Ketika berada di Kampung Glam, Singapura, saya masih merasakan suasana Timur Tengah. Menjelajahi jalan-jalan berapit pohon palem di Bussorah Street, Arab Street dan Muscat Street, kita akan temukan toko-toko, kafe dan pusat jajanan, yang menjual berbagai produk, mulai dari produk khas Bali, batik pekalongan, karpet aneka warna, sampai nasi briyani dengan gulai kambingnya khas Timur Tengah.
Pada malam hari, di kawasan Kampung Glam -- termasuk Haji Lane -- kita dapat berjingkrak-jingkrak mengikuti irama zapin yang penggemarnya bukan hanya keturunan Arab, tapi juga India. Seperti juga yang sudah menjadi trend di rumah-rumah makan Timur Tengah di Jakarta, di Kampung Glam kita akan mendapati masyarakat yang tengah mengisap shisha (pipa rokok beraroma Timur Tengah).
Komunitas Muslim di Singapura, termasuk keturunan Arab, menikmati gaya hidup urban yang modern sambil tetap menjalankan kewajiban agama. Islam dianut secara luas oleh setidaknya 14 persen dari populasi total penduduk Singapura atau hampir setengah juta jiwa. Di Singapura terdapat 59 masjid -- banyak diantaranya berdiri di pusat perdagangan -- yang dirawat secara bersih, dengan tempat wudhu dan toilet seperti di hotel berbintang. Diantara masjid-masjid tersebut dibangun oleh keturunan Arab, yang menurut salah seorang di antara mereka jumlahnya di Singapura sekitar 10 ribu jiwa.
Seperti juga di Indonesia, keturunan Arab di Singapura mulai berdatangan pada abad 18 dan 19. Raffles yang membangun Temasek menjadi Singapura mewujudkan keinginannya untuk mendatangkan pedagang Arab agar turut berkecimpung di bidang bisnis. Seperti juga di Indonesia, mayoritas pionir Arab yang datang ke Singapura berasal dari Hadramaut (Yaman Selatan).
Di Singapura banyak juga orang Arab Singapura yang berasal dari Indonesia, mengingat Raffles baru membangun kota singa ini pada tahun 1819 setelah berkuasa di Indonesia, terutama dari Jawa dan Sumatera. Diantara mereka yang terkenal adalah kelompok Aljunaid, Alsagoff dan Alkaff.
Ketiga klan itu merupakan pedagang kaya raya di Singapura, memiliki tanah luas dan perumahan di banyak tempat. Dalam usaha dagang mereka sampai hampir ke seluruh Nusantara. Imperium Alsagoff bahkan memiliki armada kapal sendiri (1871). Pada 1874, mereka telah memiliki empat buah kapal uap, untuk mengangkut 3.476 jamaah haji dari seluruh kepulauan Indonesia dan semenanjung Malaysia.
Kala itu di Singapura ada banyak perwakilan syikh dari Mekkah. Malah beberapa haji yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena kehabisan biaya, oleh Alsagoff dipekerjakan di perkebunan mereka di Pulau Kukup. Alsagoff juga mempunyai rumah mewah yang diberi nama Constantinopel Estate. Karena, salah seorang keluarga Sagoff, Syed Ahmad, merupakan konsul kehormatan Turki di Singapura.
Pemerintah Hindia Belanda pernah memprotes dan menuduhnya mengeksploitir orang-orang Indonesia yang tidak punya uang setelah melakukan rukun Islam kelima dan mempekerjakan mereka sebagai kuli kontrak. Salah seorang keluarga Alsagoff, Syed Ibrahim, pernah menjadi konsul Arab Saudi di Singapura. Mereka membangun Madrasah Alsagoff, yang sampai kini masih berdiri di Singapura.
Salah satu keluarga Alsagoff lainnya, Syed Ahmad bin Muhammad, kawin dengan putri bangsawan Bugis yang kaya raya, Hajjah Fatimah. Mereka dikarunia putra bernama Muhammad yang dipanggil Nungcik. Di Kampung Glam terdapat masjid Hajjah Fatimah yang dibangun wanita keturunan Bugis itu. Pamor keturunan Arab ketika itu adalah rumah dan tanah di sepanjang Arab Street kepunyaan Syarifah Badriah, putri paling tua Syed Muhammad Alsagoff.
Di Singapura, imperium Alkaff juga mempunyai nama terhormat. Begitu juga di Jakarta. Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, tepatnya di Jl Kwitang 21, di antara deretan toko buku Gunung Agung terdapat sebuah rumah besar yang sampai awal 1960-an masih ditempati keluarga Alkaff. Keluarga ini mempunyai puluhan, bahkan ratusan rumah sewa, di Kampung Kwitang. Di Singapura, Alkaff juga memiliki tanah dan rumah mewah, yang kini berubah fungsi menjadi tempat rekreasi, restoran dan pertamanan.
Pionir pertama keluarga Alkaff yang datang ke Singapura adalah Muhammad bin Abdurahman Alkaff dari Jawa. Setelah meninggal dunia, adiknya, Shaikh Alkaff, mengambil alih usahanya. Mereka bukan hanya memiliki tanah dan perumahan di Jakarta dan Singapura, tapi juga di Hadramaut. Tanah-tanah Alkaff yang luas di Singapura itu dibeli paksa oleh PM Lee Kuan Yew dengan harga sangat murah.
Sedangkan kediaman Alkaff yang mewah untuk ukuran kala itu diambil alih oleh ABRI pada saat terjadi konfrontasi RI dengan Malaysia. Karena, keluarga ini warga Singapura yang kala itu masih menjadi bagian dari Malaysia. Seperti juga keluarga Aljunaid dan Alsagoff, keluarga Alkaff juga membangun Masjid Alkaff di Kampung Melayu.
Di samping madrasah Alsagoff, di Singapura juga terdapat Madrasah Aljunaid yang merupakan salah satu kebanggaan umat Islam di Singapura. Madrasah ini berdekatan dengan kawasan Muslim Kampung Glam. Lulusan madrasah ini banyak yang ditampung di Universitas Al-Azhar, Kairo. Madrasah ini memiliki 1.200 murid dari TK sampai SLTA. Di madrasah ini pemerintah Singapura yang sekuler mengizinkan para siswinya untuk berjilbab, dan prianya berkopiah hitam.
Setidaknya, Madrasah Aljunaid merupakan salah satu peninggalan ketika keturunan Arab masih menunjukkan pamornya di Singapura. Setelah perang dunia II (1942-1945) kejayaan bisnis dan ekonomi keturunan Arab dan juga India Muslim menurun di Singapura. Tapi tempat peribadatan dan pendidikan Islam masih tetap bertahan di tengah modernisasi Singapura yang sekuler.
(Alwi Shahab )
Monday, November 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment