Sunday, February 03, 2008

"Kota Hantu" Batavia

Couperus, seorang pendatang dari Belanda, begitu turun dari kapal di pelabuhan Sunda Kalapa pada 1815 menyaksikan bahwa Batavia yang sebelumnya mendapat predikat 'ratu dari timur' telah berubah seolah-olah merupakan kota hantu.

Lalu dia menjelajahi Princenstraat yang kini telah menjadi Jl Cengkeh, sebelah utara Kantor Pos, Jakarta Kota. Dia mendapati beberapa gedung di kota tua telah dihancurkan rata dengan tanah termasuk Istana Gubernur Jenderal, gedung yang cukup megah ketika itu.

Penghancuran itu dilakukan oleh gubernur jenderal Willem Herman Daendels pada tahun 1808 ketika memindahkan pusat kota ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan Banteng) yang jaraknya sekitar 15 km selatan kota tua. Pemindahan dilakukan karena pusat kota di tepi pantai itu telah menjadi sarang penyakit. Ada yang menyebutkan 'kuburan' orang Belanda.

Padahal, sebelumnya Princenstraat dengan jalannya yang memanjang merupakan daerah elite orang-orang Belanda. Di sini terdapat gedung-gedung mewah yang merupakan bagian kota Batavia yang paling indah. ''Mereka membangun rumah-rumah di tepi parit dan kanal Tigergrach (kanal harimau), berpagar tanaman rapi berupa pohon kenari di kiri kanan, melebihi segala-galanya yang pernah saya lihat di Holland,'' tulis Couperos.

Di pusat pemerintahan VOC itu penduduk kota Batavia tiap hari disibukkan ke kantor, pasar atau sekadar pesiar keliling kota, sembari pamer kekayaan. Nyonya-nyonya besar Kompeni, serta nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat-tingkat kayak kurungan ayam. Mereka keluar mencari angin di samping kanal dan terusan Batavia dengan congkak.

Para budak dan bedinde berjalan mengiringi mereka. Memayungi wajahnya dari sengatan matahari tropis yang panas. Para budak wanita terus mengipas-ngipas mencari angin buat sang nyai yang terus mengunyah sirih pinang, memerahi bibirnya.

Sementara, di bawah keteduhan pohon kenari yang berjejer rapi di sepanjang tepian kanal dan terusan, penduduk Batavia lalu lalang di tengah seribu satu kesibukan. ''Saat senja menjelang, rumah-rumah pemandian di sepanjang tepian dinding kanal dan terusan, dipenuhi wanita telanjang dada berendam di air, zonder kuatir buaya pemangsa pria iseng yang datang mengintip,'' tulis Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah. Waktu itu, saat malam terang bulan, terutama malam Minggu, pemuda dan pemudi yang tengah kasmaran menyanyi sambil memetik gitar menjelajahi kanal-kanal dengan perahu.

Bagi penduduk Jabodetabek - Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi -- masa kini akan sangat sulit membayangkan kota Batavia yang santai pada akhir abad ke-18 dan juga abad ke-19. Sebagian bangunan dari masa itu sudah diratakan dengan tanah. Taman-taman yang indah mengelilingi vila-vila yang memberi warna Eropa pada kota Batavia telah hilang. Beberapa bagian peninggalan masa lalu itu kini terkesan kumuh. Lalu lintasnya macet, sementara muara Ciliwung yang dulu dibanggakan dan dapat dimasuki kapal-kapal, tampak kotor, kehitaman dan berbau.

Pada zaman itu tidak ada mobil dan tentu saja tidak ada kemacetan, apalagi polusi. Pedagang asongan, jalur cepat dan manusia hidup tanpa dikejar waktu seperti sekarang. Yang ada hanya beberapa sado yang ditarik kuda yang memecahkan kesunyian jalan raya yang tidak diaspal dan diteduhi oleh pohon-pohon rindang yang berdiri kokoh tanpa khawatir akan tumbang seperti sering terjadi akhir-akhir ini.

Menurut Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad ke-XVI s/d Abad XX, pada 1815 Batavia hanya berpenduduk 47 ribu jiwa dan pada akhir abad ke-19 sebanyak 116 ribu jiwa. Dengan kata lain, ibukota Hindia Belanda ini bersuasana pedesaan bila dibandingkan dengan kota industri dan pelabuhan Surabaya yang berpenduduk 147 ribu jiwa dan berirama hidup lebih cepat.

Gubernur Jenderal Daendels, setelah memporak-porandakan kota tua Batavia, membangun Weltevreden belasan kilometer selatan kota tua. Di samping gedung dan perkantoran sebagai pusat pemerintahan, ia juga membangun lapangan Gambir yang mula-mula diberi nama Champs de Mars. Kemudian menjadi Konings Plein saat Belanda berkuasa kembali. Di Weltevreden ia juga membangun Waterlooplein yang kini menjadi Lapangan Banteng.

Konings Plein yang oleh warga Betawi disebut Lapangan Gambir dan Lapangan Ikada pada masa Jepang (kini Lapangan Monas), mungkin merupakan lapangan paling luas di dunia. Lebih luas dari lapangan Santo Pietro di Vatikan -- tempat Paus bertatap muka dengan para jamaah Katholik. Juga lebih luas dari Tian An Men di Beijing dan Lapangan Merah di Moskow.

Di dekat Monas terdapat Kebun Sirih. Dari namanya sudah dapat diperkirakan, kawasan itu dulu merupakan kebun sirih. Tanaman merambat yang belum begitu lama berselang digemari banyak orang untuk dikunyah-kunyah nyirih (makan sirih). Kelengkapannya antara lain kapur (sirih), pinang dan gambir.

Sampai 1960-an di rumah-rumah masih tersedia tempat sirih untuk para ibu yang datang bertamu dengan tempolong untuk membuang ludah bewarna merah setelah mengunyahnya. Sampai abad ke-19 bukan hanya wanita, pria pun banyak yang nyirih.

(Alwi Shahab )

Capitol di Sluisburg

Masjid Istiqlal (Kemerdekaan) merupakan salah satu masjid termegah di Asia. Masjid berketinggian 6.666 cm atau hampir 70 meter (diambil dari jumlah ayat Alquran) itu paling banyak dikunjungi kaum Muslimin di Jakarta. Tiap shalat Jumat, tidak kurang dari 2.000 hingga 2.500 jamaah shalat di masjid ini. Sedangkan pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha jumlahnya membludak hingga mencapai 250-300 ribu jamaah.

Dengan dibangunnya Istiqlal runtuhlah benteng peninggalan Belanda yang terletak di Wilhelmina Park dan dibangun untuk menghormati Ratu Wilhelmina yang lahir pada 31 Agustus 1898. Ia adalah nenek Ratu Beatrix. Orang Betawi dulu menyebutnya "gedung tanah" karena, menurut cerita, di sini terdapat benteng atau terowongan bawah tanah (bunker) yang konon sampai ke benteng Kompeni di Pasar Ikan.

Di depan Istiqlal terdapat pintu air untuk mengendalikan kanal dari Molenvliet (Harmoni) yang dibelokkan ke arah Noordwijk (Jl Juanda), Risjwijk (Jl Veteran), terus ke Pasar Baru dan Gunung Sahari. Pada zaman Belanda, pintu air disebut sluisburg, yang juga menjadi nama jalan waktu itu. Baru setelah kemerdekaan diganti menjadi Jl Pintu Air. Dulu di sini merupakan daerah elite yang banyak dihuni orang Belanda. Kemudian, pada tahun 1920-an, juga dibangun kawasan Menteng untuk warga Belanda yang makin banyak berdatangan ke Batavia.

Dulu, di depan Istiqlal terdapat bioskop Capitol Theatre, yang kini sudah berubah fungsi menjadi pertokoan. Dulu bioskop Capitol hanya memutar film-film Barat (Amerika Serikat). Pada awal tahun 1950-an, ketika Usmar Ismail mendirikan Perfini (1950) dan setahun kemudian di susul oleh Djamaluddin Malik (Persari), film-film Indonesia mulai banyak bermunculan. Pada pertengahan 1950-an Usmar Ismail (Perfini) membuat film Krisis. Usmar pun berusaha agar film produksinya diputar di bioskop Capitol. Kala itu, yang berhak memutuskan apakah film Krisis pantas diputar di Capitol, adalah seorang Barat bernama Wetkin.

Begitu tidak yakinnya pengelola Capitol ini terhadap film Indonesia, hingga belum sampai melihat lebih dulu, ia pun sesumbar dengan mengeluarkan kata-kata menghina yang intinya menyatakan, ''Film Indonesia tidak pantas dipertunjukkan di Capitol''. Tidak seperti Djamaluddin Malik yang meledak-ledak, Usmar Ismail yang sabarpun tidak dapat menerima penghinaan ini. ''Maka dia pun menjotos pimpinan Capitol''.

Agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar dan untuk meredakan ketegangan, maka general manager MGM (Metro Goldwyn Mayer) untuk Indonesia, Alexander Wenas, menawarkan agar film Krisis Usmar Ismail di putar di bioskop Metropole (kini Megaria). Bioskop yang memuat 1.500 penonton ini, sejak berdiri 1950-an hanya memutar film-film keluaran MGM ketika memutar film 'Krisis' ternyata sukses besar. Selama 35 hari film ini diputar di bioskop Metropole.

Akibat sukses besar film Krisis, bioskop Capitol pun mengubah sikap dan membuka diri untuk film Indonesia. Maka masuklah Djamaludin Malik (Persari) dengan film Janjiku. Kemudian kembali Usmar memutar film Tiga Dara (Mieke Widjaya, Indriati Iskak dan Chitra Dewi) yang juga sukses.

Di samping kiri bioskop Capitol sebagian berada di bantaran sungai yang ditinggikan terdapat sebuah restoran mewah yang tiap malam menjadi tempat dansa-dansi kaum berada. Restoran Capitol yang menghadap ke sungai Ciliwung kala itu airnya masih jernih dihias dengan lampu warna-warna. Steaknya sangat terkenal karena bistiknya dari Belanda. Restoran ini menyediakan minuman haram yang membuat peminumnya menjadi teler karena mabuk.

Karena letaknya berhadapan dengan Masjid Istiqlal yang kala itu mulai dibangun, maka umat Islam menjadi marah. Tanpa mengenal ampun, bisokop Capitol dan restorannya dibakar massa. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali massa membakarnya. Kemudian, sebelum bubar, bioskop ini mengganti nama menjadi Ceno. Karena Jl Pintu Air terletak di daerah elite, di samping kiri Masjid Istiqlal terdapat klub malam Black Cut. Tapi setelah kemerdekaan, tempat hiburan yang terletak di Citadel (kini Jl Veteran I) itu ditutup.

Di samping kanan Capitol, bersebrangan di jalan yang sama, terdapat bioskop Astoria (kemudian menjadi Satria). Meskipun lebih kecil dari Capitol, tapi Astoria termasuk bioskop kelas satu. Di bioskop ini, pada pertengahan 1950-an, pernah diputar film India Dil E Nadaan, yang sukses besar. Diputar selama 55 hari terus menerus. Hingga Usmar pernah berkomentar, ''Dil edan-edanan.'' Film ini mengalahkan film Rock Round The Clock Bill Haeliy dan Rock and Roll Elvis Presley.

Salah satu bintang Hollywood yang jadi pujaan muda-mudi ketika itu adalah James Dean. Film pertamanya, Rebel without Cause, sukses besar. James Dean memakai jaket kulit warna merah. Maka ramai-ramailah para pemuda memakai jaket merah. Sayangnya, bintang film ini mati muda akibat kecelakaan lalu lintas saat membintangi film Giant bersama Rock Hudson dan Elizabeth Taylor.

Waktu itu ada kecendrungan para muda-mudi meniru style para aktor dan artis Hollywood. Seperti Tony Curtis yang rambutnya berjambul, atau Rock Hudson yang macho. Pada saat film Sabrina diputar, gadis-gadis meniru potongan rambut Audrey Hepburn digunting pendek seperti rambut pria.

(Alwi Shahab )

Legenda Jago Silat Sabeni

Para pesilat Indonesia dalam SEA Games ke-24 di Bangkok menjadi juara umum. Dua tahun sebelumnya di Manila berada di urutan kedua setelah Vietnam. Padahal, para pesilat Vietnam mahir dalam ilmu bela diri ini setelah mendapat latihan dan bimbingan dari pelatih Indonesia.

Beberapa waktu lalu pernah ada usul agar pencak silat diikutsertakan dalam Olympiade. Bila usulan ini diterima, para pesilat Indonesia diharapkan bisa mempersembahkan medali emas bagi negaranya. Tapi, pencak silat sekarang ini telah berkembang di sejumlah negara termasuk di Eropa juga setelah mereka belajar dari para pesilat kita.

Bagi warga Betawi, main pencak silat adalah suatu kemustian. Pada tempo doeloe hampir di tiap kampung terdapat pendekar silat. Mereka sangat disegani, karena tingkah lakunya yang terpuji. Mereka menggunakan ilmu bela dirinya untuk amar ma'fur nahi munkar mengajar manusia ke jalan kebaikan dan mencegah kezaliman. Jauh dari tingkah laku para preman sekarang, yang main palak dan peres dengan kejamnya.

Kalau kita memasuki Jl KH Mas Mansyur dari arah Pasar Tanah Abang, di sebelah kanan jalan terdapat Jl Sabeni. Sabeni adalah pendekar silat Tanah Abang, yang lahir akhir abad ke-19 dan meninggal menjelang proklamasdi kemerdekaan (1945).

Ada peristiwa menarik yang dialami Sabeni pada masa penjajahan Jepang. Jepang yang tengah berperang melawan Sekutu memerlukan pemuda-pemuda untuk dijadikan Heiho semacam tenaga sukarelawan untuk membantu para prajurit Jepang.

Salah satu putra Sabeni, bernama Sapi'i, yang masih belia seperti juga pemuda lainnya, diharuskan menjadi Heiho. Ia pun ditempatkan di Surabaya. Karena tidak tahan menghadapi perlakuan tentara Dai Nippon, Sapi'ie minggat dari Surabaya dan ngumpet di rumah orang tuanya. Tentu saja pihak Kempetai (Polisi Rahasia Jepang) tidak tinggal diam dan terus mencari keberadaannya. Karena Sapi'ie tidak juga tertangkap, Kempetai menahan Sabeni sebagai jaminan.

Mengetahui Sabeni kesohor sebagai jago silat, Kempetai ingin mengujinya. Komandannya menantang Sabeni untuk diadu dengan anak buahnya, seorang serdadu jago karate. ''Kalau Sabeni menang, bebas dan boleh pulang,'' kata sang komandan, tulis Bang Thabrani dalam buku Ba-be. Duel berlangsung di Markas Kempetai di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sabeni berhasil berkelit dari serangan-serangan ahli karate itu. Bahkan, ia kemudian berhasil merobohkan prajurit Jepang itu dengan ilmu pukulan kelabang nyebrang.

Sang komandan yang kecewa karena kekalahan anak buahnya, kemudian menghadapkan seorang jago sumo untuk menundukkan Sabeni. Sabeni siap menghadapinya. Jago Sumo memasang kuda-kuda, kedua kakinya maju kedepan, berdiri ngangkang. Tangan ditaro di atas paha segede paha kuda. Kemudian keluar dari mulutnya suara, ''Eeek ...!'' Sambil membentangkan tangannya.

Menghadapi lawan dalam keadaan demikian, Sabeni loncat kodok, ke atas dengkul musuh yang lagi ngeden. Dengkul lawan dianggap talenan, dipakai buat salto ke atas. Untuk kemudian menyambar ubun-ubun si jago sumo, yang langsung terjengkang, ngegeloso, kagak bisa berdiri lagi karena keberatan badan dan akibat pukulan jago silat Tenabang itu.

Untuk menghormati Sabeni, jalan di depan kediamannya di Tanah Abang menjadi Jl Sabeni. Sedangkan makamnya dipindahkan dari Gang Kubur ke Karet Bivak berdekatan dengan makam Husni Thamrin.
Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, dekat Masjelis Taklim Habib Ali, juga terdapat seorang jago silat bernama Muhammad Djaelani, yang dikenal dengan nama singkat Mad Djelani. Dia pernah dihukum seumur hidup oleh Belanda. Sebabnya, sekitar 1940-an ia membunuh seorang konsul Jepang di Batavia, karena disangkanya seorang Cina kaki tangan Belanda. Ia dibebaskan oleh Barisan Pelopor pada masa revolusi fisik.

Salah seorang cucunya, H Zakaria, mewarisi ilmu silatnya, Mustika Kwitang. Pada tahun 1960-an, pasukan pengawal Presiden Soekarno, Tjakrabirawa, mendatangkan suhu (guru besar) karate dari Jepang, Prof Nakagama, yang telah mendapat predikat Dan 7, disertai mahaguru karate dari AS, Donn F Dragen. Zakaria, pemuda kelahiran Kwitang, itu diminta untuk memperlihatkan tehnik bermain silat kepada kedua mahaguru karate tersebut.

Zakaria, yang kala itu masih mnuda, dengan lihainya memperagakan jurus-jurus bermain senjata dan memecahkan batu dengan menggunakan pergelangan tangan. Jago silat Kwitang ini juga menunjukkan kemahirannya memainkan senjata tajam dengan kecepatan tinggi. Atraksi ini mengundang kekaguman master karate Jepang. Kepada Bung Karno saat diterima di Istana Negara ia mengatakan, ''Mengapa Anda memiliki pemain sebagus ini kok pemuda-pemudinya kurang menyukai. Justru lebih suka ilmu bela diri dari Jepang?''

Ketika menuturkan kisah ini kepada penulis, Zakaria mengatakan, ''Banyak orang Indonesia menganggap rendah pencak silat dan dianggap permainan kampungan. Padahal, di Eropa dan Asia, kini banyak orang yang mempelajarinya.'' Zakaria sendiri telah mengajarkan silat di Eropa.

Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial, tak mengizinkan permainan pencak silat. Karenanya, pada masa itu para pesilat kita belajar mulai pukul 02.00 dini hari sampai menjelang subuh. Alasan Belanda, kata Zakaria, para pemberontak seperti si Pitung, si Jampang, H Murtadho dan Entong Gendut dari Condet, adalah para ahli silat. Pada masa revolusi sejumlah ahli silat Betawi dan ulamanya bahu membahu memimpin barisan melawan Belanda.

(Alwi Shahab )

Pemberontakan Akhir Tahun

Batavia, Ahad petang, 28 Desember 1721. Dari pintu kota Nieuwpoort (dekat stasion kereta api Jakarta Kota), keluar seorang pemuda Jawa menyeberang ke jembatan Jassenmburg lewat gereja Portugis (depan stasion), menuju Jacatraweg (kini Jl Pangeran Jayakarta).

Menjelang penggantian tahun itu, Batavia sejak pagi hingga sore diguyur hujan lebat dan angin ribut. Banyak rumah rusak dan puluhan pohon roboh diterjang topan. Beberapa perahu di pesisir tenggelam. Sepanjang jalan sangat becek dan air hujan masih mengenanginya. Pemuda Jawa dan belasan pengikutnya itu berjalan di pinggir-pinggir rumah, agar pakaian mereka tidak terkena lumpur.

Di sebuah rumah indah dengan pekarangan luas, pemuda berusia sekitar 30 tahun dengan keris bergagang emas di pinggangnya itu, diterina tuan rumah yang berusia sekitar 50-an. Meskipun sebagian rambutnya sudah memutih ia masih tampak gagah. ''Ada kabar apa Raden Kartadria?'' tanya tuan rumah yang tidak lain adalah Pieter Elbelveld, seorang Indo (ayah Jerman dan ibu Jawa).

''Saya cuma memberi kabar, semua sudah siap menjalankan tugas. Kekuatan kita cukup. Saya sendiri dan beberapa kawan sudah mengumpulkan 17 ribu prajurit yang siap untuk memasuki kota,'' kata Raden Kartadria, seorang ningrat yang masih keturunan kesultanan Matam Islam.

''Tuan Gusti tahu bagaimana alpanya itu orang-orang kafir merayakan tahun baru. Ia orang akan plesir sepuas-puasnya dan minum sampai mabuk-mabukan. Dalam keadaan demikian mereka tidak sanggup mencegah kita merebut pintu kota dan memasuki benteng di waktu fajar,'' Raden meyakinkan Gusti -- panggilan Pieter.

''Ya, Raden,'' sahut Pieter. ''Tapi, apakah kau sudah kasih perintah tiada satupun orang kulit putih boleh dikasih ampun. Lelaki, perempuan, tua, muda dan anak-anak, semua mesti dibunuh mati! Dari gubernur jenderal sampai orang partikulir yang paling rendah mesti binasa. Biarlah nanti sungai-sungai dan kanal-kanal di Batavia merah dengan darah mereka,'' kata Pieter berapi-api. Tapi, mereka tidak sadar bahwa pembicaraannya didengar oleh seorang budak yang keesokan harinya menyampaikannya kepada seorang perwira VOC, Kapten Cruse.

Batavia 29 Desemnber 1721, malam. Gubernur Jenderal Zwaardecroon menerima banyak tamu. Pukul 22.00, setelah makan, barulah para tamu bubar. Seorang ajudan memberitahu orang nomor satu di Hindia Belanda itu bahwa Kapten Cruse hendak berjumpa dan ingin menyampaikan kabar penting.

Kapten yang tampan ini melaporkan bahwa satu jam lalu budak Pieter Elberveld memberitahukan bahwa pada malam tahun baru akan terjadi hura-hara besar di Batavia dan Pieter memastikan pada 1 Januari 1722 akan jadi raja di Jawa. Gubernur jenderal yang kaget mendengar laporan itu langsung memerintahkan agar segera dilakukan pengusutan dan menangkap semua yang terlibat.

Pada tanggal 31 Desember 1721, di kediaman Pieter telah berkumpul sejumlah orang yang siap untuk menggerakkan pasukan yang dikonsentrasikan di luar kota Batavia. Lonceng kota menunjukkan pukul pukul setengah sebelas malam. ''Ah, beberapa jam lagi saja jiwa orang-orang Eropa di Batavia akan melayang,'' kata salah seorang di antara mereka.

Tiba-tiba pintu rumah yang dikunci rapat digedor, disertai ringkik suara kuda dan teriakan-teriakan buka pintu. Kapten Cruse dan para serdadu Kompeni dengan senjata lengkap menyerbu masuk. Meskipun berusaha melawan, tapi akhirnya mereka dapat dibelenggu.

Pada bulan April 1722, Pieter dan 17 orang pengikutnya disidang di pengadilan Batavia dan mereka mendapat hukuman berat. Yang paling keji hukuman terhadap Pieter dan Raden Kartadria. Tangan kanan mereka dikampak sampai putus. Besi panas yang memerah karena berapi ditempelkan ke tubuh keduanya. Kepala mereka ditebas sampai putus dan hati mereka dikeluar serta dilempar keluar kota untuk santapan burung.

Konon, kaki dan tangan Pieter diikat ke empat ekor kuda. Kuda-kuda itu kemudian dipacu untuk berlari ke arah berlawanan untuk mencabik-cabik tubuh Pieter. Karena itulah, tempat eksekusi Pieter sampai kini disebut Kampung Pecah Kulit -- berdekatan dengan stasion kereta api Jayakarta. Kawan-kawannya juga mendapat hukuman mati, tapi tidak sekejam hukuman bagi kedua pimpinan mereka.

Agar jangan sampai ada lagi pemberontakan semacam itu, di pekarangan rumah Pieter Elberveld didirikan satu tembok bercat putih, di atasnya ditempatkan sebuah relief tengkorak kepala Pieter terbuat dari gips. Pada dindingnya terukir tulisan dalam bahasa Belanda dan Jawa, ''Sebagai kenang-kenangan yang menjijikkan akan penghianat Pieter Elbelveld yang dihukum. Tak seorangpun sekarang dan seterusnya akan diizinkan membangun, menukang dan mamasang batu bata atau menanam di tempat ini.''

Monumen yang telah berdiri selama lebih 200 tahun itu telah dibongkar pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan pada 1970 replikanya di pasang kembali di Gedung Museum Sejarah Jakarta dan tempat dia dimakamkan di Museum Prasasti di Jl Tanah Abang I Jakarta Pusat. Sedangkan kediamannya di Jalan Pangeran Jayakarta kini sudah berubah fungsi menjadi showroom perusahaan mobil PT Astra.

Tidak jauh dari Gereja Portugis, dis ebelah kanan dari arah stasion Jakarta Kota, terdapat sebuah gang kecil yang sebagian besar penduduknya warga Betawi. Di sini oleh masyarakat diyakini sebagai makan Raden Kartadria. Sampai sekarang makamnya, yang diselubungi kain putih dan diletakkan dalam sebuah kamar khusus, banyak diziarahi orang. Banyak peziarah yang membacakan surah Yasin untuk sang pahlawan.

(Alwi Shahab )

Dari Hadramaut ke Borobudur

Kehadiran koran atau majalah berbahasa asing di Indonesia bukanlah hal baru. Bahkan, koran berbahasa Cina dan Arab sudah terbit sejak awal 1940-an. Dewasa ini di Jakarta terbit tiga koran bahasa Cina: Guoji Ribau (baca Ripau), Heping Ribau, dan Shang Bao.

Sedangkan di Surabaya dan Pontianak terbit dua koran Cina lainnya. Sebelum PD II lebih banyak lagi koran Cina yang terbit di Indonesia. Bahkan, kala itu koran Cina pernah menguasai pasaran Indonesia. Hampir semua kota menerbitkan koran dan majalah berbahasa Cina.

Koran Sin Tit Po di Surabaya yang dipimpinan Goh Tjing Hok kemudian mendirikan Java Post dengan huruf Melayu. Koran ini kemudian menjadi Jawa Pos yang kini mempunyai penerbitan hampir di seluruh propinsi di Indonesia.

Tak hanya Cina sebagai bahasa, sosok pengusaha pers Cina pun mulai merajai pasar dengan menerbitkan media massa dalam bahasa Melayu (sebutan kala itu), seperti majalah Liberty di Surabaya, dan Panorama di Semarang. Pada 1950-an Auyong Peng Koen (P.K. Oyong) mendirikan majalah Star Weekly. Dan bersama Jacob Oetama, ia kemudian mendirikan harian Kompas yang kini berusia 38 tahun.

Menjelang penjajajahn Jepang (1940-an), di Jakarta dan Surabaya terbit koran dan majalah berbahasa Arab, seperti Harian Hadramaut di Surabaya yang redaksinya dipimpin Idrus Bin Umar Almashur.

Koran ini dipuji oleh Amir Syakib Arsalan, seorang sastrawan, pengarang, dan sejarawan terkenal Timur Tengah, akan keindahan tata bahasa Arabnya. Menurut Amir Syakib, Hadramaut memiliki bahasa Arab paling baik di dunia, selain di negara-negara Arab.

Sedangkan, di Jakarta terbit harian Bir Hoed (telaga Hoed) yang diambil dari nama sebuah telaga di Hadramaut dekat dengan makam Nabi Hoed. Koran ini dipimpin S Moehammad Bin Agil Bin Yahya.

Masih di ibukota, kala itu juga terdapat mingguan As Somil yang dipimpin oleh Ali Bin Abdullah Assagaff (menantu almarhum Habib Ali Alhabsji, pemimpin majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat). Ali Assagaff sendiri adalah juga kawan seperjuangan pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) Abdurahman Baswedan yang pernah menjadi Menteri Muda Peneragangan RI.

Majalah lainnya yang terbit di Jakarta adalah Borobudur Journal Arab. Pemimpin redaksinya M.O. Hasyimi, dan pendirinya adalah mantan Perdana Menteri Yaman Haydar Alatas dan S Abdullah bin Alwi Alatas yang masih terhitung kakek mantan Menlu Ali Alatas.

Jurnal ini beralamat di Passer Baroe Oost (Jl Pasar Baru Timur) Weltevreden, Batavia. Kala itu Batavia dibagi tiga daerah, yakni Batavia Centrum (Jakarta Kota dan sekitarnya), Weltevreden (sekitar Gunung Sahari, Senen Kramat, Lapangan Banteng, dan Gambir), dan Meester Cornelis (Jatinegara).

Penyandang dana S Abdullah bin Alwi Alatas dulunya tinggal di gedung yang kini jadi Musium Tekstil, di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Dia adalah seorang tuan tanah kaya raya yang menurut salah seorang cucunya, Abdullah Alatas, membeli tanah di Cikini bekas kediaman pelukis Raden Saleh seluas 19 hektar.

Letak bekas rumah Raden Saleh ini mulai dari Kali Pasir disamping Museum Joang 45 hingga ke Jl Raden Saleh yang berujung pada tepi kali Ciliwung. Rumah dan tanah luas ini kemudian dibeli Koningen Emma Stichtung (Yayasan Ratu Emma) dengan harga 100 ribu gulden.

Tapi, karena tanah itu oleh Yayasan Emma akan digunakan untuk rumah sakit, ia memberi korting 50 persen dari harga yang telah disetujui. Entah kenapa setelah masa kemerdekaan dan di akhir 1949, rumah sakit ini lantas diserahkan pada Dewan Gereja Indonesia (DGI).

Selain itu, Abdullah bin Alwi Alatas juga dikenal sebagai kawan dekat tokoh perjuangan HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, dan H Agus Salim. Kepada Tjokroaminoto, Abdullah pernah menyumbang dana sebesar 60 ribu gulden untuk kegiatan Syarikat Islam (SI). Saat itu, uang sebanyak 100 gulden sudah bisa membeli rumah sederhana di ibukota.

Bantuan itu juga untuk biaya penerbitan koran Utusan Hindia dengan Tjokroaminoto sebagai pemimpin redaksinya. Abdullah bin Alwi Alatas juga membantu Muhammadiyah untuk mendirikan sekolah guna menyaingi sekolah-sekolah Belanda (Van der Mueller 1936 - Museum Nasional).

Pemberitaan koran dan majalah berbahasa Arab umumnya berisi berita-berita menyangkut umat Islam dan kegiatannya. Bukan hanya di tanah air, tapi juga perkembangan umat Islam di mancanegara, khususnya di negara Arab dan Islam.

Tidak heran, kalau Hadramaut juga membuat laporan tentang kekejamaan tentara Italia ketika membantai para pejuang Libya di Tripoli pada tahun 1910-an. Para syahid yang mati demi Islam dan tanah airnya yang dipimpin Umar Mochtar ini juga pernah difilmkan oleh perusahaan film AS.

Masih dalam masa penjajahan, peristiwa syahidnya ribuan umat Islam Libya ini mendapat reaksi keras umat Islam Indonesia. Habib Ali Kwitang (1870-1968) dilaporkan lantas berpidato di salah satu masjid jami di Jakarta guna menolong saudara-saudara yang menderita di Afrika Utara itu.

Sedangkan, para tokoh Syarikat Islam yang dipimpin H Agus Salim menganjurkan rakyat untuk memboikot produk-produk Italia. Yang jadi korban adalah mobil merek Fiat yang paling banyak terdapat di Indonesia kala itu.

Seorang wartawan, pengarang, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal kala itu, S Ahmad bin Abdullah Assagaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Laki-laki kelahiran Hadramaut (Yaman Selatan) pada 1882 ini juga mengarang belasan buku dalam bahasa Arab.

Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan. Diantara sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf sempat menulis sejarah Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten).

Karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat Garut (Gadis Garut) berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad ke-20. Karyanya ini juga merupakan luapan keterpesonaannya sebagai pendatang dari Hadramaut akan keindahan Garut.

Dalam kiprahnya di bidang pendidikan, Ahmad bin Abdullah Assagaf ini mendirikan madrasah Al-Khairiyah di Surabaya, Al-Islamiyah di Solo, dan setelah pindah ke Jakarta mengajar dan memimpin Madrasah Jamiatul Kheir, yang hingga kini masih berdiri di Tanah Abang.

Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia meninggalkan Indonesia. Saat kapal yang ditumpanginya masih berlayar di Laut Jawa, terdengar kabar ia telah pulang ke Rahmatullah. Jasadnya disemayamkan di Laut Jawa.

(Alwi Shahab)

Buku-buku Betawi Tempoe Doeloe

Gadis itu berkulit putih, cantik, dan tinggi semampai. Berwajah indo, ia memang lahir dari keluarga campuran. Ayahnya berkebangsaan Belanda, ibunya dari Wonosobo, Jawa Tengah. Maria van Engels namanya.

Maria bekerja di toko penjahit, tak jauh dari perkampungan keturunan Arab. Seorang remaja keturunan Arab kerap mendatangi tempat itu, menemui teman-temannya yang ada di sana. Pria itu adalah Abdurrahman Alhabsyi, putra sulung Habib Ali, pendiri Majelis Taklim Kwitang, Jakarta Pusat.

Setiap berkunjung menemui teman-temannya, remaja putra itu selalu melintasi tempat kerja Maria. Mula-mula saling lirik, lalu melempar senyum. Perjalanan waktu mempertautkan hati keduanya. Pernihakan membawa Maria memeluk Islam. Tinggal di sebelah rumah Habib Ali, perempuan indo itu menjadi menantu kesayangan mertuanya.

Kisah cinta dua anak manusia dari ras berbeda itu diceritakan oleh Alwi Shihab dalam salah satu seri bukunya tentang Betawi tempo doeloe. Abah Alwi begitu ia kerap disapa memang sangat aktif menulis cerita-cerita tentang Jakarta dan kehidupan kota ini di masa lalu.

Hingga kini, sedikitnya sudah enam buku sejenis karya wartawan senior itu dibukukan: Robin Hood Betawi, Queen of The East, Saudagar Baghdad dari Betawi, Maria van Engels, Hukum Pancung di Betawi, dan Oey Tambahsia Playboy Betawi. Tulisan-tulisan dalam buku itu dihimpun dari berbagai artikelnya di media massa.

Betawi dan dunia tulis menulis, dua hal yang menjadi bagian tak tepisahkan dari sosok pria kelahiran Jakarta, 31 Agustus 1936 ini. Lahir dan besar di Jakarta, profesi wartawan seakan menjadi pilihan hidupnya. Mengawali karirnya sebagai wartawan Kantor Berita Antara di usia muda, 1963, Alwi bergabung di Harian Republika setelah resmi pensiun di kantor berita tersebut.

Di koran inilah ia menuliskan artikel-artikelnya, mengungkapkan kisah-kisah masa lalu tentang Jakarta, hal tak banyak diketahui orang. Tulisan-tulisannya menjadi menarik, lantaran dikemas dalam irama jurnalisme: tidak kering dan cair. Ia pun menjadi kamus berjalan, tempat banyak orang bertanya tentang Jakarta tempo doele.

Simaklah kisah si Pitung, jago silat dari Rawabelong yang namanya tidak asing di telinga masyarakat Betawi pada masanya. Dalam bukunya, Robin Hood dari Betawi, Alwi Shihab mengungkapkan betapa masyarakat Betawi memandang tinggi derajat sosok sang jagoan. Meskipun suka merampok, bagi rakyat Betawi, Pitung bukan penjahat biasa. Ia selalu berada di depan, membela rakyat yang tertindas. Hasil rampokannya, dibagikan kepada rakyat kecil. Warga pun menjulukinya Robinhood-nya Betawi.

Di buku yang lain, Alwi mengungkapkan keahlian yang tak banyak diketahui orang di balik sosok pelukis terkenal: Raden Saleh. ''Diam-diam Raden Saleh ternyata seorang arsitek ulung,'' tulisnya dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi.

Dalam cerita itu ia mengisahkan kediaman Raden Saleh yang ia rancang sendiri, belakangan dibeli oleh karibnya, Sayid Abdullah Bin Alwi Alatas melalui pelelangan. Ada juga cerita Oey Tambahsia, anak seorang pedagang tembakau yang sukses. Sepeninggal ayahnya, ia mewarisi harta yang melimpah. Itu pula yang membuat Oey Tambahsia lupa diri: gemar foya-foya, kerap menghabiskan waktunya berkuda keliling kota dengan pakaian mewah ditemani beberapa centeng.

Kudanya dimpor dari Australia. Dari atas pelana, matanya jelalatan mencari gadis-gadis molek untuk dirayunya. Tak sedikit keluarga yang menyembunyikan anak gadisnya di balik pintu. Rumah ditutup rapat karena takut terlihat pria hidung belang ini. Sebagaimana judul buku itu, Oey Tambahsia Playboy Betawi, dalam tulisan ini Alwi menggambarkan sosok pria muda kaya itu sebagai seorang playboy.

Tak sekadar Jakarta dalam aroma percintaan yang tertuang dalam kisah-kisah buku seri legenda Jakarta karya Alwi Shahab. Di seri bukunya yang lain, ia mengungkapkan penerapan hukum pancung yang pernah dilakukan penduduk Jakarta ketika itu masih bernama Batavia di zaman Belanda.

Kata Alwi, ''Hukuman itu selama dua setengah abad mendominasi keputusan-keputusan para hakim pengadilan kolonial Belanda.'' Seperti digambarkan Alwi, menjelang pelaksanaan eksekusi selalu didahului dengan pengerahan massa, laiknya kampanye Pemilu masa kini. Sehari sebelum hukuman dilaksanakan, rakyat diminta agar berbondong-bondong menyaksikannya. Eksekusi dilakukan di lapangan Balai Kota, Jl Falatehan, Jakarta.

Agaknya, tulisan-tulisan Alwi kerap terinspirasi oleh peristiwa serupa yang terjadi kemudian. Hukum Pancung di Betawi, misalnya, terinspirasi oleh kasus yang menimpa Soliha binti Aman, tenaga kerja wanita (TKW) asal Malang yang akan menjalani hukuman pancung di penjara Riadh, September 1997 dan Nasiroh, TKW asal Cianjur yang juga terancam pidana mati dengan cara yang sama.

Tidak mengherankan bila Dr HA Syukur SKM, ketua umum Badan Musyawarah Masyarakat Betawi merasa senang dengan diterbitkannya tulisan-tulisan Alwi Shihab dalam bentuk buku. Seperti ditulis dalam pengantar buku, Syukur menuturkan, dengan diterbitkannya buku ini maka bertambah pula referensi tentang Betawi, baik mengenai lingkungan, penduduk, dan sosial budayanya. ''Sampai saat ini masih jarang referensi tentang Betawi dan yang berkaitan dengan Betawi,'' tulisnya. Alwi Shihab menghadirkan Betawi melalui tulisan-tulisannya, mengisi ruang yang masih lengang itu.

Glodok, Sinshe dan Obat Cina

Menyambut hari raya Imlek Glodok atawa China Town berhias diri. Inilah foto Glodok, tepatnya di Pintu Kecil, Jakarta Kota yang diabadikan tahun 1957. Terlihat lalu lalang yang mulai ramai. Sementara mobil-mobil merek Morris, Austin dan Opelet dari Eropa yang kemudian pada tahun 1970-an menjadi angkutan penumpang dengan nama yang sama. Otobus, delman, dan sepeda turut meramaikan jalan raya. Memang suasana setengah abad lalu di kawasan Glodok masih kental dengan ciri-ciri Cinanya. Tulisan-tulisan Mandarin terlihat di semua toko dan tempat perdagangn, diselingi bahasa Indonesia. Sementara rumah-rumah masih meniru tradisi di negeri leluhur -- daratan Cina --, dengan genteng-genteng meruncing di bagian atasnya. Konon, kala itu sebagian besar uang beredar di kawasan Glodok. Setelah terjadi pemberontakan G30S yang didalangi PKI, huruf dan bahasa Mandarin dilarang diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa.

Dalam foto terlihat toko obat yang menjual anggur kolesom penambah tenaga terutama bagi ibu-ibu yang baru melahirkan. Sampai sekarang Glodok masih banyak didapati tempat praktek para sinshe dan toko-toko penjual obat yang banyak didatangi pembeli. Menurut Prof Dr James Danandjaya dari UI, pengobatan Cina kini sudah terkenal di seluruh dunia dan menjadi kajian ahli-ahli pengobatan Barat. Kekhasannya adalah menggunakan bahan obat-obatan dari alam, khususnya tanam-tanaman (herbal) sehingga efek samping yang ditimbulkan relatif kecil dibandingkan obat-obatan Barat. Pengobatan Cina juga terkenal dengan tusuk jarum (akupuntur).

Presiden Soekarno pada tahun 1965, ketika menderita sakit cukup parah mendatangkan tim dokter dari Repulik Rakyat Cina untuk turut mengobatinya. Kembali kepada pengobatan Cina, apabila penyakit seorang pasien telah didiagnosis sang sinshe kemudian akan membuatkan resep dari kombinasi daun-daunan serta akar-akaran untuk memulihkan kesehatannya. Lalu si pasien akan membawa resep tersebut ke toko obat tradisional Cina. Selain berbentuk jamu-jamuan, obat herbal dapat berupa kapsul atau minuman tonik. Tapi, sekarang kita harus berhati-hati dengan obat-obatan Cina yang banyak dijual di berbagai tempat karena banyak dipalsukan. Sehingga Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan puluhan obat Cina yang terlarang beredar karena membahayakan.

(
Alwi Shahab, wartawan Republika)

Jejak Pangeran Wiraguna

Ragunan merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kelurahan itu mulai dikenal dan banyak didatangi masyarakat sejak gubernur DKI Ali Sadikin, pada awal 1970-an, membangun kebun binatang di sana menggantikan kebun binatang Cikini yang dijadikan pusat kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM).

Sebelum ada taman margasatwa, penduduk Ragunan masih jarang. Belum terdapat jalan raya yang kini dapat ditempuh dari berbagai jurusan, termasuk bus way. Kini, Taman Margasatwa Ragunan termasuk salah satu tempat rekreasi yang banyak dikunjungi warga Jakarta dan sekitarnya.

Tapi, banyak yang tidak tahu asal muasal nama Ragunan. Untuk mengetahuinya, kita harus kembali ke abad 17. Seorang Belanda bernama Hendrik Lucaasz Cardeel, oleh Sultan Banten Abunasar Abdul Qohar yang disebut Sultan Haji putra Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar Pangeran Wiraguna.

Pada tahun 1675 terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton Surasowan Banten, tempat bertahta Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar. Dua bulan kemudian, datanglah Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang jurubangun, yang mengaku melarikan diri dari Batavia. Kepada Sultan, selain menyatakan kesiapannya untuk membangun kembali keraton yang terbakar itu, ia juga menyatakan keinginannya untuk memeluk Islam.

Kedatangan Cardeel disambut hangat oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang tengah membutuhkan ahli bangunan berpengalaman. Dia ditugasi untuk membangun Istana Surasowan, termasuk bendungan dan istana peristirahatan di sebelah hulu Ci Banten, yang kemudian dikenal dengan sebutan bendungan dan Istana Tirtayasa.

Dalam situasi demikian, terjadi kemelut di Kesultanan Banten. Sultan Haji mendesak ayahnya agar ia segera dinobatkan menjadi sultan. Akhirnya, terjadilah perang antara ayah dan anak yang cukup menodai sejarah kesultanan Banten. Dalam keadaan terdesak, Sultan Haji mengirim utusan ke Batavia. Apalagi kalau bukan meminta bantuan kompeni.

Tentu saja pihak kompeni menjadi sangat gembira menerima permintaan tersebut. Adapun yang diutus ke Batavia tidak lain Pangeran Wiraguna alias Cardeel. Atas jasa-jasanya itulah, Cardeel mendapat dapat gelar Pangeran Wiraguna.

Pada 1689, Cardeel pamit pada sultan dengan alasan pulang ke Belanda. Tetapi, ia menetap di Batavia dan kembali memeluk Kristen. Tanahnya yang sangat luas kini bernama Ragunan -- dari kata Wiraguna. Menurut penulis sejarah Batavia, de Haan (1911), Cardeel dimakamkan di Ragunan dan makamnya oleh sementara orang dikeramatkan. Namun, penulis tidak berhasil menemukan makam itu. Bahkan, penduduk asli Ragunan, termasuk para orang tua, tidak mengenal sejarah kampung mereka.

Di Kesultanan Banten, dengan pemerintahan Islamnya, orang-orang asing memiliki dua pilihan terbuka: mereka tetap seperti adanya dan menjalankan bisnis dari luar dinding keraton, atau mereka melakukan konversi agama menjadi seorang Muslim. Dengan menjadi Muslim orang asing diizinkan untuk membuat kontrak, memperolah hak berdagang, dan memperoleh pekerjaan bergengsi.

Konversi itu ditandai dengan khitanan, mengganti nama dan gelar resmi serta poligami. Karenanya, Cardeel mendapatkan gelar Pangeran Wiraguna ahli bagian kerajaan, ahli konstruksi terkemuka dengan status Muslim, dan menjadi suami seorang pribumi ningrat. Seperti halnya Untung Surapati, Wiraguna membawa pengetahuan tentang teknologi Barat dan ajaran Islam untuk mengabdi kepada Sultan. Meski, akhirnya dia kembali ke agama semula.

Pria Eropa memasukkan dirinya ke dalam sejarah Indonesia, ketika mereka menemukan majikan Indonesia yang mau membayar keahliannya sebagai pelatih, peniup trompet, penembak meriam dan para jurutulis. Mereka pun membangun keluarga dengan menikahi perempuan lokal.

Khusus mengenai Pangeran Wiraguna, pada tahun 1689, Dewan Hindia dan Gubernur Jenderal Camphuys menetapkan kembali dirinya sebagai orang Belanda yang beragama Kristen. Namanya muncul pada 1695 sebagai seorang asisten pribadi residen Batavia, seorang tuan tanah dan operator mesin potong dengan kontrak harus mensuplai kayu pada VOC.

Pada tahun itu juga Cardeel melepaskan diri dari pernikahannya dengan Nila Wati yang telah dijalaninya selama enam tahun. Karena menurut versi Belanda -- istrinya itu berselingkuh dengan seorang pria Sunda. Kemudian Cardeel alias Pangeran Wiraguna menikah lagi dan kali ini dengan upacara Kristen. Sedangkan ketika mengawini Nila Wati, gadis Banten, melalui akad nikah secara Islam.

Hal yang sama juga dilakukan oleh seorang orientalis Belanda, Snouck Horgronye, yang sampai kini masih banyak dibicarakan. Snouyck yang ditugasi pemerintah kolonial untuk meredam kebangkitan Islam pada abad ked-19, juga melakukan tugasnya dengan memakai kedok. Dengan masuk agama Islam Snouck berhasil pergi ke tanah suci dan mengibuli ulama-ulama Betawi.

Dalam menghadapi Islam, menurut orientalis Belanda ini, harus dipisahkan Islam sebagai agama dan politik. Terhadap masalah agama, pemerintah kolonial disarankan untuk bersikap netral. Sedangkan terhadap politik dijaga benar datangnya pengaruh dari luar semacam Pan Islam. Apalagi, sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda menghadapi perlawanan oleh kelompok-kelompok Islam seperti dalam Perang Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903).

Bagi Snouck dan pemerintah Belanda musuh kolonialisme bukjanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Apalagi pada masa itu orang Islam di negeri ini memandang agamanya sebagai titik identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan orang asing.

(Alwi Shahab)

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi

Inilah Gedung Bappenas, diabadikan tahun 1941 sebelum meletusnya Perang Dunia ke-2 (1942-1945). Terletak di Taman Surapati, gedung ini merupakan salah satu aset kawasan Menteng, kota taman pertama di Indonesia. Pada masa kolonial, Taman Surapati bernana Burgermeester Bischopplein untuk mengabadikan nama Bisschop, wali kota Batavia pertama (1916-1920). Gedung ini dibangun 1925 oleh F.J.L. Ghijsels, seorang insinyur kelahiran Tulung Agung, Jawa Timur. Dia juga membangun gedung yang kini menjadi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Di samping sejumlah gedung megah di Kalibesar Timur dan Kalibesar Barat, Jakarta Kota.

Gedung Bappenas, pada masa kolonial pernah menjadi tempat pertemuan anggota tertinggi vrijmesdclarij atau freemason dalam bahasa Inggris. Sang arsiteknya sendiri menguraikan, gedung yang kini bertugas membuat perencanaan pembangunan, merupakan loge (loji) perkumpulan freemason. Menurut Henry Nurdi dalam buku 'Jejak Freemason & Zionis di Indonesia', cerita tentang berpengaruhnya Yahudi adalah pembangunan gedung Bappenas yang kala itu bernama Adhuc Stat yang berarti 'Berdiri Hingga Kini'.

Dulu, di bagian atas gedung yang bertuliskan Bappenas tertulis Adhuc Stat. Sedang di kanan-kirinya terdapat dua lambang vrijmedsclarij yang jika disambung dengan garis akan membentuk 'Bintang David' lambang dan simbol suci kaum Yahudi.

Bischop yang menjadi wali kota Batavia dengan jabatan itu adalah seorang penganut agama Yahudi yang berpengaruh. Terbukti, kala itu di Batavia terdapat pula sebuah freemason di Jl Budi Utomo, Jakarta Pusat, yang kini menjadi kantor pusat pabrik obat dan apotik Kimia Farma. Bahkan gedung tempat orang Yahudi melakukan kegiatan ritualnya dengan kedok 'plurarisme', juga terdapat di Pasar Turi, Surabaya. Dulu gedung ini, menurut pelacakan Henry Nurdi, bernama 'Lux Orientis Le Droit Humain' yang berarti Cahaya Timur Hak Manusia.

Sebelum menjadi gedung Bappenas, gedung Adhoc Atat, ini pernah menjadi tempat mengadili tokoh yangb dituduh terlibat G30S dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) seperti tokoh PKI Nyono, di samping Menlu Subandrio dan Panglima AURI Laksamana Omar Dhani. Sebetulnya ini merupakan sejarah suram bagi Yahudi. Sebab lahirnya komunisme dibidani Karl Marx berdarah Yahudi.

Penduduk Yahudi-- sejak masa VOC-- memang sudah tersebar di Hindia Belanda. Beberapa wilayah yang menjadi pusatnya seperti Noordwijk (kini Jalan Juanda) dan Rijswijk (Jl Veteran) terdapat sejumlah toko besar milik etnis ini seperti Oleslaeger, Goldenberg, dan Ezekiel. Bahkan, menurut budayawan Ridwan Saidi, kawasan Laan Hole (kini Jl Sabang) dulu terdapat sebuah hotel milik Yahudi. Pada 1956 Pemda DKI mencatat masih banyak keluarga Yahudi di Jakarta bahkan 12 di antaranya memegang paspor Israel, 56 orang memegang paspor Cekoslowakia, 22 orang memegang paspor Polandia dan 38 orang Yahudi memegang paspor Rusia. Pada 1957 ada sekitar 450 Yahudi di Indonesia. Sebagian besar di Jakarta dan Surabaya.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Kali Besar atawa de Groote Rivier 1900

Inilah Kali Besar di tepian muara Ciliwung oleh Belanda disebut de Groote Rivier. Foto ini diabadikan tahun 1900 saat airnya masih jernih. Terlihat jembatan yang dilewati oleh perahu-perahu yang menjadi salah satu transportasi utama saat itu. Kali Besar yang terletak di dekat muara Ciliwung, hampir satu abad lalu masih rimbun terlihat dari tanaman-tanaman yang mengelilinginya. Beberapa orang terlihat duduk di taman mencari angin yang masih segar yang kini sudah berganti menjadi hutan beton.

Memasuki kawasan Kali Besar, baik Kali Besar Selatan, utara, timur dan barat, bila menaiki kendaraan kita harus berani bersusah payah menghadapi kemacetan yang tampaknya sudah kagak ketolongan lagi. Tidak seperti terlihat dalam gambar suasana asri dan sejuk. Di sebelah kiri masih terlihat rumah yang berjejer terletak di tepi Ciliwung.

Kali Besar di zaman kompeni sekitar 400 tahun lalu dengan pelabuhan Sunda Kalapa merupakan pusat kegiatan perdagangan yang menjadi rebutan antara Portugis, Belanda, dan Inggris. Di depan muara Ciliwung terdapat jembatan Kota Intan (tidak terlihat) yang membuka lebar daun-daun jembatannya, membiarkan perahu dan kapal dagang mancanegara mengangkut rempah-rempah negeri tropis yang laku keras di pasaran dunia.

Ibu Aurora Tambunan, Kepala Dinas Permuseuman dan Kebudayaan DKI Jakarta kini berupaya keras menjadikan kawasan Kali Besar sebagai salah satu pusat kegiatan wisata sejarah dalam rangka Visit Indonesia Year 2008. Untuk merebut pengunjung ke kawasan bersejarah yang telah berusia lebih lima abad ini, pihaknya telah membenahi Kali Besar dan kawasan Oud Batavia (Kota Tua Jakarta).

Di Jakarta tempo doeloe ini para mevrouw (nyonya besar) kompeni serta nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat kayak kurungan ayam dengan berkereta disertai budak-budak mengelilingi kota yang kala itu hanya beberapa mil persegi. Mereka tinggal di sepanjang Kali Besar Barat dan timur serta di tepi-tepi kanal yang mengelilingi kampung-kampung dan rumah-rumah kompeni.

Melalui perahu-perahu yang selalu siap di depan kediamannya para meener (tuan) dan mevrouw saling mengunjungi. Sementara sinyo (pemuda) dan noni dua sejoli yang tengah pacaran di malam yang cerah sambil memetik gitar saling menumpahkan kasih sayang sambil bersumpah untuk saling setia. Betapa mentereng gaya hidup VIP di sekitar Kali Besar saat kejayaan VOC. Sayangnya gedung-gedung di sekitar Kali Besar yang berasal dari abad ke-18 dan 19, yang dulu sangat terpelihara sekarang keadaannyta sangat kumuh.

Pada abad ke-19 ketika Daendels (1808-1811) memindahkan pusat kota ke Weltevreden, di Kali Besar hingga kini tetap berdiri perkantoran dan kegiatan bisnis. Para pekerja Belanda yang sudah tinggal di sekitar Risywijk (Jl Segara), Nordwijk (Jl Juanda), Pasar Baru, Gambir dan Senen mendatangi Kali Besar dengan naik kereta kuda, trem kuda, uap dan terakhir trem listrik. Oleh para mevrouw dari rumahnya masing-masing disediakan bekal untuk para meener makan siang.

( Alwi Shahab, wartawan Republika )

Istana Weltevreden Jadi RSPAD Gatot Subroto

Jauh sebelum Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels membangun Istana yang juga dikenal dengan istilah Gedung Putih (kini Departemen Keuangan) pada 1811, Petrus Albertus van der Parra telah membangun istana yang sekaligus dijadikan vila di Senen, yang termasuk kawasan Weltevreden. Karena itu, dia dinamakan Istana Weltevreden. Istana yang kini menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto itu dibangun pada tahun 1769 dan berkuasa selama 14 tahun -- gubernur jenderal terlama di Hindia Belanda --. Ia meninggal dunia di kediamannya yang mewah itu pada 1775.

Dalam gambar yang dilukis oleh Rach, seorang perwira VOC terlihat bagaimana luasnya bangunan istana ini hingga sampai ke jalan Senen Raya. Van der Parra sendiri terlihat diantara orang-orang yang tengah santai di halaman kediamannya, didampingi oleh pasukan bersenjata. Van der Parra dikenal sebagai gubernur jenderal yang senang berfoya-foya. Dia juga mempunyai istana yang sama di Jacatraweg (kini Jl Pangeran Jayakarta) yang kala itu merupakan perumahan elite di Batavia.

Dia membangun Istana Weltervreden sekaligus sebagai tempat untuk dia dan keluarganya beristrihaat diakhir pekan. Kala itu Pasar Senen merupakan kawasan yang letaknya jauh di luar kota.

Van der Parra disamping senang berfoya-foya , dia digambarkan sebagai sok merasa penting dan otokratik. Dia diangkat sebagai gubernur jenderal pada usia ke-49. Ia yang diangkat 1761 menunda upacara pelantikannya sampai 1763. Di samping menunggu kepastian dari pengurus VOC di Amsterdam, van der Parra menginginkan agar upacara pelantikan itu bertepatan dengan hari kelahirannya 29 September 1763. Maka diselenggarakanlah pesta besar-besar yang dihadiri bukan hanya pembesar VOC, tetapi juga para bupati Priangan, Cirebon, dan wilayah sepanjang utara Jawa dan Madura. Keraton Yogya dan Solo juga mengirimkan utusan. Ada lagi suatu kebiasaannya, setiap sore diadakan semacam toast untuk kesehatan sang gubernur jenderal beserta istrinya. Ini rutin dilakukan tiap hari sejak pukul 06.00 sore dan baru berakhir pukul 09.00 malam. Pada saat perayaan ulang tahun perkawinan perak sang gubernur jenderal di tahun 1768, anaknya yang baru berusia delapan tahun didandani bagaikan seorang pangeran. Pada usia 13 tahun puteranya ini sudah dimasukkan dalam daftar gaji pegawai VOC dengan jabatan sebagai staf pada sekretariat pemerintah. Di mata orang Eropa di Batavia kurang menyukai gaya hidupnya yang boros dan hura-hura itu. Tetapi ia banyak dipuji oleh pihak gereja Batavia, karena sangat murah hati dalam memberi hadiah kepada pendetanya dan banyak menyumbang bagi kegiatan gereja dan perawatan anak yatim.

Menurut Mona Lohanda dalam buku 'Sejarah Para Pembesar Batavia'', van der Para, membeli tanah Weltevreden tahun 1769. Bangunan ini ada masih sampai tahun 1820, tetapi di atas tanah itu berdiri rumah sakit militer yang dibangun 1857 yang sekarang kita kenal sebagai Rumah Sakit Pusat AD Gatot Subroto).

Di rumah sakit ini pula Presiden Bung Karno di rawat selama beberapa dan meninggal dunia pada 21 Juni 1970. Untuk membesuknya harus ada izin dari pemerintah. Termasuk Bung Hatta baru bisa membesuk Bung Karno setelah mendapat izin dari Sekretaris Militer yang saat itu dijabat oleh Mayjen Tjokopranolo.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Ke Puncak Lewat Grote Postweg

Pada hari-hari libur masyarakat makin banyak mendatangi kawasan Puncak untuk tetirah di daerah pegunungan itu. Tidak heran pihak kepolisian pada hari-hari libur memberlakukan jalan satu jalur selama beberapa jam secara bergantian, baik dari arah Ciawi-Puncak maupun sebaliknya.

Hampir tidak ada yang terpikir bagaimana sulitnya membangun jalan raya di daerah pegunungan tersebut pada masa gubernur jenderal Herman William Daendels (1808-1811). Ketika itu, orang nomor satu di VOC tersebut memaksa rakyat melebarkan dan memperbaiki jalan-jalan lama dan membuka jalan baru, yang dapat diselesaikan dalam tempo setahun (1808-1809).

Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibangun oleh jenderal anak buah Kaisar Napoleon Bonaparte saat Prancis menaklukkan Belanda - bermula dari Anyer di Selat Sunda (Banten) dan berakhir di Panarukan (Banywangi, Jatim), sejauh kurang lebih 1000 km.

Ketika Grote Postweg antara Bogor-Puncak dibangun tanpa alat berat seperti sekarang harus melintasi hutan-hutan belukar, gunung-gunung tinggi, jurang-jurang, tebing dan sungai-sungai lebar dan dalam. Entah berapa ribu rakyat yang dipaksa harus kerja rodi dan tanpa dibayar.

Daendels yang terkenal keras kepala itu, ketika permintaan 1000 tenaga sukarela untuk dipekerjakan di Ujung Kulon, yang merupakan sarang malaria, tidak disanggupi oleh Sultan Banten, ia pun menghancurkan Keraton Surosowan, yang runtuhannya masih dapat kita saksikan saat ini.

Jalan raya Jakarta-Bogor, yang tiap hari didatangi banyak orang, saat dibangun Jalan Pos Raya teruama dekat Bekasi hutan-hutan lebat menjadi sarang binantang buas dan tempat persembunyian para penyamun, pembunuh budak buronan (perbudakan baru dihapus 1860). Sedang antara Bogor-Puncak, selain banyak binatang liar lain, juga dihuni badak. Lebih-lebih di dekat tanjakan.

Menurut Tio Ie Soei, dalam tulisannya, Mengenang Lalu Lintas Abad ke-19, lebih dari setengah abad di Grote Postweg jarang tampak orang menunggang kuda atau atau ditandu, pedati, reiswagen atau baros, kereta pos dan karos, kendaraan-kendaraan masa itu. Kala itu orang yang bepergian jauh, bila naik tandu yang digotong dua atau empat pemikul yang dengan upah Rp 1,25 untuk Jakarta-Bogor dan Rp 2,00 untuk Bogor-Cianjur, harus melewati Puncak.

Karena tidak aman di perjalanan, tak ada wanita muda yang berani melakukan perjalanan seorang diri. Kala itu anak gadis masih dipingit. Mereka tidak naik tandu dari muka rumah, tapi tandunya dimasukkan ke pertengahan rumah. Supaya penumpangnya tidak kepanasan dan kehujanan dan tidak ditonton orang, tandu itu diberi tirai. Kemudian setelah si gadis berada didalamnya, baru tandu digotong keluar, diantar oleh ayah atau saudara laki-laki.

Selain tandu, untuk perjalanan jauh juga digunakan kahar yang lebih dikenal dengan sebutan kretek atau sado, yang ditarik oleh seekor atau dua ekor kuda kampung yang memuat empat penumpang. Sewanya Rp 12,50 untuk Bogor-Jakarta dan Rp 15,00 Bogor-Cianjur per orang. Seperti juga pedati, beberapa kali sado harus ganti kahar yang disediakan orang kampung di beberapa kampung tertentu. Jika melewati tanjakan yang berat, dan kuda tidak sanggup mananjak, ia dibantu dorong atau ditarik oleh sapi atau kerbau.

Sepanjang Grote Postweg Batavia-Puncak terdapat rumah-rumah pos tempat pengganti kuda-kuda gupernemen tiap enam paal (1 paal = 1507 meter) di tanah datar dan lima paal di tanah tanjakan (pegunungan). Yang disebut rumah pos adalah sebuah bangsal (los) besar panjang dan tinggi. Dalam tempo beberapa menit saja kuda-kuda yang telah lelah berganti dengan yang segar yang tersedia di istal rumah-rumah pos.

Sementara, penumpang yang tengah beristirahat dapat makan dan minum sambil menikmati pemandangan indah dan hawa pegunungan yang sejuk. Dengan naik kahar, Jakarta-Bogor yang berjarak sekitar 60-an km, dapat ditempuh kira-kira dalam delapan jam. Sedangkan Bogor-Cianjur -- sekitar 20-an km -- membutuhkan 12 jam.

Waktu itu, kalau melewati Meester Cornelis (Jatinegara) sekitar 15 km dari pusat kota Batavia di Pasar Ikan tampak sawah, tegalan dan kadang-kadang kelompok kecil beberapa kampung. Dari sini tampak jelas Gunung Salak (2211 meter) dan Gunung Gede (2958 meter) yang bertambah lama bertambah jelas dari kebiru-biruan menjadi kehijau-hijauan. Setelah melewati Jatinegara hawa akan bertambah sejuk.

Grote Postweg melewati Istana Bogor dan Kebon Raya yang diteduhi pohon-pohon kenari besar dari kedua pinggirnya. Di sini terdapat tempat sidang kabinet karena para gubernur jenderal Belanda lebih senang tinggal di Istana Bogor katimbang di Istana Noordwijk (kini Istana Negara) dan Istana Merdeka. Presiden Soekarno juga seringkali tinggal di Istana Bogor, terutama saat-saat menjelang akhir pekan. Di Istana Bogor, Bung Karno sering menerima tamu asing dan para menteri serta beberapa kali mengadakan sidang kabinet.

Bogor yang pada masa Belanda bernama Buitenzorgb (sana sauci) yang artinya 'tanpa kesibukan' sampai tahun 1960-an merupakan kota yang banyak dihuni para pensiunan dari Jakarta untuk mencari ketenangan. Bogor kini sangat sibuk dan berubah menjadi kota seribu angkot, yang polusi udaranya sudah parah. Istana Bogor, dengan puluhan kijang di taman dan halamannya, didirikan oleh gubernur jenderal van Imnhoff (1744), diperbesar oleh Daendels (1809) dan diperbaharui oleh van der Capellen (1815).

(Alwi Shahab )

Merebut Gedung Factorij di Beos

Inilah salah satu gedung peninggalan kolonial yang direbut para pemuda dan pejuang, ketika terjadi nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia pada 1958, Ini terjadi karena meruncingnya hubungan kedua negara akibat sengketa Irian Barat (Papua). Gedung yang kini menjadi Musium Bank Mandiri, menjelang diambil alih bernama Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) terletak di depan Stasiun Beos, Jakarta Kota.

Gedung yang dibangun 1929, lebih dikenal dengan sebutan faktori factorij). Presiden Soekarno, yang tidak sabar karena masalah Irian Barat berlarut-larut akibat sikap Belanda telah berpidato melalui RRI yang disiarkan di seluruh Indonesia agar para buruh di perusahaan-perusahaan Belanda melakukan aksi ambil alih.

Sebelum diambil alih yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih, gedung NHM yang dinilai sebagai karya masterpiece menjadi aksi corat-coret oleh kaum nasionalis. Di atasnya terlihat tulisan 'Milik RI'. ''Usir Belanda dari Irian'. Setelah factorij NHM dinasionalisasi kemudian dilebur ke dalam Bank Tani & Nelayan (BKTN) pada 5 Desember 1960. Pada 17 Agusrtus 1965 dimulainya era 'Bank Tunggal', gedung ini menjadi salah satu kantor pusat BNI Unit II sebelum lahirnya Bank Exim hingga 1995 dan tiga tahun kemudian jadi Bank Mandiri untuk kemudian menjadi musium bank tersebut, demikian Kartum Setiawan, ketua Komunitas Jelajah Budaya dan Sejarawan.

NHM merupakan reinkarnasi VOC yang bangkrut akibat korupsi yang tidak mengenal batas, seperti juga di negeri kita sekarang, sekalipun sudah diperangi pelakunya makin bertambah. Ketika NHM berdiri (awal abad ke-19) tidak lama kemudian terjadi sistem tanam paksa (cultuurstelsel) ciptaan Gubernur Jenderal Van den Bosch.

Sistem ini menindas dan menyengsarakan berjuta-juta petani. Sistem ini berhasil luar biasa hingga pada 1831 dan 1871 Batavia tidak hanya bisa membiayai diri sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden-- jumlah yang luar biasa besar kala itu-- untuk kas negara di Den Haag. Untuk itu van den Bosch diberi gelar graaf dari Raja Belanda. Tapi akibat sistem ini ratusan ribu petani mati yang menyebabkan tampilnya Multatuli atau Douwes Dekker yang dengan pedas mengeritik sistem ini dalam karangan berjudul 'Max Havelaar'.

Kembali kepada keberadaan gedung NHM ada beberapa ritual penting yang berhubungan dengan tradisi lokal. Pembangunan awal ditandai dengan penguburan kepala kerbau di area bagian tengah dan empat kepala kambing di keempat sudut areanya. Sebagai tambahan, sebuah koin emas ditempatkan di bawah pilar pertama yang dipercaya dapat membawa keuntungan bagi perusahaan. Kenyataannya, perusahaan ini mengirimkan hampir seluruh barang ekspor dan impor melalui kapal-kapal carteran milik Belanda (KPM, sekarang Pelni) yang masuk empat besar setelah perkapalan perdagangan Inggris, Prancis dan AS.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )