan negeri.61

Sembilan Da'i islam (Wali Sanga)

Para da’i yang menyebarkan Islam dalam sejarah Jawa dikenal dengan nama Sunan Auliya atau Syarif Auliyai. Kebanyakan dari mereka adalah keturunan dari Syarif Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alwi “Ammul Faqih Al-Muqaddam” salah satu cucu dari Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa. Dr. Najeeb Shaliby telah menyebutkan tentang mereka. Begitu juga para sejarawan Indonesia dan Sejarawan Barat.

K.H. Abdullah bin Nuh, ketua Badan Pembahasan Keislaman di Indonesia telah mengajukan bahasan (makalah) di kota Medan pada Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia pada tanggal 17-20 Maret 1963. mengenai keluarga Abdul Malik ia mengatakan:62

“ Disini terdapat keluarga syarif yang telah benar-benar melebur dalam masyarakat muslim Indonesia, yaitu keluarga Abdul Malik di India dan di Pakistan dikenal dengan nama Al’Azhmar Khan. Kita telah mengetahui bahwa Syarif Abdul Malik ini adalah termasuk keturunan Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq.”

Diantara keluarga Abdul Malik ini adalah para da’i terdahulu yang dikenal denga nama “Sunan”. Diantara mereka adalah Sunan Ampel, Sunan Giri, dan yang lainnya. Raja-Raja dan para pemimpin di Banten, Palembang, Cirebon, Sumedang, Cianjur, dan Sebagainya juga berasal dari keluarga ini. Dari keluarga ini juga terdapat banyak para ulama dan zhuama pada masa sekarang di Indonesia. Dr. Ahmad Syalabi mengatakan bahwa pada perkembangan Islam menjadi jelas pada abad ke 13 melalui para da’i yang terkenal dengan gelar Wali Sanga. Kebanyakan dari mereka berasal dari keturunan Arab, 63 khususnya dari kalangan syarif Hadramaut.

Perkembangan Islam di Jawa dihubungkan dengan masa Wali Sanga, karena terikatnya sejarah da’wah Islamiyah dengan mereka ini. Mereka ini adalah:

  1. Maulana Malik Ibrahim
  2. Sunan Ampel
  3. Sunan Bonang
  4. Sunan Giri
  5. Sunan Drajat
  6. Sunan Kalijaga
  7. Sunan Kudus
  8. Sunan Muria
  9. Sunan Gunung Jati

Mereka dinisbahkan kepada tempat-tempat dimana mereka tinggal atau dimakamkan. Dan lafazh “sunan” adalah gelar kehormatan yang digunakan untuk sebagian raja-raja dan da’i-da’i besar di Jawa dan mereka terkenal dengan sebutan Wali Sanga.64 Berikut ini adalah silsilah keturunan mereka.


BAB V

da'i-da'i islam pertama di jawa

Dr.Najeeb Shaliby dalam kitabnya “Dirasat Fi Tarikh Moro wa Dienihim” menyebutkan bahwa da’i-da’i Islam di pulau-pulau Filipina adalah para syarif Hadramaut dari keturunan Syarif Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa dan dari keturunan para da’i Islam di Malaysia dan Indonesia. Kami akan menyebutkan da’i-da’i pertama ini yang menyebarkan Islam di Jawa pada masa pertama.

Syarif Jamaluddin Al-Husein Al-Akbar

Ia dianggap keturunan Imam Al-Muhajir yang pertama yang hijrah ke Indonesia dan menetap disana sampai wafat di daerah Bugis. Ia dilahirkan di kamboja (Indo China) dan ia anak dari Ahmad Jalal Syah yang dilahirkan di Nasrabad di India. Kakeknya adalah keturunan para sultan di India yang terkenal dengan keluarga Al-Azhmat Khan yang nasabnya berpangkal kepada Abdukl Malik bin Alwi bin Shohib Mirbath sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan sejarawan Indonesia Abdullah bin Nuh, ketua Lembaga Pembahasan Keislaman dan diajukan pada seminar masuknya Islam ke Indonesia di kota Medan pada tanggal 20 Maret 1962.

Hijrahnya Syarif Jamaluddin Al-Husein dari Kamboja ke Indonesia dengan disertai keluarga dan kerabatnya dan meninggalkan anaknya Ibrahim Az-Zein Al-Akbar di daerah Aceh, Sumatera bagian Utara untuk menyebarkan da’wah Islamiyah dan mengajarkan ilmu-ilmu agama. Kemudian Ibrahim bin Jamaluddin pindah ke kota Surabaya di Jawa dan terkenal dengan nama Ibrahim Asmoro, mungkin asalnya Ibrahim Al-Asmar dan diberi gelar ‘Sunan Anpasik Tuban’.

Kemudian ia menuju ke Majapahit dan dari sana terus ke daerah Bugis. Disana ia berjuang untuk menyebarkan da’wah Islamiyah dengan cara-cara damai, sehingga memperoleh keberhasilan yang besar dan menetap di sana sampai wafat di kampung Tuwajo. Setelah ia wafat terjadi peperankgan di pulau Jawa dan berakhir dengan jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit dan tersebarnya agama Islam.

Anak-anaknya dan cucu-cucunya juga berpisah-pisah di berbagai tempat di pulau Jawa dan sekitarnya, sehingga mereka berpencar di banyak tempat yang jauh untuk menyebarkan da’wah Islamiyah. Sebagian mereka lalu kembali ke semenanjung Melayu, Kamboja, dan Thailand di daerah Indo China. Dan diantara anggota-anggota keluarga ini adalah para sultan Palembang yang berasal dari keturunan Syarif Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein. Tersebut dalam silsilah nasab yang ditulis oleh Tuan Faqih jalal dalam bahasa Melayu tulisan Arab keterangan yang ringkasanny sebagai berikut:65

“ ini adalah suatu fasal tentang Tuan Faqih Jalaluddin yang tinggal di Talang Sura yang wafat pada tanggal 20 Jumadil-Ula tahun 1161 H hari selasa jam 9.00. pada masa hidupnya ia tinggal di istana kerajaan Sultan Muhammad Manshur, dimana ia mengajar ilmu Ushuluddin, Al-Quran dan sebagainya.”

Didalamnya juga disebutkan nasab para sultan Palembang dan hubungan orang-orang tua mereka dengan Syarif Jamaluddin Agung sampai ke Imam Husein bin Fathimah, Putri Rasulullah S.A.W.

Diantara mereka yang bernasab kepada keluarga ini adalah:66

  1. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah. Nasabnya kembali ke Muhammad Ainul Yaqin.
  2. K.H.Kholil, seorang alim besar di pulau Madura. Nasabnya juga kembali kepada ke Muhammad Ainul Yaqin bin Ishaq.
  3. R.H. Muhammad Thohir, seorang alim yang sholeh, yang wafat di Bogor pada tahun 1849 M. Puteranya, seorang yang sholeh dan taqwa, bernama R.Surya Winata adalah seorang hakim di wilayah Bogor dan wafat pada tahun 1879 M.
  4. Raden Haji Ma’mun dan Raden Haji Muhammad Nuh yang lahir tahun 1296 H bertepatan dengan tahun 1879 M, seorang alim yang mempunyai murid pribadi-pribadi yang besar.
  5. Satu keluarga “Al-Basyaiban”, Syarif Raden Hasan Datuningrat. Ia merupakan pembesar dari keluarga Al-Basyaiban yang terakhir di Jawa Tengah. Diantara anak-anaknya adalah Ir.Abdul Muthalib dan Dr. Muhammad Said dan lain-lain.
  6. K.H. Muhammad Dahlan, mantan Rois Jam’iyyah Nadhlatul Ulama dan mantan menteri Agama R.I.

Syarif Malik Ibrahim

Ia adalah Malik Ibrahim bin Barkat Zainal Alim bin Jamaluddin Al-Husein bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa. Ia dianggap wali sanga yang pertama. Ia datang ke pulau Jawa bersama keponakannya raja Carmen, dan merupakan orang yang mengajak raja Majapahit memasuki agama Islam pada tahun 801 H bertepatan dengan tahun 1398 M.67 Carmen adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara pantai Serawak, Malaysia, dimana terletak kota Kucing dan kerajan Brunei yang ibukotanya Darussalam, juga kota Baru, negeri kebahagiaan.

Malik Ibrahim tinggal di Leran dekat Gresik sekitar 20 tahun untuk mengajak orang masuk kedalam agama Islam, sampai ia wafat pada tahun 822 H bertepatan dengan tahun 1419 M dan dimakamkan di Gresik. Diatas nisan kuburnya yang terbuat dari marmer tertulis kalimat sebagai berikut:

“ Ini adalah kubur Almarhum Almaghfur ila rahmatillah, seorankg kebanggaan para pemimpin, tiang para sultan dan para menteri, penolong orang-orang fakr miskin, orang yang berbahagiak, seorang syahid, cermin keelokkan kerajaan dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan nama Kakek Bantal, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya dan menempatkannya di surga-NYA. Ia wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal 822 H.68

Keturunan Syarif Ibrahim Asmoro

Al-Makhdum Ishaq dan saudaranya Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel) adalah termasuk anak-anak Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein, yang nasabnya terus sampai ke Imam Al-Muhajir.

Berikut ini kami akan bicarakan keduanya dan anak-anak mereka yang dianggap para da’i pertama atau sebagaimana disebut di Indonesia sebagai Sunan Auliya’.

  1. Al-Makhdum Ishaq

Al-Makhdum Ishaq bin Ibrahim Asmoro yankg diberi gelar “Uluwwul Islam” mempunyai peranan yang menonjol dalam sejarah Islam. Ia telah menghabiskan sebagian besar masa kehidupannya dalam menyebarkan da’wah Islamiyah. Ia memiliki kapal perniagaan dimana ia menjelajah dari satu pulau ke pulau lain dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam diantara para penduduknya.

Jika para muridnya telah menyelesaikan pelajarannya di kota Malaka, ia mengatur perjalanan mereka dan menentukan arah (tujuan) masing-masing diberbagai tempat, untuk melakukan da’wah Islamiyah disana.

Kehidupannya sangat sederhana, tetapi keilmuannya bagaikan lautan dalam kedalaman dan keluasannya. Pada awal abad ke 8 H ia datang ke Pulau Jawa dan tinggal bersama saudaranya Ahmad Rahmatullah Sunan Ampel.69

Alwi bin Thohir Al-Haddad 70 mengatakan bahwa Syarif Makhdum menghabiskan umurnya untuk berda’wah. Ia memiliki sebuah kapal dimana ia berkeliling diatas kapal itu diantara pulau-pulau di Asia Tenggara, mengajak penduduknya untuk masuk ke dalam agama Islam. Setelah para muridnya menyelesaikan pelajaran ilmu-ilmu agama darinya ia mengatur perjalanan mereka dan menentukan arah mereka yankg berbeda-beda dalam menyebarkan da’wah Islamiyah.

Ia mempunyai kedudukan yangk tinggi dalam ha zuhud dan kesederhanaan baik dalam makanan maupun pakaian. Ia masuk ke Pulau Jawa pada tahun 804 H bertepatan dengan 1401 M yaitu 3 tahun setelah masuknya Raja Carmen tahun 1398 M (801 H). Ia tinggakl selama beberapa waktu bersama saudaranya yang juga seorang da’i, Syarif Ahmad Rahmatullah Sunan Ampel.

Ia tela memberikan pertolongan yang besar dalam perdebatan yang terjadi antara saudaranya dan para pemimpin agama lain sepertik Hindu dan Budha dan dapat mengalahkan mereka dengan suatu kemenangan yankg nyata dan juga dapat memberi pemahaman pada mereka.

Ia adalah seorangn yang diterima doanya apabila berdoa. Tentang beliau, Dr. Najeeb Shaliby mengatakan bahwa ia mempunyai pengaruh yang kuat dan tidak biasa terhadap penduduk Malaka. Ia pula yang memasukkan Sultan Mahmud Syah bin Sultan Iskandar Syah kedalam agama Islam. Keduanya termasuk raja-raja Malaka dan Johor.

    • Muhammad Ainul yaqin (Sunan Giri)

Ia adalah anak Al-Makhdum Ishaq, dinamakan Sunan Giri dan diberi gelar ‘Raden Paku’. Lafazh “Raden” adalah suatu gelar kehormatan di Jawa yang diberikan pada setiap orang yang bernasab kepada para raja. Ia dinamai Raden Paku karena termasuk para Syarif yang teguh. Adapun laqobnya Sunan Giri timbul karena ia tinggal di sebuah rumah diatas bukit yang tinggi yaitu Bukit Giri. Ia membangun masjid-masjid, madrasah-madrasah, dan pesantren-pesantrn untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama. Maka mulailah murid-murid berdatangan kepadanya dari berbagai tempat karena memandang kemasyhurannya yang luas. Mereka bangga menjadi muridnya. Tempat-tempat terpenting darimana mereka berdatangan adalah Madura, Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate.

Setelah gurunya Sunan Ampel wafat, Ainul Yaqin (Sunan Giri) menempati kedudukan gurunya di Gresik dan Ampel. Maka ia adalah sebaik-baik pengganti bagi sebaik-baik pendahulu. Ia menjadikan tempat tinggalnya di Giri sebagai pusat da’wah IsIamiyah. Raja Majapahit pun tidak dapat menghentikan da’wah Islamiyah.71

Kemudian Ainul Yaqin mulai mengutus para muridnya dan para pedagang muslim untuk menyebarkan da’wah Islamiyah di berbagai tempat di Asia Tenggara. Mereka sampai ke Pulau Ternate dan Pulau Maluku pada saat Islam tersebar disekitar Giri seperti Gresik dan Tuban sebelum berdirinya kerajaan Islam Demak dalam masa yang panjang. Mereka menyempurnakan perjalanan yang telah dimulai oleh ayah-ayah mereka. Mereka berjuang di jalan Islam di Giri dan membantu Demak agar menjadi kerajaan Islam yang resmi dengan bantuan Giri, untuk bersama-sama menghadapi kerajaan Hindu Majapahit apabila Majapahit berusaha menentang cara kehidupan orang-orang muslim.72

  1. Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel)

Ahmad Rahmatullah bin Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Al-Akbar Al-Husien adalah anak paman (sepupu) dari Malik Ibrahim yang dimakamkan di Gresik, Jawa Timur. Ahmad Rahmatullah adalah termasuk da’i pertama di pulau Jawa.

Ia membuka pesantren untuk para pelajar di Ampel, Surabaya, untuk mendidik para pemuda dan agar mereka menjadi para da’i yangn ahli dan terdidik untuk menyebarkan agama Islam di berbagai tempat di pulau Jawa. Di antara murid-murid terpentingnya adalah Muhammad Ainul Yaqi (Sunan Giri) anak saudaranya Al-Makhdum Ishaq. Demikian juga Raden Fatah yang kemudian menjadi raja pertama dari kerajaan Islam Demak.73

Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel) berasal dari ayah seorang arab yaitu Syarif Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein dan dari ibu puteri raja Campa yang terkenal dengan nama ‘Puteri Campa’. Kakaknya bernama Puteri Darwati menikah dengan raja Hindu Majapahit yang bernama Anggawijaya yang memerintah kerajaan itu di pulau Jawa.

Ketika Sunan Ampel beranjak dewasa ia menikah dengan Manila, anak salah satu penguasa muslim di Tuban.74 Darinya ia mendapatkan sejumlah anak yang memainkan peranan yang penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia.

Berikut ini kami sebutkan mereka satu persatu:

  • Syarif Ibrahim bin Ahmad Rahmatullah (Sunan Bonang)

Prof.Wijisakono telah menulis suatu makalah dalam bahasa Indonesia di majalah Al-Jamiah pada nomor 4 dan 5 bulan April dan Mei, tahun pertama 1963 dengan judul: Islam menurut pengajaran Wali sanga. Diantara hal terpenting dalam makalah tersebut adalah sebagai berikut:75

“ Tidak ada sesuatu yang lebih jelas dan lebih kuat dari peninggalan wali sanga seperti warisan ilmu yang ditinggalkan oleh Sunan Bonang bin Ahmad Rahmatullah yang ia tinggalkan dalam mazhab Syafi’i yang memuat ilmu ushul, fiqih, dan tashawwuf. Dan ini cukup bagi kita. Al-Imam Sunan Bonang sangat dipercaya karena hal-hal berikut:

    1. Sunan Bonang adalah orang yang telah mencapai gelar ‘Mayangkarawati’ yang berarti pemimpin para ulama, ia menempati kedudukan mufti dan Syeikhul-Islam.
    2. Ia adalah anak dan murid dari Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel) bersama saudaranya Hasyim (Sunan Drajat). Maka pengajaran keduanya berpegang pada pengajaran, aqidah, dan mazhab ayah mereka.
    3. Ia adalah teman dari Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) dan Syarif Hidayatullah dalam mengambil ilmu dari Maulana Ishaq di Pasai, Sumatera bagian Utara.
    4. Dikatakan juga bahwa ia adalah guru sunan Kalijaga yang pertama yang dianggap sebagai salah satu pembentuk kebudayaan dan kehidupan ruhaniyah di Jawa Tengah.

Jika kita pelajari primbon yang berupa kumpulan ilmu dan rahasia-rahasia dari pengajaran-pengajaran Sunan Bonang, kita akan dapati disana nama-nama ulama dan kitab-kitab yang menjadi sandaran dari pengajaran-pengajaran Islam yang dibawa oleh Wali Sanga. Primbon itu juga mencakup ilmu ushul, fiqih, dan tashawwuf yang disusun menurut ushul Ahlussunnah wal jamaah berdasarkan mazhab syafi’i.

Sunan Bonang selalu memperhatikan untuk menjauhkan darik perbuatan syirik, dan menjelaskan kesesatan sebagian i’tiqad seperti aliran –aliran kebathilan dan lain-lainnya dari kekufuran dan kemaksiatan. Ia selalu menekankan penjelasan bahwa Allah-lah satu-satunya Yang Maha Pencipta, Yang Maha Hidup, Yang Berdiri Sendiri, Yang mempunyai Kekuatan dan Kehendak. Dan bahwasannya manusia memiliki usaha dan pilihan. Ini adalah dasar dari apa yang dibawa dan diserunya. Primbon ini diakhiri dengan ucapannya:

Agar perilakumu lahir dan batim sesuai dengan hukum-hukum syariah dan mencintai Rasulullah serta mengikuti sunahnya.

  • Syarif Hasyim bin Ahmad Rahmatullah (Sunan Drajat)

Syarif Hasyim bin Ahmad Rahmatullah (Sunan Drajat) dianggap sebagai orang yang mempunyai peranan dalam mendirikan kerajaan Islam Demak dan orang yang paling setia kepadanya. Di antara kegiatannya adalah menyebarkan da’wah Islamiyah di Jawa Timur, memberi pertolongan yang besar terhadap para faqir, anak-anak yatim, orang-orang yang membutuhkan , orang-orang sakit dan sebagainya. Ia wafat pada tahun 995 H bertepatan dengan 1586 M didekat Sedayu (dekat Gresik).

  • Ja'far Ash-Shadiq bin Ahmad Rahmatullah (Sunan Kudus)

Ja'far Ash-Shadiq bin Ahmad Rahmatullah diberi gelar ‘Sunan Kudus’ karena ia pendiri kota Kudus di Jawa Tengah dan juga membangun masjidnya yang dinamai dengan Masjid Al-Aqsha sebagai tabarruk (untuk mengambil barokah) kepada masjid Al-Aqsha l-Mubarok. Ia wafat pada tahun 1012 H bertepatan dengan 1603 M. Namanya disebut dengan tulisan Arab di masjid kudus sebagaimana dikatakan oleh Solihin Salam dalam bukunya tentang kota Kudus.

  • Ahmad Hisamuddin bin Ahmad Rahmatullah (Sunan Lamongan)

Ia diberi gelar ‘Sunan Lamongan’ dan termasuk anak Ahmad Rahmatullah. Ia wafat pada tahun 1014 H bertepatan dengan 1605 M dan juga menyebarkan Islam di Indonesia.

  • Zainal Abidin bin Ahmad Rahmatullah (Sunan Demak)

Zainal Abidin bin Ahmad Rahmatullah (Sunan Demak) menduduki ‘Daar Al-Qadha wa Al-Ifta’ di kerajaan Islam Demak pada masa Sultan Abdul Fatah yang dianggap sultan pertama dari kerajaan Islam di Jawa ini.

  • Abdul Jalil bin Ahmad Rahmatullah (Raden Asmoro)

Abdul Jalil bin Ahmad Rahmatullah diberi gelar Raden Asmoro dan memainkan peranan yang penting dalam da’wah Islamiyah. Ia wafat pada tahun 1022 H bertepatan dengan 1613 M.

Syarif 'Umdatuddin Abdullah

Ia adalah ‘Umdatuddin Abdullah yang tinggal di IndoChina bin Nurul Alim Ali bin Jamaluddin saudara Ibrahim Asmoro yang telah disebutkan dalam pembahasaan sebelumnya mengenai dirinya dan anak-anaknya.

Diantara anak-anak ‘Umdatuddin Abdullah yang terkenal adalah Syarif Hidayatullah, Syarif Abu Al-Muzhaffar Ahmad, Syarif Babullah di Ternate. Berikut ini kita akan berbicara tentang mereka:

  1. Syarif Hidayatullah

Syarif Hidayatullah dianggap sebagai seorang penyebar da’wah Islamiyah yang terpenting di Jawa Barat. Ia diberi gelar “Sunan Gunung Jati”yaitu penguasa Gunung Jati yang wafat disana di dekat kota Cirebon, Jawa Barat pada tahun 1570 M. Para sultan yang memerintah Banten dan Cirebon adalah keturunannya. Di dalam Makhthuthah Al-Ustaz Asy-Syarif Ahmad bin Abdullah As-Saggaf terdapat satu fasal khusus dimana didalamnya disebutkan nasab Syarif Hidayatullah berdasarkan sumber dari Banten sebagai berikut:76

Maulana Hasanuddin Sultan Banten pertama bin Syarif Hidayatullah di Cirebon bin ‘Umdatuddin di Campa (Indo China) bin Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein di Bugis bin Ahmad Syah Jalaluddin di India bin Abdullah bin Abdul Malik di India bin Syarif Alwi di Tarim bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Kholi’Qosam bin Alwi di Bait Jubeir bin Muhammad di Beit Jubeir bin Alwi di Sumul bin Abdullah di Bur bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad di Al-Hissiyah bin Isa An-Naqib di Bashrah bin Ali Al-Uraidhi di Madinah Al-Muwwarah bin Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib dan bin Fathimah binti Sayidina Muhammad SAW.

Sejarawan Eropa L.W.C. Van Den Berg didalam bukunya yang berbahasa perancis yang judulnya “Hadramaut dan Orang-orang Arab yang Hijrah ke Indonesia”77 mengatakan:

“Dengan demikian jelaslah bahwa anak cucu Maulana Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein adalah orang-orang yang menyebarkan agama islam di Jawa dan sekitarnya di abad 15 M. Diantara mereka adalah Syarif Hidayatullah, sunan Ampel, Sunan Giri, dan sebagainya,.”

Jika kita membandingkan keterangan tersebut dengan apa yang disebutkan oeh Dr.Najeeb Shaliby dalam kitabnya “Dirasat fi Tarikh Moro” tentang kaitan nasab, kita akan mendapatkan bahwa sultan-sultan Islam di Filipina bertemu dengan nasabnya dengan Syarif Hidayatullah dan anak cucu Jamaluddin Al-Amir Al-Husein bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdullah bin Abdul Malik dari keturunan Al-Imam Al-Muhajir.

  1. Syarif Abu Al-Muzhaffar Ahmad

Ia adalah Abu Al-Muzhaffar Ahmad bin ‘Umdatuddin Abdullah bin Nurul Alim Ali bin Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein yang bersambung nasabnya ke Al-Imam A-Muhajir. Ia saudara dari Syarif Hidayatullah dan Syarif Babullah di Ternate. Syarif Abu Al-Muzhaffar wafat di Thailand tahun 960 H bertepatan dengan 1552 M dan mendapatkan beberapa orang anak yang merupakan para da’i yang menonjol di Indo China dan Asia Tenggara. Diantara mereka:78

    1. Syamsuddin Ismail yang menyerukan jihad terhadap penjajah Portugis di Rangoon, Burma (Myanmar) tahun 998 H bertepatandengan 1589 M.
    2. Fathul-Arifin Abdul Maula yang bergelar Shalahuddin, wafat di Thailand 999 H yang bertepatan dengan 1590 M.
    3. Syarif Jadid yang bergelar Al-Mu’tashim billah, syahid pada peperangan di China tahun 989 H (1581 M).
    4. Bishri yang bergelar Najmuddin, wafat di dekat Pulau Sulu, Filipina.
    5. Syarif Damari Isa yang bergelar Qutbuddin, wafat di kota Canton, China.
    6. Syarif Taufiquddin Alwi, wafat di China.
    7. Syarif Badruddin Muhammad Ali, wafat di Thailand tahun 993 H (1585 M)
    8. Syarif Saniruddin Alwi Al-Akbar, wafat di Thailand tahun 1001 H bertepatan dengan 1592 M.
    9. Syarif Nashruddin Yunus, wafat di Sumatera tahun 995 H bertepatan dengan 1586 M, termasuk orang yang memerangi penjajah Portugis di Jawa.


BAB VI

para syarif hadhramaut dan peranan mereka dalam menyebarkan islam di filipina

Dr.Najeeb Shaliby dalam kitabnya “Tarikh Moro” yang dikarangnya atas permintaan pemerintah Amerika di Filipina dan dalam pengawasan orang-orangnya, sebagai tambahan dari apa yang ditulis oleh para pengelana Barat, yang terdiri dari 2 jilid dan dicetak di Manila tahun 1323 H bertepatan dengan 1905 M menyebutkan bahwa kata ‘Syarif’ adalah gelar yang diberikan kepada keturunan Nabi S.A.W. Gelar yang lengkap adalah Sayid Syarif. Orang Arab hanya menggunakan kata ‘Sayid’ saja sedangkan orang Moro menyebutnya Sayid Syarif sebagai penghormatan mereka yang besar terhadap keturunan Nabi S.A.W.

Dalam kitab ”Tarik Serawak” ( A history of Serawak) disebutkan bahwa Sultan Barkat adlah termasuk keturunan dari Al-Imam Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Ia mempunyai kendaraan perang yang terkenal. Nasabnya adalah Barkat bin Thohir bin Ismail yang dikenal dengan gelarnya ‘Bashri’ bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husein bin Al-Imam Ali bin Abi Thalib.

Dalam sejarah muslimin di Filipina dan sejarah Sulu ada satu keterangan yang menjelaskan bahwa nasabnya berpangkal pada Abdullah bin Alwi bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Kholi’ Qosam, keturunan Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa.

Ia keturunan para syarif Alawiyin dari Hadramaut yang mengarungi lautan menuju Filipina. Dr.Najeeb Shaliby dalam sejarah Mindanao menyebutkan:79

“Tidak ada sesuatu sejarah yang pasti sebelum sampainya Islam. Tidak ada juga hikayat-hikayat yang dipelihara dalam ingatan. Ketika Islam datang, tersebarlah ilmu, peradaban, dan kegiatan-kegiatan, muncul undangk-undang baru bagi kerajaan. Huku-hukum ditetapkan dalam sebuah buku. Silsilah nasb ditulis dan cabang-cabang dari keturunan yang bernasab kepada para pembesar dipelihara dengan bantuan semua sultan dan para pemimpin sampai sekarang.”

Silisilah atau syajarah yang dinamai Tarsila atau silsilah merupakan keterangan dasar-dasar tertulis mengenai keturunan-keturunan pertama dari muslimin pertama di Filipina.

Dr. Hajeeb Shaliby telah mengungkapkan silsilah pertama dan diikuti dengan silsilah-silsilah berikutnya yang banyak. Kami akan menyebutkan disini silsilah pertama dari penduduk pulau-pulau itu. Berikut ini yang dikatakannya:

“ Alhamdulillah, sesungguhnya aku yakin Allah menjadi saksi atas diriku, kitab ini memuat keturunan Rasulullah SAW. Yang sampai ke Magindanao. Seperti diketahui Rasulullah mempunyai anak Fathimah Az-Zahra yang melahirkan Al-Hasan dan Al-Husein. Al-Husein mempunyai anak Zainal Abidin, dan seterusnya. Berikut ini adalah nasab dari Muhammad bin Zainal Abidin:80

“Muhammad Zainal Abidin, yang datang dari Johor, bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Alwi Ammul Faqih Al-Muqaddam bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Kholi’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi yang merupakan orang pertama yang yang dinamai Alwi dan kepadanya bernasab Sayid/Syarif Alawiyin di Hadramaut bin Ubaidillah bin Al-Muhajir Ahmad bin Isa dan seterusnya.

Didalamnya disebutkan empat silsilah. Sedangkan pembicaraan tentang masuknya para Syarif Alawiyin dari Hadramaut ke pulau-pulau di Hindia Timur telah lewat.

Enam da'i pertama yang menyebarkan Islam di Filipina

Sesungguhnya para da’i pertama yang menyebarkan Islam di pulau-pulau Filipina, Sulu, Mindanao, dan sebagainya adalah kalangan Syarif Hadramaut. Kami menganggap mereka adalah enam dari pertama selain Raja Baginda yang berkuasa atas Kepulauan Sulu dan Saldung atau Luzon, karena ia tersebut dalam bilangan para Syarif kerajaan Brunei, Carmen, dan Serawak, juga Borneo dan Saldung. Setiap tahun diberikan kepadanya Jizyah sebesar satu gantang emas. ‘gantang’ adalah ukuran yang kadang-kadang setara dengan 5 mud, dan kadang-kadang 8 mud menurut daerah yang berbeda-beda.

Demikian juga tidak termasuk kedua orang Syarif, Tabunawi dan Mamalo, keduanya anak dari Syarif Maraja Mahraj, yang datang setelah Syarif Auliya’.

Berikut ini adalah enam orang da’i pertama yang mempunyai peranan paling besar dalam menyebarkan Islam di Filipina dan sekitarnya:81

  1. Syarif 'Auliya

Syarif Auliya’ dipandang sebagai salah satu da’i Islam pertama yang datang ke Magindanao dan daerah lainnya dimana ia menyebarkan Islam dan menikah disana. Dari istrinya ia mendapatkan seorang putri yang diberi gelar ‘Paraisuli’. Kemudian ia kembali ke tempat dimana ia datang dari Melayu.

Ada dikatakan sesungguhnya ia adalah Syarif Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husein bin Ahmad Syah bin Abdullah bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Marbath, keturunan dari Al-Imam Al-Muhajir dan seterusnya. Tersebut juga nasabnya di sejarah Palembang.

  1. Syarif Maraja (Mahraj)

Syarif Maraja Mahraj datang setelah berangkatnya Syarif Auliya’ dan menikah dengan putrinya Paraisuli dan darinya mendapatkan dua orang putera yaitu Tabunawi dan Mamalo yang keduanya dijumpai oleh Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin.

  1. Syarif Makhdum Ishaq

Syarif Ishaq yang bergelar ‘Uluwwul Islam’ bin Ibrahim Asmoro dianggap sebagai salah satu dari enam da’i pertama yang menyebarkan Islam di Filipina dan juga dianggap sebagai salah satu dari Wali Sanga yang menyebarkan Islam di Jawa yang telah kami sebutkan sebelumnya.

  1. Syarif Zainal Abidin

Syarif Zainal Abidin dipandang sebagai salah satu raja pertama di kepulauan Sulu. Mengenai beliau, Dr.Najeeb Shaliby mengatakan:

“Di pantai Utara Magindanao pada daerah yang subur dan makmur didekat tempat yang bernama ‘Pulangi’ Islam tumbuh berkembang, bunganya merekah, dahannya menjulang ke atas, masjid-masjid didirikan untuk menyembah Allah, diatas menara-menaranya diserukan kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Syarif Ahmad bin Ali Zainal Abidin diumumkan sebagai penguasa Magindanao berdasarkan kesepakatan, kesenangan, dan keputusan yang tetap dari penduduknya.”

Dr.Najeeb dalam kitabnya menyebutkan tarjamah silsilah nasabnya, dan menyebutkan keterangannya dari Adam ke Ibrahim lalu ke Ismail dan terus sampai ke Abdu Manaf, Hasyim, Abdul Muthalib, Abdullah, Muhammad Rasulullah SAW., lalu puterinya Fatimah Az-Zahra yang melahirkan Al-Husein, lalu Ali Zainal Abidin, Syarif Muhammad Al-Baqir, Syarif Ja’far Ash-Shadiq, Syarif Ali, Syarif Muhammad, Syarif Isa, Syarif Ahmad, Syarif Ubaidillah, Syarif Alwi, Syarif Abdurrahman, Syarif Ahmad, Syarif Abdullah, Syarif Ali, Syarif Muhammad, Syarif Husein, Syarif Ali Al-Baqir, Syarif Ali Zainal Abidin, yang datang dari Johor dan menikah dengan saudara sultannya. Syarif Muhammad Kabungsuan mempunyai anak yang dilahirkan di Johor yang diberi gelar ‘Sambakan’ dan anak perempuan yang bernama Muzadniq (mungkin diambil dari kata muznah, menurut kebiasaan orang Melayu dalam merubah nama-nama, seperti Khadijah menjadi Khatijahm dsb). Lalu ia datang bersama kedua anaknya ini ke Magindanao dan disana ia mendapat anak juga.82

  1. Syarif Muhammad bin Ali (Kabungsuan)

Terdapat dalam silsilah yang telah disebutkan tadi.

  1. Syarif Abubakar

Syarif Abubakar termasuk salah satu da’i-da’i besar. Ia pergi ke Makkah untuk memperoleh ilmu-ilmu keislaman disana. Setelah kembali ia mulai menyebarkan Islam sebagaimana yang dipelajarinya dari Makhdum Ishaq. Ia mengarang kitab yang bernama “Addurul Manzhur”. Kemudian ia menjadi sultan Kepulauan Sulu setelah Raja Baginda.


Penutup

Dari pembahasan yang telah lalu jelaslah bahwa para Syarif Hadramaut dari keturunan Al-Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir memainkan peranan yang penting dalam menyebarkan Islam menurut mazhab Imam Syafi’i. Sedangkan orang-orang Indonesia yang terdahulu adalah penyembah berhala kemudian setelah itu datang agama Hindu dan Budha, lalu tersebar diantara mereka. Setelah itu barulah datang agama Islam.

Islam tersebar berkat pra da’i pertama dari keturunan Hadramaut. Cara mereka dalam menyebarkan Islam mempunyai pengaruh di dalam jiwa para penduduknya, sehingga tidak tersisa agama Hindu dan Budha di kepulauan Indonesia kecuali sedikit saja, sebagian besar terdapat di pulau Bali.

Setelah para da’i pertama, datang para murid mereka dari berbagai tempat di Indonesia, yang memainkan peranan yang pening dalam menyampaikan Risalah Islam dan menyebarkannya di seluruh pelosok kerajaan, dengan cara-cara damai dan dengan kecepatan yang tak ada bandingnya.

Ketika Indonesia berada dalam kekuasaan penjajah Belanda, para Syarif mendirikan organisasi pertama yang dikenal di Indonesia yang bernama ‘Syarikat Islam’ yang masih ada sampai sekarang.

Kemudian mereka menentang penjajahan Belanda, Jepang, dan Inggris. Tetapi sebagian mereka tidak melebur secara total dalam masyarakat Indonesia walau dalam masa yang panjang, karena masih memakai adat dan tradisi Arab. Mereka ini generasi terdahulu. Namun sebagian besar telah berbaur dalam masyarakat Indonesia, hanya merka tidak melupakan asal dan nasab mereka, walaupun mereka jauh dari Hadramaut dan menetap ditempat hijrah yaitu Indonesia. Bersama rakyat mereka menghadapi setiap musuh asing sebagaimana mereka memerangi musuh-musuh Islam dari dalam yaitu kaum komunis di akhir pemerintahan Ahmad Sukarno.

Tetapi sekarang, setelah berlalunya beberapa abad sejak masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, dan gagalnya penjajah Belanda menyebarkan agama Kristen, orang-orang Indonesia mulai menghadapi suatu rencana besar yang bukan saja datang dari kekuataan Barat dan dari Majelis Gereja Sedunia untuk gerakan Kristenisasi, tetapi juga dari sebagaian orang Indonesia yang hanya memakai nama Islam sebagai nama saja, tetapi hati mereka bersama kekuatan Kristen Barat yang memerangi Islam dengan bantuan mereka ini yang terpengaruh dengan peradaban Kristen Barat.

Di samping hal tersebut diatas juga tidak adanya perhatian dari negara-negara Islam, khususnya negara-negara Arab, terutama perhatian terhadap bahayanya gerakan Kristenisasi. Merupakan kewajiban bagi negara tersebut memberikan bantuan yang semestinya dalam rangka menghentikan gerakan Kristenisasi penjajah baru ini.

Kita berharap kepada Allah semoga muslimin didunia bersama bangsa Indonesia, Malaysia, Filipina, dan yang lainnya mampu menghentikan gerakan Kristenisasi dari penjajah Kristen Barat ini.

Kami meanggap bukan suatu hal yang mustahil bangkitnya kaum muslimin Indonesia dan kembali ke lapangan politik, untuk menggagalkan gerakan Kristenisasi dan menghapuskannya dari Indonesia. Sebagaimana yang terjadi ketika gerakan komunis melakukan tindakan makarnya dipuncak perlawanan mereka terhadap partai Islam Masyumi, kaum muslimin dapat menghancurkannya dengnan keras sehingga tidak terdapat lagi seorang komunis pun di Indonesia.

Sebagai penutup, saya berharap semoga saya diberi taufiq dalam memberikan gambaran yang jelas tentang da’i-da’i Islam pertama dari kalangan orang Arab Syarif Hadramaut, keturunan Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa.


Daftar Pustaka

  1. Ahmad bin Muhammad Shalih Al-Baradighi Al-Huseiny: Ad-durar As-Saniyyah fi Al-Ansab La Hasaniyyah wala Huseiniyyah,cetakan kedua, Beirut, 1394 H.
  2. Ahmad Syalaby, Dr.: Mausu’ah At-Tarikh Al-Islamy, Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyyah, Kairo, 1983.
  3. Al-Hafizh Abubakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdady: Tarikh Baghdad, Daar Al-Kutub Al-Araby, Beirut.
  4. Ath-Thohir bin Abdullah Al-Lahyawi: Hishnus-Salam Baina Yaday Maulaya Abdis-Salam, Daar Al-Baidha’, 1978.
  5. Ruqayyah Asy-Syadzili: Min A’lam Al-Islam fi Indonesia,Mathbu’ath Asy-Sya’b, Mesir, 1976.
  6. Said Awadh Bawazir: Shafahat Min Tarikh hadramaut, Maktabah Al-Irsyad, Jeddah, 1378 H.
  7. Sholah Al-Bakry Al-Yafi’i: Tarikh Hadramaut As-Siyasy, Mathbaah Mushthafa Al-Bab Al-Halaby, Mesir, 1936.
  8. Shalih Al-Hamid Al-Alawiy: Tarikh Hadramaut, Maktabah Al-Irsyad, Jeddah, 1968.
  9. Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur: Syams Azh-Zhahirah, ‘Alam Al-Ma’rifah, Jeddah, 1984.
  10. Alwi bin Thohir bin Abdullah Al-Hadar Al-Haddad: Al-Madkhal ila Tarikh Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, Muassasah Al-Muhdar, Mesir, 1971.
  11. Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Tarikh Al-Islam fi Asy-Syarq Al-Aqsha, ‘Alam Al-Ma’rifah, Jeddah, 1985.
  12. Abdul Halim Mahmud, Dr. Syeikhul-Azhar: Sayyiduna Zainul Abidin, Daar Al-Islam, Mesir.
  13. Lothrop Stoddard-Syakib Arsalan:Hadhir Al-‘Alam Al-Islamy,Daar Al-Fikr, Beirut, 1973.
  14. Muhammad Dhiya’ Syahab- Abdullah bin Nuh: Al-Islam fi Indonesia, Addaar As-Su’udiyyah li An-Nasyr wa At-Tauzi’, Jeddah, 1977.
  15. Muhammad Dhiya’ Syahab- Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, Daar Asy-Syuruq, Jeddah, 1980.
  16. Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiry: Al-Mu’jam Al-Lathif li Asbab Al-Alqab wa Al-Kuna fi An-nasab Asy-Syarif li Qabail wa Buthun As-Sadah Bani Alawiy, ‘Alam Al-Ma’rifah, Jeddah, 1986.
  17. Muhammad bin Ali bin Alwi Khird Ba’Alawiy: Al-Azr Mathabi’ Al-Maktab Al-Mishriy Al-Hadits, Kairo, 1985.
  18. Muhammad Muhammad Zaitun: Al-Muslimin fi Asy-Syarq Al-Aqsha’, Daar Al-Wafa’, Kairo, 1985.
  19. Muhammad Abdul Qadir Bamathraf: Jami’ Syaml A’lam Al-Muhajirin Al-Muntasibin ila Al-Yaman wa Qabailihim, Daar Al-Hamadaniy, ‘Adn, 1984.
  20. Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Dr: Al-Muslimin fi Al-Filipin, Maktabah An-Nadhah Al-Mishriyyah, Kairo, 1983.
  21. Mausu’ah Al-‘Alam Al-Islamy, Daar Ar-ra’y Al-‘Am, Mesir, 1979.
  22. William Langer: Mausu’ah Tarikh Al-‘alam, Maktabah An-Nadhah Al-Mishriyyah, Mesir, 1962.
  23. Brian May: The Indonesian Tragedy, Graham Brash, P.T.E. LTD, Singapore, 1984.
  24. M.C. Ricklefs: A History of Modern Indonesia, Mac Millan Education LTD, London.

1 Riwayat Turmudzi, Dr.Abdul Halim Mahmud: Sayyiduna Zainal Abidin, hal.14.


2 Riwayat Turmudzi, Dr.Abdul Halim Mahmud: Sayyiduna Zainal Abidin, hal.15.


3 Riwayat Turmudzi, Dr.Abdul Halim Mahmud: Sayyiduna Zainal Abidin, hal.16.


4 Ath-Thohir bin Abdullah Al-Lahyawi: Hishn Al-Islam baina yaday maulaya Abdus-Salam, hal. 13.


5 Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur: Syams Ash-Zhahirah, jiid 1, hal. 39.


6 Ahmad Muhammad Sholeh Al-Baradighi: Ad-Durar As-Saniyah fi Al-Ansab Al-Hasaniyah wa Al-Huseiniyah, hal. 81.


7 Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur: Syams Ash-Zhahirah, jiid 1, hal. 41.


8 Muhammad bin Abibakar Asy-Syili ba Alawi: Al-Masyra’ Al-Rawi fi manaqib As-Sadah Al-Kiram Ali Abi Alawi, jiild 1, hal. 239.


9 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal. 44.


10 Al-Hafizh Abubakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdady: Tarikh Baghdad, jilid 2, hal. 113-115


11 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal. 40.


12 Al-Hafizh Abubakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdady: Tarikh Baghdad, jilid 2, hal. 166.


13 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal. 44.


14 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal. 47.


15 Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiry: Adwar At-Tarikh Al-Hadramy, jilid 1, hal.158.


16 Diarah Al-Maarif Al-Bustaniy, jild 2 hal.352.


17 Said Awadh Bawazir: Shofahat min Tarikh Hadramaut, hal.58.


18 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal. 50.


19 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal. 55.


20 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal. 58.


21 Said Awadh Bawazir: Shofahat min Tarikh Hadramaut, hal.61.


22 Muhamad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiry: Adwar At-Tarikh Al-Hadramy, jilid 1, hal.161.


23 Muhammad Abdul Qadir Bamuthrif: Jami’ Syaml A’lam Al-Muhajirin Al-Muntasibin ila Al-Yaman wa Qabailihim, jilid 3, hal. 57.


24 Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur: Syams Ash-Zhahirah, jiid 1, hal. 54.


25 Muhammad bin Ali bin Alwi Khird Ba Alwi: Al-Azr, hal. 352.


26 Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathri: Al-Mu’jam Al-Lathif, hal. 21.


27 Muhammad bin Abibakar Asy-Syili ba Alawi: Al-Masyra’ Al-Rawi fi manaqib As-Sadah Al-Kiram Ali Abi Alawi, jiild 2, hal. 8.


28 Shalih Al-Hamid Al-Alawy: Tarikh Hadramaut, jilid 2, hal. 467.


29 Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri: adwar At-Tarikh, jilid 1, hal.192.


30 Muhammad Abdul Qadir Bamuthrif: Jami’ Syaml A’lam Al-Muhajirin Al-Muntasibin ila Al-Yaman wa Qabailihim, jilid 3, hal. 57.


31 Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur: Syams Ash-Zhahirah, jiid 1, hal. 95.


32 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila tarikh Al-Islamy Asy-Syarq Al-Aqsa, hal. 124.


33 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila tarikh Al-Islamy Asy-Syarq Al-Aqsa, hal. 135.


34 Muhammad Abdul Qadir Ahmad: Al-Muslim fi Al-Filipina, hal. 21.


35 Sholah Al-Bakri Al-Yafi: Tarikh Hadramaut As-Siyasi, hal. 240.


36 Brian May: The Indonesia Tragedy, hal. 11.


37 L. Stoddard-Syakib Arsalan: Hadhir Al-A’lam Al-Islamy, jilid 3, hal. 175.


38 L. Stoddard-Syakib Arsalan: Hadhir Al-A’lam Al-Islamy, jilid 3, hal. 175.


39 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila tarikh Al-Islamy Asy-Syarq Al-Aqsa, hal. 131.


40 L. Stoddard-Syakib Arsalan: Hadhir Al-A’lam Al-Islamy, jilid 3, hal. 177.


41 L. Stoddard-Syakib Arsalan: Hadhir Al-A’lam Al-Islamy, jilid 3, hal. 177.


42 Mausu’ah Al-‘Alam Al-Islamy, jilid 2, hal. 807.


43 M. C. Ricklefs: A History of Modern Indonesia, hal. 3.


44 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal. 169.


45 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila tarikh Al-Islamy Asy-Syarq Al-Aqsa, hal. 275-277.


46 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila tarikh Al-Islamy Asy-Syarq Al-Aqsa, hal. 281.


47 Muhammad Zaitun : Al-Muslimin fi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 145.


48 Muhammad Abdul Qadir Bamuthrif: Jami’ Syaml A’lam Al-Muhajirin Al-Muntasibin ila Al-Yaman wa Qabailihim, jilid 3, hal. 57.


49 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila tarikh Al-Islamy Asy-Syarq Al-Aqsa, hal. 252.


50 William Langer :Mausu’ah Tarikh Al-Alam, jilid 3, hal. 939.


51 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila tarikh Al-Islamy Asy-Syarq Al-Aqsa, hal. 36.


52 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila tarikh Al-Islamy Asy-Syarq Al-Aqsa, hal. 201.


53 L. Stoddard-Syakib Arsalan: Hadhir Al-A’lam Al-Islamy, jilid 3, hal. 163.


54 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Islam fi Indonesia, hal.9-10.


55 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 11-12.


56 Mausu’ah Al-‘Alam Al-Islamy, jilid 2, hal. 7-8.


57 L. Stoddard-Syakib Arsalan: Hadhir Al-A’lam Al-Islamy, jilid 3, hal. 162.


58 L. Stoddard-Syakib Arsalan: Hadhir Al-A’lam Al-Islamy, jilid 3, hal. 162.


59 L. Stoddard-Syakib Arsalan: Hadhir Al-A’lam Al-Islamy, jilid 3, hal. 176.


60 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 585.


61 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 287.


62 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Islam fi Indonesia, hal.15.


63 Dr. Ahmad Syalabi: Mausu’a At-Tarikh Al-Islamy, jilid 1, hal. 45.


64 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal.174.


65 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal.184.


66 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal.188.


67 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 241.


68 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 279.


69 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal.183.


70 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 279.


71 Ruqayyah Asy-Syadzili : Min A’lam Al-Islam fi Indonesia, hal. 51.


72 Ruqayyah Asy-Syadzili : Min A’lam Al-Islam fi Indonesia, hal. 51.


73 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal.180.


74 Ruqayyah Asy-Syadzili : Min A’lam Al-Islam fi Indonesia, hal. 28.


75 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal.181.


76 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal.177.


77 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal.178.


78 Muhammad Dhiya’ Syahab-Abdullah bin Nuh: Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, hal.185.


79 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 201-202.


80 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 204.


81 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 278-279.


82 Alwi bin Thohir Al-Haddad: Al-Madkhal ila Al-Islam bi Asy-Syarq Al-Aqsha, hal. 256.