Memasuki Rumah Sakit DGI 'Cikini', Jakarta Pusat, melalui pintu gerbangnya di Jl Raden Saleh terdapat sebuah gedung besar seperti layaknya sebuah istana. Gedung berlantai dua yang sebagian temboknya bercat putih, merupakan barang langka di Ibukota karena keantikan dan kekunoannya. Gedung tersebut bekas kediaman pelukis Raden Saleh (1811-1880).
Hampir tidak ada yang tahu gedung yang jadi tempat para pemimpin RS DGI Cikini ini, adalah tiruan dari satu istana kecil di Jerman. Yakni Istana Callenburg yang sering dikunjungi Raden Saleh. Ternyata Raden Saleh bukan hanya pelukis kondang tapi juga seorang arsitek handal. Pelukis kelahiran Semarang (1811) dari keluarga Syarif Bustaman inilah yang merancang gedung ini untuk tempat tinggalnya.
Raden Saleh pada 1829 dikirim ke Belanda, di samping untuk melukis juga akan dijadikan pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Pada 1839 setelah 10 tahun di Negeri Kincir Angin ia minta agar diberi kesempatan melakukan perjalanan keliling Eropa sebelum kembali ke Indonesia. Anak muda ini berkelana dengan kapal menyusuri sungai Rhein hingga ke Dusseldorf. Untuk kemudian mendatangi berbagai tempat di Jerman, dan Eropa. Dalam buku Napas Tilas Hubungan Jerman - Indonesia, Rd Saleh dilukiskan sebagai penyayang binatang. Dengan postur tubuhnya yang kecil dia dikenal sebagai pengendara kuda yang handal dan pemancing ikan yang kreatif.
Sekembalinya ke Indonesia, di atas tanah yang ia beli dari istrinya Winckelmann, seorang Jerman kelahiran Batavia, ia pun membangun istananya di Cikini: tiruan dari Istana Callemburg. Di Batavia, Raden Saleh menolak masuk dalam dinas penguasa kolonial Belanda. Beberapa karya lukisannya sangat digemari Bung Karno, dan masuk dalam koleksi Istana Kepresidenan.
Di antara lukisannya yang menonjol adalah 'Penangkapan Diponegoro' yang diselesaikan 1858. Bertentangan dengan pelukis kolonial, Raden Saleh yang bersimpati pada Diponegoro dengan penuh keberanian melukiskan bahwa pangeran dari Kesultanan Mataram ini sebagai pemenang bermoral, yang berjalan ke tahanan dengan muka menantang. Merupakan karya lukis revolusioner dan anti kolonial. Lukisan ini dibawa kembali ke Jakarta setelah kemerdekaan, setelah bertahun-tahun berada di Belanda. Diponegoro yang pernah dipenjara di Stadhuis (kini Museum Sejarah DKI Jakarta) sebelum dibuang ke Makassar, adalah korban kelicikan Belanda. Yang menangkapnya dengan tipuan untuk berunding.
Sebagai cicit Sayid Abdullah Bustam dan putra Sayid Husein bin Yahya, Raden Saleh selama di Maxem, Jerman mendirikan sebuah mushola bertuliskan basmalah dalam bahasa Jerman dan Jawa. Sementara di dekat kediamannya di Cikini ia juga membangun sebuah surau (1860). Setelah beberapa kali tergusur surau tersebut kini menjadi masjid Cikini, yang dapat menampung lebih 1000 jamaah.
Sebagai penyayang binatang, Raden Saleh mendirikan kebon binatang pertama di Cikini, yang masih merupakan bagian dari tanah kediamannya. Kebon Binatang ini pada masa gubernur Ali Sadikin akhir 1960-an dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan. Kediamannya di Cikini terbentang dari TIM, dua bioskop (Garden Hall dan Podium), kolam renang Cikini, SMP I Cikini, yang dulunya merupakan pintu gerbang untuk masuk ke kediamannya. Ketika pindah ke Bogor, pelukis ini menjual rumah beserta tanahnya pada Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, pemilik gedung Museum Tekstil di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Kemudian rumah dan tanah yang luas itu dijual pada Koningen Emma Ziekerhuis (Yayasan Ratu Belanda Emma), dengan harga 100 ribu gulden. Mengetahui rumah dan tanah akan dijadikan rumah sakit, Abdullah Alatas memotong harga penjualan jadi 50 ribu gulden. Ketika Indonesia merdeka, yayasan ini menyerahkannya kepada RS DGI Cikini.
Ketika terjadi kerusuhan di Bekasi pada 1869 oleh kelompok Islam, Raden Saleh dituduh turut mendalanginya. Kediamannya di geledah, setelah dikepung 50 serdadu bersenjata lengkap. Pelukis ini meninggal di Bogor (1880) dan dimakamkan di Jl Bondongan (kini Jl Pahlawan). Bersebelahan dengan makam istrinya RA Danurejo, putri dari kesultan Mataram. Setelah sebelumnya pelukis ini bercerai dengan istrinya dari Jerman.
(Alwi Shahab, wartawan Republika)
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment