Jakarta, yang pada 22 Juni 2008 berusia 481 tahun, mengalami beberapa kali pendudukan asing. Warga Barat yang pertama kali mendatangi Sunda Kalapa saat masih menjadi pelabuhan Kerajaan Pajajaran adalah Portugis. Kapal-kapal dari Eropa Selatan itu berlabuh di Sunda Kalapa pada 1513. Sekitar 100 tahun mendahului Belanda.
Ketika itu agama Islam sudah mulai menyebar di sekitar Jakarta. Karena pihak Kerajaan Pajajaran beragama Hindu, dia melihat keberadaan Islam sebagai ancaman terhadap eksistensi agamanya. Karenanya, kerajaan yang berpusat di Pakuan (Bogor) ini mengadakan perjanjian dengan Portugis yang diberi izin membangun loji (gudang dan benteng pertahanan) di Sunda Kalapa.
Bercokolnya Portugis di Sunda Kalapa menyebabkan kerajaan Islam Demak dan juga Cirebon jadi tidak senang. Apalagi saat itu masih berlangsung Perang Salib di Timur Tengah, dan Portugis merupakan salah satu kekuataan yang memerangi Islam.
Sunda Kalapa berhasil direbut oleh Fatahillah pada 1526. Pada 22 Juni 1527 panglima perang Islam sekaligus ulama itu berhasil mengusir armada Portugis dari Sunda Kalapa. Maka dia mendirikan Jayakarta pada 22 Juni 1527.
Sisa-sisa kekuataan Portugis sampai kini masih terdapat di Kampung Tugu, Jakarta Utara, yang menurut sejarawan Belanda De Graaf, berasal dari kata porTUGUese. Di kampung Tugu inilah ditempatkan orang dari bekas jajahan Portugis di Malaka ketika ditaklukkan Belanda (1641). Kita juga masih mendapati Gereja Portugis di Jl Pangeran Jayakarta, Jakarta Utara.
Ketika ditawan VOC mereka beragama Katolik tapi tidak diizinkanm untuk mengamalkan agamanya. Setelah mengganti agama menjadi Protestan, mereka yang semula dijadikan budak belian lalu menjadi kelompok mardijker atau orang yang dimerdekakan.
Banyak kata dan peninggalan Portugis yang masih kita pakai sekarang. Seperti kata 'jago' dan nyanyian 'nina boboh' serta 'burung kakak tua'. Demikian pula seni keroncong berasal dari Portugis. Hingga sekarang keroncong tugu masih terkenal.
Pada Mei 1619, Belanda yang menaklukkan Jayakarta menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangannya di Asia dan Amerika Latin. Batavia dua kali diserang oleh Kerajaan Islam Mataram (1628 dan 1529) pimpinan Sultan Agung dengan 80 ribu pasukan. Pada saat bersamaan gubernur jenderal JP Coen meninggal dunia. Menurut versi Belanda, karena kolera, namun menurut versi lain akibat serangan Mataram.
Karena tentara Mataram berkonsentrasi di Matraman, maka kata Mataram oleh lidah Betawi jadi Matraman hingga kini. Sekalipun dua kali penyerangan gagal, tapi para bangsawan Mataram menjadi para juru dakwah yang handal. Mereka membangun tempat peribadatan yang kini menjadi masjid-masjid tua yang dilestarikan.
Setelah berkuasa sejak 1619, Herman Willem Daendels diangkat oleh Lodewijk Bonaparte (adik Kaisar Napoleon) menjadi gubernur jenderal. Sejak 1795 sampai 1813 nasib Belanda terkait dengan Prancis yang revolusioner dan imperial dengan revolusi Julinya. Saat penggabungan negara itu dalam kekaisaran Prancis, Daendels memindahkan bangunan-bangunan administratif dari kota tua ke Weltevreden yang dikatakan udaranya sama bersihnya dengan Prancis.
Daendels juga belajar dari Napoleonb akan pentingnya strategi menjalankan komunikasi dengan baik, terutama untuk pembuatan jalan-jalan baru dari Anyer ke Panarukan sepanjang 1000 km yang hingga kini masih kita nikmati. Sayangnya, jalan yang dibangun dengan kerja paksa dan mengorbankan banyak rakyat itu, kini rusak dan berlubang-lubang.
Bernard Darleans dalam buku Orang Indonesia dan Orang Prancis dari abad XVI sampai XX menulis, bagi penduduk Jabotabek masa kini, akan sangat sulit membayagkan kota Batavia yang santai pada akhir abad XIX. Sebagian besar bangunan pada abad itu telah diratakan dengan tanah. Taman-taman indah yang mengelilingi vila-vila yang memberi warna Eropa telah menghilang.
Pada zaman itu, menurut Darleans, hampir tak ada mobil dan tentu saja tak ada kemacetan, polusi, pedagang kaki lima dan jalur cepat. Yang ada hanya beberapa sado yang ditarik kuda, yang memecahkan kesunyian jalan raya yang tidak diaspal dan diteduhi pohon-pohon rindang.
Perbatasan selatan kota, saat itu, tidak melebihi Kebon Sirih. Lapangan Monas yang diciptakan Daendels sebagai lapangan terbesar di dunia dijuluki Champs deMars. Orang-orang Prancis tinggal di daerah elit Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Riswijk (Jl Veteran).
Pada 1811-1816 Jakarta mengalami masa pendudukan Inggris setelah terlebih dulu datang dari Malaka dan menyerang kota Batavia (1811). Letnan Gubernur Sir Stamford Raffles (17812-1826) menyelesaikan pembangunan Gedung Harmoni yang sebelumnya dibangun oleh Daendels.
Raffles adalah seorang pejabat gubernur Inggris yang berpandangan jauh kedepan dan bersikap humanistik. Ia merombak pemerintahan yang korup serta tidak efisien. Raffleslah yang menghapuskan perbudakan dan perdagangan budak. Ia meringankan beban pajak yang dipikul kaum pribumi, memajukan budaya dan ilmu.
Dia mengarang buku yang termashur History of Java (1817) dan mendirikan Singapura sebagai saingan Batavia. Isterinya, Marianne Raffles, meninggal di Jakarta, dan makamnya masih ada di Museum Prasasti Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Istrinya, yang pecinta tanaman tropis, dibangunkan tugu peringatan di jalan masuk Kebon Raya Bogor.
Pada masa Raffles terkenal kisah Nyai Dasima dari desa Kuripan, di Ciseeng, Bogor. Nyai bahenol yang menjadi istri tuan Willem, seorang Inggris, itu mati dibunuh oleh Bang Puase -- jagoan dari Kwitang, Jakarta Pusat. Kisah historis itu telah beberapa kali difilmkan dan dibuat sinetron. Pemerintahan Inggris berlangsung sampai 1816 dan digantikan kembali oleh Belanda.
( Alwi Shahab )
Friday, July 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment