Satpam alias satuan pengamanan adalah salah satu profesi yang banyak menyerap tenaga kerja. Satpam bukan saja menjaga keamanan di kantor dan instansi, tapi sudah meluas menjadi penjaga keamanan di rumah-rumah pribadi. Tentu saja untuk menjadi satpam harus berbadan sehat. Bahkan ada yang mensyaratkan harus memiliki ilmu bela diri. Tak heran banyak pensiunan tentara menjadi satpam terutama di bank-bank dan perkantoran.
Satpam baru dikenal awal 1980-an. Itu pun baru terbatas di perkantoran. Sebelumnya masalah keamanan ditangani hansip (pertahanan sipil). Hansip dibentuk pada masa Bung Karno akibat meningkatnya gangguan keamanan. Jauh sebelumnya, tugas menjaga keamanan lingkungan ini ditangani centeng. Kata yang berasal dari bahasa Cina ini biasanya disebutkan untuk penjaga keamanan rumah. Sampai 1950-an banyak warga Tionghoa, terutama yang berdoku tebal, memelihara centeng. Bukan saja untuk menjaga rumah dan perusahaannya, tapi juga dirinya. Istilah kerennya bodyguard. Centeng gampang dikenali. Karena mereka umumnya para jawara (jagoan), berpakaian hitam-hitam dengan golok terselip dipinggang.
Rupanya profesi centeng sudah dikenal sejak lama. Pada abad ke-19 atau zaman kuda makan kue talam, centeng banyak dicari. Termasuk untuk menjaga keamanan di onderneming-orderneming (perkebunan) milik Belanda. Suratkabar Pemberita Betawi terbitan 1889 memasang iklan centeng untuk dipekerjakan di sejumlah perkebunan.
Iklan itu mensyaratkan: ''Kowe punya tangan kuat dan berurat. Kowe punya nyali gede. Kowe punya muka kasar (maksudnya seram), dan kowe mau bekerja rajin dan necis.'' Bila memenuhi syarat-syarat diatas, ''Kowe inlander perlu datang ke Rawa Senayan (rupanya kala itu Senayan masih berupa rawa), di sana kowe harus dipilih liwat juri-juri yang bertugas:
1. Keliling rawa Senayan 3 kali
2. Angkat badan (maksudnya push-up) liwat (maksudnya sebanyak) 30 kali
3. Angkat perut (mungkin sit-up) liwat 30 kali.
Kowe mesti ketemu Mevrouw Shanti, Meneer Tomo en (dan) Meneer Atmadjaja. Kowe nanti akan dijadikan centeng untuk di Toba, Buleleng dan Borneo (kini Kalimantan).''
Kala itu rakyat lebih banyak berobat kepada sinshe (ahli pengobatan Cina). Maklum, jumlah dokter masih dapat dihitung dengan jari. Ada juga yang disebut tabib, ahli pengobatan India dan Pakistan. Tapi, jumlahnya tidak sebanyak sinshe. Rupanyua persaingan antar sinshe untuk merebut mereka yang ingin berobat, terlihat dalam sejumlah iklan. Seperti iklan di surat kabar Pemberita Betawi 14 Nopember 1885, seorang pasien (Tan Bouw Siong), memuat surat pujian kepada sinshe The Koei Lin yang membuka praktek di Kongsi Besar, Jakarta Kota. ''Saya menderita penyakit kantong nasi (sebutan untuk penyakit maag kala itu), dan batuk kering. Setelah berobat dengan sinshe The Koei Lin penyakit saya baik samasekali dan tidak kambuh lagi. Siapa sobat yang dapat sakit saya harap boleh panggil ini sinshe yang sudah banyak tolong orang.'' Rupanya si pemasang iklan berkolusi dengan si sinshe. Iklan berisi pujian semacam ini pada 1960-an madih banyak dilakukan.
Kereta kuda merupakan angkutan utama di abad tersebut. Bagi para tuan dan nyonya Belanda, dan orang kaya, di rumah-rumah mereka yang mewah dan berpekarangan luas terdapat istal kuda. Sementara para sais (pengemudi kereta) disediakan tempat menginap. Kala itu para meneer dan mevrouw bila sore hari dengan pakaian mode terbaru dari Paris naik kereta keliling Batavia yang ditarik dua sampai empat ekor kuda. Atau menghadiri resepsi di Societet Harmonie atau di Hotel Des Indes. Tak heran kala itu banyak iklan tentang aksesori kereta dan pakaian kuda.
Perusahaan FJ Fuchs di Batavia beriklan di suratkabar Pemberita Betawi, 13 Pebruari 1886, dengan judul Banyak tersedia pakean koeda, kreta dan bendie. Diantara barang yang diiklankan oleh perusahaan terkenal di Batavia ini yang kemudian menjadi importir mobil, antaranya pemegangan les, pengebutan lalar, lapisan kalung kuda, dan gunting kuda. Juga ditawarkan topi kusir dari kulit verlak, sisir kuda, rupa-rupa stang kuda, cambuk, dan lentera kuda yang terdiri lebih 50 macam.
Kala itu banyak iklan tentang lelang yang juga disebut penjualan di depan orang banyak. Segala perabot yang akan dilelang, produk, dan harga yang ditawarkan disebutkan dalam iklan. Seperti iklan lelang perabot rumah tangga pada 16 dan 17 Desember 1889 di rumah Mr GA Stam di Cikini, dekat kebun binatang (bekas kediaman pelukis Raden Saleh). Warga Belanda ini ingin kembali ke negaranya hingga ia melelang semua barangnya. Seperti kursi goyang, meja, konsol, meja cuci muka, bufet ukir pakai kaca, dan masih belasan barang lainnya yang diuraikan secara mendetail. Suratkabar Pemberita Betawi, 16 Desember 1889, juga mengiklankan lelang satu pasang kuda dan perlengkapannya. Buku-buku, khususnya hikayat Seribu Satu Malam juga banyak diiklankan. Dengan harga 1,10 gulden, Hikajat Orang Terbangoen dari pada Tidoernya ini dapat dibeli di toko buku Albrecht & Rusche.
No comments:
Post a Comment