Untuk memudahkan saling berkomunikasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kala berkantor di satu tempat. Kantor kepresidenan ini merupakan bagian dari Istana Merdeka. Terletak antara Istana Merdeka dan Istana Negara. Pada masa Presiden Soeharto tempat ini digunakan sebagai Museum Cinderamata. Segala cinderamata yang diberikan sebagai kenang-kenangan dari para tamu luar negeri disimpan di tempat ini.
Terjadinya penggantian pemerintahan dari Megawati kepada SBY diperkirakan juga akan ada penataan kembali terhadap wartawan yang bertugas di Istana. Pada masa Presiden Abdurahman Wahid, jumlah wartawan istana membengkak termasuk puluhan wartawan radio swasta yang mendapatkan pas Istana. Seleksi sudah tidak lagi ketat seperti pada masa Presiden Soeharto.
Sejak masa Habibie dan kemudian Gus Dur, wajah Istana Kepresidenan sudah tidak angker lagi seperti pada masa Bung Karno dan Pak Harto. Habibie telah menjadikannya sebagai 'Istana Rakyat' dengan membuka pintu istana bagi masyarakat. Sedangkan, Gus Dur sering menerima para ulama dan kiai di Istana tanpa aturan protokoler yang ketat. Hingga ada yang menyebutkan suasana di kompleks Istana mirip pesantren. Ketika menerima tamunya itu Gus Dur hanya menggunakan sarung, peci hitam, jas, baju putih tanpa dasi, dan bersandal.
Ketika menjadi wartawan Antara saya pernah bertugas di istana selama sembilan tahun (1969-1978). Ada yang menjuluki kami sebagai wartawan keraton atau wartawan kerajaan. Kalau sekarang ini Andi Malarangeng yang menjadi jubir presiden, saat itu jubirnya Widya Latief yang juga bertindak sebagai penterjamah Pak Harto. Pensiunan perwira tinggi TNI-AD ini pernah memarahi saya. Ia menilai berita rencana kunjungan Pak Harto ke Pulau Batam yang saya muat bisa membahayakan keselamatan rombongan presiden. Karena memuat tanggal, jam keberangkatan, dan kapal laut yang mengangkut rombongan dari Tanjung Pinang ke Batam. Widya Latief khawatir terjadi sabotase. Maklum, hubungan RI dan RRC kala itu sangat buruk setelah peristiwa G30S.
Sementara awal 1970-an, suasana anti Singapura memanas di tanah air, setelah negeri pulau ini menggantung dua anggota KKO (kini marinir) yang ditawan sejak masa konfrontasi. Saat itu rencana pembangunan Batam yang berdekatan dengan Singapura dimaksudkan agar RI tidak lagi bergantung kepada negeri pulau ini.
Pada awal pemerintahan Pak Harto yang menjadi menjadi sekretaris negara adalah Alamsyah Ratuprawiranegara. Sudharmono menjadi sekretaris kabinet. Kala itu Pak Harto baru saja membangun Bina Graha yang terletak disamping Istana Negara. Pak Harto lebih sering menerima para menteri dan pembantunya di Bina Graha yang pada masa Presiden Soekarno dijadikan markas Cakrabirawa. Pasukan khusus yang anggotanya terdiri dari empat angkatan ini bertugas menangani keselamatan presiden dan keluarga.
Pak Harto, tiap Selasa, mengadakan sidang dewan stabilisasi ekonomi yang terdiri para menteri bidang ekuin di Bina Graha. Mula-mula hasil sidang ini disampaikan pada pers oleh Menteri Penerangan Mashuri. Kemudian entah kenapa digantikan oleh Mensesneg Sudharmono yang dikenal sangat teliti dan murah senyum. Tapi setelah menpen dijabat Ali Moertopo dan Harmoko, keterangan hasil sidang diberikan keduanya. Tiap bulan Pak Harto juga mengadakan sidang kabinet paripurna. Sidang yang berlangsung di gedung utama Sekretariat Negara ini bukan saja dihadiri para menteri, juga pejabat eselon I.
Pak Harto awalnya sangat terbuka pada pers. Sayangnya, keakraban ini tidak berlangsung lama. Terjadinya insiden Kelapa Gading (Jakarta Utara) seakan-akan membuatnya kapok berbicara pada pers. Peristiwa berlangsung ketika Pak Harto membawa para wartawan meninjau perumahan dengan bahan baku bermis (batu apung) di Kelapa Gading. Perumahan ini dibangun oleh sebuah yayasan yang dipimpinnya. Seorang wartawan saat itu bertanya, "Ini semua biayanya dari mana, Pak?" Rupanya Pak Harto tidak berkenan dengan pertanyaan ini. Sebab jawaban yang diberikan agak diluar dugaan. "Duitnya mbahmu!" seru Pak Harto dengan muka agak memerah. Pak Harto juga pernah marah pada sebuah majalah, yang menulis silsilahnya bahwa ia masih keturunan Kesultanan Yogyakarta. Ia membantah dengan mengundang berbagai media di Bina Graha.
Di masa kolonial, gedung Bina Graha kala itu terletak di kawasan elit Rijswijk dan pernah menjadi tempat kediaman Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles House ini kemudian menjadi hotel paling gemerlap di Batavia, yaitu Hotel der Nederlander. Setelah kemerdekaan Presiden Soekarno menjadikannya sebagai markas Cakrabirawa.
Wartawan senior Casmo Tatilitofa yang selama belasan tahun jadi wartawan istana menulis sebuah cerita menarik tentang Bina Graha dalam bukunya Catatan Ringan Wartawan Istana dengan judul tulisan Ada Kursi Maut di Bina Graha. Di era 1970-an pernah terjadi seorang menteri meninggal dunia setelah memberikan keterangan pers di sebuah kursi di ruang wartawan gedung Bina Graha. Tentu saja meninggalnya bukan lantaran duduk di kursi tersebut. Tapi, esok harinya ketika ada menteri yang baru saja diterima presiden dan akan memberikan keterangan dengan duduk di kusi yang sama, ada wartawan yang nyeletuk. "Pak, jangan duduk di situ. Pak Fulan meninggal setelah memberi keterangan pers duduk di situ." Anehnya, menteri tersebut mengikuti saran wartawan dan pindah ke kursi lain. Padahal si wartawan hanya bercanda.
No comments:
Post a Comment