Masjid Istiqlal (Kemerdekaan) merupakan salah satu masjid termegah di Asia. Masjid berketinggian 6.666 cm atau hampir 70 meter (diambil dari jumlah ayat Alquran) itu paling banyak dikunjungi kaum Muslimin di Jakarta. Tiap shalat Jumat, tidak kurang dari 2.000 hingga 2.500 jamaah shalat di masjid ini. Sedangkan pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha jumlahnya membludak hingga mencapai 250-300 ribu jamaah.
Dengan dibangunnya Istiqlal runtuhlah benteng peninggalan Belanda yang terletak di Wilhelmina Park dan dibangun untuk menghormati Ratu Wilhelmina yang lahir pada 31 Agustus 1898. Ia adalah nenek Ratu Beatrix. Orang Betawi dulu menyebutnya "gedung tanah" karena, menurut cerita, di sini terdapat benteng atau terowongan bawah tanah (bunker) yang konon sampai ke benteng Kompeni di Pasar Ikan.
Di depan Istiqlal terdapat pintu air untuk mengendalikan kanal dari Molenvliet (Harmoni) yang dibelokkan ke arah Noordwijk (Jl Juanda), Risjwijk (Jl Veteran), terus ke Pasar Baru dan Gunung Sahari. Pada zaman Belanda, pintu air disebut sluisburg, yang juga menjadi nama jalan waktu itu. Baru setelah kemerdekaan diganti menjadi Jl Pintu Air. Dulu di sini merupakan daerah elite yang banyak dihuni orang Belanda. Kemudian, pada tahun 1920-an, juga dibangun kawasan Menteng untuk warga Belanda yang makin banyak berdatangan ke Batavia.
Dulu, di depan Istiqlal terdapat bioskop Capitol Theatre, yang kini sudah berubah fungsi menjadi pertokoan. Dulu bioskop Capitol hanya memutar film-film Barat (Amerika Serikat). Pada awal tahun 1950-an, ketika Usmar Ismail mendirikan Perfini (1950) dan setahun kemudian di susul oleh Djamaluddin Malik (Persari), film-film Indonesia mulai banyak bermunculan. Pada pertengahan 1950-an Usmar Ismail (Perfini) membuat film Krisis. Usmar pun berusaha agar film produksinya diputar di bioskop Capitol. Kala itu, yang berhak memutuskan apakah film Krisis pantas diputar di Capitol, adalah seorang Barat bernama Wetkin.
Begitu tidak yakinnya pengelola Capitol ini terhadap film Indonesia, hingga belum sampai melihat lebih dulu, ia pun sesumbar dengan mengeluarkan kata-kata menghina yang intinya menyatakan, ''Film Indonesia tidak pantas dipertunjukkan di Capitol''. Tidak seperti Djamaluddin Malik yang meledak-ledak, Usmar Ismail yang sabarpun tidak dapat menerima penghinaan ini. ''Maka dia pun menjotos pimpinan Capitol''.
Agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar dan untuk meredakan ketegangan, maka general manager MGM (Metro Goldwyn Mayer) untuk Indonesia, Alexander Wenas, menawarkan agar film Krisis Usmar Ismail di putar di bioskop Metropole (kini Megaria). Bioskop yang memuat 1.500 penonton ini, sejak berdiri 1950-an hanya memutar film-film keluaran MGM ketika memutar film 'Krisis' ternyata sukses besar. Selama 35 hari film ini diputar di bioskop Metropole.
Akibat sukses besar film Krisis, bioskop Capitol pun mengubah sikap dan membuka diri untuk film Indonesia. Maka masuklah Djamaludin Malik (Persari) dengan film Janjiku. Kemudian kembali Usmar memutar film Tiga Dara (Mieke Widjaya, Indriati Iskak dan Chitra Dewi) yang juga sukses.
Di samping kiri bioskop Capitol sebagian berada di bantaran sungai yang ditinggikan terdapat sebuah restoran mewah yang tiap malam menjadi tempat dansa-dansi kaum berada. Restoran Capitol yang menghadap ke sungai Ciliwung kala itu airnya masih jernih dihias dengan lampu warna-warna. Steaknya sangat terkenal karena bistiknya dari Belanda. Restoran ini menyediakan minuman haram yang membuat peminumnya menjadi teler karena mabuk.
Karena letaknya berhadapan dengan Masjid Istiqlal yang kala itu mulai dibangun, maka umat Islam menjadi marah. Tanpa mengenal ampun, bisokop Capitol dan restorannya dibakar massa. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali massa membakarnya. Kemudian, sebelum bubar, bioskop ini mengganti nama menjadi Ceno. Karena Jl Pintu Air terletak di daerah elite, di samping kiri Masjid Istiqlal terdapat klub malam Black Cut. Tapi setelah kemerdekaan, tempat hiburan yang terletak di Citadel (kini Jl Veteran I) itu ditutup.
Di samping kanan Capitol, bersebrangan di jalan yang sama, terdapat bioskop Astoria (kemudian menjadi Satria). Meskipun lebih kecil dari Capitol, tapi Astoria termasuk bioskop kelas satu. Di bioskop ini, pada pertengahan 1950-an, pernah diputar film India Dil E Nadaan, yang sukses besar. Diputar selama 55 hari terus menerus. Hingga Usmar pernah berkomentar, ''Dil edan-edanan.'' Film ini mengalahkan film Rock Round The Clock Bill Haeliy dan Rock and Roll Elvis Presley.
Salah satu bintang Hollywood yang jadi pujaan muda-mudi ketika itu adalah James Dean. Film pertamanya, Rebel without Cause, sukses besar. James Dean memakai jaket kulit warna merah. Maka ramai-ramailah para pemuda memakai jaket merah. Sayangnya, bintang film ini mati muda akibat kecelakaan lalu lintas saat membintangi film Giant bersama Rock Hudson dan Elizabeth Taylor.
Waktu itu ada kecendrungan para muda-mudi meniru style para aktor dan artis Hollywood. Seperti Tony Curtis yang rambutnya berjambul, atau Rock Hudson yang macho. Pada saat film Sabrina diputar, gadis-gadis meniru potongan rambut Audrey Hepburn digunting pendek seperti rambut pria.
(Alwi Shahab )
Sunday, February 03, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment