Pasar Senen salah satu pusat pertokoan dan perbelanjaan terbesar di Jakarta, pada 1933 atau 72 tahun lalu masih merupakan pertokoan sederhana dan sekaligus tempat tinggal (ruko). Muhammad Husni (63), pelukis kelahiran Betawi, kini tengah memamerkan sekitar 40'an lukisan di Hotel Santika, Jatipetamburan, Jakarta Barat dalam rangka HUT Jakarta ke-478. Pameran sampai 30 Juni 2005 mengisahkan suasana kota Betawi tempo doeloe, terutama di tahun 1930'an.
Tiga perempat abad lalu, seperti terlihat dalam gambar angkutan kota masih dimonopoli trem listrik yang menggelinding hampir ke segenap penjuru kota. Gerobak kuda kini sudah tidak terlihat lagi. Demikian pula delman yang kala itu banyak berseliweran di jalan raya, di samping sepeda. Sedangkan becak saat itu masih belum muncul. Terlihat sejumlah mobil dan oplet 1930'an buatan Eropa, melaju di jalan yang lengang.
Di belakang toko Avon (kini sudah tidak ada) pada 1950'an terdapat rumah makan Padang 'Merapi' tempat para seniman Senen berkumpul di malam hari hingga jelang subuh. Mereka mendiskusikan kehidupan teater dan film. Antaranya Soekarno M. Noer (ayah Rano Karno), sutradara Wiem Umboh, Syuman Jaya, Misbach Jusa Biran, dan Harmoko, mantan ketua MPR yang kala itu wartawan 'Merdeka'.
Di seberangnya kini Proyek Senen. Di depan proyek terdapat Atrium Senen. Atrium Senen sampai 1970'an merupakan rumah dan toko warga Tionghoa terlihat dari gentengnya yang runcing seperti di negeri leluhur mereka. Pada 1950'an toko terbesar di Pasar Senen: Toko 'Babah Gemuk', kini jadi Ramayana Departemen Store. Saat itu Pasar Senen dan pasar-pasar lainnya di Jakarta, keamanannya dikuasai Kolonel Sjafii, yang dikenal dengan sebutan Bang Pi'i.
Dia memimpin organisasi Cobra yang memiliki jaringan hampir di seluruh Ibu Kota. Kolonel Syafii pernah diperbantukan pada KSAD Jenderal Nasution. Karena sukses dalam ikut mengamankan Jakarta, Bung Karno di akhir jabatannya (1966) mengangkatnya sebagai Menteri Keamanan Jakarta dalam Kabinet 100 Menteri. Bang Pi'i pada masa revolusi fisik menggalang para pemuda Senen dan sekitarnya melawan NICA .
Masih di seberang Avon, pada 1950'an Tjio Wie Tay mendirikan toko buku 'Thay San Kongsi' yang kemudian jadi Gunung Agung. Ia berganti nama jadi Masagung. Toko buku 'Gunung Agung' pertama dibangun di Jl Kwitang, seberang Jl Senen Raya untuk kemudian dikota dan tempat lain. Setelah masuk Islam, ia mendirikan sebuah mushala dan pengajian di Kwitang, di samping membuka toko buku 'Walisongo' di jalan yang sama.
Muhammad Husni, lulusan Fakultas Hukum UI mulai aktif melukis secara full time sejak 2003, setelah pensiun dari PT Timah. Husni merupakan perupa otodidak yang belajar melukis hanya melalui literature dan pengamatan sehari-hari. Dia menjadwalkan akan melukis sekitar 200 obyek sejarah Betawi Tempo Doeloe. Untuk mengingatkan generasi muda bahwa Jakarta yang kini coreng-moreng ketika bernama Batavia sangat indah dan bersih.
(Alwi Shahab, wartawan Republika: 25 Jun 2005)
Friday, July 22, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment