Lukisan ini menggambarkan suasana ketika Benteng VOC di Sunda Kalapa diserang oleh para prajurit Pangeran Jayakarta (1618). Akibat penyerangan cukup dahsyat ini -- terlihat ratusan prajurit Jayakarta menyerang dengan tombak --, VOC menjadi kewalahan. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen melarikan diri minta bantuan ke pos Belanda di Ambon.
Sebelumnya Coen kian menampakkan dirinya untuk menguasai Jayakarta. Dimulai ketika Jayakarta yang bersaing dengan Banten mengizinkan VOC mendirikan loji di Jayakarta. Awalnya (1613) merupakan bangunan tidak permanen terdiri dari bahan kayu. VOC membangun loji dengan sewa 1.200 rijksdaarder. Satu rijksdaalder nilainya 2,50 gulden.
Coen yang tidak mematuhi perjanjian dengan Jayakarta kemudian menggantinya dengan bahan-bahan batu dan beton seperti terlihat dalam gambar. Hingga berubah fungsi menjadi benteng dengan bendera Belanda (merah, putih, biru) berkibar di tengahnya. Karuan saja ulah VOC ini membuat gusar Jayakarta hingga menyerangnya.
Dari pos Belanda di Ambon, Coen mendapatkan bantuan 16 buah kapal dengan awak seribu serdadu. Dengan pasukannya yang kuat itu, Jenderal Coen pada 30 Mei 1619 membumihanguskan bandar Sunda Kalapa dan mengganti nama Jayakarta jadi Batavia. Maka bandar Sunda Kalapa bukan lagi milik Jakarta yang sempat hanya berusia 92 tahun (1527-1619). Dan dimulailah penjajahan Belanda selama tiga setengah abad diselingi Prancis (1808-1811), Inggris (1811-1816) yang kemudian menyerahkannya kembali kepada Belanda. Sebelum merdeka, Indonesia dikuasai oleh balatentara Jepang (194q2-1945) pada masa Perang Dunia II.
Kota Jayakarta terbentang dari utara ke selatan di mana terdapat kedua anak sungai Ciliwung yang melintang dan sebelah barat terdapat anak sungai, sedang di bagian timur mengalir sungai besar Ciliwung. Pusat kota ditandai dengan adanya alun-alun (diperkirakan letaknya di terminal bus dan mikrolet stasion Kota), di selatan alun-alun terdapat kraton (dalem), di sebelah barat terdapat masjid dan kemudian sebuah pasar.
Kota Jayakarta dikelilingi oleh pagar kayu yang kemudian pada saat pemerintahan Pangeran Wijayakrama telah diganti oleh pagar tembok. Bangunan-bangunan seperti seperti kota Jayakarta tidak berbeda dengan tata kota lainnya di pesisir pulau Jawa dari masa pertumbuhan dan perkembangan Islam seperti Banten, Cirebon, dan Demak. Yang mencerminkan pusat kekuatan politik (keraton), kegiatan rohani (masjid), pusat pertemuan antara masyarakat dengan raja beserta para anggota birokrat (alun-alun), dan pusat kegiatan ekonomi (pasar).
Pada tahun 1619 penduduk kota Jayakarta sekitar 3.000 kepala keluarga (KK). Jika per keluarga lima orang, maka berjumlah 15 ribu jiwa. Masih dalam catatan tahun tersebut yang laki-laki saja berjumlah 7.000 jiwa. Setelah Belanda menaklukkan Jayakarta penduduknya melarikan diri ke Jatinegara Kaum dan bergerilya ke Batavia.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Friday, July 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment