Sunday, November 21, 2004

Glodok: Denyut Ekonomi Jakarta

Setiap hari ribuan orang mendatangi kawasan Glodok, Jakarta Barat. Lebih-lebih menjelang lebaran sekarang. Pengunjung yang membludak bukan hanya dari Jakarta, juga dari Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya. Yang paling banyak didatangi pengunjung adalah pusat grosir Pasar Pagi, Mangga Dua, yang konon harganya lebih miring dibanding tempat lain. Sementara omzet penjualan elektronik di Harco Glodok menjelang lebaran dikabarkan naik hingga 10 sampai 15 persen. Demikian juga penjualan kaset VCD, termasuk VCD porno yang tetap marak selama puasa dan digelar secara bebas.

Glodok yang mendapat julukan China Town atawa Pecinan ini merupakan salah satu kampung tua di ibu kota. Semasa VOC atawa kompeni, Glodok merupakan kawasan di luar tembok benteng kota Batavia. Sejak November 1740, penguasa VOC menetapkan kawasan Glodok sebagai tempat tinggal para pemukiman Cina. Maksudnya, agar penguasa Belanda mudah melakukan pengawasan terhadap mereka. Di perkampungan ini ditempatkan seorang Kapiten Cina yang diserahi tugas mengawasi masyarakatnya. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, opsir Cina ini membentuk Kong Goan (Dewan Cina). Sejak 1837 dewan ini diketuai seorang mayor yang dibantu kapiten dan letnan.

Glodok dalam sejarah masa kini bukan hanya dikenal sebagai kompleks perdagangan barang elektronik terbesar di Indonesia. Hampir sulit dipercaya, bekas markas polisi sampai awal 1960-an ini sekarang menjadi pusat perdagangan Harco. Kini hanya sekitar ratusan meter dari Harco tengah dibangun pusat perdagangan Lindeteves, mengambil nama salah satu perusahaan raksasa di era kolonial Belanda. Sejak tempo dulu Glodok juga dikenal sebagai pusat denyut ekonomi ibu kota. Bahkan boleh jadi lebih dari itu. Wilayah ekonomi yang tidak henti memutar uang itu bukan saja sebuah kawasan yang identik sebagai Pecinan. Dalam sejarah kontemporer Jakarta, Glodok punya banyak arti: perjuangan kaum imigran, kejayaan, keterpurukan, dan perlawanan terhadap nasib dan penindasan.

Di Glodok pada masa lalu para mayor dan kapiten Cina digambarkan hidup seperti raja-raja Mandarin. Tapi, bersamaan itu sekitar 10 ribu warga Cina baik pria, wanita, tua, muda, dan anak-anak dibantai Belanda pada 11 Oktober 1740. Termasuk juga para pasien rumah sakit dan wanita yang baru melahirkan. Tapi, orang yang lebih tua dapat menceritakan nostalgia Imlek dan Cap Go Meh yang meriah hingga awal 1960-an. Atau pada masa lebih ke belakang lagi saat berlangsungnya pesta Peh Cun untuk memperingati 100 hari tahun baru Cina (Imlek). Acara Peh Cun dimeriahkan dengan pesta perahu di sungai Ciliwung di Kali Besar yang dihiasi lampu warna-warni dan orkes gambang keromong. Memang banyak yang telah meluntur di Glodok. Aksara Cina, bahasa Mandarin, tak lagi dominan, baru setelah reformasi subur kembali.

Menelusuri jalan-jalan di kelurahan Glodok serta puluhan gang di sekitarnya, aroma hio terasa menyengat. Hio, bagi masyarakat setempat, bukan saja dipasang di meja-meja pemujaan (altar), tapi juga banyak didapati di pojok-pojok rumah. Menunjukkan bahwa adat istiadat leluhur masih kental, sekalipun pada masa orba berusaha dihapuskan. Rumah-rumah di kawasan ini umumnya sudah menyatu dengan jalan dan berubah fungsi jadi pertokoan. Sedangkan, para pemiliknya lebih memilih tinggal di rumah mewah di real estate kawasan Pluit, Ancol, dan Pantai Indah Kapuk, Tangerang.

Terdapat empat buah wihara dan kelenteng yang telah berusia 300-an tahun dan masih berdiri kokoh, seperti kokohnya ekonomi orang Tionghoa di Indonesia. Belasan sinshe telah membuka praktek turun menurun dan tak terhitung jumlah pedagang obat-obatan Cina yang dijual bebas di toko, kios, dan pusat perbelanjaan. Ketika dua tahun lalu saya mewawancarai seorang pejabat kelurahan Glodok yang menyebutkan bahwa sekitar 82 persen dari 12 ribu penduduk di kelurahannya keturunan Tionghoa.

Dalam pengembangan kota Batavia, peran orang Cina sangat besar. Apalagi pemasukan kas kota sejak Jakarta bernama Batavia boleh dibilang sebagian besar datang dari orang Cina. Karena mereka dikenakan berbagai pajak oleh penguasa Belanda. Antara lain, pajak rambut totang yang dikepang bagian belakang dan dicukur gundul dibagian depan, seperti yang kita saksikan di film-film silat Mandarin. Ada pajak hiburan, pajak judi, pajak candu, dan pajak rumah soehian (tempat pelacuran).

Di Glodok juga masih kita jumpai nama tempat atau jalan yang punya sejarah ratusan tahun. Seperti Patekoan (kini Perniagaan) yang berarti delapan buah teko (poci) dari kata pat te koan. Bangunan yang kini ditempati SMUN 19 juga dikenal dengan sebutan cap kau artinya 19. Sedikit di luar Glodok terdapat kawasan Angke dengan Kali Angke-nya. Ada pendapat nama ini berasal dari bahasa Cina: ang (darah) dan ke (bangkai). Tapi, ada pula yang mengartikan ang sebagai merah dan ke berarti sungai. Yang pasti Kali Angke merupakan salah satu saksi sejarah pembantaian terhadap 10 ribu orang Cina pada Oktober 1740. Konon, sungai yang kala masih jernih berubah menjadi merah karena darah. Banyak mayat bergelimpangan di sungai itu. Menurut bahasa Hokian, kata ang berarti merah dan ke itu sungai. Jadi Angke berarti Kali Merah. Seperti kata angpau yang berarti amplop merah.

No comments: