Jalan Pasar Baru awal 1920'an atau 85 tahun lalu. Jembatan Pasar Baru yang selalu hiruk pikuk, tampak lengang. Alat transportasi didominasi sado atau delman. Tampak satu dua buah mobil buatan Eropa seperti Austin, Morris dan Fiat dengan bebas memasuki kawasan pertokoan.
Keberadaan Pasar Baru menyusul saat tumbuh pesatnya kawasan Weltevreden akibat banyaknya penduduk yang pindah ke kawasan yang lebih sejuk di selatan, katimbang kota lama di Pasar Ikan dan Jakarta Kota. Di dekat Pasar Baru terdapat pusat perbelanjaan Noordwijk (kini Jl Juanda), yang khusus menjual bahan pakaian dan aksesories yang didatangkan dari Eropa, termasuk dari pusat-pusat modenya. Di sekitar Pasar Baru terdapat tempat hiburan seperti klub malam 'Black Cat', kafe, dan gedung bioskop: Capitol, Astoria, Globe dan Cinema.
Foto ini diambil dari Gedung Kesenian atau Schouwburg oleh Tio Tek Hong, yang membuka toko di Pasar Baru dan memproduksi gramophone awal abad ke-20. Di antara jejeran pertokoan tampak Toko Bombay, milik orang India, dan di sebelahnya (gedung bertingkat) kini ditempati Apotik Kimia Farma. Orang India di Pasar Baru banyak penjual cita dan alat-alat olahraga. Mereka bersaing dengan orang Tionghoa yang jumlah pedagangnya jauh lebih banyak. Termasuk pemilik Toko De Zon, toko yang paling besar di pusat perdagangan ini.
Pada masa pemerintahan Bung Karno ketika nama-nama berbau asing diganti, toko ini bernama 'Sinar Matahari' yang juga merupakan arti De Zon dalam Belanda. Kini 'Matahari Grup' yang mulai usahanya dari Pasar Baru itu, telah emiliki puluhan pertokoan di pusat-pusat perbelanjaan di banyak tempat di Indonesia. Pasar Baru tempo doeloe merupakan salah satu tempat yang banyak dikunjungi warga asing saat mereka datang ke Batavia. Dinas Pariwisata Pemprov DKI Jakarta, sejak beberapa tahun lalu juga ingin menjadikannya sebagai wisata belanja dalam upaya menarik wisatawan asing ke Jakarta. Dengan adanya pusat wisata belanja mereka dapat konsentrasi berbelanja di satu tempat.
Di Pasar Baru banyak penjual valuta asing. Bila yang lewat dandanannya agak perlent secara bisik-bisik akan ditanyai: 'dolar-dolar'. Di era Presiden Soekarno, Pasar Baru merupakan pasar gelap atau black market jual beli dolar. Kala itu, orang yang ingin bepergian ke luar negeri, lebih dulu menukar rupiahnya dengan dolar atau mata uang asing lainnya di Pasar Baru dengan nilai jauh lebih tinggi, katimbang menukar di Bank Indonesia. Maklum kala itu, belum ada money changer yang sekarang bertebaran di mana-mana. Menyadari nilai rupiah terus melemah dan merosot, Bung Karno kala itu melarang media massa mengumumkan kurs mata uang asing terhadap rupiah. Maka maraklah jual beli dolar di pasar gelap.
(Alwi Shahab, wartawan Republika. 28 Mei 2005 )
Friday, July 22, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment