Dalam diskusi yang diselenggarakan Batavia Novelles menyambut ulang tahun ke-481 Jakarta, para pembicara meragukan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari jadi Jakarta. Sedikit sekali keterangan yang menggambarkan sejarah awal berdirinya kota Jakarta hingga kedatangan para penjelajah bangsa-bangsa Eropa.
Baru pada abad ke-16 para penulis Eropa melaporkan adanya sebuah kota bernama Kalapa yang menjadi bandar Kerajaan Hindu Pajajaran dengan ibukota Pakuan (Bogor), 40 km selatan Jakarta. Tidak heran bila di Museum Sejarah DKI Jakarta di Jl Fatahillah, Jakarta Kota, hampir tidak dijumpai peninggalan-peninggalan masa Jayakarta. Sehingga, ada yang menamakannya sebagai museum VOC.
Sejarawan Jakarta keturunan Jerman, Adolf Heyken, terang-terangan menyebutkan landasan penamaan Jayakarta saat Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta hanyalah dongeng. Karena tidak ada dokumen yang menyebutkan nama Jayakarta. Bahkan, 50 tahun sesudahnya masih tetap disebut Sundas Kalapa.
''Fatahillah berasal dari Arab, jelaslah apabila orang Arab tidak akan memberi nama sesuatu dengan bahasa Sansekerta. Jayakarta adalah nama dari Sansekerta," tulis Heyken. Menurut Heyken, bukan hanya dia yang menyatakan demikian. Ali Sastroamidjojo mantan PM RI pada masa demokrasi parlementer juga pernah menyatakan bahwa HUT Jakarta adalah dongeng.
Tapi, sayangnya Jakarta dijual sebagai dongeng. ''Bilang saja dongeng. Tidak apa-apa, karena banyak nama kota di dunia yang berasal dari dongeng. Nama kota Roma, ibukota Italia, juga diambil dari sebuah dongeng terkenal yaitu Romus dan Romulus.
Sejarawan Betawi, Ridwan Saidi, menilai tanggal 22 Juni lebih pantas dirayakan sebagai kelahiran Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Untuk lebih memperjelas tulisan ini, sebaiknya kita kembali dulu ke saat-saat menjelang bertekuklututnya balatentara Dai Nippon kepada Sekutu.
Sebelum bom atom dijatuhkan di Hiroshima (6-8-1945) dan Nagasaki (9-8-1945), di Jakarta para pemimpin bangsa telah bersiap-siap untuk menyongsong kemerdekaan. Dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beranggotakan 62 orang, diketuai oleh Dr Radjiman Wediodiningrat.
Dalam pidato singkatnya pada 29 Mei 1945, Radjiman bertanya kepada para anggota BPUPKI, ''Negara yang akan kita bentuk ini apa dasarnya?''
Sejak saat itu terdapat dua kubu yang berbeda tajam. Yakni, kubu Islam yang menghendaki dibentuknya negara Islam dan kubu nasionalis yang menghendaki negara bebas dari pengaruh agama.
Sidang yang berlangsung 1 Juni 1945 berhasil mencapai kompromi antara kedua kubu yang saling berlawanan itu. Setelah pidato Bung Karno selama satu jam yang dikenal sebagai hari lahir Pancasila, Dr Radjiman membentuk panitia kecil yang terdiri dari semua aliran. Panitia ini kemudian menunjuk sembilan orang yang akan merumuskan pidato Bung Karno itu sebagai kompromi antara kedua kubu yang bertentangan.
Rumusan kompromi pada tanggal 22 Juni 1945 itu kemudian mereka namakan Piagam Jakarta. Kesembilan orang yang menandatanganinya mencerminkan aliran Islam, nasionalis dan Kristen. Yang menyebabkan kubu Islam mengendurkan tuntutannya atas negara Islam adalah kalimat-kalimat dalam alinea empat pada pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ''...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.''
Sayangnya, Piagam Jakarta tidak berumur panjang. Hanya 56 hari. Karena, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI (18 Agustus 1945), piagam tersebut dicoret oleh mereka yang kurang menghayati isi dan makna perjanjian itu (KH Firdaus AN, Dosa-dosa Politik Orla dan Orba).
Pencoretan tujuh kalimat sakral di atas dimulai ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 sore, belum genap 12 jam proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, datang telepon dari seorang Jepang, pembantu Laksamana Maeda, yang ingin menemui Bung Hatta. Ternyata laksanana Jepang ini menyampaikan pesan seorang Nasrani dari Indonesia bagian Timur.
Tokoh Kristen tersebut keberatan dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Jika kata-kata itu masih tercantum, kaum Nasrani di Indonesia bagian Timur akan keluar dari RI. Padahal, keesokan harinya (18 Agustus 1945) akan ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk memilih presiden dan wakil presiden serta mensahkan UUD 1945 yang rampung disusun BPUPKI.
Sampai tahun 1984 masih misterius dan tidak ada satu bukupun di Indonesia yang menjelaskan siapa gerangan yang memberi ultimatum (melalui Jepang) itu. Barulah setelah Cornel University di AS menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia disebutkan bahwa tokoh itu adalah Dr Sam Ratulangi. Kasman Singaodimedjo dalam memoarnya menyatakasn, ''Ia yang baru diangkat sebagai anggota PPKI mendapat panggilan dari Bung Karno selaku ketuanya agar hadir di pertemuan tersebut.''
Waktu saya tiba di Pejambon, tengah ramai diadakan lobbying di antara anggota panitia. Dan, tidaklah sulit bagi saya untuk mengetahui apakah yang menjadi persoalan serius itu. Menurut Kasman, pengusul yang menginginkan agar tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta dihilangkan adalah mereka yang mengambil kesempatan dari keadaan psikologis ketika itu. Karena baru sehari kemerdekaan, diperlukan kekompakan dan persatupaduan bangsa Indonesia tanpa kecuali.
''Saya pun dalam lobbying itu ingin mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara keseluruhan tanpa pencoretan atas tujuh kata tersebut. Tapi, sayapun tidak dapat memungkiri apalagi menghilangkan adanya situasi darurat,'' kata tokoh Masyumi tahun 1950-an dan 1960-an itu.
(lwi Shahab )
Friday, July 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment