Friday, July 22, 2005

Pintu Kecil di China Town Glodok

Pada awal abad ke-20, Pintu Kecil (seperti terlihat dalam foto) dijuluki ''Wall Street'', karena peranannya sebagai pusat kegiatan perdagangan dan bisnis Cina kala itu. Pintu Kecil bagian dari Glodok atawa China Town alias Pecinan, diabadikan pada akhir abad ke-19.

Dalam foto tampak sebuah delman tengah melintas di samping lalu lalang pejalan kaki termasuk pedagang kaki lima yang mangkali diemperan toko. Delman merupakan alat transportasi utama ketika itu. Pada 1860, seorang Belanda bernama FC Th Deelemen merancang kereta kuda beroda dua. Yang sampai kini populer dengan sebutan 'delman', diambil dari nama perancang.

Pintu Kecil, yang pernah pula dikenal dengan sebutan 'Pintu Amsterdam', terletak sedikit berada di luar 'kota berbenteng' di sekitar Pasar Ikan dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Sesuai namanya dulunya terdapat sebuah pintu kecil untuk masuk ke dalam benteng kota Batavia. Rumah dan gedung tua dengan arsitektur Cina yang banyak terdapat di sini, sampai 1960'an masih merupakan pemandangan sebagai kampung di negeri asal mereka. Tapi kini hanya tinggal beberapa gedung dan rumah. Ketika terjadi kerusuhan berdarah 20 Mei 1998, ratusan rumah dan gedung tua di Pintu Kecil dan kawasan Glodok dibakar dan dirusak, sementara barang-barang mereka dijarah.

Sampai kini, Pintu Kecil di pinggir jantung China Town Glodok masih merupakan salah satu pusat perdagangan dan bisnis yang banyak didatangi pembeli dari berbagai tempat di Jakarta dan tanah air. Ia terutama dikenal dengan perdagangan tekstil secara grosir. Para pedagang kemudian menjual kembali secara eceran.

Warga Cina jauh sebelum Belanda membangun Batavia (Mei 1619), telah banyak berdiam di kota ini. Mereka mula-mula tinggal di sekitar tepi Kali Ciliwung di Pintu Besar, yang kemudian merupakan bagian dari kota Batavia yang dikelilingi tembok. Setelah peristiwa pembantaian ribuan warga Cina pada September 1740, mereka tidak diperbolehkan tinggal di dalam kota. Glodok, tempat penampungan baru yang disediakan Belanda setelah pembantaian, terletak di luar kota Batavia ataua sekitar satu km sebelah utara pusat pemerintahan.

Ditetapkannya pemukiman Cina di Glodok termasuk Pintu Kecil dimaksudkan agar pihak penguasa (kompeni) mudah melakukan pengawasan terhadap mereka. Untuk itu, kawasan ini dijadikan Chineesche Kamp yang pengaturannya berada di bawah wewenang administratif para opsir Cina, semacam otonomi sekarang ini. Sebelum peristiwa berdarah yang paling suram di Jakarta, pada tahun 1720 Francois Valentijn, seorang menteri dari Negeri Belanda ketika mengunjungi Batavia membuat observasi tentang warga Cina di kota ini.

Dia menyimpulkan, mereka merupakan pekerja yang rajin dan terampil, dan penuh perhatian dalam menyuplai kebutuhan kota ini. Diantara warga Cina ini terdapat pedagang tangguh yang mensuplai porselen, cita dan pernis. Banyak di antara mereka yang menjadi pengrajin mebel dan perabotan rumah tangga, yang sebagian dapat kita saksikan di Museum Sejarah DKI di Jl Falatehan, Jakarta Barat. Pada awal abad ke-17 semakin banyak orang Cina berdatangan ke Batavia. Banyak di antara mereka yang bekerja sebagai petani karet, di sekitar kota tersebut.

Berdasarkan sensus 1920, jumlah warga asing Asia di Hindia Belanda terdiri: Cina (809.647), Arab (44,921), India (21,938) dan Jepang (3000). Pada tahun itu, mereka masing-masing mempunyai perwakilan di Volksraad (perwakilan rakyat bikinan Belanda).


(Alwi Shahab, wartawan Republika. 21 Mei 2005 )

No comments: