Mungkin banyak yang belum tahu, bahwa Little India bukan hanya terdapat di Singapura tapi juga di Jakarta. Little India kini sedang berkembang setidaknya mengarah ke sana di kawasan Sunter, Jakarta Utara, tidak begitu jauh dari pantai.
Warga India dan juga Pakistan di Sunter, yang berjumlah ratusan, merupakan pindahan dari Pasar Baru, Pintu Air dan Gang Klinci, Jakarta Pusat. Mereka pindah ke Sunter, karena daerah kediamannya di kawasan sekitar Pasar Baru bertambah kumuh, dan lebih cocok untuk pusat perdagangan katimbang tempat tinggal. Bahkan, ada beberapa jalan yang tidak dapat dilewati mobil.
Mungkin kita masih ingat aktor ternama keturunan Pakistan tahun 1970-an, Farouk Afero. Keluarga besarnya, yang dulu tinggal di Gunung Sahari, kini juga turut hijrah ke Sunter. Berkembangnya Sunter menjadi Little India seperti di Singapura, menurut sejumlah orang India di Jakarta, hanya soal waktu saja. Meskipun tidak semegah Singapura, karena keturunan India di negeri yang dibangun oleh Raffles itu populasinya berlipat ganda dibanding warga keturunan India dan Pakistan di Jakarta.
Di Singapura, Little India merupakan salah satu pusat wisata yang tiap hari didatangi ribuan wisatawan mancanegsara. Di Sunter juga terdapat supermarket Mustafa yang menjual segala barang produk India. Tapi tidak diketahui apakah supermarket ini juga dikelola oleh pemilik supermarket dengan nama yang sama di Singapura.
Di kawasan Little India Sunter kita akan mendapati setidaknya lima restoran India dengan pionir rumah makan Rasa Sayang. Di sini kita dengan mudah mendapatkan toko atau warung yang menjual makanan dan oleh-oleh produk India dan Pakistan. Termasuk beras yang khusus didatangkan dari India untuk penderita diabetis, yakni Taj Mahal Rice, serta beras untuk nasi beriani. Juga tersedia berbagai macam teh India yang terkenal, seperti Taj Mahal Tea dan Red Label.
Makanan India dan Pakistan terkenal dengan aneka ragam aroma rempah-rempahnya. Warga India dan Pakistan di toko mereka menyediakan beragam rempah-rempah yang juga banyak didatangkan dari negara asalnya. Karena semakin banyaknya penduduk yang nenek moyangnya berasal dari Asia Selatan, maka bermunculanlah toko-toko rempah-rempah di Sunter dan daerah yang berdekatan dengan sekolah India, seperti Gandhi Memorial School, Universal School dan Jupilee School.
Bagi warga India (Hindu) shindur adalah tanda merah yang dioleskan sang suami saat menikah, seperti yang sering kita lihat dalam film-film Bollywood. Sedangkan phundi diletakkan di dahi hanya sebagai hiasan, dengan dominasi warna merah. Juga tato warna-warni untuk hiasan tangan dan badan.
Meskipun toko-toko mereka terletak di berbagai pusat perdagangan, termasuk Pasar Baru, tapi dari Sunter-lah ekspor dan impor garmen dilakukan. Kawasan di Jakarta Utara ini juga banyak didatangi pembeli dari Jakarta dan berbagai kota di tanah air, karena di sini juga terjadi transaksi penjualan tekstil secara grosir.
Orang India sudah mendatangi Nusantara sejak abad ke-4 sampai 11 Masehi. Mereka hampir seluruhnya datang dari India Selatan. Jakarta pada abad ke-5 pernah diperintah oleh Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan raja Mulawarman. Migrasi kedua terjadi pada abad ke-14 sampai 16 dengan datangnya pedagang beragama Islam, berasal dari Gujarat dan pantai Malabar, serta dari India Selatan.
Ada yang berpedapat bahwa Islam berasal dari Gujarat. Padahal, para penyebar Islam berasal dari Hadramaut, dan sebelum ke Nusantara terlebih dulu mampir di Gujarat dan ada yang menetap di Gujarat. Alasannya, perjalanan dengan kapal layar memerlukan waktu lama, dan India, seperti juga Yaman dan negara Arab lainnya, jadi jajahan Inggris hingga tidak ada masalah izin tinggal karena satu paspor.
Migrasi ketiga dari India ke Indonesia terjadi pada abad ke-18 ketika seluruh Asia dikuasai oleh kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. Dengan munculnya Revolusi Industri di pertengahan abad ke-19 terjadi perubahan pola migrasi. Dari India yang dikirim adalah para pekerja (kuli).
Migrasi ke empat terjadi sesudah perang dunia I, terdiri dari para pedagang dari Sindh (India Utara). Dan, migrasi terakhir terjadi sesudah perang dunia II, yang umumnya para keluarga korban perang saudara (para pengungsi) ketika India dibagi menjadi dua negara: India dan Pakistan. Mereka datang untuk mencari keamanan dan kehidupan baru di Batavia, yang menurut mereka tidak terlalu berbeda dengan kota-kota di India, karena pengaruh budaya India.
Menurut Suresh G Vaswani dari Gandhi Memorial School, banyak istilah-istilah India masa lampau yang sampai sekarang masih hidup dan menjadi istilah sehari-hari di Betawi, antara lain kata guru, bumi, daya, wayang, pustaka, prasasti, manusiua, dan istri.
Sedangkan pengaruh makanan yang berasal dari India Selatan adalah makanan yang menggunakan santan, kayu manis dan lada hitam. Sate di Indonesia menyerupai sate yang berasal dari India Utara. Perbedaannya hanya pada cara pengolahannya. Gulai di Indonesia terbuat dari kari yang merupakan makanan khas India. Hanya rasanya diubah untuk mendapatkan rasa khas Betawi.
Di Jakarta, menurut data tahun 2000-an, diperkirakan terdapat 2000 kepala keluarga India. ''Orang Betawi sangat toleran. Saya ini orang India dan saya Hindu. Tapi tidak ada masalah dalam bergaul dengan warga Betawi,'' kata Suresh G Vaswani.
(Alwi Shahab )
Friday, July 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment