Wednesday, December 29, 2004

Meulaboh Nyaris Terkubur

Puluhan Ribu Warga Belum Diketahui Hidup atau Mati

TIDAK ADA KEHIDUPAN: Situasi Kota Meulaboh dilihat dari udara. Di kota di pesisir selatan Aceh itu, sebagian besar bangunan rusak berat dan masih tergenang air. Selain itu, tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan hingga Selasa (28/12), setelah iterjang gelombang Tsunami. Di kota itu sedikitnya tinggal 40.000 jiwa. (55a)

ACEH - Kota Meulaboh dilukiskan seperti tidak ada kehidupan lagi setelah diamuk gempa dan badai tsunami. Sementara itu, 76.000 warga yang mendiami Pulau Simeuleu belum diketahui nasibnya, apakah masih ada yang tersisa atau habis semua. Karena pulau yang terletak di Samudera Hindia, tepatnya barat Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh
Selatan ini, berdekatan dengan pusat gempa.

Wartawan Suara Merdeka Rukardi dari Aceh Selasa kemarin melaporkan belum ada keterangan detail tentang kondisi terakhir pulau tersebut. Menurut keterangan Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irjen Pol Bahrumsyah, Pulau Simeuleu sudah tidak berbentuk lagi.

Kini sedang diupayakan untuk mendata jumlah korban di pulau tersebut. Luas Pulau Simeuleu 2.052 km2 yang terbagi menjadi delapan kecamatan dan 81 desa. Berdasarkan hasil Pendaftaran Pemilih dan Penduduk Berkelanjutan (P4B) yang diselenggarakan KPU dan BPS pada 2003, jumlah penduduknya 76.000 jiwa.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan KRI Sibolga segera berangkat ke kota Meulaboh di pesisir selatan Aceh untuk meninjau situasi di ibu kota Kabupatan Aceh Barat itu yang sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kota ini berpenduduk sekitar 40.000 jiwa, sedangkan total penduduk Aceh Barat lebih kurang 195.000 jiwa.

Kalla yang juga Kepala Badan Koordinasi Nasional untuk Penanggulangan Bencana Alam dan Pengungsi melakukan pemantauan dengan menggunakan pesawat Boeing-737.

Melihat situasi Meulaboh yang terlihat tidak ada tanda-tanda kehidupan dan semua bangunan rusak parah, Kalla meminta KRI Sibolga segera merapat ke Meulaboh untuk memastikan jumlah korban serta mengupayakan evakuasi jenazah yang belum tertangani.

Penjabat Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring mengatakan, jalur komunikasi dari dan menuju ke Meulaboh benar-benar terputus. Dia melihat masalah utama yang saat ini dihadapi adalah bagaimana mengevakuasi jenazah yang masih berserakan di jalan-jalan untuk diangkut dan segera dikuburkan. Sembiring mengemukakan, karena jalur komunikasi yang terputus maka proses evakuasi jenazah akan
mengalami kesulitan.

Dia menggambarkan, kalaupun 10.000 sukarelawan dikerahkan, evakuasi jenazah baru dapat diselesaikan paling cepat dalam satu minggu.

Mengenai nasib ribuan jenazah yang diangkut dari beberapa tempat di Banda Aceh dan kini menumpuk di pinggir jalan sepanjang 500 meter di wilayah Lambaro, 25 km barat Banda Aceh, jenazah akan dimakamkan secara massal.

Pemda setempat telah menyiapkan satu lubang besar di Aceh Besar yang tidak jauh dari Kecamatan Lambaro untuk menguburkan jenazah-jenazah tersebut.

Puluhan ribu warga di Ulele di dekat Banda Aceh juga belum diketahui nasibnya. Ulele adalah kota pelabuhan yang sehari-harinya ramai dengan kegiatan ekonomi karena menjadi salah satu titik penting lalu lintas perdagangan dari Aceh ke Sabang dan sebaliknya. Kota tersebut padat dengan penduduk dan jumlahnya diperkirakan 40.000 orang.

Di Medan, Sumatera Utara, arus pengungsi besar-besaran dari wilayah-wilayah di Provinsi NAD masih berlangsung. Hingga kemarin, setidaknya sudah dua rombongan besar pengungsi -masing-masing berjumlah ratusan- tiba di Medan dari Aceh.

Mereka diangkut dengan pesawat Hercules. Banyak di antara warga Aceh yang mengungsi merasa khawatir soal kemungkinan gempa susulan akan terjadi. Karena itu, mereka berupaya menyelamatkan diri. Di Propinsi NAD, kegiatan pengungsian masih terlihat di berbagai tempat.

Banyak penduduk yang bahkan pergi ke hutan-hutan untuk mengungsi.

Kekurangan Makan

Dua hari setelah gempa dan gelombang tsunami memorak-porandakan Aceh,
masyarakat sangat membutuhkan bahan makanan. Meski bantuan sudah
mulai datang, jumlahnya masih terlalu sedikit. Banyak warga yang
histeris berteriak, "Makan, makan!"

Kondisi seperti ini betul-betul membuat hati trenyuh bagi siapa saja yang melihatnya. Mereka berteriak seperti itu karena sudah tiga hari ini tidak makan. Bila ada makanan, mereka mementingkan anak-anak mereka.

Pemandangan ini dapat dilihat di lokasi penampungan pengungsi di Masjid Baiturrahman di jantung kota Banda Aceh. Ribuan orang dikumpulkan di sini. Suasana masjid bersejarah itu juga tampak tidak keruan. Mayat-mayat masih berserakan di halaman dan sekitar masjid.

Para pengungsi di masjid tampak memprihatinkan. Selain belum ada bantuan bahan makanan, mereka juga tidak mendapatkan pasokan air bersih. Mereka buang hajat di mana saja karena fasilitasnya betul-betul tidak ada. Listrik pun masih padam.

Situasi seperti ini tidak hanya terjadi di Masjid Baiturrahman. Di tempat-tempat penampungan, pengungsi juga bernasib sama. Mereka betul-betul memerlukan bantuan pangan, obat-obatan, dan air bersih.

Jehinda Ingan Muhuli Ketaren (41), warga Kampung Mulia Kota Banda Aceh mengatakan belum menerima bantuan apa pun. Selama ini, Jehinda dan ribuan pengungsi lain hanya makan mi instan bantuan warga sekitar Aceh. Itu pun tanpa dimasak karena tidak ada posko-posko dan dapur umum.

Dalam situasi kekurangan bahan makanan, para korban gempa melakukan penjarahan di sejumlah kompleks pertokoan untuk mengambil bahan makanan, obat-obatan, dan pakaian.

Bendahara PMI Cabang Aceh Besar, Rahmawati menyebutkan, sedikitnya 1.200 mayat korban dikuburkan secara massal oleh PMI, TNI, dan Polri, di Desa Bada, Kecamatan Inginjaya, Kabupaten Aceh Besar. Mayat-mayat itu dimasukkan ke dalam lubang besar. Sebagian mayat dibungkus kafan namun sebagian lainnya dikuburkan dalam kondisi seadanya. Mayat-mayat
itu tampak sudah menggelembung dan mengeluarkan bau busuk. Di depan kantor PMI ratusan mayat masih dikumpulkan untuk segera dimakamkan. Tiga buah tenda besar yang disediakan tak mampu menampung ratusan mayat tersebut. PMI mengaku kesulitan menangani mayat karena keterbatasan armada serta kurangnya relawan.

''Saat ini kami masih berkonsentrasi untuk mengevakuasi dan menguburkan semua mayat agar tidak menebarkan penyakit. Namun peralatan seperti sarung tangan, masker, dan alat berat masih sangat kurang,''kata Rahmawati.

Sementara itu, bantuan mulai berdatangan ke Bandara Iskandar Muda. Bantuan dibawa dengan pesawat Hercules dari Jakarta dan Medan. Namun bantuan ini juga belum banyak, masih sangat terbatas. Menurut rencana, bantuan dalam jumlah besar tiba pada hari ini.

Di Banda Aceh juga kekurangan pasokan BBM. Dari sekian SPBU yang masih berdiri, hanya satu yang memiliki pasokan BBM. Itu pun sudah diserbu masyarakat pada Senin (27/12) malam. Antrean sepanjang satu kilometer sebelum premium habis.

Akibat tidak ada pasokan BBM, kini di Banda Aceh minim transportasi. Hanya sedikit mobil pribadi yang melewati jalan raya. Yang sering terlihat hanya mobil ambulans dan mobil TNI dan SAR.

Para wartawan yang meliput juga harus berjalan kaki.

Hingga pukul 12.00, aparat TNI, tim SAR, tim relawan, dan masyarakat masih terus mengevakuasi mayat-mayat yang berada di pinggir jalan. Evakuasi berjalan lambat karena keminiman peralatan dan transportasi.
(H6,dtc-33j)

Gunung Jangan Pula Meletus

Oleh Emha Ainun Nadjib

KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan
kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?

Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantak terkeping- keping, akan kubunuh.

"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku menyerbu.

"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.

"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"

"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan dengan surga."

"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan kesengsaraan sedalam itu?"

"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan."

"Termasuk Kiai...."

Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran.

"Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?"

Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.

"Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?" katanya.

Aku menjawab tegas, "Ya."

"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"

"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus mempertanyakan."

"Sampai kapan?"

"Sampai kapan pun!"

"Sampai mati?"

"Ya!"

"Kapan kamu mati?"

"Gila!"

"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!"

""Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter...."

Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.

"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban."

"Kewajiban apa?"

"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah. Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini..." ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan dinding ini kepadamu...."

"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.

"Pakailah sesukamu."

"Emang untuk apa?"

"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."

"Sinting!"

"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik untuk cara berpikir yang kau tempuh."

Ia membawaku duduk kembali.

"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku.

"Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"

Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang.

"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."

"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"

"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."

"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah bahwa kamu pantas diludahi."

"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."

"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?"

"Aceh, Kiai, Aceh."

"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak".

"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar dibayangkan akan mampu tertanggungkan."

"Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah keburukan? berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti ketika kamu mati."

"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa, sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat sejahtera?"

"Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?"

"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan saya sendiri, Kiai, tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan."

"Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup."

"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."

"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur."

"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"

"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada kemungkinan...."

"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.

"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor meninggalkan saya.

"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agar beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...."

"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"

Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.

Emha Ainun Nadjib Budayawan

Wednesday, December 15, 2004

Belajar Menyikapi Masalah

Malam telah larut saat saya meninggalkan kantor. Telah lewat pukul 11 malam. Pekerjaan yang menumpuk, membuat saya harus pulang selarut ini.

Ah, hari yang menjemukan saat itu. Terlebih, setelah beberapa saat berjalan, warna langit tampak memerah. Rintik hujan mulai turun. Lengkap sudah, badan yang lelah ditambah dengan "acara" kehujanan.

Setengah berlari saya mencari tempat berlindung. Untunglah, penjual nasi goreng yang mangkal di pojok jalan, mempunyai tenda sederhana.

Lumayan, pikir saya. Segera saya berteduh, menjumpai bapak penjual yang sendirian, ditemani rokok dan lampu petromak yang masih menyala.

Dia menyilahkan saya duduk. "Disini saja dik,daripada kehujanan...," begitu katanya saat saya meminta ijin berteduh.

Benar saja, hujan mulai deras, dan kami makin terlihat dalam kesunyian yang pekat. Karena merasa tak nyaman atas kebaikan bapak penjual dan tendanya, saya berkata, "tolong bikin mie goreng pak, di makan disini saja. Sang Bapak tersenyum, dan mulai menyiapkan tungku apinya. Dia tampak sibuk.

Bumbu dan penggorengan pun telah siap untuk di racik. Tampaklah pertunjukkan sebuah pengalaman yang tak dapat diraih dalam waktu sebentar.

Tangannya cekatan sekali meraih botol kecap dan segenap bumbu. Segera saja, mie goreng yang mengepul telah terhidang. Keadaan yang semula canggung mulai hilang. Basa-basi saya bertanya, "Wah hujannya tambah deras nih, orang-orang makin jarang yang keluar ya Pak?" Bapak itu menoleh kearah saya, dan berkata, "Iya dik, jadi sepi nih dagangan saya.." katanya sambil menghisap rokok dalam-dalam.

"Kalau hujan begini, jadi sedikit yang beli ya Pak?" kata saya, "Wah, rezekinya jadi berkurang dong ya?" Duh. Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja, tak banyak yang membeli kalau hujan begini. Tentu, pertanyaan itu hanya akan membuat Bapak itu tambah sedih. Namun, agaknya saya keliru...

"Gusti Allah, ora sare dik, (Allah itu tidak pernah istirahat), begitu katanya. "Rezeki saya ada dimana-mana. Saya malah senang kalau hujan begini. Istri sama anak saya di kampung pasti dapat air buat sawah. Yah, walaupun nggak lebar, tapi lumayan lah tanahnya." Bapak itu melanjutkan, "Anak saya yang disini pasti bisa ngojek payung kalau besok masih hujan..."

Degh. Dduh, hati saya tergetar. Bapak itu benar, "Gusti Allah ora sare".

Allah Memang Maha Kuasa, yang tak pernah istirahat buat hamba-hamba-Nya.

Saya rupanya telah keliru memaknai hidup. Filsafat hidup yang saya punya, tampak tak ada artinya di depan perkataan sederhana itu. Makna nya terlampau dalam, membuat saya banyak berpikir dan menyadari kekerdilan saya di hadapan Tuhan.

Saya selalu berpikiran, bahwa hujan adalah bencana, adalah petaka bagi banyak hal. Saya selalu berpendapat, bahwa rezeki itu selalu berupa materi, dan hal nyata yang bisa digenggam dan dirasakan. Dan saya juga berpendapat, bahwa saat ada ujian yang menimpa, maka itu artinya saya cuma harus bersabar. Namun saya keliru. Hujan, memang bisa menjadi bencana, namun rintiknya bisa menjadi anugerah bagi setiap petani. Derasnya juga adalah berkah bagi sawah-sawah yang perlu diairi. Derai hujan mungkin bisa menjadi petaka, namun derai itu pula yang menjadi harapan bagi sebagian orang yang mengojek payung, atau mendorong mobil yang mogok.

Hmm...saya makin bergegas untuk menyelesaikan mie goreng itu. Beribu pikiran tampak seperti lintasan-lintasan cahaya yang bergerak di benak saya. "Ya Allah, Engkau Memang Maha yang Tak Pernah Beristirahat"

Untunglah,hujan telah reda, dan sayapun telah selesai makan. Dalam perjalanan pulang, hanya kata itu yang teringat, Gusti Allah Ora Sare..... Gusti Allah Ora Sare.....

Begitulah, saya sering takjub pada hal-hal kecil yang ada di depan saya. Allah memang selalu punya banyak rahasia, dan mengingatkan kita dengan cara-caraNya.

Saturday, December 04, 2004

Susahnya Bertamu di Rumah Orang Kaya

Seorang pria (T) berkunjung ke rumah seorang jutawan yang sangat kaya-raya. Sembari menunggu sang tuan rumah, sang pembantu (P) menawarinya minum.

P : "Tuan mau minum apa, teh, kopi, susu atau soda?"

T : "Teh saja."

P : "Teh hijau, teh madu, teh ceylon, teh celup atau teh seduh?"

T : "Teh ceylon."

P : "Yang hitam atau bening?"

T : "Bening."

P : "Dengan susu, krim atau madu?"

T : "Dengan susu."

P : "Susu sapi, susu unta atau susu kuda?"

T : "Susu sapi saja."

P : "Sapi dari Freezeland atau Afrika?"

T : "Hmm yang pertama saja."

P : "Dengan gula atau tanpa gula?"

T : "dengan gula."

P : "Gula pasir atau gula batu?"

T : "Gula pasir."

P : "Gula tebu atau gula pemanis?"

T : "Arghhhhhhhhh, berikan aku air mineral saja."

P : "Air mineral dingin atau biasa?"

T : "Yang dingin."

P : "Yang tawar atau yang rasa buah?"

T : " Sudahlah, aku tidak jadi minum deh."

SIAPA YANG TAK MATI?

Suatu ketika ada seorang janda yang sangat berduka karena anak satu-satunya mati. Sembari membawa jenasah anaknya, wanita ini menghadap Sang Guru untuk meminta mantra atau ramuan sakti yang bisa menghidupkan kembali anaknya.

Sang Guru mengamati bahwa wanita di hadapannya ini tengah tenggelam dalam kesedihan yang sangat mendalam, bahkan sesekali ia meratap histeris. Alih-alih memberinya kata-kata penghiburan atau penjelasan yang dirasa masuk akal, Sang Guru berujar:

"Aku akan menghidupkan kembali anakmu, tapi aku membutuhkan sebutir biji lada."

"Itu saja syaratnya?" tanya wanita itu dengan keheranan.

"Oh, ya, biji lada itu harus berasal dari rumah yang anggota penghuninya belum pernah ada yang mati."

Dengan "semangat 45", wanita itu langsung beranjak dari tempat itu, hatinya sangat entusias, "Guru ini memang sakti dan baik sekali, dia akan menghidupkan anakku!"

Dia mendatangi sebuah rumah, mengetuk pintunya, dan bertanya: "Tolonglah saya. Saya sangat membutuhkan satu butir biji lada. Maukah Anda memberikannya?" "Oh, boleh saja," jawab tuan rumah. "Anda baik sekali Tuan, tapi maaf, apakah anggota rumah ini belum pernah ada yang mati?" "Oh, ada, paman kami meninggal tahun lalu." Wanita itu segera berpamitan karena dia tahu bahwa ini bukan rumah yang tepat untuk meminta biji lada yang dibutuhkannya.

Ia mengetuk rumah-rumah berikutnya, semua penghuni rumah dengan senang hati bersedia memberikan biji lada untuknya, tetapi ternyata tak satu pun rumah yang terhindar dari peristiwa kematian sanak saudaranya. "Ayah kami barusan wafat…," "Kakek kami sudah meninggal…," "Ipar kami tewas dalam kecelakaan minggu lalu…," dan sebagainya.

Ke mana pun dia pergi, dari gubuk sampai istana, tak satu tempat pun yang memenuhi syarat tidak pernah kehilangan anggotanya. Dia malah terlibat dalam mendengarkan cerita duka orang lain. Berangsur-angsur dia menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam penderitaan ini; tak seorang pun yang terlepas dari penderitaan. Pada penghujung hari, wanita ini kembali menghadap Sang Guru dalam keadaan batin yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Dia mengucap lirih, "Guru, saya akan menguburkan anak saya." Sang Guru hanya mengangguk seraya tersenyum lembut.

Mungkin saja Sang Guru bisa mengerahkan kesaktian dan menghidupkan kembali anak yang telah mati itu, tetapi kalau pun bisa demikian, apa hikmahnya? Bukankah anak tersebut suatu hari akan mati lagi juga? Alih-alih berbuat demikian Sang Guru membuat wanita yang tengah berduka itu mengalami pembelajaran langsung dan menyadari suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan bagi siapa pun: siapa yang tak mati?

Penghiburan sementara belaka bukanlah solusi sejati terhadap peristiwa dukacita mendalam seperti dalam cerita di atas. Penderitaan hanya benar-benar bisa diatasi dengan pengertian yang benar akan dua hal: (1) kenyataan hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana maunya kita, dan (2) bahwasanya pada dasarnya penderitaan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang bersumber dari dalam diri kita sendiri.

Priiit... Ce Ban, dan Denda Damai

Kepolisian RI saat ini bener-bener dalam sorotan. Begitu banyak kritik pedas dilontarkan masyarakat kepada institusi tersebut. Lebih-lebih sejak peristiwa kekerasan di Tempat Pembungan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Kabupaten Bogor, pekan lalu. Bukan hanya itu. Ada berita lain yang bisa membuat merah muka aparat kepolisian, yakni pengakuan Rois, alias Irwan Darmawan, anak buah Azahari yang berhasil dibekuk pekan lalu. Menurut ceritanya, Azahari itu tokoh teroris yang sedang diuber-uber dan diudak-udak aparat keamanan. Dia pernah beberapa kali tertangkap Polisi Lalu Lintas (Polantas) karena melanggar lalu lintas. Termasuk kendaraannya pernah ditahan di Kuningan beberapa saat setelah pemboman Kedubes Australia.

Pernyataan anak buah Azahari ini mengusik sebuah harian Ibu Kota untuk membuat karikatur. Di tengah uang Rp 10 ribu terdapat gambar Azahari. Dengan kata-kata pantesan Azahari lolos terus. Kapolri Jenderal Pol Dai Bachtiar menyatakan, Rais memang bercerita panjang lebar soal Azahari yang berkali-kali kendaraannya ditilang. Namun, dia lolos karena memberi uang pada anggota Polantas. Agar peristiwa memalukan ini tidak terulang, para petugas Polantas wajib mengantongi foto Dr Azahari dan Noordin M Top. Tentu tujuannya agar polisi hafal wajah mereka bila tertangkap di jalan.

Tapi, entah kalau keduanya saat ditangkap tengah menyamar. Maklum, 'denda damai' alias pungli dan entah apalagi namanya sudah bukan rahasia umum di negeri ini. Sudah terjadi puluhan tahun dan sering dilakukan secara terang-terangan. Tidak mengherankan bila aparat Polantas dan DLLAJ saat merazia kendaraan banyak yang mengaitkan kegiatan mereka dengan pungli.

Pada 1950-an ketika semangat nasionalisme masih tinggi dan rakyat sama-sama susah belum begitu dikenal pungli di jalan-jalan. Polantas tiap saat, baik pagi, petang, maupun malam berjaga-jaga di perempatan jalan. Kala itu belum ada lampu lalu lintas seperti sekarang. Polisi Lalu Lintas berdiri di perempatan jalan raya. Mereka memutar-mutar tanda lalu lintas dari besi setinggi kurang lebih dua setengah meter.

Tanda lalu lintas itu bercat hijau berbunyi: 'JALAN'. Warna merah bertuliskan: 'STOP'. Sungguh kasihan nasib Polantas ketika itu. Kalau terik matahari kepanasan dan saat hujan basah kuyup. Baru pada 1960-an dikenal istilah priit ji-go. Maksudnya, kalau kendaraan salah jalan kena tilang polisi dapat diajak 'denda damai' dengan membayar 25 perak atau ji-go.

Pada masa Demokrasi Terpimpin itu inflasi kelewat tinggi dan harga-harga melonjak drastis. Ji-go yang sebelumnya bisa membeli lima liter beras nilainya turun drastis. Kemudian, dikenal istilah priiit seceng (Rp 1.000). Saat ini untuk 'denda damai' kita harus mengeluarkan uang ce-ban (Rp 10 ribu) untuk sepeda motor dan no-ban atau Rp 20 ribu untuk mobil. Bahkan, kadang-kadang no-ban-go alias Rp 25 ribu.

Bagi para pengendara cing-cai atau denda damai lebih baik daripada kena tilang. Mengurusnya berbelit-belit dan memakan waktu di pengadilan. Biayanya pun bisa mencapai go-ban (Rp 50 ribu). Ada cerita menarik tentang tata kehidupan masyarakat Kota Batavia serta jalannya peraturan kepolisian pada akhir abad ke-19. Saat itu kota tersebut banyak didatangi para pendatang dari Eropa dengan dibukanya Terusan Suez, Pelabuhan Tanjung Priok, mulai banyaknya kendaraan bermotor, termasuk kereta api, trem uap, dan kemudian trem listrik.

Peraturan kepolisian dijalankan dengan keras dan cermat. Semua perkara dan persoalan diselesaikan dengan cepat dan tidak memungut biaya satu sen pun. Tidak dikenal istilah pungli, uang semir, atau uang rokok. Pengendara kendaraan dengan tertib memenuhi peraturan lalu lintas. Mereka tidak ada yang berani berhenti di tempat terlarang. Para sopir dengan tertib mengendarai kendaraan dan hampir tidak ada yang ugal-ugalan seperti sekarang.

Rumah-rumah penduduk diatur dengan rapi, berjejer berderet-deret menghadap ke jalan. Tidak seperti sekarang ini, kala itu sampah tidak menjadi persoalan bagi gementee (Pemda Batavia). Tidak ada yang membuang sampah sembarangan. Peraturan kepolisian begitu keras. Berjudi adalah salah satu perbuatan yang dilarang dan dikenai sanksi berat. Hingga tidak perlu Front Pembela Islam (FPI) menggeladah tempat-tempat perjudian dan hiburan. Perbuatan zina juga terlarang. Pejabat yang paling ditakuti penduduk Batavia adalah Tuan Schaut atau sekaut, kata orang Betawi. ''Itu tuan macannya di negeri Betawi,'' kata mereka.

Di seluruh Karesidenan Batavia terdapat delapan schaut (semacam kapolres sekarang ini). Di dalam kota empat schaut dan di luar kota empat schaut. Masing-masing di Meester Cornelis (Jatinegara), Bekasi, Mauk, dan Curuk. Dua nama terakhir berada di Tangerang. Salah seorang di antaranya mengepalai penduduk Selam (sebutan Islam oleh penduduk kala itu) dan seolah-olah menjadi momok.

Musibah

Akhir-akhir ini musibah secara beruntun melanda negeri kita. Baik berupa gempa bumi di Alor dan Nabire, maupun kecelakaan pesawat terbang di Solo dan lalu lintas di berbagai tempat, yang kesemuanya menelan korban jiwa cukup besar. Tentu saja kita turut berduka kepada para korban dan keluarga yang tertimpa musibah ini.

Musibah baik fisik maupun nonfisik datang jalin-menjalin kepada umat manusia di dunia ini. Ia selalu hadir berupa ''tamparan'' atau ''cubitan'' yang tidak enak untuk dirasakan. Dalam menghadapi musibah ini, kita diingatkan oleh firman Allah, ''Sungguh akan Kuberikan kepadamu kecemasan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa serta buah-buahan, tetapi berbahagialah orang yang bersabar, yaitu orang-orang yang ditimpa musibah mereka mengucapkan, 'Sungguh kita kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita akan kembali'.'' (QS 2: 155-156).

Melalui ayat tersebut, orang yang biasa bersabar diuji kualitas kesabarannya. Sedangkan orang yang belum bersabar diberi peluang untuk mendapatkan kesabaran lantaran musibah itu. Di samping musibah karena faktor alam (takdir), kita pun sangat prihatin dengan maraknya musibah yang penyebabnya justru karena ulah dan keteledoran manusia sendiri. Angka-angka kecelakaan di jalan raya di negeri kita sungguh mengerikan. Berdasarkan data, sekitar 12 ribu jiwa melayang percuma setiap tahun atau 34 orang per hari akibat kecelakaan lalu lintas.

Dengan tingkat kecelakaan lalu lintas yang tinggi dan menelan banyak korban itu, kita jelas memerlukan manusia-manusia yang mau menjaga ketertiban di jalan raya. Mereka yang mau menghormati dan bersopan santun pada pengguna jalan. Kita menjadi sangat prihatin, karena para pengendara tampaknya kini sudah tidak lagi mengenal sopan santun lalu lintas.

Dalam Alquran surat Al-Naml ayat 18-19, Allah SWT memberikan contoh bagaimana Nabi Sulaiman beserta tentaranya telah membagi jalan kepada barisan semut. Dalam surat tersebut Allah juga memerintahkan umat manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memperhatikan kepentingan bersama. Karena, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah kebersamaan dan ia harus mewarnai segala aktivitas kita, termasuk para pengendara untuk berdisiplin.

Dalam memelihara sopan santun di jalan, kita juga dapat mencontoh Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dikisahkan, suatu hari ketika Ali dalam perjalanan menuju masjid, ia melihat di hadapannya seorang tua yang jalannya terseok-seok menuju ke tempat yang sama. Serta-merta Ali menghentikan dan memperlambat jalannya, sampai orang tua itu lebih dulu memasuki masjid.

Kalau saja teladan tersebut kita jalankan, alangkah nyamannya berkendaraan di jalan raya. Bukan saja akan mengurangi kemacetan, tapi juga korban jiwa. Bukankah agama telah memperingatkan 'agar kita jangan berjalan di muka bumi dengan sombong alias semau gue. Karena, ia merupakan salah satu perbuatan yang amat dibenci oleh Allah'. (Al-Isra ayat 37-38). Wallahu a'lam bis-shawab.

Sunday, November 21, 2004

Casingkem, TKW, dan Sanksi Arab Saudi

Alwi ShahabCasingkem dan Istiqomah, dua TKW dari Indonesia, pekan lalu menjadi pemberitaan internasional. Pers dunia, termasuk siaran televisinya, memberitakan tragedi kedua TKW asal Banyuwangi dan Indramayu itu, saat-saat mereka disandera di Irak.


Saya mendengar tentang penyanderaan mereka ketika berada di Arab Saudi, saat umrah. Waktu itu belum disebutkan dalam pemberitaan nama kedua sandera dari Indonesia. Begitu mereka tiba kembali di Tanah Air setelah dibebaskan, ternyata dokumen kedua TKW palsu.


Masalah pemalsuan identitas, seperti KTP, tidak sesuai nama dam alamat asli. Paspor dan visa atas nama orang lain, bukan terjadi sekarang ini. Tapi, sudah terjadi belasan tahun sejak pertama kita mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri, khususnya ke Arab Saudi. Kalau mau disalahkan, banyak sekali yang terlibat. Akibat adanya 'kongkalikong' mulai dari tingkat kelurahan sampai rekomendasi Kantor Nakertrans.


Ketika bertolak menuju Jeddah dari Bandara Soekarno-Hatta, pesawat berbadan lebar Boeing SV (Saudi Arabia Airlines), sebagian besar dari ratusan penumpamng adalah TKW. Hal yang sama terjadi pada saat kembalinya ke Jakarta. Hampir seluruh tempat duduk diisi para TKW yang hendak kembali ke Tanah Air.


Saudi Arabia Airlines tiap pekan lima kali bertolak dari Jakarta ke Arab Saudi. Garuda Indonesia Airlines enam kali per minggu, sedangkan Yemen Airlines tiga kali seminggu. Belum lagi sejumlah perusahaan penerbangan lainnya.


Dari banyaknya perusahaan penerbangan dengan rute Jakarta-Jeddah-Riyadh ini, dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencari nafkah di Timur Tengah. Sekaligus menunjukkan bahwa jalur ini termasuk rute gemuk. Padahal, seperti yang saya alami dalam penerbangan Jeddah-Jakarta, tidak tampak banyak warga Arab Saudi yang bepergian ke Indonesia. Dapat dibayangkan bagaimana terpukulnya perusahaan-perusahaan penerbangan ini bila pengiriman TKI ke luar negeri dihentikan.


Berdasarkan keterangan, tenaga kerja Indonesia, khususnya tenaga kerja wanita, sangat dibutuhkan di Arab Saudi. Hampir tidak ada rumah tangga di Arab Saudi yang menggunakan tenaga kerja wanita dari Bangladesh, Pakistan, India, atau Filipina. Mereka lebih banyak bekerja di sektor perhotelan.


TKW kita selama berada di Arab Saudi banyak yang jadi korban pemerasan dan perlakuan yang sewenang-wenang. Tidak terhitung banyaknya dari mereka yang mengadu ke KBRI di Riyadh maupun KJRI di Jeddah. Seperti ketika dalam penerbangan dari Jeddah-Jakarta, banyak yang menceritakan penderitaannya yang buruk. Bahkan, terkesan sadistis. Tidak sedikit yang mengaku diperlakukan seperti budak, kerja dari Shubuh hingga larut malam.



Rupanya Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menyadari banyaknya kasus perlakuan yang tidak manusiawi para majikan maupun pengerah tenaga kerja kepada TKW. Harian The Saudi Gazette 5 Oktober 2004 dalam berita utamanya menulis pernyataan Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi. Melalui Wakil Menterinya, Ahmad Al-Mansour, ia menegaskan, ''Perusahaan yang menunda-nunda gaji para buruh, apalagi tidak membayarnya akan ditindak tegas.''


Juga disebutkan sanksi yang akan diberikan kepada perusahaan yang tidak mematuhi peraturan ini. Harian berbahasa Inggris ini juga menyebutkan sanksi-sanksi berupa penutupan dan pencabutan izin terhadap sejumlah perusahaan di Arab Saudi yang merekrut tenaga kerja. Kerajaan Arab Saudi meminta pada para buruh yang mendapat perlakuan tidak adil dari majikannya segera melaporkan kepada Kementerian Perburuhan.


Rakyat Saudi sendiri saat ini menghadapi masalah pengangguran. Karenanya, selama satu tahun terakhir ini banyak sekali TKI yang terpaksa terkena PHK dan dipulangkan ke Tanah Air. Sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan pesangon. Di sini tidak dikenal pesangon.


Dalam upaya memberikan pekerjaaan kepada rakyatnya, Pemerintah Saudi mengharuskan perusahaan-perusahaan menggunakan tenaga kerja warganya. Karenanya, tidak heran saat ini hotel-hotel di Jeddah, Makkah, Madinah, dan Riyadh para penerima tamunya yang dulu didominasi tenaga kerja India, Bangladesh, dan Pakistan kini beralih kepada warga Saudi. Tidak peduli SDM mereka memadai atau tidak.


Rupanya, masalah tenaga kerja yang dihadapi Saudi ini cukup besar. Hingga mereka tidak malu-malu lagi menjadi office boy yang dulu mereka tidak mau menjalani karena gengsi.


Seorang petugas sebuah travel biro menceritakan, dulunya ia bekerja di toko emas di Jeddah. Tapi, sejak tahun 2000-an, ada peraturan dari Pemerintah Saudi bahwa 20 persen dari tenaga kerjanya haruslah warga Saudi. Setahun kemudian dinaikkan menjadi 50 persen dan kemudian 70 persen. Dia akhirnya tersingkir dan beralih pekerjaaan.



Ketentuan ini juga diwajibkan di berbagai perusahaan dengan tujuan menampung tenaga kerja warga Saudi. Ia sudah berada di Arab Saudi sejak masa ayahnya yang kala itu menjadi syekh haji. Setelah sistem syekh dihapus dan diganti muasasah, ayahnya menjadi saudagar emas yang merupakan keahlian orang-orang Banjarmasin. Kini kecuali di tempat pertukangan yang masih tersisa warga non-Saudi, sebagian lainnya sudah digantikan warga Saudi.

''Dicari Centeng dan Pakaian Kuda''

Satpam alias satuan pengamanan adalah salah satu profesi yang banyak menyerap tenaga kerja. Satpam bukan saja menjaga keamanan di kantor dan instansi, tapi sudah meluas menjadi penjaga keamanan di rumah-rumah pribadi. Tentu saja untuk menjadi satpam harus berbadan sehat. Bahkan ada yang mensyaratkan harus memiliki ilmu bela diri. Tak heran banyak pensiunan tentara menjadi satpam terutama di bank-bank dan perkantoran.

Satpam baru dikenal awal 1980-an. Itu pun baru terbatas di perkantoran. Sebelumnya masalah keamanan ditangani hansip (pertahanan sipil). Hansip dibentuk pada masa Bung Karno akibat meningkatnya gangguan keamanan. Jauh sebelumnya, tugas menjaga keamanan lingkungan ini ditangani centeng. Kata yang berasal dari bahasa Cina ini biasanya disebutkan untuk penjaga keamanan rumah. Sampai 1950-an banyak warga Tionghoa, terutama yang berdoku tebal, memelihara centeng. Bukan saja untuk menjaga rumah dan perusahaannya, tapi juga dirinya. Istilah kerennya bodyguard. Centeng gampang dikenali. Karena mereka umumnya para jawara (jagoan), berpakaian hitam-hitam dengan golok terselip dipinggang.

Rupanya profesi centeng sudah dikenal sejak lama. Pada abad ke-19 atau zaman kuda makan kue talam, centeng banyak dicari. Termasuk untuk menjaga keamanan di onderneming-orderneming (perkebunan) milik Belanda. Suratkabar Pemberita Betawi terbitan 1889 memasang iklan centeng untuk dipekerjakan di sejumlah perkebunan.

Iklan itu mensyaratkan: ''Kowe punya tangan kuat dan berurat. Kowe punya nyali gede. Kowe punya muka kasar (maksudnya seram), dan kowe mau bekerja rajin dan necis.'' Bila memenuhi syarat-syarat diatas, ''Kowe inlander perlu datang ke Rawa Senayan (rupanya kala itu Senayan masih berupa rawa), di sana kowe harus dipilih liwat juri-juri yang bertugas:
1. Keliling rawa Senayan 3 kali
2. Angkat badan (maksudnya push-up) liwat (maksudnya sebanyak) 30 kali
3. Angkat perut (mungkin sit-up) liwat 30 kali.
Kowe mesti ketemu Mevrouw Shanti, Meneer Tomo en (dan) Meneer Atmadjaja. Kowe nanti akan dijadikan centeng untuk di Toba, Buleleng dan Borneo (kini Kalimantan).''

Kala itu rakyat lebih banyak berobat kepada sinshe (ahli pengobatan Cina). Maklum, jumlah dokter masih dapat dihitung dengan jari. Ada juga yang disebut tabib, ahli pengobatan India dan Pakistan. Tapi, jumlahnya tidak sebanyak sinshe. Rupanyua persaingan antar sinshe untuk merebut mereka yang ingin berobat, terlihat dalam sejumlah iklan. Seperti iklan di surat kabar Pemberita Betawi 14 Nopember 1885, seorang pasien (Tan Bouw Siong), memuat surat pujian kepada sinshe The Koei Lin yang membuka praktek di Kongsi Besar, Jakarta Kota. ''Saya menderita penyakit kantong nasi (sebutan untuk penyakit maag kala itu), dan batuk kering. Setelah berobat dengan sinshe The Koei Lin penyakit saya baik samasekali dan tidak kambuh lagi. Siapa sobat yang dapat sakit saya harap boleh panggil ini sinshe yang sudah banyak tolong orang.'' Rupanya si pemasang iklan berkolusi dengan si sinshe. Iklan berisi pujian semacam ini pada 1960-an madih banyak dilakukan.

Kereta kuda merupakan angkutan utama di abad tersebut. Bagi para tuan dan nyonya Belanda, dan orang kaya, di rumah-rumah mereka yang mewah dan berpekarangan luas terdapat istal kuda. Sementara para sais (pengemudi kereta) disediakan tempat menginap. Kala itu para meneer dan mevrouw bila sore hari dengan pakaian mode terbaru dari Paris naik kereta keliling Batavia yang ditarik dua sampai empat ekor kuda. Atau menghadiri resepsi di Societet Harmonie atau di Hotel Des Indes. Tak heran kala itu banyak iklan tentang aksesori kereta dan pakaian kuda.

Perusahaan FJ Fuchs di Batavia beriklan di suratkabar Pemberita Betawi, 13 Pebruari 1886, dengan judul Banyak tersedia pakean koeda, kreta dan bendie. Diantara barang yang diiklankan oleh perusahaan terkenal di Batavia ini yang kemudian menjadi importir mobil, antaranya pemegangan les, pengebutan lalar, lapisan kalung kuda, dan gunting kuda. Juga ditawarkan topi kusir dari kulit verlak, sisir kuda, rupa-rupa stang kuda, cambuk, dan lentera kuda yang terdiri lebih 50 macam.

Kala itu banyak iklan tentang lelang yang juga disebut penjualan di depan orang banyak. Segala perabot yang akan dilelang, produk, dan harga yang ditawarkan disebutkan dalam iklan. Seperti iklan lelang perabot rumah tangga pada 16 dan 17 Desember 1889 di rumah Mr GA Stam di Cikini, dekat kebun binatang (bekas kediaman pelukis Raden Saleh). Warga Belanda ini ingin kembali ke negaranya hingga ia melelang semua barangnya. Seperti kursi goyang, meja, konsol, meja cuci muka, bufet ukir pakai kaca, dan masih belasan barang lainnya yang diuraikan secara mendetail. Suratkabar Pemberita Betawi, 16 Desember 1889, juga mengiklankan lelang satu pasang kuda dan perlengkapannya. Buku-buku, khususnya hikayat Seribu Satu Malam juga banyak diiklankan. Dengan harga 1,10 gulden, Hikajat Orang Terbangoen dari pada Tidoernya ini dapat dibeli di toko buku Albrecht & Rusche.

Keadilan dan Hukum

Salah satu prioritas utama pemerintah yang baru saja dilantik adalah melawan korupsi dengan melaksanakan keadilan bidang hukum semaksimal mungkin. Tidak diragukan lagi, Islam menjunjung tinggi keadilan dan persamaan ini seperti dinyatakan dalam banyak ayat Alquran dan hadis Nabi SAW, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil." (Al-Nahl: 90).

Nabi Muhammad SAW dalam kepemimpinannya secara cemerlang telah berhasil membangun suatu masyarakat berkeadilan, menjauhi segala bentuk dan cara-cara diskiriminasi. Dalam berbagai buku sejarah Nabi Muhammad disebutkan bahwa dalam menegakkan hukum beliau tidak membeda-bedakan antara kawan dan orang asing, yang kuat dan yang lemah, kaya dan miskin, kulit hitam dan putih. Beliau tidak membenarkan adanya hak-hak istimewa dimiliki segelintir orang, yang menjadikan mereka kebal terhadap hukum.

Nabi pernah bersabda, "Sesungguhnya yang merusakkan orang-orang sebelum kamu adalah apabila ada di antara mereka yang berkedudukan mencuri (korupsi), mereka membiarkan saja tanpa memberikan hukuman. Tetapi, jika yang melakukan orang kecil (rakyat jelata), mereka mengenakan sanksi hukum." Sabda beliau ini dikemukakan ketika ada upaya untuk membebaskan hukuman seseorang yang melakukan kejahatan, hanya karena yang bersangkutan seorang bangsawan Quraish.

Sikap Nabi memang tidak pandang bulu, termasuk sanksi hukuman terhadap keluarganya sendiri. Seperti dinyatakan dalam sabda beliau, "Andai kata putriku Fatimah mencuri, akan kupotong tangannya." Pernah terjadi ketika beliau menata barisan perang dalam Perang Badar, beliau mendatangi seorang prajurit yang berdiri agak ke depan dari orang lain. Rasulullah menggunakan tongkatnya untuk menekan perut orang itu agar ia mundur sedikit ke belakangan, sehingga barisan akan menjadi lurus.

Prajurit itu berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah tongkat ini menyakiti perutku, aku harus membalas." Rasul memberikan tongkatnya kepada prajurit itu dan membuka baju di bagian perutnya seraya berkata, "Balaslah!" Prajurit itu maju ke depan dan mencium perut Nabi. "Aku tahu bahwa aku akan terbunuh hari ini. Dengan cara ini aku ingin menyentuh tubuhmu yang suci." Belakangan ia menghambur ke depan dan gagah menyerang musuh dengan pedangnya hingga ia syahid.

Persamaan dan keadilan dalam Islam, tidak hanya sebatas yang ditetapkan dalam UU, tetapi juga mencakup persamaan di hadapan Allah. Seperti ditegaskan Allah dalam firman-Nya, "Yang termulia di antaramu di sisi Allah, ialah orang yang lebih bertakwa." (Al-Hujurat: 13).

Pernah suatu ketika Umar Bin Khattab menghadiri sidang pengadilan. Begitu melihat kedatangan Khalifah Umar, kadi (hakim) yang memimpin sidang menunjukkan rasa hormat secara berlebihan padanya. Kepada sang hakim Umar mengatakan, "Bila Anda tidak mampu memandang dan memperlakukan Umar dari orang biasa, sama dan sederajat, Anda tidak pantas menduduki jabatan hakim."

Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi, juga menentang keras segala bentuk diskriminasi hukum. Pernah suatu ketika ia memprotes seorang hakim, karena dia dipanggil dengan gelar Abul Hasan. Sementara lawannya disebut dengan sebutan biasa. Karena itu, dalam masa pemerintahan baru sekarang ini, di mana banyak harapan rakyat tertumpu, jangan lagi ada diskriminasi di bidang hukum dan keadilan. Wallahu a'lam.

Sepeda Motor, Cewek Bensin, dan Impala

Beli sepeda motor dewasa ini seperti membeli kacang goreng. Para dealer kendaraan ini sudah menggelar produknya ke kampung-kampung dan desa-desa. Dengan membayar uang muka (DP) setengah juta perak, kita sudah dapat mencicilnya. Bahkan, dealer menawarkan kredit tanpa uang muka sepeser pun asal punya surat identitas diri (KTP) dan bersedia menandatangani surat perjanjian. Pihak dealer akan menarik sepeda motor yang kita pakai apabila cicilan sebesar Rp 350 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan tidak dibayar.

Akibat kemudahan ini, tidak mengherankan di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) yang berpenduduk tak kurang dari 20 juta terdapat jutaan unit sepeda motor. Buktinya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat memperkirakan sepeda motor yang digunakan oleh para pemudik di Jadebotabek tahun ini mencapai 827 ribu unit atau meningkat 8-10 persen dibandingkan 2003 yang mencapai 759 ribu unit.

Pada saat tiket Lebaran harganya melangit dan harus bersusah payah antre dan berdesak-desakan, mudik naik motor menjadi pilihan. Di samping murah, pulang dengan sepeda motor juga tidak terlalu menghadapi masalah kemacetan. Makin membengkaknya sepeda motor juga makin menyita trotoar-trotoar jalan. Maklum, pengendara motor sering menggunakan trotoar saat arus lalu lintas sedang macet. Trotoar pun makin sempit karena PKL juga menyitanya. Motor makin banyak, pengojek pun meningkat. Karena persaingan ketat, pengojek pun mencari penumpang sampai ke gang-gang kecil.

Sepeda motor sampai akhir 1950-an merupakan kendaraan bergengsi setelah mobil yang jumlahnya tidak seberapa. Memiliki sepeda motor kala itu hanya bagi orang-orang berduit. Sepeda motor buatan Jepang, seperti Honda, Yamaha, dan Suzuki, apalagi buatan Cina, belum satu pun yang nongol. Sepeda motor yang banyak berlalu lalang di Kota Jakarta buatan Eropa dan Amerika. Yang terkenal sepeda motor waktu itu adalah merek Java, Norton, BMW, Hercules, dan Harley Davidson. Orang keturunan Belanda (indo) sebelum perang dunia kedua membentuk Java Motor Club.

Seperti juga sekarang, Harley Davison 700 sampai 1.200 CC dengan empat mesin tak hanya dikendarai oleh mereka yang berbadan tegap. Pada masa penjajahan juga terdapat Harley Davidson Club di Batavia. Tidak lucu kalau Harley Davidson, sepeda motor buatan Amerika ini, dikendarai oleh orang berbadan kecil. Polisi Belanda dalam operasi menggunakan sepeda motor buatan Amerika itu. Di sebelah kiri pengendara ada yang diberi boncengan. Para pelaku kriminilitas yang tertangkap setelah diborgol dibawa ke markas polisi dengan motor tersebut.

Menjelang 1960-an, skuter merupakan raja jalanan di Jakarta. Yang terkenal merek Vespa dan kemudian disusul Lambretta. Keduanya produksi Italia. Hampir bersamaan waktunya, muncul sepeda motor lebih kecil, yaitu Ducati (Italia) dan Solex (Belanda). Solex sepeda yang di bagian depannya diberi motor (mesin). Ban depannya cepat licin karena tergesek mesin.

Pada 1960-an naik Ducati atau Solex sudah bisa jual tampang di jalan-jalan Jakarta pada sore hari. Mereka yang naik sepeda motor, lebih-lebih merek BMW, gampang mendapat pacar. Pacaran naik becak atau sepeda bukan zamannya. Karenanya, tidak heran kala itu ada istilah 'cewek bensin'. Maksudnya, para gadis yang memilih pacaran dengan cowok yang memiliki sepeda motor.

Maklum, kala itu karena situasi ekonomi yang buruk pemuda, yang memiliki sepeda motor masih jarang. Padahal, harga Ducati hanya 4.000 perak. Kala itu pelajar, mahasiswa, dan para pekerja masih banyak naik sepeda. Pergi ke sekolah, universitas, bioskop, dan kantor juga dengan sepeda. Di tempat-tempat ini tersedia parkir sepeda dengan penjaganya.

Karena banyaknya sepeda pada masa Belanda, di Batavia tersedia jalur khusus untuk kendaraan roda dua ini. Pada masa sebelum PD II, sepeda yang terkenal dan merupakan kegemaran orang indo adalah merek Batavus dan Fongers. Yang belakangan ini sepeda door trap selalu berputar ke depan dengan rem kaki.

Para pribumi ber-doku lebih menyukai sepeda Raleigh dilengkapi aksesori. Sepeda ini bila digenjot berbunyi tik, tik, tik. Kala itu banyak terlihat di jalan-jalan orang Belanda dengan memakai jas tutup putih dan celana putih dengan capio putih. Karena jalan belum tercemar polusi, warga Belanda ini pada sore hari jalan-jalan dengan sepeda setelah bekerja di kantor pada pagi hari.

Roda empat yang banyak diminati kala itu adalah mobil jeep. Di samping jip merek Willis, kendaraan roda empat yang hilir-mudik di Jakarta, antara lain Chevrolet, Cadillac, Ford, Dodge, dan Chrysler. Semuanya buatan Amerika. Salah satu produk Chevrolet yang terkenal adalah Impala. Hingga pada 1960-an ada lagu mengenai mobil mewah ini.

Mobil-mobil Eropa VW Kodok dan Mercy buatan Jerman. Fiat, buatan Italia, yang paling banyak terdapat di Jakarta sebelum PD II. Morris merek mobil terkenal dari Inggris. Ketika terjadi pembantaian massal terhadap kaum Muslimin di Libia oleh pasukan kolonialis Italia terhadap para pengikut pejuang Omar Mukhtar pada 1930-an, umat Islam di Jakarta memboikot mobil-mobil Fiat. Konon, banyak yang dibakar massa setelah mereka melalui masjid-masjid menyerukan jihad untuk membantu saudaranya di Libia.

Jadi, mobil dan sepeda motor yang kini didominasi produk dari Jepang memang belum muncul ketika itu. Produk-produk Jepang ini baru nongol awal tahun 1970-an.

Kursi Maut Bina Graha

Untuk memudahkan saling berkomunikasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kala berkantor di satu tempat. Kantor kepresidenan ini merupakan bagian dari Istana Merdeka. Terletak antara Istana Merdeka dan Istana Negara. Pada masa Presiden Soeharto tempat ini digunakan sebagai Museum Cinderamata. Segala cinderamata yang diberikan sebagai kenang-kenangan dari para tamu luar negeri disimpan di tempat ini.


Terjadinya penggantian pemerintahan dari Megawati kepada SBY diperkirakan juga akan ada penataan kembali terhadap wartawan yang bertugas di Istana. Pada masa Presiden Abdurahman Wahid, jumlah wartawan istana membengkak termasuk puluhan wartawan radio swasta yang mendapatkan pas Istana. Seleksi sudah tidak lagi ketat seperti pada masa Presiden Soeharto.


Sejak masa Habibie dan kemudian Gus Dur, wajah Istana Kepresidenan sudah tidak angker lagi seperti pada masa Bung Karno dan Pak Harto. Habibie telah menjadikannya sebagai 'Istana Rakyat' dengan membuka pintu istana bagi masyarakat. Sedangkan, Gus Dur sering menerima para ulama dan kiai di Istana tanpa aturan protokoler yang ketat. Hingga ada yang menyebutkan suasana di kompleks Istana mirip pesantren. Ketika menerima tamunya itu Gus Dur hanya menggunakan sarung, peci hitam, jas, baju putih tanpa dasi, dan bersandal.


Ketika menjadi wartawan Antara saya pernah bertugas di istana selama sembilan tahun (1969-1978). Ada yang menjuluki kami sebagai wartawan keraton atau wartawan kerajaan. Kalau sekarang ini Andi Malarangeng yang menjadi jubir presiden, saat itu jubirnya Widya Latief yang juga bertindak sebagai penterjamah Pak Harto. Pensiunan perwira tinggi TNI-AD ini pernah memarahi saya. Ia menilai berita rencana kunjungan Pak Harto ke Pulau Batam yang saya muat bisa membahayakan keselamatan rombongan presiden. Karena memuat tanggal, jam keberangkatan, dan kapal laut yang mengangkut rombongan dari Tanjung Pinang ke Batam. Widya Latief khawatir terjadi sabotase. Maklum, hubungan RI dan RRC kala itu sangat buruk setelah peristiwa G30S.


Sementara awal 1970-an, suasana anti Singapura memanas di tanah air, setelah negeri pulau ini menggantung dua anggota KKO (kini marinir) yang ditawan sejak masa konfrontasi. Saat itu rencana pembangunan Batam yang berdekatan dengan Singapura dimaksudkan agar RI tidak lagi bergantung kepada negeri pulau ini.


Pada awal pemerintahan Pak Harto yang menjadi menjadi sekretaris negara adalah Alamsyah Ratuprawiranegara. Sudharmono menjadi sekretaris kabinet. Kala itu Pak Harto baru saja membangun Bina Graha yang terletak disamping Istana Negara. Pak Harto lebih sering menerima para menteri dan pembantunya di Bina Graha yang pada masa Presiden Soekarno dijadikan markas Cakrabirawa. Pasukan khusus yang anggotanya terdiri dari empat angkatan ini bertugas menangani keselamatan presiden dan keluarga.


Pak Harto, tiap Selasa, mengadakan sidang dewan stabilisasi ekonomi yang terdiri para menteri bidang ekuin di Bina Graha. Mula-mula hasil sidang ini disampaikan pada pers oleh Menteri Penerangan Mashuri. Kemudian entah kenapa digantikan oleh Mensesneg Sudharmono yang dikenal sangat teliti dan murah senyum. Tapi setelah menpen dijabat Ali Moertopo dan Harmoko, keterangan hasil sidang diberikan keduanya. Tiap bulan Pak Harto juga mengadakan sidang kabinet paripurna. Sidang yang berlangsung di gedung utama Sekretariat Negara ini bukan saja dihadiri para menteri, juga pejabat eselon I.



Pak Harto awalnya sangat terbuka pada pers. Sayangnya, keakraban ini tidak berlangsung lama. Terjadinya insiden Kelapa Gading (Jakarta Utara) seakan-akan membuatnya kapok berbicara pada pers. Peristiwa berlangsung ketika Pak Harto membawa para wartawan meninjau perumahan dengan bahan baku bermis (batu apung) di Kelapa Gading. Perumahan ini dibangun oleh sebuah yayasan yang dipimpinnya. Seorang wartawan saat itu bertanya, "Ini semua biayanya dari mana, Pak?" Rupanya Pak Harto tidak berkenan dengan pertanyaan ini. Sebab jawaban yang diberikan agak diluar dugaan. "Duitnya mbahmu!" seru Pak Harto dengan muka agak memerah. Pak Harto juga pernah marah pada sebuah majalah, yang menulis silsilahnya bahwa ia masih keturunan Kesultanan Yogyakarta. Ia membantah dengan mengundang berbagai media di Bina Graha.


Di masa kolonial, gedung Bina Graha kala itu terletak di kawasan elit Rijswijk dan pernah menjadi tempat kediaman Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles House ini kemudian menjadi hotel paling gemerlap di Batavia, yaitu Hotel der Nederlander. Setelah kemerdekaan Presiden Soekarno menjadikannya sebagai markas Cakrabirawa.


Wartawan senior Casmo Tatilitofa yang selama belasan tahun jadi wartawan istana menulis sebuah cerita menarik tentang Bina Graha dalam bukunya Catatan Ringan Wartawan Istana dengan judul tulisan Ada Kursi Maut di Bina Graha. Di era 1970-an pernah terjadi seorang menteri meninggal dunia setelah memberikan keterangan pers di sebuah kursi di ruang wartawan gedung Bina Graha. Tentu saja meninggalnya bukan lantaran duduk di kursi tersebut. Tapi, esok harinya ketika ada menteri yang baru saja diterima presiden dan akan memberikan keterangan dengan duduk di kusi yang sama, ada wartawan yang nyeletuk. "Pak, jangan duduk di situ. Pak Fulan meninggal setelah memberi keterangan pers duduk di situ." Anehnya, menteri tersebut mengikuti saran wartawan dan pindah ke kursi lain. Padahal si wartawan hanya bercanda.

Marawis Betawi Kian Bersinar

Dua remaja berpakaian koko asyik menari dengan iringan musik yang khas. Tubuhnya tampak dihentak-hentakan mengikuti irama. Posisi kakinya jinjit. Sesekali kedua remaja itu mengangkat tangannya. Saat musik semakin ditabuh cepat dan makin menghentak, tarian pun dilakukan dengan penuh semangat.Tak banyak orang yang mengenal seni musik ini. Anda juga mungkin masih asing dengan seni yang dimainkan para remaja berbaju koko tersebut. Ternyata, seni musik yang mereka mainkan adalah dari tradisi Islam yang bernama marawis.

Seni Islami ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman beberapa abad yang lalu. Mengapa dinamakan marawis? Menurut Hasan Shahab, pegiat seni marawis Betawi, musik dan tarian ini disebut marawis karena menggunakan alat musik khas yang disebut marawis. ''Karena kesenian ini memakai alat musik yang namanya marawis, dari dulu orang menyebutnya sebagai marawis,'' ujar pemilik kelompok musik gambus Arrominia ini menjelaskan. Marawis adalah alat musik mirip kendang. Diameternya sekitar 20 Cm dan tinggi 19 Cm.

Selain menggunakan marawis, alat musik tetabuhan lainnya yang digunakan adalah hajir atau gendang besar. Hajir ini memiliki diameter sekitar 45 Cm dan tinggi 60-70 Cm.Kesenian ini juga menggunakan dumbuk, sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, tamborin dan ditambah lagi dua potong kayu bulat berdiameter 10 Cm.

Menurut Hasan, hampir di setiap daerah yang terletak di Semenanjung Melayu, memiliki kesenian marawis. ''Malah, ada yang menyebut seni ini marwas. Kesenian ini telah ada sejak lama di Indonesia,'' paparnya.Dulu, saat Wali Songo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, alat musik marawis digunakan sebagai alat bantu syiar agama. ''Marawis tak bisa lepas dari nilai-nilai religius. Awalnya musik ini dimainkan saat merayakan hari-hari besar keislaman, terutama Maulid Nabi,'' katanya.

Namun, kata Hasan, kini marawis tidak hanya dimainkan saat Maulid Nabi saja. Kini, acara hajatan pernikahan, peresmian gedung, hingga di pusat perbelanjaan, marawis sering dimainkan. Marawis yang ada di setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan marawis itu terletak pada cara memukul dan tari-tarian. Hasan mencontohkan, seni marawis di Aceh, tari-tariannya melibatkan laki-laki dan wanita. ''Kalau marawis khas Betawi yang menari dan memainkan marawis hanya pria. Tariannya pun khas memakai gerakan-gerakan silat,'' katanya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, seni marawis juga ditemukan di Palembang, Banten, Jawa Timur, Kalimantan, bahkan hingga Gorontalo. ''Semuanya berbeda dan memiliki kekhasan tersendiri sesuai adat dan budaya daerah setempat,'' paparnya. Diakuinya, kelompok marawis yang paling terkenal berasal dari Bondowoso, Jawa Timur. Seni marawis di Jawa Timur lebih dulu berkembang dibanding di Betawi. Biasanya, setahun sekali grup marawis dari Bondowoso main di Kwitang, Jakarta Pusat, untuk memeriahkan Maulid Nabi SAW. ''Semua orang berbondong-bondong melihat mereka tampil,'' katanya.

Sembilan tahun silam, seni marawis belum populer seperti saat ini. Di tanah Betawi, seni marawis awalnya hanya dimainkan oleh orang-orang keturunan Arab. Bahkan, ada semacam anggapan bahwa marawis hanya dimainkan mereka yang masih keturunan Nabi SAW. Marawis dimainkan orang-orang keturunan Arab untuk memeriahkan acara Maulid Nabi SAW. Selain itu, juga berkembang untuk meramaikan arak-arakan pengantin. ''Itu pun khusus di kalangan orang-orang keturunan Arab,'' paparnya.

Pusat kesenian marawis itu berada di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di kecamatan ini, terdapat sebuah daerah bernama Kampung Arab. Dari sinilah awal mula marawis berkembang pesat di wilayah DKI Jakarta. ''Di Kampung Arab itu, dari mulai kakek, cucu, anak semua main marawis,'' katanya. Diakui Hasan, sejak stasiun RCTI dan TVRI gencar menayangkan acara gambus beberapa tahun lalu, telah mendorong kesenian marawis ini berkembang lebih pesat. ''Dalam dua tahun inilah marawis berkembang pesat.''

Saat ini, hampir semua majelis taklim di Jakarta memiliki kesenian marawis. Mereka belajar seni marawis di Kampung Arab di Pasar Minggu. ''Tahun lalu saja sudah ada hampir 170 grup marawis. Sekarang mungkin lebih dari 200 grup,'' papar Hasan yang telah 15 tahun ini mengelola seni marawis.Satu grup marawis terdiri dari 10 orang. Setiap orang menabuh alat musik. Ada yang menabuh marawis, menabuh hajir, tamborin dan dumbuk. Seni marawis ini ternyata tidak selalu diisi dengan tarian. Menurut Hasan, tari-tarian dilakukan jika ada acara-acara khusus. ''Misalnya, kalau ada panggung baru,'' ucapnya.

Dalam seni marawis terdapat tiga nada yang berbeda, antara lain, zafin, sarah dan zaife. Zafin merupakan nada yang sering digunakan untuk lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Tempo nada yang satu ini lebih lambat dan tidak terlalu menghentak.Kini, zafin tak hanya digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pujian, tapi juga digunakan untuk mendendangkan lagu-lagu Melayu. Sedangkan, nada sarah dan zaife digunakan untuk irama yang menghentak dan membangkitkan semangat. ''Dengan ditambah budaya daerah, tarian marawis menjadi lebih indah,'' tuturnya.

Mengapa hampir semua pemain marawis Betawi berasal dari kaum Adam? Menurut Hasan, sangat kasihan kalau wanita harus main marawis. ''Risikonya tangan akan kapalan, kulit ari tangan bakal mengeras,'' katanya. Diakuinya, sangat tidak umum kaum hawa bermain marawis di Betawi. Bulan Ramahdan menjadi saat panen bagi kelompok marawis. Undangan pun berdatangan. ''Sebulan ini, grup kami mendapat 200 undangan dari wilayah Jabotabek saja,'' papar Hasan. Hampir setiap mal saat ini menampilkan grup marawis untuk menyemarakkan bulan suci Ramadhan.

Sebuah grup marawis bisa dikatakan bermain cukup bagus apabila memenuhi beberapa indikator. Menurut Hasan, dalam sebuah festival atau perlombaan marawis, yang harus dilakukan sebuah grup marawis adalah menghindari sekecil mungkin kesalahan. Kesalahan itu terjadi apabila ada pukulan marawis yang terlambat atau tidak harmonis. ''Di lomba-lomba yang dihitung adalah jumlah kesalahan yang dilakukan,'' paparnya. Selain itu, pukulan alat musik harus dilakukan sekreatif mungkin. Pukulan marawis tidak boleh dilakukan secara monoton. Dari segi kostum, tak ada penilaian khusus. Kelompok marawis bisa menggunakan baju koko, gamis ataupun baju daerah.

Ternyata, marawis tidak bisa dimainkan dalam waktu yang cukup lama seperti musik dangdut. Menurut Hasan, apabila marawis dimainkan dalam sebuah hajatan selama lebih dari 30 menit, maka para penonton akan menjadi jenuh. Memang awalnya, penonton akan merasa senang menikmati marawis. ''Karena seni ini bersifat monoton, jadi marawis hanya bisa dimainkan paling lama 20 menit,'' tuturnya.

Agar penonton tidak bosan, upaya pun dilakukan. Maka ditambahlah alat musik gambus atau organ. Biasanya, grup marawis akan berkembang menjadi grup gambus. Berbagai kreasi pun ditambahkan pada musik marawis ini. Agar penonton tak bosan, Hasan mulai memasukan unta menari dalam tiap penampilan grupnya. ''Orang Cina saja punya barongsai, maka saya coba tambah pakai unta. Penonton sangat antusias melihat marawis memakai unta-untaan,'' katanya.

Saat ini, marawis memang masih menghadapi tantangan. Karena, baru bisa diterima masyarakat dari kalangan menengah ke bawah. Hal itu, sambung Hasan, akibat sumber daya manusia (SDM) pemain marawis yang memang masih rendah. Ia mencontohkan, nasyid bisa diterima hingga kalangan atas. Itu karena para pemainnya berasal dari komunitas kampus. Meski begitu, marawis tidak kehilangan penggemar. Saat ini, permintaan dan undangan untuk tampil terus mengalir deras. Para pegiat marawis pun berharap agar televisi kembali mau menayangkan marawis seperti dulu. Marawis sebagai sebuah seni Islami tentu harus terus dikembangkan, agar tak punah dimakan zaman.

Alkamal, Mawaris dari Condet

Sekitar 1997 lalu, anggota pengajian majelis taklim Miftahul Khairat yang berlokasi di Jl Olahraga I, RT 08/05 Kampung Kramat, Condet, Jakarta Timur berembuk. Para remaja yang tergabung dalam pengajian itu tertarik untuk belajar seni religius marawis. Mereka tertarik setelah menonton tayangan marawis di layar televisi.''Kami kemudian bersilaturahmi ke Kampung Arab di Pasar Minggu dan minta diajari marawis,'' ujar pembina Grup Marawis Alkamal, Mohammad Napis, kepada Republika. Setelah itu, para remaja mengundang pengajar dari Kampung Arab untuk mengajarkan seni marawis tersebut.

Sebulan kemudian, anggota majelis pengajian Miftahul Khairat pun membentuk grup marawis yang bernama Alkamal. Awalnya, grup marawis ini hanya mengisi acara keagamaan dan hajatan warga yang tinggal di Kampung Kramat. ''Namun, setelah satu tahun berdiri, banyak undangan yang datang kepada kelompok marawis ini,'' tuturnya. Kini, kelompok marawis Alkamal telah turun-temurun hingga tiga generasi. Kelompok marawis ini, kini diisi remaja yang masih sekolah di SMU. Menurut Napis, antusiasme generasi muda di kampungnya sangat tinggi untuk belajar dan bermain marawis.

Bulan Ramadhan adalan saat panen bagi kelompok marawis. ''Kita sudah dapat 27 undangan. Malah besok (Jumat, 29/10) kita ada tiga undangan dalam sehari,'' tuturnya.Saat ditanya berapa tarif yang dipatok kelompok marawis Alkamal? Napis hanya menjawab, cukup untuk uang jajan anggotanya. ''Pokoknya, dalam seminggu kita biasa dapat undangan dua kali tampil,'' paparnya.

Kelompok marawis yang dibinanya telah tampil di berbagai mal, hotel dan tempat lainnya. Malah, dengan bangga Napis juga mengaku pernah bermain di Jakata Convention Center (JCC) sambil memperlihatkan foto kelompoknya yang tengah berpose dengan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso.Perkembangan grup marawis yang begitu pesat, membuat kelompok seni ini sangat mudah membeli alat musik seperti marawis dan hajir. Padahal, dulu untuk mendapatkan alat musik seperti itu, mereka harus membelinya di Kampung Arab, Pasar Minggu.

Di Kampung Kramat Condet, ada kebiasaan unik setiap merayakan Idul Fitri. Menurutnya, kelompok marawis biasanya keliling kampung mengunjungi rumah warga dan kemudian memainkan musik khasnya. Biasanya, setiap rumah memberi makanan dan minuman untuk para pemain. Usai memohon maaf dengan pemilik rumah, para pemuda pun kemudian memainkan marawisnya. Tradisi ini tampaknya menjadi ciri khas warga Betawi yang perlu dilestarikan.

Tenabang, Ambisi Pemda, dan Ongkos Parkir

Seorang antropolog bernama Lea Jellinek tahun 1970-an mengadakan penelitian tentang kawasan miskin di Jakarta. Untuk bahan perbandingan ia mondar-mandir Jakarta-Yogyakarta. Pada 30 tahun lalu situasi Ibu Kota sangat berbeda dengan sekarang. Kawasan Kebon Kacang di Tanah Abang, Jakarta Pusat, masih terdapat rumah-rumah gubuk. Tapi, ketika Lea Jellinek memantau kawasan Kebon Kacang ia menyimpulkan bahwa watak kampung miskin Kebon Kacang berbeda dengan kampung-kampung miskin di Yogyakarta.

Kebon Kacang, katanya dalam buku berjudul The Wheel of Fortune (Roda Keberuntungan), sejak 1949 masuk dalam 'garis edar' pembangunan nasional. ''Roda-roda keberuntungan berputar di Kebon Kacang dan tidak di kampung-kampung miskin di Yogyakarta.'' Demikian tulis Lea Jellinek, seperti dikutip budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam salah satu tulisannya.

Kawasan Kebon Kacang, Kebon Melati, Karet Pasar Baru, dan sekitarnya dikembangkan sejak 1920-an. Mereka menyebut Tanah Abang dengan Tenabang. Sampai akhir 1950-an sebelum berdiri Hotel Indonesia (HI) yang kini tengah direnovasi, kawasan ini bernama Kebon Sayur. Orang-orang bule (Eropa dan Belanda) yang tinggal di Menteng mendapat suplai sayur-mayur dari para petani di Kebon Sayur.

Dengan berkembangnya ratusan gedung pencakar langit di sepanjang jalan Thamrin maka kawasan yang banyak didiami rumah-rumah rakyat di sekitarnya tergusur. Kini di Kebon Kacang yang memiliki 30-an gang (lorong jalan) hampir tidak lagi terlihat rumah-rumah yang terbuat dari papan maupun setengah tembok. Sesuai dengan judul buku Lea Jellinek, di kawasan Kebon Kacang, lebih-lebih yang berdekatan dengan Pasar Tanah Abang, berdiri gedung-gedung megah.

Dalam suasana hiruk-pikuk menyambut Lebaran sekarang ini dipastikan Pasar Tanah Abang menjadi salah satu pasar yang paling banyak didatangi pembeli. Mereka berdatangan bukan saja dari berbagai tempat di Jakarta dan sekitarnya, tapi juga dari berbagai penjuru Tanah Air dan mancanegara. Tidak heran Pemprov DKI Jakarta dan PD Pasar Jaya terus berupaya mengembangkan dan memodernisasi pasar yang telah berusia 269 tahun ini. Tidak tanggung-tanggung, Tenabang akan dijadikan sebagai pusat perdagangan tekstil terbesar alias nomor wahid di kawasan Asia.

Sengketa antara penghuni pasar dan Pemprov (PD Pasar Jaya) mengenai peremajaan masih terus berlangsung. Tapi, yang jelas beberapa bangunan yang dinilai sudah tua tahun 2005 akan dibangun baru. Sengketa ini, di antaranya berkisar pada keberatan para pedagang mengenai harga kios yang kelewat tinggi.

Harga kios di Blok A yang dianggap sebagai tempat yang tidak strategis minimal Rp 20 juta per meter persegi. Di salah satu blok yang strategis Rp 200 juta per m2. Jadi, bila seorang pedagang memiliki lima meter persegi harganya mencapai satu miliar rupiah. Bahkan, ada kios yang harganya mencapai satu miliar rupiah per meter persegi. Dengan kata lain ada yang seharga 110 ribu dolar AS dengan nilai Rp 9.000 per dolar AS. Sampai-sampai ada yang memperkirakan lebih mahal dibandingkan harga di Wall Street, salah satu pusat perdagangan di New York, AS.

Kembali ke rencana menjadikan Tanah Abang sebagai sentra tekstil terbesar di Asia, pernah ada rencana induk (master plan) yang meluas hingga ke kawasan Gang Lontar, Jatibunder, Kebon Kacang I dan J KH Mas Mansyur. Bahkan, saat ini berdiri sejumlah kantor ekspedisi, pertokoan, dan berbagai kegiatan perdagangan dan industri lainnya. Contohnya, di Jl KH Mas Mansyur, salah satu jalan utama di Tanah Abang.

Di antara gedung lama yang masih tertinggal adalah Masjid Al-Makmur, masjid bersejarah yang dibangun pada abad ke-17 oleh dua bersaudara dari Kerajaan Islam Mataram ketika menyerang Batavia. Harga tanah juga telah melangit di sekitar Pasar Tanah Abang. Sebagai contoh, di Pasar Lama Ujung yang berdekatan dengan Pasar Tanah Abang yang akan dibangun Metro Development, konon ada pengembang yang berani membeli tanah di sini seharga Rp 25 juta per meter persegi. Ini jelas harga tanah termahal di Jakarta. Itu jauh lebih mahal dibandingkan harga di kawasan Segitiga Emas (Thamrin-Sudirman, Kuningan, dan Gatot Subroto). Di kawasan elite Kemang masih berkisar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per m2.

Memasuki Pasar Tanah Abang, lebih-lebih saat Ramadhan, kita harus mau bersusah-payah dan tahan uji agar tidak sampai membatalkan puasa. Kemacetasn lalu lintas sudah menjadi masalah rutin, tapi tidak terpecahkan. Ini terjadi karena para pedagang kaki lima (PKL) tak terkendali dan menempati ruang milik publik. Sejumlah pedagang menuding kemacetan Pasar Tanah Abang akibat para PKL dan parkir yang semrawut. Perparkiran di sini ditentukan oleh para preman. Tidak mengherankan sewa parkir di sini termahal di Jakarta. Memarkir di dekat Masjid Tanah Abang, kita diminta membayar Rp 5 ribu per jam. Itu pun dilakukan dengan agak memaksa.

Tenabang boleh dikata 'surga' bagi para PKL. Petugas PD Pasar Jaya beberapa tahun lalu pernah memperkirakan omzet seorang PKL lebih Rp 500 ribu per hari. Mereka mendapat keuntungan rata-rata 20 persen dari omzet per hari. Menjelang Lebaran keutungan sehari lebih dari Rp 200 ribu per hari. Karena itulah istilah 'surga' bagi PKL muncul. Tidak heran saat pulang ke Sumatra Barat pada malam takbiran, misalnya, banyak pedagang Tanah Abang yang naik pesawat terbang.

Zakat dan Kemiskinan

Data Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik menyebutkan jumlah orang yang dikategorikan miskin di Indonesia mencapai 34,7 juta jiwa. Jumlah yang tidak sedikit. Ironisnya lagi, itu terjadi di negara yang mayoritas penduduknya Muslim.

Padahal, Islam mewajibkan kepada kita agar orang-orang yang lemah dan tidak berdaya itu dilindungi dan dipelihara kemanusiaan dan kehormatannya. Untuk maksud inilah Allah melalui berbagai ayat Alquran memerintahkan kepada mereka yang berkecukupan untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta benda mereka, yang di-fardlu-kan dalam Rukun Islam ketiga berupa zakat. Di samping perintah untuk mengeluarkan infak dan sedekah. ''Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.'' (Al-Hadid: 16).

Dewasa ini makin disadari besarnya bahaya dalam masyarakat apabila orang-orang miskin dan lemah tidak mendapatkan apa yang memenuhi kebutuhan pokok mereka dan mereka terancam kelaparan. Sebagai misal, perut yang lapar akan mendorong pemiliknya melakukan dosa, melanggar segala larangan, serta menganggap yang demikian sebagai perbuatan yang sah. Bila sudah demikian, dikhawatirkan orang-orang kaya sendiri yang akan menjadi korban kejahatan mereka itu.

Sayid Sabiq, ulama kontemporer Mesir, dalam buku Islam Kita menulis, ''Suatu jamaah (komunitas) yang di dalamnya kemiskinan tersebar luas dan taring-taringnya menggigit, maka akan berkobarlah di sana permusuhan dan kebencian, sehingga akan tergoncanglah eksistensi umat karena gangguan yang merajalela dan ramailah aliran-aliran ekstrim.'' Islam sendiri telah menekankan secara tegas bahwa faktor utama dari kesenjangan dan kecemburuan sosial adalah akibat adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, dan mengutuk keadaan semacam itu. Lalu bagaimana solusi mengatasi kesenjangan itu? Kalau mau ditelaah secara ekonomi, perintah zakat itu pada akhirnya justru akan membantu mereka yang berpunya, karena akan dapat mendorong terciptanya daya beli baru dan produksi dari para penerima zakat. Bagi mereka yang mengeluarkan zakat, secara psikologis hati dan jiwanya akan lebih bersih dan tentram, dengan adanya saling kasih sesama umat. Sedang orang-orang yang tidak berpunya akan menaruh respek dan hormat kepada orang yang mempedulikan nasib mereka.

Sayangnya, sekarang ini masih banyak umat Islam yang berpunya termasuk mereka yang shalat dan berpuasa yang tidak mengeluarkan zakat. Mereka seolah-olah kehilangan rasa kasihan dan simpati kepada kaum yang lemah, hanya karena mementingkan kepentingan sendiri, serta rakus dan loba terhadap harta dan kemewahan.

Padahal, seperti diungkapkan Syekh Mohammad Iqbal, tokoh Muslim dari Pakistan, dalam Alquran lebih dari 600 kali kita diperintahkan untuk mengeluarkan zakat, guna menolong orang-orang yang kekurangan, miskin dan tidak punya perlindungan. Di antaranya 26 kata zakat yang dikaitkan dengan shalat, yang menjadi pilar utama Islam. ''Beruntunglah orang-orang yang beriman, mereka yang dengan khusuk mengerjakan shalat, menjauhkan diri dari percakapan tidak berguna, dan mereka yang mengeluarkan zakat.'' (Al-Mu'minun: 1-4).

Rasulullah SAW ketika ditanyai tentang amal yang paling utama, menjawab, ''Memasukkan rasa gembira kepada orang mukmin, menutup kelaparannya, membuka kesempitannya, dan membayar utangnya.'' Tentu saja yang dimaksudkan mereka yang berzakat. Wallahu a'lam.

Glodok: Denyut Ekonomi Jakarta

Setiap hari ribuan orang mendatangi kawasan Glodok, Jakarta Barat. Lebih-lebih menjelang lebaran sekarang. Pengunjung yang membludak bukan hanya dari Jakarta, juga dari Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya. Yang paling banyak didatangi pengunjung adalah pusat grosir Pasar Pagi, Mangga Dua, yang konon harganya lebih miring dibanding tempat lain. Sementara omzet penjualan elektronik di Harco Glodok menjelang lebaran dikabarkan naik hingga 10 sampai 15 persen. Demikian juga penjualan kaset VCD, termasuk VCD porno yang tetap marak selama puasa dan digelar secara bebas.

Glodok yang mendapat julukan China Town atawa Pecinan ini merupakan salah satu kampung tua di ibu kota. Semasa VOC atawa kompeni, Glodok merupakan kawasan di luar tembok benteng kota Batavia. Sejak November 1740, penguasa VOC menetapkan kawasan Glodok sebagai tempat tinggal para pemukiman Cina. Maksudnya, agar penguasa Belanda mudah melakukan pengawasan terhadap mereka. Di perkampungan ini ditempatkan seorang Kapiten Cina yang diserahi tugas mengawasi masyarakatnya. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, opsir Cina ini membentuk Kong Goan (Dewan Cina). Sejak 1837 dewan ini diketuai seorang mayor yang dibantu kapiten dan letnan.

Glodok dalam sejarah masa kini bukan hanya dikenal sebagai kompleks perdagangan barang elektronik terbesar di Indonesia. Hampir sulit dipercaya, bekas markas polisi sampai awal 1960-an ini sekarang menjadi pusat perdagangan Harco. Kini hanya sekitar ratusan meter dari Harco tengah dibangun pusat perdagangan Lindeteves, mengambil nama salah satu perusahaan raksasa di era kolonial Belanda. Sejak tempo dulu Glodok juga dikenal sebagai pusat denyut ekonomi ibu kota. Bahkan boleh jadi lebih dari itu. Wilayah ekonomi yang tidak henti memutar uang itu bukan saja sebuah kawasan yang identik sebagai Pecinan. Dalam sejarah kontemporer Jakarta, Glodok punya banyak arti: perjuangan kaum imigran, kejayaan, keterpurukan, dan perlawanan terhadap nasib dan penindasan.

Di Glodok pada masa lalu para mayor dan kapiten Cina digambarkan hidup seperti raja-raja Mandarin. Tapi, bersamaan itu sekitar 10 ribu warga Cina baik pria, wanita, tua, muda, dan anak-anak dibantai Belanda pada 11 Oktober 1740. Termasuk juga para pasien rumah sakit dan wanita yang baru melahirkan. Tapi, orang yang lebih tua dapat menceritakan nostalgia Imlek dan Cap Go Meh yang meriah hingga awal 1960-an. Atau pada masa lebih ke belakang lagi saat berlangsungnya pesta Peh Cun untuk memperingati 100 hari tahun baru Cina (Imlek). Acara Peh Cun dimeriahkan dengan pesta perahu di sungai Ciliwung di Kali Besar yang dihiasi lampu warna-warni dan orkes gambang keromong. Memang banyak yang telah meluntur di Glodok. Aksara Cina, bahasa Mandarin, tak lagi dominan, baru setelah reformasi subur kembali.

Menelusuri jalan-jalan di kelurahan Glodok serta puluhan gang di sekitarnya, aroma hio terasa menyengat. Hio, bagi masyarakat setempat, bukan saja dipasang di meja-meja pemujaan (altar), tapi juga banyak didapati di pojok-pojok rumah. Menunjukkan bahwa adat istiadat leluhur masih kental, sekalipun pada masa orba berusaha dihapuskan. Rumah-rumah di kawasan ini umumnya sudah menyatu dengan jalan dan berubah fungsi jadi pertokoan. Sedangkan, para pemiliknya lebih memilih tinggal di rumah mewah di real estate kawasan Pluit, Ancol, dan Pantai Indah Kapuk, Tangerang.

Terdapat empat buah wihara dan kelenteng yang telah berusia 300-an tahun dan masih berdiri kokoh, seperti kokohnya ekonomi orang Tionghoa di Indonesia. Belasan sinshe telah membuka praktek turun menurun dan tak terhitung jumlah pedagang obat-obatan Cina yang dijual bebas di toko, kios, dan pusat perbelanjaan. Ketika dua tahun lalu saya mewawancarai seorang pejabat kelurahan Glodok yang menyebutkan bahwa sekitar 82 persen dari 12 ribu penduduk di kelurahannya keturunan Tionghoa.

Dalam pengembangan kota Batavia, peran orang Cina sangat besar. Apalagi pemasukan kas kota sejak Jakarta bernama Batavia boleh dibilang sebagian besar datang dari orang Cina. Karena mereka dikenakan berbagai pajak oleh penguasa Belanda. Antara lain, pajak rambut totang yang dikepang bagian belakang dan dicukur gundul dibagian depan, seperti yang kita saksikan di film-film silat Mandarin. Ada pajak hiburan, pajak judi, pajak candu, dan pajak rumah soehian (tempat pelacuran).

Di Glodok juga masih kita jumpai nama tempat atau jalan yang punya sejarah ratusan tahun. Seperti Patekoan (kini Perniagaan) yang berarti delapan buah teko (poci) dari kata pat te koan. Bangunan yang kini ditempati SMUN 19 juga dikenal dengan sebutan cap kau artinya 19. Sedikit di luar Glodok terdapat kawasan Angke dengan Kali Angke-nya. Ada pendapat nama ini berasal dari bahasa Cina: ang (darah) dan ke (bangkai). Tapi, ada pula yang mengartikan ang sebagai merah dan ke berarti sungai. Yang pasti Kali Angke merupakan salah satu saksi sejarah pembantaian terhadap 10 ribu orang Cina pada Oktober 1740. Konon, sungai yang kala masih jernih berubah menjadi merah karena darah. Banyak mayat bergelimpangan di sungai itu. Menurut bahasa Hokian, kata ang berarti merah dan ke itu sungai. Jadi Angke berarti Kali Merah. Seperti kata angpau yang berarti amplop merah.

Ismail Marzuki Pahlawan Nasional

Pahlawan Nasional kelahiran Betawi kini menjadi dua orang setelah pemerintah menetapkan komponis dan pencipta lagu, almarhum Ismail Marzuki sebagai pahlawan nasional. Sebelumnya, Mohammad Husni Thamrin merupakan pahlawan nasional pertama kelahiran Betawi.

Penganugerahan Pahlawan Nasional disematkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kepada putri angkat almarhum Ismail Marzuki, Rachmi Aziah. Ahli waris Pahlawan Nasional itu berhak mendapatkan santunan dari negara Rp 600 ribu per bulan. Ismail Marzuki, yang namanya diabadikan untuk Taman Ismail Marzuki meninggal dunia 1958 dalam usia 44 tahun. Sedangkan istrinya, Lies Zuraedah meninggal 2002 lalu.

Selama hidupnya yang singkat, Bang Maing, sebutan populer Ismail Marzuki, telah menciptakan tidak kurang 200 lagu. Ada pula yang menyebutkan 300'an lagu dalam berbagai jenis irama. Sebagai seorang nasionalis relijius -- masa kecilnya mengaji di Unwanul Falah Kwitang - ia menciptakan lagu dengan setting perjuangan dari Sabang sampai Merauke. Seperti lagu ''Olele di Kotaraja' dan 'Irian Samba'.

Ismail, merupakan sosok Islam moderat yang istiqomah menggali dan mengamalkan Islam sekaligus mendalami seni. Ini dapat kita resepi dari karyanya Gugur Bunga, Indonesia Tanah Pusaka, dan masih banyak lagi. Karena lagu 'Rayuan Pulau Kelapa' yang diciptakan pada 1950'an, Bung Karno memberikan penghargaan Piagam Wijayakusuma kepadanya.

Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Rusdi Saleh, atas nama warga Jakarta dan Betawi khususnya menyatakan penghargaan kepada pemerintah atas anugerah ini. Warga Betawi merasa tersanjung dengan penghargaan Pahlawanan Nasional kepada salah seorang putra terbaiknya.

Menurut Rusdi, perjuangan untuk menggolkan Bang Maing sebagai pahlawan nasional telah dikumandangkan sejak 20 Mei 2003 pada peringatan wafatnyua Bang Maing di TPU Karet Bivak. Jakarta Pusat. Kemudian di follow up-kan oleh Permata (Persatuan Masyarakat Jakarta) dan mendapat respon positif dari gubernur Sutiyoso. Kemudian pada 7 Juli 2004 LKB membentuk kelompok kerja (Pokja) yang terdiri dari Rusdi Saleh, dr Atje Muljadi, Prof Dr Budyatna, Kris Biantoro, Ebet Kadarusman, Ridwan Saidi, dan Alwi Shahab. Pokja ini berjuang untuk menjadikan Ismail Marzuki sebagai pahlawan nasional.

Selain menuntut agar Ismail Marzuki diberi penghargaan gelar Pahlawan Nasional, LKB juga menuntut agar Jalan Prapatan antara jembatan Kwitang sampai Tugu Petani di kiri kanannya diganti menjadi Jl Ismail Marzuki. Mereka juga mengusulkan agar dibangun patung Ismail Marzuki di samping patung Muhammad Husni Thamrin di Jl Thamrin. Pemerintah DKI Jakarta telah mendirikan patung Jenderal Sudirman di Jl Sudirman dan merencakan membangun patung pahlawanan nasional Diponegoro, di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat.

Ketika Ismail Marzuki diusulkan sebagai pahlawan nasional, usulan ini telah mendapat dukungan dari para seniman dan pejuang kemerdekaan. Termasuk Yusuf Ronodipuro, mantan dubes RI di Argentina dan sekjen Deppen. Keduanya berjuang bersama saat mendirikan RRI pada masa perjuangan fisik. Menurut Yusuf, pada 1946 ia bersama Ismail naik kereta ke Yogyakarta. Ketika tiba di stasion Yogya pada senja hari, melalui jendela KA Ismail menyaksikan pemandangan yang mengharukan. Dan terciptalah lagu ''Sepasang Mata Bola''

Masih dalam rangka mengenang komponis legendasris ini, menurut Rusdi, LKB merencanakan untuk mendirikan Ismail Marzuki Award. Akan memberikan hadiah dan penghargaan kepada para pencipta lagu berprestasi tiap tahunnya.

Selalu Rindu Haramain

Mungkin tidak banyak orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji sebanyak DR H Syekhan Shahab (53). Putra kelahiran Jakarta 4 September 1951 ini sudah 27 kali menunaikan rukun Islam kelima. ''Tidak termasuk umroh, yang tidak terhitung banyaknya,'' kata ayah lima anak kepada Republika di kediamannya di kawasan Buncit, Jakarta Selatan.

Tapi, dari jumlah sebanyak itu, hanya empat kali yang membayar. Lainnya sebagai petugas, membawa rombongan jamaah, dan menjadi pegawai musiman yang bertugas membantu para jamaah haji. ''Saya menjadi pegawai musiman, saya belajar dan kuliah di Siria, selama lima tahun (1973-1978),'' kata Syeikhan.

Ia berhaji pertama kali tahun 1973 dalam usia 22 tahun. Saat itu, jumlah jamaah haji Indonesia tidak lebih dari 50 ribu orang. Dalam rombongan jamaah ada Gubernur DKI (saat itu) Ali Sadikin, DR Hamka, dan pengusaha Hasyim Ning.

''Ketika pertama kali melihat Kabah saya sungguh terpesona. Demikian pula ketika berziarah ke Madinah. Sejak saat itu saya selalu rindu pada tanah Haramain (Mekkah dan Madinah),'' ujarnya. Saat menjalani pendidikan sastra Arab dan Inggris di Siria, dan di Amercan University di Beirut selama lima tahun, ia selalu memanfaatkan waktu menjadi pegawai musiman haji. Selama lima tahun ia menjalani 'profesi' itu.

Kembali ke Indonesia tahun 1983, ia kembali menunaikan rukun Islam kelima. Tahun itu oleh Ketua Yayasan Pembina Perguruan Islam Az-Zahra ini disebutnya sebagai 'tahun ujian'. Karena sebelum berangkat ke tanah suci, putera pertamanya, Isa meninggal dunia dalam usia 2 tahun 3 bulan karena kecelakaan. Isa yang sejak usia 2 tahun sudah fasih membaca surat Al-Fatihah dan beberapa surat Jus Amma ini adalah putra kesayangannya. ''Setiap kali saya hendak berangkat ke kantor, dia dengan susah payah membawakan tas saya ke mobil,'' ujarnya.

Suatu pagi, rutinitas itupun kembali berlangsung. Namun karena terburu-buru, ia tak menyadari kalau anaknya berada di belakang mobilnya saat ia memundurkan mobilnya. Bencana itupun terjadi. ''Saya angkat putra saya yang masih balita ini, dan membawa ke dokter di depan rumah. Jiwanya tidak tertolong, anak yang lincah ini meninggal di tangan saya,'' ujar Syeikhan pelan.

Ia sangat terpukul dengan kejadian itu. Saat pemakaman, ia sendiri yang turun ke liang lahat dan mengazankannya. ''Tiba-tiba timbul perasaan dalam diri saya, kenapa saya hanya cinta kepada anak saya. Harusnya saja juga lebih cinta kepada Sang Khalik yang menciptakan mahluknya, dan merupakan cinta yang kekal abadi.'' Malam-malam setelah musibah itu ia habiskan untuk bertahajud dan meratap pada Allah, bertaubat. Selama tiga bulan berturut-turut (Rajab, Syahban dan Ramadhan) Syaikhan tiap hari berpuasa.

Pada tahun itu juga ia diminta sebagai pembimbing cleaning service jamaah haji. Tiket dan paspor pun sudah disediakan. Mula-mula ia menolak karena kedua orang tua tengah sakit. ''Tapi menjelang waktu keberangkatan, saat shalat shubuh, konsentrasi saya seolah-olah hilang. ''Yang ada hanyalah Makkah dan Madinah yang tampak jelas di depan saya. Karenanya, dengan restu kedua orang tua saya putuskan ke Tanah Suci,'' tambahnya.

Di pesawat, ia ditugaskan memimpin jamaah Boeing 747 yang berjumlah 400 orang. ''Saat umroh sebelum ke Arafah, saya merasa Isa anak saya berada di sekitar saya. Setelah itu, boleh dikata tiap tahun saya menunaikan ibadah haji baik sebagai pembimbing maupun sebagai petugas haji.'' Tahun 1992 ia ingin membawa istri berhaji. Ia pun mengumpulkan uang untuk keperluan itu. ''Ketika keberangkatan sudah makin dekat, tiba-tiba saya dipanggil oleh seorang tokoh nasional. Saya diberinya uang untuk keperluan di tanah suci sebanyak Rp 60 juta. Padahal ONH ketika itu hanya Rp 3,5 juta,'' ujarnya.

Ia pun mengajak saudara dan teman untuk ikut naik haji. Di Jeddah, ia juga mencari orang yang mau berangkat bersama. Usai beribadah, sisa uang itu dibagikannya kepada teman-temannya untuk membeli oleh-oleh haji. Meskipun sudah 27 kali berhaji, dan puluhan kali umroh, tapi Syeikhan masih ingin menghajikan dua orang putranya. Sedangkan istri dan tiga orang anaknya yang lain sudah menunaikan rukun Islam kelima.

Musim haji tahun depan, ia mengaku belum mempunyai rencana. ''Entah kalau tiba-tiba nanti ada panggilan,'' katanya. Syeikhan juga sengaja tidak umroh pada Bulan Ramadhan ini. ''Lebih baik uang biaya umroh bersama istri yang sekitar empat ribu dolar ini disumbangkan untuk orang miskin.''

Syeikhan Shahab
Lahir : Jakarta, 4 September 1951. Istri : Ferry Belgis Pendidikan : Fakultas Sastra Arab dan Inggris Amercian University Beirut (1972-1976) S3 di Universitas Cambridge Inggris (1976-1978). Karir:
1978 - 1993 Bank Indonesia
1993 - 1996 Bank Intan
1995 - 1998 Anugerah Intan Asuransi
1996 - sekarang : Basalim Petrogas
1983 mendirikan Universitas Averus
1994-sekarang : Universtias Islam Az-Zahra

Syekh Muhammad Maliki Tutup Usia

Berita dukacita datang dari kota suci Mekkah. Sayid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Alhasani, wafat pada 15 Ramadhan 1425, bertepatan dengan tanggal 29 Oktober 2004. Meninggalnya ulama kelahiran Mekkah tahun 1943 (1362H) cukup mengejutkan warga kota Mekkah, khususnya para mukimin Indonesia yang tinggal di Kota Suci itu. Karena, ulama yang menjadi panutan para kyai di banyak negara ini, sebelum menghembuskan nafas terakhir masih menunaikan shalat subuh di kediamannya.

Ketika jenazah Sayid Muhammad Al Maliki hendak dishalatkan di Masjidil Haram, ribuan warga kota Mekkah bergantian menggusung jenazahnya. Dikabarkan sejumlah warga Afrika banyak yang menangis dan histeris. Sementara toko-toko di sekitar Masjidul Haram yang dilewati jenazah mematikan lampu sebagai tanda dukacita.

Jenazah almarhum di makamkan di pemakaman Ma'la di Mekkah, berdekatan dengan makam Sayidatina Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW. Harian Arab Saudi Okaz sengaja mengetengahkan tiga halaman suratkabarnya untuk memuat kegiatan, aktivitas, dan biografi almarhum.

Kebesaran Al Maliki, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara Afrika, Mesir, dan Asia Tenggara. Ayahnya Sayid Alwi Al Maliki adalah guru dari pendiri NU, KH Hasyim Ashari. Dia juga pernah menjadi guru besar di Masjidil Haram pada 1930-an dan 40-an. Banyak ulama sepuh dari Nahdlatul Ulama (NU) yang menimba ilmu dari Sayid Alwi Al-Maliki. Sepeninggal Sayid Alwi, kiprahnya dilanjutkan oleh Sayid Muhammad Al-Maliki.

Sayid Alwi juga pernah mengajar di Masjidil Haram, Makkah. Almarhum ayahnya ini dulu tinggal di Aziziah, yang tidak jauh dari Masjidil Haram. Di masjid yang dijadikan sebagai kiblat umat Islam ini, Sayid Alwi mengajar murid-muridnya yang datang dari berbagai negara, termasuk para jamaah dari Indonesia. Warga Betawi sendiri pada masa-masa itu, banyak mengirimkan anak-anak mereka belajar ke tanah Hejaz (sebutan Kerajaan Arab Saudi kala itu).

Ketika dua tahun lalu saya berkunjung di kediamannya di Rushaifah sekitar empat kilometer dari Masjidil Haram, terlihat ratusan muridnya yang berdiam di pesantren dan sekaligus kediamannya. Banyak diantara mereka yang berasal dari Indonesia. Di samping dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan sejumlah negara di Afrika.

Ketua Umum DPP PAN Amien Rais pernah berkunjung ke Sayid Muhammad Al-Maliki. Demikian pula Hamzah Haz saat masih menjabat sebagai wakil presiden. Banyak ulama Indonesia, saat melaksanakan ibadah haji dan umrah, selalu sowan ke rumah Al Maliki.

Almarhum yang telah beberapa kali ke Indonesia dan murid-muridnya mempunyai banyak pesantren di pulau Jawa, Sulawesi dan Sumatera, punya perhatian khusus pada Indonesia. Seperti saat Hamzah Haz tahun lalu mengunjunginya, dihadapan para ulama Mekkah dan berbagai negara Islam, ia berdoa agar bangsa Indonesia dipersatuan Allah, dan tidak bercerai berai.

Di depan kediamannya, terdapat sebuah masjid cukup besar. Sementara di bagian dalam, terdapat sebuah lapangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu dalam jumlah besar. Boleh dikata Al-Maliki tidak pernah sepi menerima banyak tamu tiap hari. Al-Maliki yang murah senyum dan berwajah tampan, ketika itu, tengah mengadakan pertemuan dengan sejumlah ulama, di antaranya dari Afrika dan Eropa. Pertemuan silaturahmi semacam ini hampir tiap malam dilakukan.

Dalam pertemuan itu dibacakan maulid Nabi Muhammad SAW, yang boleh dikatakan jarang terjadi di Arab Saudi. Menurut keterangan, di antara murid-muridnya itu banyak para mukimin asal Indonesia yang telah menjadi warga Arab Saudi. Biasanya, setelah shalat Isya para tamu kemudian makan bersama berupa nasi kebuli. Satu nampan besar umumnya dihidangkan untuk 5 hingga 6 orang. Almarhum yang pada tahun 1970-an dan 1980-an kerap berkunjung ke Indonesia. Ia singgah di berbagai pesantren dan perguruan Islam di Indonesia. Ia juga pernah beberapa kali berkunjung ke Majelis Taklim Kwitang, Attahiriyah, dan Assyafiiyah.

Tak henti belajar
Sayid Muhammad Al Maliki memulai pendidikan di Masjidil Haram, tempat ayahnya pernah mengajar. Kemudian dilanjutkan di sekolah Tahfidil Quran. Masih dalam usia muda, Sayid yang tidak pernah bosan menempa ilmu itu kemudian berkeliling ke India dan Pakistan. Di sini ia belajar di kota Bombay, Hederabad, dan Karachi dari ulama di kota-kota tersebut.

Ia kemudian melanjutkan pelajarannya di Universitas Al-Azhar Bidang Usuluddin dan mendapat gelar doktor. Dari Al-Azhar ia melanjutkan pendidikan ke Maroko dan beberapa negara Afrika Utara. Setelah ayahnya wafat, pada 1971 ia menjadi guru besar di Masjidil Haram. Sebelumnya menjadi dosen syariah di Universitas Makkah Mukarommah. Ia juga pernah dipilih sebagai ketua penelitian internasional dalam perlombaan MTQ pada pertengahan tahun 1970-an.

Sayid Muhammad Al Maliki mendirikan tidak kurang 30 buah pesantren dan sekolah di Asia Tenggara. Karangannya mencapai puluhan kitab mengenai usuluddin, syariah, fikih dan sejarah Nabi Muhammad. Ia mendapat gelar profesor dari Universitas Al-Azhar pada tanggal 6 Mei 2000. Ratusan murid yang menampa pendidikan di pesantrennya, biaya makan dan pemondokan ditanggungnya, laias gratis.

Menurut Habib Abdurahman A Basurrah, wakil sekjen Rabithah Alawiyah yang lama mukim di Arab Saudi, di Indonesia diantara murid-murid Al-Maliki banyak yang menjadi ulama terkenal dan pendiri dari berbagai pesantren. Murid-muridnya itu antara lain Habib Abdulkadir Alhadad, pengurus Al-Hawi di Condet, Jakarta Timur; Habib Hud Baqir Alatas pimpinan majelis taklim As-Shalafiah; Habib Saleh bin Muhammad Alhabsji; Habib Naqib Bin Syechbubakar yang memimpin majelis taklim di Bekasi; Novel Abdullah Alkaff yang membuka pesantren di Parangkuda, Sukabumi.

Di antara ulama Betawi lainnya yang pernah menimba ilmu di Makkah adalah KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki tiga buah madrasah/pesantren masing-masing di Tebet, Jakarta Timur, dan dua di Depok. Masih belasan pesantren dan madrasah di Indonesia yang pendirinya adalah alumni dari Al-Maliki. Seperti KH Ihya Ulumuddin yang memiliki pesantren di Batu, Malang. Demikian pula Pesantren Riyadul Solihin di Ketapang (Probolinggo), dan Pondok Pesantren Genggong, juga di Probolinggo.