Kesibukan biasanya terjadi di Kantor Pos dan Giro, Jl Pos, Pasar Baru, Jakarta Pusat, menjelang Idul Fitri. Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu, ratusan pedagang kaki lima mangkal di depan gedung yang dibangun pada akhir abad ke-19 tersebut. Dengan memasang tenda-tenda mereka menjual kartu ucapan selamat lebaran.
Tapi, menjelang Idul Fitri 1426 H ini tidak lagi tampak keramaian seperti di masa-masa lalu, ketika saat-saat kantor pos diserbu pengunjung. Begitu pesatnya hubungan telekomunikasi, untuk mengirim pesan atau ucapan selamat kini sudah cukup melalui email, SMS lewat handphone, mesin fax dan berbagai cara lainnya yang lebih cepat dan praktis.
Mungkin sekarang ini tidak terbayangkan bagaimana begitu primitif dan lambannya jasa pos. Seperti pada era VOC (1602-1799) hubungan surat dari negeri Belanda ke Batavia butuh waktu sembilan bulan, kadang-kadang lebih setahun. Dari Batavia ke Maluku sebagai gudang rempah-rempah perlu waktu empat bulan. Maklum, kala itu angkutan pos masih mengandalkan kapal dagang VOC.
Belum lagi risiko pelayaran itu sendiri dalam mengarungi lautan serta menghadapi hadangan bajak laut. Seringkali terserang penyakit yang banyak menyebabkan kematian. Konon, ketika Presiden AS Abraham Lincoln tertembak mati pada 15 April 1865 di Washington DC, berita yang menghebohkan itu baru diketahui di Tanah Air berbulan-bulan kemudian.
Padahal, hubungan pos di zaman VOC jauh lebih baik dibandingkan masa-masa jauh sebelumnya, meskipun belum baik dan lancar. Ketika tahun 492 sebelum Masehi (SM) pasukan Darius Agung dari Persia menyerang Yunani dari dataran Marathon, dan dikalahkan, berita kemenangan ini disampaikan seorang pelari. Untuk itu dia berlari sepanjang 42 km dari Marathon ke pusat kerajaan Yunani. Namun, pelari ini meninggal dunia ketika tiba di hadapan raja. Untuk memperingati peristiwa sejarah ini dalam lomba atletik disediakan nomor lari marathon.
Kembali ke era VOC, guna mengatur dan menjamin kelancaran dan keamanan pos, maka pada 1746, gubernur jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff mendirikan kantor pos pertama di Hindia Belanda. Sampai kini gedung kantor pos pertama itu masih berdiri. Letaknya di Galangan Kapal Batavia, depan Museum Bahari, Pasar Ikan, Jakarta Utara. Ketika itu letaknya berhadapan dengan kastil (benteng) Batavia.
Sedang kediaman gubernur jenderal van Imhoff juga masih dapat kita jumpai di Kali Besar Barat, dikenal dengan nama Toko Merah. Ia jadi gubernur jenderal VOC setelah pembantian 10 ribu warga Tionghoa di Glodok (Oktober 1740). Peristiwa penjagalan besar-besaran, manusia disembelih seperti binatang. Pada 1750 berdiri kantor pos kedua di Semarang.
Berdasarkan catatan sejarah, kegiatan surat menyurat di Indonesia telah dimulai jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Yakni pada masa kerajaan Kutai, Tarumanegara, Pajajaran, Majapahit, Sriwijaya dan Mataram -- walaupun hanya terbatas pada hubungan antarpara raja. Bentuknya masih sangat sederhana, menggunakan kulit kayu, potongan bambu, daun lontar, dan kulit binatang.
Kegiatan pos semakin lancar, setelah pembuatan Jalan Raya Pos (de Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km pada 1809 atas perintah gubernur jenderal Herman William Daendels. Menyebabkan waktu tempu pos dari Jawa Barat ke Jawa Timur yang sebelumnya memakan waktu 40 hari, diperpendek jadi enam hari.
Perangko pertama di dunia diterbitkan di Inggris (1840) dengan nama Penny Black, yang membuka zaman baru dalam bidang pertarifan pos. Belanda, saat menjajah Indonesia, mengikuti pula jejak Inggris. Pada 1852, diterbitkan perangko Belanda pertama, bergambar Raja Willem III. Sementara di jajahannya Hindia Belanda, perangko digunakan pertama kali pada 1865. Cetaknya di Belanda sebanyak dua juta lembar.
Sampai awal abad ke-20 ada yang disebut hari pos. Saat hari tibanya kapal dari Belanda. Warga Belanda sangat menantikan kedatangan surat-surat dari negeri leluhurnya. Kemudian pos pun berkembang pesat, ketika dimulainya era pesawat udara. Dan kantor pos merupakan salah satu tempat paling sibuk ketika itu.
Meskipun pemerintah kolonial Belanda menyediakan banyak kotak pos (brievenbus) di Batavia dan kota-kota lainnya, tapi banyak yang datang ke kantor-kantor pos agar surat-surat lebih cepat sampai ke tujuan. Sementara Belanda banyak menyediakan kotak pos (brievenbus) yang dipasang di jalan-jalan raya. Maksudnya supaya orang tidak perlu mendatangi kantor pos, cukup menitipkan surat ke kotak pos. Untuk kemudian surat-surat dikeluarkan dari kotak dan diangkut ke kantor pos.
Sekarang ini begitu cepat dan lancarnya komunikasi. Lebih-lebih sejak adanya televisi yang melakukan siaran langsung. Bangsa Indonesia yang umumnya gila bola dapat menonton siaran-siaran liga Eropa, sekalipun untuk itu mereka rela harus begadang.
Pada tahun 1960-an, meskipun televisi belum muncul, tapi pertandingan di liga Eropa sudah banyak diikuti. Peminatnya adalah para petaruh sepakbola. Mereka ini pada malam hari banyak menelpon ke Kantor Berita 'Antara' menanyakan hasil pertandingan, yang disiarkan oleh kantor-kantor berita asing, yang baru keesokan harinya di muat di koran-koran. Ketika menjadi redaksi di Antara, saya dan rekan-rekan seringkali jadi kesal karena banyaknya telpon yang minta hasil pertandingan.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment