"Siti Rahmah" adalah panggilan yang paling banyak diteriakkan para pedagang di Tanah Suci, baik di Makkah maupun Madinah, terhadap para wanita Indonesia, baik saat haji maupun umroh. ''Siti Rahmah... Siti Rahmah, harga murah, homsah (lima) real,'' kata mereka untuk menarik para pembeli wanita.
Sebutan "Siti Rahmah" untuk wanita Indonesia saat beribadah ke Tanah Suci bukan hanya muncul akhir-akhir ini. Teriakan semacam itu sudah muncul sejak lebih seabad lalu. Sejak abad ke-18 orang Betawi telah banyak yang menunaikan ibadah haji. Meskipun untuk menunaikan rukun Islam kelima itu mereka harus menempuh perjalanan berbulan-bulan dengan kapal layar.
Setelah menjalankan ibadah haji, ada yang pulang dan ada yang bermukim di sana. Mereka yang bermukim menggunakan al Betawi sebagai nama keluarga. Memang merupakan kebiasaan para pemukim dari Nusantara di Makkah menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Syekh Abdul Somad al Falimbangi dari Palembang. Syekh Arsyad Al-Banjari dari Banjarmasin, Syekh Basuni Imam al Sambasi dari Sambas (Kalimantan Barat).
Pada awal abad ke-19 seorang ulama Betawi bernama Syekh Djunaid bermukim di Makkah. Ia pun memakai nama Syekh Djunaid al-Betawi. Ia amat termashur, karena dipercaya menjadi Imam Masjidil Haram. Dia juga mengajar agama Islam di serambi masjid tersebut. Muridnya bukan hanya dari Nusantara, tapi juga umat Islam dari berbagai belahan dunia. Konon, Syekh Djunaid yang telah kesohor di Negeri Hijaz itu mempunyai istri bernama Siti Rahmah.
Diduga, itulah asal mulanya, sehingga sejak ratusan tahun lalu wanita Indonesia yang beribadah ke Tanah Suci dipanggil ''Siti Rahmah''. Panggilan ini populer hingga sekarang, meski zaman telah berubah dan para keluarga Betawi menamakan putera-puterinya dengan nama modern.
Syekh Djunaid mulai bermukim di Mekah sejak 1834. Salah seorang puterinya kawin dengan Imam Mudjitaba yang diberi gelar waliullah oleh masyarakat Islam di Tanah Suci. Orang Betawi berguru kepadanya ketika ia bermukim di Makkah selama 40 tahun. Di antara muridnya adalah Guru Mansyur dari Jembatan Lima (Jakarta Barat) dan Guru Mugni dari Kuningan, dekat perumahan Pertamina. Guru Mujitaba kembali ke Betawi pada tahun 1904.
Tokoh satu angkatan dengan Syekh Djunaid adalah para mukiman Indonesia yang bukan saja terkenal di dalam negeri tapi juga di manca negara, seperti Syekh Abdul Somad al-Falimbangi. Di Makkah ia berguru pada Syekh Mohammad Saman. Ia memiliki keahlian dalam bidang tauhid dan tasawuf. Di antara banyak tulisan hasil karyanya adalah Hidayat al Salihin. Dalam salah satu bukunya ia menganjurkan agar kaum Muslim Indonesia berjihad di jalan Allah melawan penjajah Belanda. Anjuran itu tertuang dalam dua suratnya, masing-masing untuk Hamengkubuono I dan Pangeran Singasari.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) juga seorang mukiman di Arab Saudi yang terkenal, karena mengarang buku fiqih Perukunan Melayu yang menjadi pegangan selama 200 tahun. Ia seorang tokoh ilmu fiqih, tasauf dan falak. Selama di Makkah dia belajar pada Syekh Abdurahman al-Misri, seorang ulama Mesir yang mengajar di Jakarta. Al-Misri mengawini salah satu putera Syekh Djunaid al-Betawi. Dia meninggal di Jakarta dan dimakamkan di Petamburan, Jakarta Barat.
Tokoh lainnya, Syekh Ahmad Ripangi (1786-1859), lahir di Kendal, Jawa Tengah, dan bermukim di Makkah selama delapan tahun. Setelah kembali ke Indonesia dia tidak mau tunduk pada pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya sering merugikan umat Islam. Akibatnya, gubernur jenderal Hindia Belanda, tanggal 9 Mei 1859, mengasingkan dam memenjarakannya di Ambon. Dia dianggap membakar semangat nasional dengan azas Islam yang membahayakan pemerintah kolonial.
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916) juga seorang mukimin terkenal di Negeri Hijaz. Dia bermukim di Makkah selama 10 tahun dan merangkap sebagai guru besar di Masjidil Haram. Dia mengarang banyak buku. Di antara muridnya adalah KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Haji Abdul Karim Amarullah (ayah Buya Hamka), dan H Mahmud Ismail Djambek.
Mukimin Indonesia yang paling kesohor di dunia Islam adalah Syekh Nawawi al-Banteni. Ulama besar, penulis dan pendidik dari Banten, ini masih keturunan Maulana Hasanudin, pendiri Kerajaan Islam Banten. Begitu banyaknya karya beliau di dunia Islam, hingga pemerintah Arab Saudi, Mesir dan Suriah, memberikan gelar kehormatan kepadanya Sayid Ulama Al-Hedjas, Mufti, dan Fakih.
Syeh Nawawi pergi ke Makkah dalam usia 15 tahun dan bermukim selama tiga tahun. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram. Seperti Syekh Ahmad Nahrawi, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Di Madinah ia belajar pada Syekh Muhamad Khatib al-Hambali. Setelah tiga tahun berada di Tanara, Banten, ia kembali ke Tanah Suci dan mengajar di Masjidil Haram.
Kelebihan Syekh Nawawi telah terlihat sejak kecil. Ia hapal Alquran pada usia 18 tahun. Sebagai seorang syekh ia menguasai seluruh cabang ilmu agama, seperti tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh dan bahasa Arab. Menurut suatu sumber, ia mengarang sekitar 115 buah kitab, sedangkan sumber lain menyebut 99 buah kitab dari berbagai disiplin ilmu.
Jadi, sejak ratusan tahun lalu telah banyak mukimin Indonesia di Tanah Suci yang menjadi tokoh agama, tapi tidak kurang banyaknya yang kini berperan dalam bidang pemerintahan di Arab Saudi.
(Alwi Shahab )
Thursday, November 01, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment