Gadis itu berkulit putih, cantik, dan tinggi semampai. Berwajah indo, ia memang lahir dari keluarga campuran. Ayahnya berkebangsaan Belanda, ibunya dari Wonosobo, Jawa Tengah. Maria van Engels namanya.
Maria bekerja di toko penjahit, tak jauh dari perkampungan keturunan Arab. Seorang remaja keturunan Arab kerap mendatangi tempat itu, menemui teman-temannya yang ada di sana. Pria itu adalah Abdurrahman Alhabsyi, putra sulung Habib Ali, pendiri Majelis Taklim Kwitang, Jakarta Pusat.
Setiap berkunjung menemui teman-temannya, remaja putra itu selalu melintasi tempat kerja Maria. Mula-mula saling lirik, lalu melempar senyum. Perjalanan waktu mempertautkan hati keduanya. Pernihakan membawa Maria memeluk Islam. Tinggal di sebelah rumah Habib Ali, perempuan indo itu menjadi menantu kesayangan mertuanya.
Kisah cinta dua anak manusia dari ras berbeda itu diceritakan oleh Alwi Shihab dalam salah satu seri bukunya tentang Betawi tempo doeloe. Abah Alwi begitu ia kerap disapa memang sangat aktif menulis cerita-cerita tentang Jakarta dan kehidupan kota ini di masa lalu.
Hingga kini, sedikitnya sudah enam buku sejenis karya wartawan senior itu dibukukan: Robin Hood Betawi, Queen of The East, Saudagar Baghdad dari Betawi, Maria van Engels, Hukum Pancung di Betawi, dan Oey Tambahsia Playboy Betawi. Tulisan-tulisan dalam buku itu dihimpun dari berbagai artikelnya di media massa.
Betawi dan dunia tulis menulis, dua hal yang menjadi bagian tak tepisahkan dari sosok pria kelahiran Jakarta, 31 Agustus 1936 ini. Lahir dan besar di Jakarta, profesi wartawan seakan menjadi pilihan hidupnya. Mengawali karirnya sebagai wartawan Kantor Berita Antara di usia muda, 1963, Alwi bergabung di Harian Republika setelah resmi pensiun di kantor berita tersebut.
Di koran inilah ia menuliskan artikel-artikelnya, mengungkapkan kisah-kisah masa lalu tentang Jakarta, hal tak banyak diketahui orang. Tulisan-tulisannya menjadi menarik, lantaran dikemas dalam irama jurnalisme: tidak kering dan cair. Ia pun menjadi kamus berjalan, tempat banyak orang bertanya tentang Jakarta tempo doele.
Simaklah kisah si Pitung, jago silat dari Rawabelong yang namanya tidak asing di telinga masyarakat Betawi pada masanya. Dalam bukunya, Robin Hood dari Betawi, Alwi Shihab mengungkapkan betapa masyarakat Betawi memandang tinggi derajat sosok sang jagoan. Meskipun suka merampok, bagi rakyat Betawi, Pitung bukan penjahat biasa. Ia selalu berada di depan, membela rakyat yang tertindas. Hasil rampokannya, dibagikan kepada rakyat kecil. Warga pun menjulukinya Robinhood-nya Betawi.
Di buku yang lain, Alwi mengungkapkan keahlian yang tak banyak diketahui orang di balik sosok pelukis terkenal: Raden Saleh. ''Diam-diam Raden Saleh ternyata seorang arsitek ulung,'' tulisnya dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi.
Dalam cerita itu ia mengisahkan kediaman Raden Saleh yang ia rancang sendiri, belakangan dibeli oleh karibnya, Sayid Abdullah Bin Alwi Alatas melalui pelelangan. Ada juga cerita Oey Tambahsia, anak seorang pedagang tembakau yang sukses. Sepeninggal ayahnya, ia mewarisi harta yang melimpah. Itu pula yang membuat Oey Tambahsia lupa diri: gemar foya-foya, kerap menghabiskan waktunya berkuda keliling kota dengan pakaian mewah ditemani beberapa centeng.
Kudanya dimpor dari Australia. Dari atas pelana, matanya jelalatan mencari gadis-gadis molek untuk dirayunya. Tak sedikit keluarga yang menyembunyikan anak gadisnya di balik pintu. Rumah ditutup rapat karena takut terlihat pria hidung belang ini. Sebagaimana judul buku itu, Oey Tambahsia Playboy Betawi, dalam tulisan ini Alwi menggambarkan sosok pria muda kaya itu sebagai seorang playboy.
Tak sekadar Jakarta dalam aroma percintaan yang tertuang dalam kisah-kisah buku seri legenda Jakarta karya Alwi Shahab. Di seri bukunya yang lain, ia mengungkapkan penerapan hukum pancung yang pernah dilakukan penduduk Jakarta ketika itu masih bernama Batavia di zaman Belanda.
Kata Alwi, ''Hukuman itu selama dua setengah abad mendominasi keputusan-keputusan para hakim pengadilan kolonial Belanda.'' Seperti digambarkan Alwi, menjelang pelaksanaan eksekusi selalu didahului dengan pengerahan massa, laiknya kampanye Pemilu masa kini. Sehari sebelum hukuman dilaksanakan, rakyat diminta agar berbondong-bondong menyaksikannya. Eksekusi dilakukan di lapangan Balai Kota, Jl Falatehan, Jakarta.
Agaknya, tulisan-tulisan Alwi kerap terinspirasi oleh peristiwa serupa yang terjadi kemudian. Hukum Pancung di Betawi, misalnya, terinspirasi oleh kasus yang menimpa Soliha binti Aman, tenaga kerja wanita (TKW) asal Malang yang akan menjalani hukuman pancung di penjara Riadh, September 1997 dan Nasiroh, TKW asal Cianjur yang juga terancam pidana mati dengan cara yang sama.
Tidak mengherankan bila Dr HA Syukur SKM, ketua umum Badan Musyawarah Masyarakat Betawi merasa senang dengan diterbitkannya tulisan-tulisan Alwi Shihab dalam bentuk buku. Seperti ditulis dalam pengantar buku, Syukur menuturkan, dengan diterbitkannya buku ini maka bertambah pula referensi tentang Betawi, baik mengenai lingkungan, penduduk, dan sosial budayanya. ''Sampai saat ini masih jarang referensi tentang Betawi dan yang berkaitan dengan Betawi,'' tulisnya. Alwi Shihab menghadirkan Betawi melalui tulisan-tulisannya, mengisi ruang yang masih lengang itu.
Sunday, February 03, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment