Batavia, Ahad petang, 28 Desember 1721. Dari pintu kota Nieuwpoort (dekat stasion kereta api Jakarta Kota), keluar seorang pemuda Jawa menyeberang ke jembatan Jassenmburg lewat gereja Portugis (depan stasion), menuju Jacatraweg (kini Jl Pangeran Jayakarta).
Menjelang penggantian tahun itu, Batavia sejak pagi hingga sore diguyur hujan lebat dan angin ribut. Banyak rumah rusak dan puluhan pohon roboh diterjang topan. Beberapa perahu di pesisir tenggelam. Sepanjang jalan sangat becek dan air hujan masih mengenanginya. Pemuda Jawa dan belasan pengikutnya itu berjalan di pinggir-pinggir rumah, agar pakaian mereka tidak terkena lumpur.
Di sebuah rumah indah dengan pekarangan luas, pemuda berusia sekitar 30 tahun dengan keris bergagang emas di pinggangnya itu, diterina tuan rumah yang berusia sekitar 50-an. Meskipun sebagian rambutnya sudah memutih ia masih tampak gagah. ''Ada kabar apa Raden Kartadria?'' tanya tuan rumah yang tidak lain adalah Pieter Elbelveld, seorang Indo (ayah Jerman dan ibu Jawa).
''Saya cuma memberi kabar, semua sudah siap menjalankan tugas. Kekuatan kita cukup. Saya sendiri dan beberapa kawan sudah mengumpulkan 17 ribu prajurit yang siap untuk memasuki kota,'' kata Raden Kartadria, seorang ningrat yang masih keturunan kesultanan Matam Islam.
''Tuan Gusti tahu bagaimana alpanya itu orang-orang kafir merayakan tahun baru. Ia orang akan plesir sepuas-puasnya dan minum sampai mabuk-mabukan. Dalam keadaan demikian mereka tidak sanggup mencegah kita merebut pintu kota dan memasuki benteng di waktu fajar,'' Raden meyakinkan Gusti -- panggilan Pieter.
''Ya, Raden,'' sahut Pieter. ''Tapi, apakah kau sudah kasih perintah tiada satupun orang kulit putih boleh dikasih ampun. Lelaki, perempuan, tua, muda dan anak-anak, semua mesti dibunuh mati! Dari gubernur jenderal sampai orang partikulir yang paling rendah mesti binasa. Biarlah nanti sungai-sungai dan kanal-kanal di Batavia merah dengan darah mereka,'' kata Pieter berapi-api. Tapi, mereka tidak sadar bahwa pembicaraannya didengar oleh seorang budak yang keesokan harinya menyampaikannya kepada seorang perwira VOC, Kapten Cruse.
Batavia 29 Desemnber 1721, malam. Gubernur Jenderal Zwaardecroon menerima banyak tamu. Pukul 22.00, setelah makan, barulah para tamu bubar. Seorang ajudan memberitahu orang nomor satu di Hindia Belanda itu bahwa Kapten Cruse hendak berjumpa dan ingin menyampaikan kabar penting.
Kapten yang tampan ini melaporkan bahwa satu jam lalu budak Pieter Elberveld memberitahukan bahwa pada malam tahun baru akan terjadi hura-hara besar di Batavia dan Pieter memastikan pada 1 Januari 1722 akan jadi raja di Jawa. Gubernur jenderal yang kaget mendengar laporan itu langsung memerintahkan agar segera dilakukan pengusutan dan menangkap semua yang terlibat.
Pada tanggal 31 Desember 1721, di kediaman Pieter telah berkumpul sejumlah orang yang siap untuk menggerakkan pasukan yang dikonsentrasikan di luar kota Batavia. Lonceng kota menunjukkan pukul pukul setengah sebelas malam. ''Ah, beberapa jam lagi saja jiwa orang-orang Eropa di Batavia akan melayang,'' kata salah seorang di antara mereka.
Tiba-tiba pintu rumah yang dikunci rapat digedor, disertai ringkik suara kuda dan teriakan-teriakan buka pintu. Kapten Cruse dan para serdadu Kompeni dengan senjata lengkap menyerbu masuk. Meskipun berusaha melawan, tapi akhirnya mereka dapat dibelenggu.
Pada bulan April 1722, Pieter dan 17 orang pengikutnya disidang di pengadilan Batavia dan mereka mendapat hukuman berat. Yang paling keji hukuman terhadap Pieter dan Raden Kartadria. Tangan kanan mereka dikampak sampai putus. Besi panas yang memerah karena berapi ditempelkan ke tubuh keduanya. Kepala mereka ditebas sampai putus dan hati mereka dikeluar serta dilempar keluar kota untuk santapan burung.
Konon, kaki dan tangan Pieter diikat ke empat ekor kuda. Kuda-kuda itu kemudian dipacu untuk berlari ke arah berlawanan untuk mencabik-cabik tubuh Pieter. Karena itulah, tempat eksekusi Pieter sampai kini disebut Kampung Pecah Kulit -- berdekatan dengan stasion kereta api Jayakarta. Kawan-kawannya juga mendapat hukuman mati, tapi tidak sekejam hukuman bagi kedua pimpinan mereka.
Agar jangan sampai ada lagi pemberontakan semacam itu, di pekarangan rumah Pieter Elberveld didirikan satu tembok bercat putih, di atasnya ditempatkan sebuah relief tengkorak kepala Pieter terbuat dari gips. Pada dindingnya terukir tulisan dalam bahasa Belanda dan Jawa, ''Sebagai kenang-kenangan yang menjijikkan akan penghianat Pieter Elbelveld yang dihukum. Tak seorangpun sekarang dan seterusnya akan diizinkan membangun, menukang dan mamasang batu bata atau menanam di tempat ini.''
Monumen yang telah berdiri selama lebih 200 tahun itu telah dibongkar pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan pada 1970 replikanya di pasang kembali di Gedung Museum Sejarah Jakarta dan tempat dia dimakamkan di Museum Prasasti di Jl Tanah Abang I Jakarta Pusat. Sedangkan kediamannya di Jalan Pangeran Jayakarta kini sudah berubah fungsi menjadi showroom perusahaan mobil PT Astra.
Tidak jauh dari Gereja Portugis, dis ebelah kanan dari arah stasion Jakarta Kota, terdapat sebuah gang kecil yang sebagian besar penduduknya warga Betawi. Di sini oleh masyarakat diyakini sebagai makan Raden Kartadria. Sampai sekarang makamnya, yang diselubungi kain putih dan diletakkan dalam sebuah kamar khusus, banyak diziarahi orang. Banyak peziarah yang membacakan surah Yasin untuk sang pahlawan.
(Alwi Shahab )
Sunday, February 03, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment