Saya pertama kali ke Tanah Suci pada Juni 1973. Itupun untuk melaksanakan ibadah umroh setelah berkunjung ke Aljazair menghadiri 10 tahun kemerdekaan negara di Afrika Utara itu. Dari Aljier saya mampir ke Jeddah. Waktu itu, KBRI berada di kota yang terletak di tepi Laut Merah ini. Dubes RI di Arab Saudi kala itu dijabat H Rus'an memberikan saya pakaian ihram untuk umroh. Perjalanan dari Jeddah ke Mekah naik mobil besar merk Impala keluaran Chevrolet (AS). Begitu memasuki Masjidil Haram -- yang belum semegah sekarang --, dan melihat Ka'bah saya terharu hingga meneteskan air mata.
Apalagi waktu itu saya masih muda teringat akan dosa-dosa. Sambil berharap nantinya dapat melaksanakan ibadah haji. Karena tidak ada persiapan samasekali saya tidak pergi ke Madinah berziarah kepada Nabi Muhammad SAW.
Rupanya doa saya ini dikabulkan. Karena suatu ketika menjelang musim haji 1974, ketika tengah membuat berita kegiatan Pak Harto, saya mendapat telepon dari Pak Bustaman, sekretaris Menteri Sosial HMS Mintaredja yang kala itu juga sebagai ketua umum PPP. Saya (Antara) bersama rekan Merdeka diminta untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Kala itu merupakan tahun kedua pemberangkatan jamaah haji dengan pesawat udara. Tapi masih banyak calon haji (calhaj) yang berangkat dengan kapal laut. Setelah istirahat beberapa jam di Madinatul Hujaj di Jeddah -- di sini kami bergabung dengan jamaah dari mancanegara --, kami diberangkatkan ke Mekah dengan bus tanpa AC karena waktu itu belum ada angkutan ber-AC.
Kami dibawa langsung ke tempat Syeikh Abbas, seorang mukimin yang berasal dari Jawa Barat. Kami disuguhi minuman dari ketel. Seperti kebiasaan di Arab Saudi kala itu, kita bergantian minum dalam gelas yang sama.
Kala itu, para calon jamaah haji diwajibkan untuk untuk tinggal di tempat syeikh yang mereka pilih. Kita diberi makanan seperti beras dan berbagai lauk pauk. Karena saya tidak bisa masak, saya memilih makan di luar. Di Mekkah dan juga Madinah terdapat banyak rumah makan yang menyajikan masakan Indonesia. Tapi jangan minta martabak, karena di Arab seperti juga di India martabak tidak dikenal.
Kali ini saya berkesempatan ziarah ke makam Rasul di Masjid Nabawi Madinah. Tapi tidak mendapat arbain. Karena ada kawan yang datang dari Kedubes RI di Syria membawa mobil mengajak saya ke rumah pamannya di Jeddah.
Di Jeddah saya mendatangi kembali KBRI. Nasib baik, Atase Pers KBRI Arifin menawarkan saya menjadi tamu negara. Kerajaan Arab Saudi tiap tahun mengundang dua wartawan dari negara-negara Islam untuk berhaji. Kebetulan tidak ada wakil dari Indonesia.
Maka jadilah saya tamu negara setelah mendatangi Kementerian Penerangan Arab Saudi. Saya mendapat mobil khusus untuk mengantar jemput dari Jeddah ke Mekah. Saya disediakan tempat penginapan di Hotel Kandara, salah satu hotel terbaik kala itu.
Karena belum puasa, saya berziarah ke Madinah, dari Jeddah saya kemudian pergi ke kota Nabi. Dalam perjalanan setelah memasuki kota Madinah sambil terus menerus mengucapkan shalawat, saya hampir mendapat kecelakaan. Ban mobil yang kami tumpangi pecah.
Beruntung sang sopir sangat tenang menghadapi kejadian ini. Dia menggunakan versneling untuk memperlambat laju mobil. Kalau saja dia mengerem mobil akan terbalik. Saya teringat peristiwa yang dialami tokoh NU Subchan ZE meninggal dunia karena mobilnya terbalik karena bannya meletus.
Di Arafah kami -- rombongan wartawan mancanegara -- ditempatkan di tenda khusus. Di Mina, kami ikut hadir pada resepsi di istana dan saya bersalaman dengan Raja Faisal. Di antara yang hadir dari Indonesia adalah H Mohammad Natsir, ketua Arabithah Alam Islam dan ketua Dewan Dakwah Indonesia, Gubernur DKI Ali Sadikin, Sekjen DDI Harsono, Ketua MUI HAMKA, tokoh Islam dari Persis E.Z.Muttaqin, Ketua Komite Solidaris Islam H.Lukman Harun dan Habib Muhammad Alhabsyi dari Majelis Taklim Kwitang.
Di tempat resepsi kami dilayani oleh pengawal kerajaan yang membawa cangkir kecil sambil menyuguhkan kopi yang dicampur kapulaga dan jinten hitam hingga menghangatkan badan. Begitu kopi diberikan kepada kita langsung diminum dan kemudian diberikan kepada orang yang berada di sampingnya.
Ada suatu kebiasaan orang Arab yang membuat mereka senang. Kalau jenggotnya di elus-elus dan dipegang terutama oleh cowok. Seorang jamaah haji menuturkan ketika dia berbelanja di Madinah kepada orang tersebut ternyata harganya menjadi murah. Kaos kaki dari lima real menjadi satu real. Kiat bahwa pembeli adalah raja seringkali tidak berlaku di tanah suci. Apalagi kalau kita menawar dagangannya dengan harga murah. Para pedagang bisa marah atau pura-pura tidak mendengar ketika dagangannya seharga 20 real ditawar lima real.
Tapi sekarang ini dengan makin membanjirnya pedagang terutama dari India, Bangladesh dan Pakistan mereka dengan ramah dan tersenyum menyapa kita. 'Siti Rahmah .. Siti Rahmah ... homsah (lima real).' Entah siapa namanya, kalau wanita dari Indonesia seringkali mendapat panggilan Siti Rahmah.
(alwi shahab )
Friday, December 07, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment