Friday, July 22, 2005

Dari Rumah Bung Karno ke Harmonita

Sejumlah seniman Betawi yang tergabung dalam LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) sedang getol-getolnya mengumpulkan bahan untuk Ensiklopedi Betawi. Sekalipun baru dimulai sebulan lalu, sudah lebih dari 3000-an entry telah terdata untuk ensiklopedi itu. Berisi nama tokoh, pahlawan nasional, pejuang kemerdekaan, alim ulama dan seniman Betawi. Juga nama masjid-masjid tua yang telah berusia ratusan tahun. Di samping nama-nama kampung dan tokoh masyarakat yang berada di kampung tersebut. Serta makna dan sejarah dari nama kampung, yang kini sudah banyak yang berubah nama.

Nama-nama Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Makassar, dan Kampung Bali, ratusan tahun lalu oleh pihak kolonial dijadikan sebagai kantong-kantong kaum pendatang untuk komoditas tertentu. Menunjukkan asal usul etnis Betawi yang merupakan percampuran etnis, ras, dan suku.Tidak ketinggalan para pemain sepakbola yang pernah berkiprah di Jakarta sejak masa kolonial hingga sekarang tengah ditata dalam ensiklopedi. Di samping nama Liong Houw dan Kiat Sek, juga pemain bola Belanda yang turut meramaikan persepakbolaan di Tanah Air. Seperti Van der Vijn, kiper PSSI tahun 1950'an yang hingga sekarang masih dikenang ketangkasannya dalam menangkap bola. Atau Van der Berg, bek kiri yang sukar ditembus lawan. Sebelum warga Belanda hijrah ke negerinya ketika terjadi konflik Irian Barat di Jakarta banyak terdapat pemain asal negeri Kincir Angin.

Beberapa gedung yang menjadi peninggalan masa penjajahan, baik yang masih berdiri tegak maupun yang telah tergusur, digambarkan kembali dalam ensiklopedi ini. Seperti bekas kediaman Bung Karno di Jl Proklamasi 56 (dulu Jl Pegangsaan Timur) yang telah dihancurkan tahun 1960. Kemudian oleh Presiden Soekarno dijadikan Gedung Pola (semacam Bappenas sekarang). Akibatnya generasi muda banyak yang tidak tahu di mana proklamasi kemerdekaan dilakukan. Ada yang mengira proklamasi langsungkan di Istana. Sejak lima tahun lalu ada rencana untuk membangun kembali kediaman Bung Karno seperti bentuknya semula. Bahkan segala persiapan ke arah ini sudah dilakukan.

Generasi sekarang juga diingatkan bahwa di Jakarta pernah berdiri gedung Harmonie. Gedung ini dibangun pada abad ke-19, dan sampai digusur dan kemudian dijadikan tempat parkir sekretariat (1980'an) merupakan tempat hiburan bergengsi. Di masa penjajahan gedung ini merupakan tempat pesta pora kaum ningrat Belanda, termasuk pesta-pesta taman. Di ujung Jl Gajah Mada, depan Harmoni terdapat Hotel des Indes, yang sampai 1960'an jadi tempat menginap tamu-tamu negara. Di Batavia, pernah terdapat tempat hiburan militer Concordia, yang kemudian dijadikan gedung parlemen pada masa RIS dan demokrasi liberal. Kini, Concordia menjadi bagian sayap kiri dari gedung Departemen Keuangan.

Ada tiga pahlawan nasional etnis Betawi: Mohamad Husni Thamrin, Marsekal Muda Dr Abdurahman Saleh, yang namanya diabadikan untuk nama jalan di Gedung Stovia, Senen, Jakarta Pusat. Dan terakhir seniman kelahiran Kwitang, Ismail Marzuki, yang namanya diabadikan sebagai tempat kegiatan seni dan kebudayaan (TIM). Khusus untuk seniman yang baru dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, LKB mengusulkan namanya juga diabadikan untuk salah satu nama jalan di Jakarta. Kemungkinan di Jl Cikini Raya, tempat TIM berada. Patung seniman yang menciptakan lebih 200 lagu ini, diusulkan untuk didirikan di depan TIM. Patung berukuran empat meter memperlihatkan ketika Ismail Marzuki tengah bermain biola. Pembuatnya Sumarno, pematung senior dari Bandung yang membuat patung Jenderal Soedirman di Jl Sudirman. Juga diusulkan agar di Jl Thamrin (di taman di depan gedung BI) dibangun patung pahlawan nasional Betawi, M Husni Thamrin.

Di antara nama kampung tua terdapat Ancol, yang kini menjadi tempat hiburan paling ramai dikunjungi warga. Nama Ancol mengandung arti tanah rendah berpaya-paya. Dulu bila laut sedang pasang air payau kali Ancol berbalik ke darat menggenangi kali sekitarnya, sehingga terasa asin. Wajarlah bila orang-orang Belanda zaman VOC menyebut kawasan tersebut sebagai zoutelante atawa tanah asin. Sebutan ini juga diberikan pada kubu pertahanan yang dibangun di situ tahun 1656. Sebuah harian beberapa hari lalu memperlihatkan bahwa benteng yang bersejarah ini tengah dibongkar.

Untuk menghubungkan kota Batavia yang berbenteng pada zaman itu dengan kubu tersebut, sebelumnya telah dibuat Terusan Ancol, yang sampai sekarang dapat dilayani perahu-perahu. Kemudian dibangun pula jalan paralel dengan terusan tersebut, dan kini telah dibangun jalan tol yang menghubungkan Priok - Ancol - Kota - Cengkareng. Para redaksi Ensiklopedi Jakarta yang dipimpin dr Atje Mulyadi dan Rusdi Saleh, juga tengah mengumpulkan nama-nama jalan tempo doeloe yang banyak berbau Belanda dan asing.

Seperti Gang Thomas (Jl Tanah Abang V), tempat keluarga mantan Menlu Ali Alatas pernah tinggal. Jl Solitude di Matraman, tempat pasukan Inggris berkonsentrasi ketika menyerang Belanda dan Prancis (1811). Willemlaan (kini Jl Perwira), kawasan yang pernah dijadikan sebagai tempat para perwira militer Belanda.Kala itu banyak nama jalan berasal dari tokoh masyarakat Arab seperti Gang Balweel di Kampung Melayu, Alataslaan di Cidurian (Cikini), Alhadadlaan (Kampung Melayu Kecil III). Juga nama jalan berasal dari tokoh masyarakat Tionghoa. Seperti Gang Leonie, nama gadis Tionghoa yang kesohor kecantikannya di Jatinegara. Gang Topekong di Krekot (Sawah Besar dan Senen).


(Alwi Shahab wartawan Republika. 2 Apr 2005 )

No comments: