Sejak masa VOC, tanah-tanah partikelir yang di Belanda disebut landerijen telah bermunculan di Batavia dan ommelanden (daerah pinggiran kota).
Namun, pada masa kekusasaan Daendels dan Raffles (1808-1816), tanah-tanah partikelir makin meluas karena kedua gubernur jenderal itu memerlukan banyak uang untuk berbagai kegiatan pemerintahan. Di Batavia dan sekitarnya ada tidak kurang dari 230 lokasi tanah partikelir milik para tuan tanah Eropa, Cina, dan Arab.
Umumnya, tanah-tanah itu disewakan pemiliknya pada petani untuk digarap sebagai sawah dan kebun. Atau disewakan kepada para pengusaha yang pada gilirannya memanfaatkan kaum tani yang berdiam di daerah sekitar. Selain kompeni, banyak tuan tanah yang memeras mereka dengan keharusan membayar cuke (pajak) yang mencekik leher.
Tidak heran kalau saat itu petani penggarap hidup melarat, sementara tuan tanah bergelimang harta. Sejarah mencatat, para pemimpin perjuangan di tanah-tanah partikelir umumnya berasal dari petani. Di antara pejuang yang memelopori perlawanan terhadap tuan tanah adalah Kaiin. Karena orang tuanya bernama Bapak Kayah, dia disebut Kaiin Bapak Kayah. Lahir pada 1884 di Kampung Pangkalan, Tangerang, sejak kanak-kanak Kaiin termasuk pendiam dan taat kepada kedua orang tuanya. Dia belajar mengaji sambil belajar main pukulan (silat).
Karena dikenal alim dan pandai main silat, Kaiin diangkat menjadi mandor pengawas perkebunan milik tuan tanah Tionghoa di Kampung Pangkalan. Ketika menjadi mandor itulah dia melihat ketidak-adilan dan pemerasan para tuan tanah terhadap saudara-saudaranya rakyat pribumi.
Tidak sanggup melihat kesewenang-wenangan itu, Kaiin mengundurkan diri. Mulai saat itulah dia mengembara ke berbagai tempat, seperti Batavia, Bekasi, Bogor, dan Kerawang. Di Batavia dia sempat bekerja di kantor polisi sebagai opas. Di sini Kaiin kembali tergugah melihat ketidak-adilan para hamba wet (hamba hukum) dalam menangani berbagai kasus dengan sangat diskriminatif.
Setelah pulang ke kampung kelahirannya di Kampung Pangkalan, suatu malam dia menonton pertunjukan wayang kulit Betawi. Kemampuan ki dalang dalam mendalang menarik perhatiannya. Kaiin bertekad untuk menjadi dalang wayang kulit Betawi. Mula-mula ia magang sebagai asisten dalang. Kemudian dipercaya mendalangi sebuah lakon.
Ketika menjadi dalang dia menikah dengan seorang janda kaya Tionghoa bernama Tan Teng Nio. Dengan kekayaan istrinya Kaiin hidup lebih stabil. Janda Tionghoa ini memilihnya sebagai suami karena berharap Kaiin sebagai seorang jagoan dapat menjaga seluruh kekayaannya.
Tapi, sekalipun sudah hidup mapan, Kaiin tidak pernah surut untuk menentang pemerintah kolonial dan para tuan tanah yang memeras petani. Dia juga mempelajari ilmu tarikat dan kerap menziarahi tempat-tempat keramat, seperti makam Raden Kartadriya di Jacatraweg (kini Jl Jayakarta, Jakarta Kota), yang dihukum gantung oleh Belanda (1720) karena menjadi sekutu Pieter Erbelveld dalam melawan kompeni, dan makam Kramat Ujung di Bekasi.
Suatu malam, saat mendalang tiba-tiba Kaiin kesurupan. Pada saat itulah, di tengah-tengah warga Kampung Pangkalan yang sedang menonton wayang, Kaiin berkata, ''Wahai saudara-saudara, sayalah Sang Hyang Tunggal atau Ratu Rabbul Alamin, karena saya adalah keturunan Pangeran Siliwangi. Mulai saat ini saya akan ambil hak saya sebagai seorang pemimpin. Saya akan usir kaum penjajah dan para tuan tanah yang kejam dan jahat yang selalu mengambil hak-hak petani. Mulai saat ini saudara-saudara harus ikut saya punya perkataan.''
Maka, mulai saat itu di kediaman Kaiin selalu ramai karena ia mengundang tamu-tamu yang terdiri para tokoh masyarakat dari Tangerang, Batavia dan Bekasi. Di kediamannya dia berpidato membangkitkan semangat perlawanan dan melatih pengikutnya untuk menguasai senjata golok, parang, tombak dan panah. Kepada para pengikutnya, dia juga memberikan jampe-jampe berupa wafak (kesaktian), agar mereka semakin berani melawan Belanda dan para tuan tanah jahat.
Suatu hari, setelah shalat Subuh, tepatnya tanggal 10 Februari 1924, Kaiin mengumpulkan seluruh pengikutnya untuk apel persiapan maju ke medan perang. Semua pengikutnya diberi pakaian putih-putih dan tudung cetok dan itulah ciri pengikut Kaiin Bapak Kayah.
Saat itu dia berpidato, ''Saatnya sekarang kita menyerang dan usir penjajah dan tuan tanah jahat dari negeri kita. Kita usir orang kafir Belanda. Allahu Akbar!'' Kepada rakyat yang tidak ikut dalam penyerangan, dia minta untuk tidak keluar rumah.
Pukul 07.00 pagi rombongan Kaiin mulai menyusuri rumah-rumah tuan tanah, termasuk penggilingan tebu dan padi yang ada di Kampung Pangkalan, Kampung Melayu, Teluk Naga dan Tanah Tinggi. Pasukannya terus merangsek hingga ke rumah asisten wedana di Teluk Naga.
Rumah asisten wedana dikepung dan kepadanya Kaiin bertanya, ''Apakah tuan membela orang kafir?''
Asisten wedana menjawab, ''Pada orang kafir kita tidak suka.'' Asisten wedana berusaha untuk mendinginkan kemarahan pasukan Kaiin, sambil mengajaknya bicara di kediamannya. Tapi, tujuannya untuk menghambat pasukan Kaiin supaya dia dapat menghubungi kantor polisi di Batavia untuk minta bantuan.
Saat berunding itulah datang schout (perwira polisi) dan pasukannya dari Batavia. Kaiin dan sejumlah pengikutnya ditangkap. Kemudian, bersama 29 orang pengikutnya, dia ditembak mati, dan 24 orang lainnya dipenjara.
(Alwi Shahab )
Friday, July 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment