Kehadiran koran atau majalah berbahasa asing di Indonesia bukanlah hal baru. Bahkan, koran berbahasa Cina dan Arab sudah terbit sejak awal 1940-an. Dewasa ini di Jakarta terbit tiga koran bahasa Cina: Guoji Ribau (baca Ripau), Heping Ribau, dan Shang Bao.
Sedangkan di Surabaya dan Pontianak terbit dua koran Cina lainnya. Sebelum PD II lebih banyak lagi koran Cina yang terbit di Indonesia. Bahkan, kala itu koran Cina pernah menguasai pasaran Indonesia. Hampir semua kota menerbitkan koran dan majalah berbahasa Cina.
Koran Sin Tit Po di Surabaya yang dipimpinan Goh Tjing Hok kemudian mendirikan Java Post dengan huruf Melayu. Koran ini kemudian menjadi Jawa Pos yang kini mempunyai penerbitan hampir di seluruh propinsi di Indonesia.
Tak hanya Cina sebagai bahasa, sosok pengusaha pers Cina pun mulai merajai pasar dengan menerbitkan media massa dalam bahasa Melayu (sebutan kala itu), seperti majalah Liberty di Surabaya, dan Panorama di Semarang. Pada 1950-an Auyong Peng Koen (P.K. Oyong) mendirikan majalah Star Weekly. Dan bersama Jacob Oetama, ia kemudian mendirikan harian Kompas yang kini berusia 38 tahun.
Menjelang penjajajahn Jepang (1940-an), di Jakarta dan Surabaya terbit koran dan majalah berbahasa Arab, seperti Harian Hadramaut di Surabaya yang redaksinya dipimpin Idrus Bin Umar Almashur.
Koran ini dipuji oleh Amir Syakib Arsalan, seorang sastrawan, pengarang, dan sejarawan terkenal Timur Tengah, akan keindahan tata bahasa Arabnya. Menurut Amir Syakib, Hadramaut memiliki bahasa Arab paling baik di dunia, selain di negara-negara Arab.
Sedangkan, di Jakarta terbit harian Bir Hoed (telaga Hoed) yang diambil dari nama sebuah telaga di Hadramaut dekat dengan makam Nabi Hoed. Koran ini dipimpin S Moehammad Bin Agil Bin Yahya.
Masih di ibukota, kala itu juga terdapat mingguan As Somil yang dipimpin oleh Ali Bin Abdullah Assagaff (menantu almarhum Habib Ali Alhabsji, pemimpin majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat). Ali Assagaff sendiri adalah juga kawan seperjuangan pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) Abdurahman Baswedan yang pernah menjadi Menteri Muda Peneragangan RI.
Majalah lainnya yang terbit di Jakarta adalah Borobudur Journal Arab. Pemimpin redaksinya M.O. Hasyimi, dan pendirinya adalah mantan Perdana Menteri Yaman Haydar Alatas dan S Abdullah bin Alwi Alatas yang masih terhitung kakek mantan Menlu Ali Alatas.
Jurnal ini beralamat di Passer Baroe Oost (Jl Pasar Baru Timur) Weltevreden, Batavia. Kala itu Batavia dibagi tiga daerah, yakni Batavia Centrum (Jakarta Kota dan sekitarnya), Weltevreden (sekitar Gunung Sahari, Senen Kramat, Lapangan Banteng, dan Gambir), dan Meester Cornelis (Jatinegara).
Penyandang dana S Abdullah bin Alwi Alatas dulunya tinggal di gedung yang kini jadi Musium Tekstil, di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Dia adalah seorang tuan tanah kaya raya yang menurut salah seorang cucunya, Abdullah Alatas, membeli tanah di Cikini bekas kediaman pelukis Raden Saleh seluas 19 hektar.
Letak bekas rumah Raden Saleh ini mulai dari Kali Pasir disamping Museum Joang 45 hingga ke Jl Raden Saleh yang berujung pada tepi kali Ciliwung. Rumah dan tanah luas ini kemudian dibeli Koningen Emma Stichtung (Yayasan Ratu Emma) dengan harga 100 ribu gulden.
Tapi, karena tanah itu oleh Yayasan Emma akan digunakan untuk rumah sakit, ia memberi korting 50 persen dari harga yang telah disetujui. Entah kenapa setelah masa kemerdekaan dan di akhir 1949, rumah sakit ini lantas diserahkan pada Dewan Gereja Indonesia (DGI).
Selain itu, Abdullah bin Alwi Alatas juga dikenal sebagai kawan dekat tokoh perjuangan HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, dan H Agus Salim. Kepada Tjokroaminoto, Abdullah pernah menyumbang dana sebesar 60 ribu gulden untuk kegiatan Syarikat Islam (SI). Saat itu, uang sebanyak 100 gulden sudah bisa membeli rumah sederhana di ibukota.
Bantuan itu juga untuk biaya penerbitan koran Utusan Hindia dengan Tjokroaminoto sebagai pemimpin redaksinya. Abdullah bin Alwi Alatas juga membantu Muhammadiyah untuk mendirikan sekolah guna menyaingi sekolah-sekolah Belanda (Van der Mueller 1936 - Museum Nasional).
Pemberitaan koran dan majalah berbahasa Arab umumnya berisi berita-berita menyangkut umat Islam dan kegiatannya. Bukan hanya di tanah air, tapi juga perkembangan umat Islam di mancanegara, khususnya di negara Arab dan Islam.
Tidak heran, kalau Hadramaut juga membuat laporan tentang kekejamaan tentara Italia ketika membantai para pejuang Libya di Tripoli pada tahun 1910-an. Para syahid yang mati demi Islam dan tanah airnya yang dipimpin Umar Mochtar ini juga pernah difilmkan oleh perusahaan film AS.
Masih dalam masa penjajahan, peristiwa syahidnya ribuan umat Islam Libya ini mendapat reaksi keras umat Islam Indonesia. Habib Ali Kwitang (1870-1968) dilaporkan lantas berpidato di salah satu masjid jami di Jakarta guna menolong saudara-saudara yang menderita di Afrika Utara itu.
Sedangkan, para tokoh Syarikat Islam yang dipimpin H Agus Salim menganjurkan rakyat untuk memboikot produk-produk Italia. Yang jadi korban adalah mobil merek Fiat yang paling banyak terdapat di Indonesia kala itu.
Seorang wartawan, pengarang, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal kala itu, S Ahmad bin Abdullah Assagaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Laki-laki kelahiran Hadramaut (Yaman Selatan) pada 1882 ini juga mengarang belasan buku dalam bahasa Arab.
Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan. Diantara sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf sempat menulis sejarah Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten).
Karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat Garut (Gadis Garut) berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad ke-20. Karyanya ini juga merupakan luapan keterpesonaannya sebagai pendatang dari Hadramaut akan keindahan Garut.
Dalam kiprahnya di bidang pendidikan, Ahmad bin Abdullah Assagaf ini mendirikan madrasah Al-Khairiyah di Surabaya, Al-Islamiyah di Solo, dan setelah pindah ke Jakarta mengajar dan memimpin Madrasah Jamiatul Kheir, yang hingga kini masih berdiri di Tanah Abang.
Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia meninggalkan Indonesia. Saat kapal yang ditumpanginya masih berlayar di Laut Jawa, terdengar kabar ia telah pulang ke Rahmatullah. Jasadnya disemayamkan di Laut Jawa.
(Alwi Shahab)
Sunday, February 03, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment