Monday, November 19, 2007

Gas Merubah Wajah Batavia

Pemerintah saat ini tengah menggalakkan konvensi minyak tanah ke gas (elpiji) di Jakarta yang rencananya harus terwujud paling lambat akhir tahun ini. Proyek Pemerintah Provinsi DKI dan PT Pertamina (Persero), pemakaian gas menggantikan minyak tanah dapat menghemat anggaran sekitar 40 triliun rupiah per tahun. Meski sebelumnya banyak mendapat reaksi kini sudah semakin banyak rumah tangga yang menggunakan gas. Terlihat dari banyaknya tabung gas yang dijual di toko dan warung di kampung-kampung.

Dalam foto yang diabadikan oleh fotografer Woodbury & Page pada 1872, merupakan perusahaan gas kala itu yang dikelola oleh The Nederlandsch Indische Maatschappij berlokasi di Jl Ketapang (kini Jl KH Zainul Arifin) di Jalan Gajah Madah -- dekat Krukut -- Jakarta Barat. Pembangunan pabrik gas dimulai ketika Nopember 1859 pemerintah Hindia Belanda memberikan kewenangan pada perusahaan L.J. Emhoven & Co dari Den Haag, Belanda untuk membangun penerangan gas di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara), yang ketika itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri.

Pembangunannya selesai pada 1861 dan penyaluran gas dilakukan oleh perusahaan milik Belanda: Nederlands Indies Gas Company, yang sampai kini masih berlokasi di Gang Ketapang. Sebelum energi listrik dipakai secara luas, pada waktu itu gas buatan telah banyak dimanfaatkan sebagai proses energi di tempat-tempat umum. Energi gas mulai dioperasikan pertama kali di Batavia di kediaman gubernur jenderal (kini Istana Negara) di Risjwijk (kini Jalan Veteran). Istana Negara semula merupakan perumahan pribadi milik J.A. van Braan. Kediamannya ini sangat luas hingga ke Medan Merdeka Utara (kini Istana Merdeka). Lalu dibeli oleh pemerintah untuk dijadikan kediaman gubernur jenderal.

Beroperasi gas ke rumah-rumah, perkantoran dan tempat rekreasi membuat gairah kehidupan masyarakat Batavia, terutama kehidupan di malam hari. Maka bermunculanlah tempat-tempat hiburan malam di Batavia, sementara dengan munculnya kapal uap dan kemudian pembukaan Terusan Suez, makin banyak warga Belanda dan Eropa berdatangan ke Batavia.

Pelayanan gas juga ikut mendongkrak industri yang makin banyak bermunculan. Orang-orang Eropa ini banyak membangun rumah semacam bungalow dengan pekarangan luas. Gaya hidup orang Eropa digambarkan tak berbeda dengan kehidupan Eropa. Mereka menciptakan gaya hidup rekreasi yang serupa dengan di tempat asalnya.

Kembali kepada pengelolaan inudstri gas, bersamaan dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda pada 1958, pemerintah mengambil alih usaha tersebut yang telah berlangsung selama seabad. Sampai tahun 1960'an meskipun energi listrik sudah lama nongol, tapi masih banyak rumah-rumah yang menggunakan gas. Di Jakarta pemakaian minyak tanah oleh warga satu juta liter. Hingga subsidi yang dikeluarkan untuk pemakaian minyak tanah Rp 4 triliun per tahun atau setara Rp 4 ribu per liter.

( Alwi Shahab, wartawan Republika )

No comments: