Puluhan Ribu Warga Belum Diketahui Hidup atau Mati
TIDAK ADA KEHIDUPAN: Situasi Kota Meulaboh dilihat dari udara. Di kota di pesisir selatan Aceh itu, sebagian besar bangunan rusak berat dan masih tergenang air. Selain itu, tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan hingga Selasa (28/12), setelah iterjang gelombang Tsunami. Di kota itu sedikitnya tinggal 40.000 jiwa. (55a)
ACEH - Kota Meulaboh dilukiskan seperti tidak ada kehidupan lagi setelah diamuk gempa dan badai tsunami. Sementara itu, 76.000 warga yang mendiami Pulau Simeuleu belum diketahui nasibnya, apakah masih ada yang tersisa atau habis semua. Karena pulau yang terletak di Samudera Hindia, tepatnya barat Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh
Selatan ini, berdekatan dengan pusat gempa.
Wartawan Suara Merdeka Rukardi dari Aceh Selasa kemarin melaporkan belum ada keterangan detail tentang kondisi terakhir pulau tersebut. Menurut keterangan Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irjen Pol Bahrumsyah, Pulau Simeuleu sudah tidak berbentuk lagi.
Kini sedang diupayakan untuk mendata jumlah korban di pulau tersebut. Luas Pulau Simeuleu 2.052 km2 yang terbagi menjadi delapan kecamatan dan 81 desa. Berdasarkan hasil Pendaftaran Pemilih dan Penduduk Berkelanjutan (P4B) yang diselenggarakan KPU dan BPS pada 2003, jumlah penduduknya 76.000 jiwa.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan KRI Sibolga segera berangkat ke kota Meulaboh di pesisir selatan Aceh untuk meninjau situasi di ibu kota Kabupatan Aceh Barat itu yang sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kota ini berpenduduk sekitar 40.000 jiwa, sedangkan total penduduk Aceh Barat lebih kurang 195.000 jiwa.
Kalla yang juga Kepala Badan Koordinasi Nasional untuk Penanggulangan Bencana Alam dan Pengungsi melakukan pemantauan dengan menggunakan pesawat Boeing-737.
Melihat situasi Meulaboh yang terlihat tidak ada tanda-tanda kehidupan dan semua bangunan rusak parah, Kalla meminta KRI Sibolga segera merapat ke Meulaboh untuk memastikan jumlah korban serta mengupayakan evakuasi jenazah yang belum tertangani.
Penjabat Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring mengatakan, jalur komunikasi dari dan menuju ke Meulaboh benar-benar terputus. Dia melihat masalah utama yang saat ini dihadapi adalah bagaimana mengevakuasi jenazah yang masih berserakan di jalan-jalan untuk diangkut dan segera dikuburkan. Sembiring mengemukakan, karena jalur komunikasi yang terputus maka proses evakuasi jenazah akan
mengalami kesulitan.
Dia menggambarkan, kalaupun 10.000 sukarelawan dikerahkan, evakuasi jenazah baru dapat diselesaikan paling cepat dalam satu minggu.
Mengenai nasib ribuan jenazah yang diangkut dari beberapa tempat di Banda Aceh dan kini menumpuk di pinggir jalan sepanjang 500 meter di wilayah Lambaro, 25 km barat Banda Aceh, jenazah akan dimakamkan secara massal.
Pemda setempat telah menyiapkan satu lubang besar di Aceh Besar yang tidak jauh dari Kecamatan Lambaro untuk menguburkan jenazah-jenazah tersebut.
Puluhan ribu warga di Ulele di dekat Banda Aceh juga belum diketahui nasibnya. Ulele adalah kota pelabuhan yang sehari-harinya ramai dengan kegiatan ekonomi karena menjadi salah satu titik penting lalu lintas perdagangan dari Aceh ke Sabang dan sebaliknya. Kota tersebut padat dengan penduduk dan jumlahnya diperkirakan 40.000 orang.
Di Medan, Sumatera Utara, arus pengungsi besar-besaran dari wilayah-wilayah di Provinsi NAD masih berlangsung. Hingga kemarin, setidaknya sudah dua rombongan besar pengungsi -masing-masing berjumlah ratusan- tiba di Medan dari Aceh.
Mereka diangkut dengan pesawat Hercules. Banyak di antara warga Aceh yang mengungsi merasa khawatir soal kemungkinan gempa susulan akan terjadi. Karena itu, mereka berupaya menyelamatkan diri. Di Propinsi NAD, kegiatan pengungsian masih terlihat di berbagai tempat.
Banyak penduduk yang bahkan pergi ke hutan-hutan untuk mengungsi.
Kekurangan Makan
Dua hari setelah gempa dan gelombang tsunami memorak-porandakan Aceh,
masyarakat sangat membutuhkan bahan makanan. Meski bantuan sudah
mulai datang, jumlahnya masih terlalu sedikit. Banyak warga yang
histeris berteriak, "Makan, makan!"
Kondisi seperti ini betul-betul membuat hati trenyuh bagi siapa saja yang melihatnya. Mereka berteriak seperti itu karena sudah tiga hari ini tidak makan. Bila ada makanan, mereka mementingkan anak-anak mereka.
Pemandangan ini dapat dilihat di lokasi penampungan pengungsi di Masjid Baiturrahman di jantung kota Banda Aceh. Ribuan orang dikumpulkan di sini. Suasana masjid bersejarah itu juga tampak tidak keruan. Mayat-mayat masih berserakan di halaman dan sekitar masjid.
Para pengungsi di masjid tampak memprihatinkan. Selain belum ada bantuan bahan makanan, mereka juga tidak mendapatkan pasokan air bersih. Mereka buang hajat di mana saja karena fasilitasnya betul-betul tidak ada. Listrik pun masih padam.
Situasi seperti ini tidak hanya terjadi di Masjid Baiturrahman. Di tempat-tempat penampungan, pengungsi juga bernasib sama. Mereka betul-betul memerlukan bantuan pangan, obat-obatan, dan air bersih.
Jehinda Ingan Muhuli Ketaren (41), warga Kampung Mulia Kota Banda Aceh mengatakan belum menerima bantuan apa pun. Selama ini, Jehinda dan ribuan pengungsi lain hanya makan mi instan bantuan warga sekitar Aceh. Itu pun tanpa dimasak karena tidak ada posko-posko dan dapur umum.
Dalam situasi kekurangan bahan makanan, para korban gempa melakukan penjarahan di sejumlah kompleks pertokoan untuk mengambil bahan makanan, obat-obatan, dan pakaian.
Bendahara PMI Cabang Aceh Besar, Rahmawati menyebutkan, sedikitnya 1.200 mayat korban dikuburkan secara massal oleh PMI, TNI, dan Polri, di Desa Bada, Kecamatan Inginjaya, Kabupaten Aceh Besar. Mayat-mayat itu dimasukkan ke dalam lubang besar. Sebagian mayat dibungkus kafan namun sebagian lainnya dikuburkan dalam kondisi seadanya. Mayat-mayat
itu tampak sudah menggelembung dan mengeluarkan bau busuk. Di depan kantor PMI ratusan mayat masih dikumpulkan untuk segera dimakamkan. Tiga buah tenda besar yang disediakan tak mampu menampung ratusan mayat tersebut. PMI mengaku kesulitan menangani mayat karena keterbatasan armada serta kurangnya relawan.
''Saat ini kami masih berkonsentrasi untuk mengevakuasi dan menguburkan semua mayat agar tidak menebarkan penyakit. Namun peralatan seperti sarung tangan, masker, dan alat berat masih sangat kurang,''kata Rahmawati.
Sementara itu, bantuan mulai berdatangan ke Bandara Iskandar Muda. Bantuan dibawa dengan pesawat Hercules dari Jakarta dan Medan. Namun bantuan ini juga belum banyak, masih sangat terbatas. Menurut rencana, bantuan dalam jumlah besar tiba pada hari ini.
Di Banda Aceh juga kekurangan pasokan BBM. Dari sekian SPBU yang masih berdiri, hanya satu yang memiliki pasokan BBM. Itu pun sudah diserbu masyarakat pada Senin (27/12) malam. Antrean sepanjang satu kilometer sebelum premium habis.
Akibat tidak ada pasokan BBM, kini di Banda Aceh minim transportasi. Hanya sedikit mobil pribadi yang melewati jalan raya. Yang sering terlihat hanya mobil ambulans dan mobil TNI dan SAR.
Para wartawan yang meliput juga harus berjalan kaki.
Hingga pukul 12.00, aparat TNI, tim SAR, tim relawan, dan masyarakat masih terus mengevakuasi mayat-mayat yang berada di pinggir jalan. Evakuasi berjalan lambat karena keminiman peralatan dan transportasi.
(H6,dtc-33j)
Wednesday, December 29, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment