Ragunan merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kelurahan itu mulai dikenal dan banyak didatangi masyarakat sejak gubernur DKI Ali Sadikin, pada awal 1970-an, membangun kebun binatang di sana menggantikan kebun binatang Cikini yang dijadikan pusat kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM).
Sebelum ada taman margasatwa, penduduk Ragunan masih jarang. Belum terdapat jalan raya yang kini dapat ditempuh dari berbagai jurusan, termasuk bus way. Kini, Taman Margasatwa Ragunan termasuk salah satu tempat rekreasi yang banyak dikunjungi warga Jakarta dan sekitarnya.
Tapi, banyak yang tidak tahu asal muasal nama Ragunan. Untuk mengetahuinya, kita harus kembali ke abad 17. Seorang Belanda bernama Hendrik Lucaasz Cardeel, oleh Sultan Banten Abunasar Abdul Qohar yang disebut Sultan Haji putra Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar Pangeran Wiraguna.
Pada tahun 1675 terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton Surasowan Banten, tempat bertahta Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar. Dua bulan kemudian, datanglah Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang jurubangun, yang mengaku melarikan diri dari Batavia. Kepada Sultan, selain menyatakan kesiapannya untuk membangun kembali keraton yang terbakar itu, ia juga menyatakan keinginannya untuk memeluk Islam.
Kedatangan Cardeel disambut hangat oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang tengah membutuhkan ahli bangunan berpengalaman. Dia ditugasi untuk membangun Istana Surasowan, termasuk bendungan dan istana peristirahatan di sebelah hulu Ci Banten, yang kemudian dikenal dengan sebutan bendungan dan Istana Tirtayasa.
Dalam situasi demikian, terjadi kemelut di Kesultanan Banten. Sultan Haji mendesak ayahnya agar ia segera dinobatkan menjadi sultan. Akhirnya, terjadilah perang antara ayah dan anak yang cukup menodai sejarah kesultanan Banten. Dalam keadaan terdesak, Sultan Haji mengirim utusan ke Batavia. Apalagi kalau bukan meminta bantuan kompeni.
Tentu saja pihak kompeni menjadi sangat gembira menerima permintaan tersebut. Adapun yang diutus ke Batavia tidak lain Pangeran Wiraguna alias Cardeel. Atas jasa-jasanya itulah, Cardeel mendapat dapat gelar Pangeran Wiraguna.
Pada 1689, Cardeel pamit pada sultan dengan alasan pulang ke Belanda. Tetapi, ia menetap di Batavia dan kembali memeluk Kristen. Tanahnya yang sangat luas kini bernama Ragunan -- dari kata Wiraguna. Menurut penulis sejarah Batavia, de Haan (1911), Cardeel dimakamkan di Ragunan dan makamnya oleh sementara orang dikeramatkan. Namun, penulis tidak berhasil menemukan makam itu. Bahkan, penduduk asli Ragunan, termasuk para orang tua, tidak mengenal sejarah kampung mereka.
Di Kesultanan Banten, dengan pemerintahan Islamnya, orang-orang asing memiliki dua pilihan terbuka: mereka tetap seperti adanya dan menjalankan bisnis dari luar dinding keraton, atau mereka melakukan konversi agama menjadi seorang Muslim. Dengan menjadi Muslim orang asing diizinkan untuk membuat kontrak, memperolah hak berdagang, dan memperoleh pekerjaan bergengsi.
Konversi itu ditandai dengan khitanan, mengganti nama dan gelar resmi serta poligami. Karenanya, Cardeel mendapatkan gelar Pangeran Wiraguna ahli bagian kerajaan, ahli konstruksi terkemuka dengan status Muslim, dan menjadi suami seorang pribumi ningrat. Seperti halnya Untung Surapati, Wiraguna membawa pengetahuan tentang teknologi Barat dan ajaran Islam untuk mengabdi kepada Sultan. Meski, akhirnya dia kembali ke agama semula.
Pria Eropa memasukkan dirinya ke dalam sejarah Indonesia, ketika mereka menemukan majikan Indonesia yang mau membayar keahliannya sebagai pelatih, peniup trompet, penembak meriam dan para jurutulis. Mereka pun membangun keluarga dengan menikahi perempuan lokal.
Khusus mengenai Pangeran Wiraguna, pada tahun 1689, Dewan Hindia dan Gubernur Jenderal Camphuys menetapkan kembali dirinya sebagai orang Belanda yang beragama Kristen. Namanya muncul pada 1695 sebagai seorang asisten pribadi residen Batavia, seorang tuan tanah dan operator mesin potong dengan kontrak harus mensuplai kayu pada VOC.
Pada tahun itu juga Cardeel melepaskan diri dari pernikahannya dengan Nila Wati yang telah dijalaninya selama enam tahun. Karena menurut versi Belanda -- istrinya itu berselingkuh dengan seorang pria Sunda. Kemudian Cardeel alias Pangeran Wiraguna menikah lagi dan kali ini dengan upacara Kristen. Sedangkan ketika mengawini Nila Wati, gadis Banten, melalui akad nikah secara Islam.
Hal yang sama juga dilakukan oleh seorang orientalis Belanda, Snouck Horgronye, yang sampai kini masih banyak dibicarakan. Snouyck yang ditugasi pemerintah kolonial untuk meredam kebangkitan Islam pada abad ked-19, juga melakukan tugasnya dengan memakai kedok. Dengan masuk agama Islam Snouck berhasil pergi ke tanah suci dan mengibuli ulama-ulama Betawi.
Dalam menghadapi Islam, menurut orientalis Belanda ini, harus dipisahkan Islam sebagai agama dan politik. Terhadap masalah agama, pemerintah kolonial disarankan untuk bersikap netral. Sedangkan terhadap politik dijaga benar datangnya pengaruh dari luar semacam Pan Islam. Apalagi, sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda menghadapi perlawanan oleh kelompok-kelompok Islam seperti dalam Perang Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903).
Bagi Snouck dan pemerintah Belanda musuh kolonialisme bukjanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Apalagi pada masa itu orang Islam di negeri ini memandang agamanya sebagai titik identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan orang asing.
(Alwi Shahab)
Sunday, February 03, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment