Friday, July 22, 2005

Jalan Pecenongan dan Krekot

Memasuki Jl Pecenongan, Jakarta Pusat, dari arah Jl Batuceper (di masa Belanda: Brendesch Laan), awal pekan lalu, saya teringat pada Eddy Tansil, megakoruptor yang buron dan menghilang sembilan tahun lalu. Di Pecenongan inilah Eddy memulai usahanya jual beli motor kecil-kecilan, ketika datang dari Makassar.

Dengan cepat usaha Eddy berkembang pesat berkat kedekatannya dengan pejabat kala itu. Ia kemudian dipenjara di LP Cipinang karena dituduh sebagai pembobol Bapindo sebesar Rp 1,3 trilyun. Hanya beberapa saat mendekam di LP Cipinang -- dengan berbagai fasilitas yang hanya di dapat orang berduit -- ia pun kabur setelah menyogok sejumlah petugas LP dengan alasan ingin ke rumah sakit. Mula-mula ia melarikan diri ke Singapura, seperti juga yang dilakukan para pencoleng uang negara lainnya. Dari Singapura, Eddy meneruskan pelariannya entah kemana. Dan tampaknya, pemburuan terhadap Eddy Tansil sudah berakhir. Mungkin kini ia merasa aman setelah mengantongi doku bejibun.

Sejumlah konglomerat yang juga melarikan diri dengan membawa kabur uang ratusan trilyun rupiah mengalami nasib sama seperti rekannya : Eddy Tansil. Sementara ribuan balita menderita busung lapar, dan jutaan orang hidup di bawah garis kemiskinan. Jl Pecenongan kini tidak lagi menjadi pusat perdagangan sepeda motor. Statusnya menjadi lebih tinggi. Belasan show room roda empat berdiri megah di sepanjang jalan tersebut, dan di Jl Batutulis di dekatnya. Sedangkan tempat penjualan motor sudah berpindah sampai ke desa-desa terpencil.

Kini orang dapat membeli motor seperti layaknya membeli kacang goreng. Cukup jaminan KTP. Karenanya gubernur Sutiyoso setuju di Jakarta ada jalur khusus untuk sepeda motor. Karena jumlahnya berabrek-abrek. Jl Pecenongan di malam hari di ramaikan ratusan pedagang makanan dan minuman, yang sejak pukul lima sore mulai memasang tenda-tenda di tepi jalan. Hal yang sama juga kita dapati di sepanjang jalan Batutulis dan Hayam Wuruk. Demikian pula di Jl Krekot dekat Pasar Baru hingga Sawah Besar, dan di puluhan jalan lainnya di Ibukota, yang pada malam hari menjadi tempat jajan. Entah berapa puluh miliar uang beredar di tempat-tempat itu.

Saya yang ketika kecil tinggal di Gang Abu (kini Jl Batutulis X), sering bermain di Pecenongan. Berbelok ke kanan memasuki sebuah gang kecil dari Pecenongan, terdapat Gang Secha (kini Jl Pintu Air II). Mengabadikan nama putri tuan tanah Habib Abubakar Alatas, yang memiliki banyak rumah sewaan di jalan tersebut. Putrinya, yang dikabarkan berparas cantik, lengkapnya bernama Syarifah Secha. Saking cintanya, dia menamakan jalan tersebut dengan nama putrinya. Habib Abubakar yang dimakamkan di TPU Wakaf di Tanah Abang (sudah dibongkar pada masa gubernur Ali Sadikin), ketika berada di Hadramaut memiliki seorang putra Ir Haydar Alatas, yang kemudian menjadi Presiden Yaman Selatan. Setelah Yaman Selatan dan Yaman Utara bergabung, ia menjadi PM Yaman.

Karena berseteru dalam masalah politik, Haydar Alatas hengkang ke Amerika Serikat, dan kini berada di Jeddah, Arab Saudi. Ayahnya Abubakar Alatas meninggal dalam usia 80 tahun pada 1952. Sedangkan adiknya dari lain ibu Secha, yang namanya diabadikan untuk jalan meninggal saat belum bersuami. Masih bagian dari Pecenongan, dahulu terdapat Gang Belle dan Gang Kelekamp. Yang terakhir ini mungkin nama seorang tokoh Belanda yang pernah tinggal di sini. Karena di Ibukota, ketika masih bernama Batavia, banyak nama jalan dan gang tokoh masyarakat Belanda, di samping mengabadikan masyarakat setempat.

Seperti, Gang Anderson (Jl Kartini I, Pasar Baru), Gang Kow En Lie (Kartini II), Gang Chaulan (Jl Hasyim Ashari), Laan Holle (Jl Sabang), Gang Thomas (Tanah Abang V), Laan de Bruin Kops (Tanah Abang III), Laan Travelli (Tanah Abang IV), Gang Eduard (Jl Asem Reges II) dan masih ratusan nama jalan lagi yang mengabadikan tokoh masyarakat yang pernah tinggal di tempat tersebut. Masih di kawasan Pecenongan, terdapat Gang Ceylon, nama Srilangka ketika itu. Pada awal penjajahan Belanda, Ceylon merupakan salah satu jajahan negeri kincir angin. Banyak orang yang berasal dari Ceylon tinggal di Jakarta. Tapi yang jelas, di Jl Ceylon No 1 pernah tinggal almarhum MH Munawar, wartawan Harian Merdeka sejak koran yang dipimpin almarhum BM Diah ini terbit (Oktober 1945).

MH Munawar yang pernah bertugas meliput kegiatan kepresidenan di masa Bung Karno, pernah menjadi pengurus PWI Pusat. Pada tahun 1960-an dia diangkat menjadi atase pers di Malaysia. Pada 1962, saat terjadi konfrontasi RI-Malaysia, ia dipindahkan oleh Menlu Subandrio dengan jabatan yang sama di Italia. Orang Palembang ini menikah dengan Nawangsih, mojang Sunda yang berasal dari Sumedang. Istrinya ini berprofesi sebagai bidan, yang menangani kelahiran dari Pecenongan, Sawah Besar, hingga Jakarta Kota. Maklum, ketika itu rumah sakit bersalin masih jarang di Jakarta. Putranya, Kemal Munawar SH menjadi seksretaris presiden sejak masa pemerintahan Habibie.

Di Gang Ceylon terdapat markas BBSA (Bangka Biliton Sport Association), perkumpulan sepakbolabola divisi I Persija tahun 1950-an dan 60-an. Di ujung jalan Pecenongan menuju Asem Reges (kini Jl Taman Sari), terdapat Jl Krekot Raya (kini Jl Samanhudi).Di Krekot terdapat bioskop Cinema, dan pada 1960'an ketika nama-nama asing harus diganti, bioskop ini bernama Krekot. Sedangkan di ujung Gang Ceylon setelah melewati jalan kereta api, terletak Jl Pintu Air. Di sini terdapat bioskop Astoria, yang kemudian juga diganti jadi Satria. Di dekatnya terdapat bioskop Capitol, depan masjid Istiqlal. Pada masa Belanda, Jl Pintu Air bernama Sluisbrug.


(Oleh Alwi Shahab, 19 Jun 2005 )

No comments: