Wednesday, December 19, 2007

Habib Abubakar, Pendiri Jamiat Kheir

Batavia, sebutan kota Jakarta tempo dulu, di tahun 1900 sedang memasuki periode kota kolonial modern. Sistem transportasi dan komunikasi berkembang pesat. Angkutan kereta api Jakarta-Bogor mulai diperkenalkan, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok semakin ramai oleh pendatang dari Belanda dan Eropa.

Tapi hanya orang-orang Belanda saja yang menikmati kemajuan tersebut. Sementara masyarakat pribumi, termasuk orang-orang keturunan Arab, masih saja bergelut dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Terhadap keturunan Arab ini, Belanda menganggap keberadaan mereka di Indonesia sangat membahayakan politik kolonialnya yang anti-Islam. Pada waktu bersamaan, semangat Pan-Islamisme tengah berkobar di Turki dan pejuang Islam kaliber internasional dari Ahlul-Bayt, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bergaung hingga ke Indonesia.

Di Indonesia, paham Pan-Islamisme pun masuk, dan kaum Alawiyyin dituduh sebagai pembawanya. Tidak mengherankan bila Belanda begitu benci kepada Islam dan orang-orang keturunan Arab. Di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah, citra buruk Arab digambarkan secara kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah. Menurut Mr Hamid Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, banyak kalangan Arab dan Muslim enggan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda. Dalam situasi tekanan kolonial itulah, seorang tokoh alim ulama, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, berinisiatif mendirikan sebuah perguruan Islam, Jamiat Kheir, tahun 1901.

Bukan hanya mengajarkan agama, lembaga ini juga memberikan pendidikan umum. Bersama Abubakar bin Ali Shahab, bergabung sejumlah pemuda Alawiyyin yang mempunyai kesamaan tekad memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda jahat Belanda yang anti-Islam. Mereka antara lain, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad Alhabsyi, dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama ini, Jamiat Kheir tumbuh pesat. Mereka lantas memindahkan pusat organisasi ini dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang).

Kegiatan organisasi ini meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen. Organisasi ini juga dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam. Sebut misalnya KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H Samanhudi (tokoh Budi Utomo), dan H Agus Salim. Beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota, atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.

Mendapat gemblengan Hadramaut

Habib Abubakar lahir di Jakarta tanggal 28 Rajab 1288 H (130 tahun lalu), dari seorang ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut. Ibunya bernama Muznah binti Syech Said Naum merupakan keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman (Di zaman Gubernur Ali Sadikin tahun 70-an, pemakaman ini dipindahkan ke Jeruk Purut dan Karet, dan lahannya dipergunakan untuk membangun rumah susun pertama di Indonesia).

Dalam usia 10 tahun, tepatnya tahun 1297H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. Di sana, Abubakar muda menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas hanya dengan berguru, beliau selalu mendatangi tempat-tempat pengajian dan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka. Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura. Tiba di Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Setelah mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut, Habib Abubakar lantas mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.

Pada usia 50 tahun atau pada tanggal 1 Mei 1926, untuk kedua kalinya beliau kembali berangkat ke Hadramaut disertai dua orang putranya, Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir, dan Mukalla sebelum akhirnya tiba di Damun, Hadramaut, pada tanggal 20 Zulqaidah 1344 H. Di tempat-tempat yang disinggahi, Habib Abubakar juga selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Tiba di Hadramaut, dia memperbaiki sejumlah masjid, antara lain masjid Al-Mas. Bahkan, ia juga membangun masjid Sakran yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya. Habib Abubakar tidak pernah jemu berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin.

Sampai kini, madrasah yang didirikannya di Damun masih berdiri dengan baik, begitu juga Yayasan Iqbal yang didirikannya di kota itu. Pada 27 Syawwal 1354 H, Habib Abubakar sampai di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di tanah suci berbarengan dengan kedatangan Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi dari Kwitang, seorang ulama besar di Jakarta yang menjadi shahabat karibnya. Mereka bersama-sama menziarahi tempat-tempat mulia dan parah tokoh ulama. Tanggal 11 Safar 1356 H bertepatan dengan 23 April 1937 M, ia berangkat pulang ke Jakarta. Kegiatan sosial dan pendidikan menjadi perhatian utamanya selama berada di Indonesia. Pada 14 November 1940, ia menghadiri pembukaan madrasah/ma'had di Pekalongan. Madrasah ini dibangun oleh sepupunya, Habib Husein bin Ahmad bin Abubakar Shahab.

Pembukaan sekolah di Pekalongan ketika itu mendapat sambutan meriah bukan saja dari warga setempat, tapi juga dari tokoh masyarakat Jakarta, Cirebon, Solo, Gresik, dan Surabaya. Di samping itu perjuangan Habib Abubakar untuk kemajuan agama tidak pernah berhenti. Bukan hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga untuk mendermakan harta bendanya. Sebagai wakil dari Al-Rabithah Al-Alawiyyah, ia telah beberapa kali ditugaskan mencari dana bukan hanya untuk kepentingan kelompok Alawiyyin, tapi juga masyarakat luas. Pada tanggal 18 Maret 1944 M, saat pendudukan Jepang, ia wafat di Jakarta. Habib Abubakar dimakamkan di pekuburan wakaf kakeknya di Tanah Abang. Ia meninggalkan tujuh orang putra-putri yang juga menekuni jalan dakwah.

No comments: