Sunday, February 03, 2008

Ke Puncak Lewat Grote Postweg

Pada hari-hari libur masyarakat makin banyak mendatangi kawasan Puncak untuk tetirah di daerah pegunungan itu. Tidak heran pihak kepolisian pada hari-hari libur memberlakukan jalan satu jalur selama beberapa jam secara bergantian, baik dari arah Ciawi-Puncak maupun sebaliknya.

Hampir tidak ada yang terpikir bagaimana sulitnya membangun jalan raya di daerah pegunungan tersebut pada masa gubernur jenderal Herman William Daendels (1808-1811). Ketika itu, orang nomor satu di VOC tersebut memaksa rakyat melebarkan dan memperbaiki jalan-jalan lama dan membuka jalan baru, yang dapat diselesaikan dalam tempo setahun (1808-1809).

Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibangun oleh jenderal anak buah Kaisar Napoleon Bonaparte saat Prancis menaklukkan Belanda - bermula dari Anyer di Selat Sunda (Banten) dan berakhir di Panarukan (Banywangi, Jatim), sejauh kurang lebih 1000 km.

Ketika Grote Postweg antara Bogor-Puncak dibangun tanpa alat berat seperti sekarang harus melintasi hutan-hutan belukar, gunung-gunung tinggi, jurang-jurang, tebing dan sungai-sungai lebar dan dalam. Entah berapa ribu rakyat yang dipaksa harus kerja rodi dan tanpa dibayar.

Daendels yang terkenal keras kepala itu, ketika permintaan 1000 tenaga sukarela untuk dipekerjakan di Ujung Kulon, yang merupakan sarang malaria, tidak disanggupi oleh Sultan Banten, ia pun menghancurkan Keraton Surosowan, yang runtuhannya masih dapat kita saksikan saat ini.

Jalan raya Jakarta-Bogor, yang tiap hari didatangi banyak orang, saat dibangun Jalan Pos Raya teruama dekat Bekasi hutan-hutan lebat menjadi sarang binantang buas dan tempat persembunyian para penyamun, pembunuh budak buronan (perbudakan baru dihapus 1860). Sedang antara Bogor-Puncak, selain banyak binatang liar lain, juga dihuni badak. Lebih-lebih di dekat tanjakan.

Menurut Tio Ie Soei, dalam tulisannya, Mengenang Lalu Lintas Abad ke-19, lebih dari setengah abad di Grote Postweg jarang tampak orang menunggang kuda atau atau ditandu, pedati, reiswagen atau baros, kereta pos dan karos, kendaraan-kendaraan masa itu. Kala itu orang yang bepergian jauh, bila naik tandu yang digotong dua atau empat pemikul yang dengan upah Rp 1,25 untuk Jakarta-Bogor dan Rp 2,00 untuk Bogor-Cianjur, harus melewati Puncak.

Karena tidak aman di perjalanan, tak ada wanita muda yang berani melakukan perjalanan seorang diri. Kala itu anak gadis masih dipingit. Mereka tidak naik tandu dari muka rumah, tapi tandunya dimasukkan ke pertengahan rumah. Supaya penumpangnya tidak kepanasan dan kehujanan dan tidak ditonton orang, tandu itu diberi tirai. Kemudian setelah si gadis berada didalamnya, baru tandu digotong keluar, diantar oleh ayah atau saudara laki-laki.

Selain tandu, untuk perjalanan jauh juga digunakan kahar yang lebih dikenal dengan sebutan kretek atau sado, yang ditarik oleh seekor atau dua ekor kuda kampung yang memuat empat penumpang. Sewanya Rp 12,50 untuk Bogor-Jakarta dan Rp 15,00 Bogor-Cianjur per orang. Seperti juga pedati, beberapa kali sado harus ganti kahar yang disediakan orang kampung di beberapa kampung tertentu. Jika melewati tanjakan yang berat, dan kuda tidak sanggup mananjak, ia dibantu dorong atau ditarik oleh sapi atau kerbau.

Sepanjang Grote Postweg Batavia-Puncak terdapat rumah-rumah pos tempat pengganti kuda-kuda gupernemen tiap enam paal (1 paal = 1507 meter) di tanah datar dan lima paal di tanah tanjakan (pegunungan). Yang disebut rumah pos adalah sebuah bangsal (los) besar panjang dan tinggi. Dalam tempo beberapa menit saja kuda-kuda yang telah lelah berganti dengan yang segar yang tersedia di istal rumah-rumah pos.

Sementara, penumpang yang tengah beristirahat dapat makan dan minum sambil menikmati pemandangan indah dan hawa pegunungan yang sejuk. Dengan naik kahar, Jakarta-Bogor yang berjarak sekitar 60-an km, dapat ditempuh kira-kira dalam delapan jam. Sedangkan Bogor-Cianjur -- sekitar 20-an km -- membutuhkan 12 jam.

Waktu itu, kalau melewati Meester Cornelis (Jatinegara) sekitar 15 km dari pusat kota Batavia di Pasar Ikan tampak sawah, tegalan dan kadang-kadang kelompok kecil beberapa kampung. Dari sini tampak jelas Gunung Salak (2211 meter) dan Gunung Gede (2958 meter) yang bertambah lama bertambah jelas dari kebiru-biruan menjadi kehijau-hijauan. Setelah melewati Jatinegara hawa akan bertambah sejuk.

Grote Postweg melewati Istana Bogor dan Kebon Raya yang diteduhi pohon-pohon kenari besar dari kedua pinggirnya. Di sini terdapat tempat sidang kabinet karena para gubernur jenderal Belanda lebih senang tinggal di Istana Bogor katimbang di Istana Noordwijk (kini Istana Negara) dan Istana Merdeka. Presiden Soekarno juga seringkali tinggal di Istana Bogor, terutama saat-saat menjelang akhir pekan. Di Istana Bogor, Bung Karno sering menerima tamu asing dan para menteri serta beberapa kali mengadakan sidang kabinet.

Bogor yang pada masa Belanda bernama Buitenzorgb (sana sauci) yang artinya 'tanpa kesibukan' sampai tahun 1960-an merupakan kota yang banyak dihuni para pensiunan dari Jakarta untuk mencari ketenangan. Bogor kini sangat sibuk dan berubah menjadi kota seribu angkot, yang polusi udaranya sudah parah. Istana Bogor, dengan puluhan kijang di taman dan halamannya, didirikan oleh gubernur jenderal van Imnhoff (1744), diperbesar oleh Daendels (1809) dan diperbaharui oleh van der Capellen (1815).

(Alwi Shahab )

No comments: