Orang Tionghoa baru saja merayakan Imlek, ia punya taon baru. Perayaan ini di tempo doeloe meriah banget. Beberapa hari sebelumnya diadakan Pasar Malam di Glodok. Penutupnya adalah perayaan cap go meh yang jatuh pada malam ke-15 setelah Imlek.
Cap go meh, pesta semalam di tempo doeloe bisa berlangsung empat-lima malam berturut-turut. Karena bukan saja dirayakan di lima wilayah, tapi mereka yang belum puas berhura-hura semalam suntuk, masih diteruskan ke Bogor, kemudian Cianjur dan Sukabumi. Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara jauh sebelum Belanda. Mereka datang dengan jung-jung dan sampan dari daratan Cina tanpa disertai istri. Tapi tidak peduli berapa banyak darah pribumi telah bercampur, mereka tetap mempertahankan identitas, kebudayaan dan tradisinya. Tidak heran di tempo doeloe banyak banget perayaan keagaam etnis Tionghoa. Setelah Imlek dan cap go meh, masih disusul dengan Ceng Beng bertepatan 100 hari setelah Imlek.
Di itu hari, orang Tionghoa ramai-ramai ke liong bouw (kuburan), membersihkan, merapikan, dan memperbaikinya, sebagai tanda penghargaan pada leluhur. Dulu di Jakarta banyak kuburan Cina yang besar-besar dan diberi nisan-nisan yang indah-indah. Kuburan ini sering dibongkar tangan jail. Maklum ada yang memasukkan barang berharga ke dalam peti yang terbuat dari kayu jati. Masih banyak lagi acara ritual dalam penanggalan Tionghoa kuno- berdasarkan jalannya rembulan (Im Lek) bukan jalannya matahari (Yan Lek), yang disebut kalender Gregorian seperti di Indonesia. Hari-hari tersebut sampai 1960'an masih diakui sebagai hari raya syah bagi etnis Tionghoa.
Di bulan Juni, jatuh hari raya Pek Cun (Toan Yang Cie. Pada hari itu mereka memakan kue bakcang, yang di dalamnya berisi daging. Di tempo doeloe peh coen dirayakan dengan karnaval perahu dan sampan di Ciliwung dan Cisadana (Tangerang). Saat perayaan, ratusan perahu dan sampan berseliweran dihiasi lampio warna-warni sehingga suasana malam sontak terang benderang. Di perahu dan sampan yang hilir mudik diiringi orkes co kek dan gambang keromong, lengkap dengan ia punya tetabuhan. Sementara di tepi-tepi kali yang dilewati karnaval para pedagang makanan mendirikan tenda dan gubuk-gubuk.
Diteruskan dengan hari raya Tiong Ciu (Cung Ciu), yang jatuh awal Oktober. Pada hari itu orang makan kue bulan (tiong ciu pia) berisi kacang ijo. Menjelang akhir Desember orang Tionghoa makan kue ronde. Tapi, sungai tempat karnaval ini jangan dibayangkan seperti sekarang. Ketika itu sungai masih lebar, dalam, jernih dan belum tercemar. Pacaran, kala itu berbeda dengan sekarang. Jangan harap bisa jalan berduaan. Apalagi saling gandengan. Gadis umur 15 tahun langsung dipingit. Tapi, saat pek cun pacaran diringankan. Caranya dengan saling melempar hwat kwee alias kue apem dan tiong cu pia yang bentuknya seperti bola kecil. Kue ini simbol pengharepan. Artinya segala apa mulanya kecil, lama-lama jadi besar. Kalau dalam lempar melempat kue ini ada kecocokan, proses selanjutnya bisa di duga: merembet ke perjodohan.
Hanya lima bulan setelah berkuasa, Jan Pieterszoon Coen mengangkat Souw Beng Kong (11 Oktober 1619) sebagai kapiten (administratur) penduduk Tionghoa di Batavia. Bencon, begitu kompeni (VOC) menyebutnya, saudagar besar Banten yang atas bujukan Coen bersama ratusan anak buahnya kemudian hijrah ke Batavia. Untuk mereka, Coen membangun perkampungan di muara Kali Ciliwung. Ia memegang jabatan sampai 1645. Ia digantikan Phoa Beng Gam, 'sang insinyur air' (1645-1663). Kapiten Phoa inilah pada 1648, yang meluruskan Ciliwung yang sebelumnya berkelok-kelok dan berbelok-belok. Hasil karyanya sampai kini masih terlihat dari sungai Ciliwung yang kiri kanannya diapit Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada yang tidak lagi berkelok-kelok hingga muara.
Saat Ni Hoe jadi kapiten (1736-1743), timbul pemberontakan yang amat hebat di Batavia, yang ber pusat di Glodok. Pemberontakan Cina ini memang dapat ditumpas VOC. Tapi harus dibayar mahal. Sekitar 5.000 sampai 10 ribu Tionghoa yang tidak mau kehormatannya dibecek-becek VOC mati ketika mengadakan perlawanan. Konon, kala itu mayat-mayat bergelimpangan di Glodok, seperti korban tsunami di Aceh.
Ketika orang Tionghoa semakin banyak di Batavia, Belanda mengangkat seorang mayor, yang membawahi kapiten dan letnan. Khouw Kim An adalah mayor Cina terakhir. Karena sejak masa pendudukan Jepang (1942-1945) jabatan ini dihapuskan. Sampai awal 1990'an kita masih menjumpai bekas kediaman Khouw di Jalan Gajah Mada, sekitar 100 meter dari pusat perdagangan Glodok. Tapi kini, rumah tersebut tertutup oleh pencakar langit yang dibangun Modern Group. Di Jakarta, peninggalan sejarah selalu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dan orang berduit. Keluarga Khouw sebagai layaknya Mayor Cina, mempunyai gedung-gedung di dekat tempat kediamannya.
Para kapiten dan mayor Cina itu, yang mengawasi masyarakatnya hidup laksana raja-raja Mandarin. Mereka jadi perantara dalam menerima uang pajak seperti jalinan rambut panjang, pajak kuku panjang (sebagai tanda orang yang santai), sumbangan untuk pembangunan jalan, jembatan, dan kanal. Di samping memungut pajak dari suhian tempat pelacuran dan perjudian. Belanda sendiri menjadi heran terhadap kemajuan mereka. Seperti di Batavia mereka punya rumah sakit sendiri sama besarnya dengan rumah sakit yang dibangun Belanda. Memiliki sekolah-sekolah yang lebih baik dari milik Belanda dan dalam jumlah yang lebih besar. Di samping rumah penampungan orang miskin, dan tentu saja kuil-kuil, balai-balai pertemuan, teater, restoran, dan rumah-rumah perjudian serta bordil.
(Alwi Shahab, wartawan Republika. 12 Feb 2005 )
Friday, July 22, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment