Tuesday, March 21, 2006

Kerak Telor dari Buncit

Memasuki Jl Buncit Raya dari arah Jl Rasuna Said, terdapat Madrasah Saadutdarain. Madrasah yang diapit oleh Jl Mampang XIV dan Jl Mampang Parapatan XIII itu juga merupakan salah satu tempat kuliah Universitas Islam Az-Zahrah, yang rektornya mantan Menteri Agama Tarmizi Taher dan ketua yayasannya DR Sechan Shahab.

''Kira-kira di tempat inilah dulu terletak Warung Buncit, yang kini diabadikan jadi nama jalan dan kampung,'' ujar HA Mas'ud Mardani (51), warga setempat. Dinamakan demikian, karena Cina pemilik warung tersebut perutnya buncit. Sekalipun warung dan pemiliknya sudah lenyap, nama Warung Buncit sampai kini tetap melekat.

Kala itu, warung-warung milik warga Tionghoa yang tersebar di berbagai pelosok Jakarta tidak satupun memakai papan nama. Warung mereka lebih dikenal berdasarkan postur tubuh pemiliknya. Seperti warung si jangkung (pemiliknya bertubuh jangkung), atau warung si gemuk, dan ada yang dinamakan warung si kurus.

Di Kwitang, Jakarta Pusat, ada yang disebut warung andil, letaknya berdekatan dengan majelis taklim Habib Ali. Karena, warung itu didirikan secara patungan (andil). Masih di Kwitang, ada yang disebut warung asuk, karena anak-anaknya memanggil bapaknya dengan sebutan asuk yang dalam bahasa Cina berarti bapak. Hingga kini warung tersebut masih berdiri, menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga, mulai dari beras sampai bahan-bahan pokok lainnya. Cuma tidak ada lagi arang dan kayu bakar seperti tahun 1950-an dan 60-an.

Jl Warung Buncit, terutama pagi dan sore, menjadi salah satu pusat kemacetan di Jakarta. Keadaan ini seperti langit dan bumi dibanding tahun 1960-an dan bahkan 1970-an. Waktu itu, kata Mas'ud, Jl Buncit Raya masih lengang. Jalan raya memang sudah ada, tapi belum diaspal. Bahkan pada 1950-an dan juga 1960-an, kawasan Warung Buncit sebagian masih merupakan hutan. Sementara para penduduknya, warga Betawi, dengan bergairah menanam pohon belimbing. Buah belimbing dari daerah ini, yang disebut belimbing semarang, terkenal sekali manis dan besar-besar. ''Kini sudah punah, tak satu pun yang tinggal,'' kata H Mas'ud dan adiknya, H Mustafa.

Bukan hanya pemilik rumah yang berpekarangan besar yang terlibat dalam perdagangan belimbing, tapi juga sebagian besar penduduk Mampang dan Buncit. Hasil panen belimbing dibagi tiga. Sepertiga untuk pemilik rumah, sepertiga untuk para buruh yang sejak buahnya masih kecil dengan teliti membungkusnya dengan daun pisang. Dan sisanya untuk biaya operasional, seperti daun pisang dan tali untuk pengikat.

Lalu bagaimana situasi di perapatan Republika kala itu? Sampai tahun 1975, masih berupa persawahan dengan rumput dan alang-alang. Sebagian lagi terdiri dari empang. Banyak warga Betawi beternak ikan di sini. Kala itu, para penduduk juga punya penghasilan dari ternak sapi. Mereka yang berpunya memelihara puluhan ekor sapi. Kala itu, jumlah sapi di Buncit mencapaim ribuan ekor. Kini, kata Mas'ud, hanya sekitar 300-an ekor sapi. Sedangkan peternaknya bisa dihitung dengan jari.

Lalu bagaimana masa depan para peternak itu? Mas'ud yang ayahnya memiliki peternakan kecil-kecilan pesimis akan masa depan mereka. Seperti juga nasib perkebunan belimbing yang sudah punah, usaha ternak sapi juga akan mengalami nasib sama. Dulu, kata Mas'ud, orang yang memiliki 10 ekor sapi bisa menutup biaya hidup keluarganya. Sekarang sudah tidak bisa lagi. ''Dulu punya sapi 15 ekor sapi sudah bisa beli tanah. Sekarang malah jual tanah,'' katanya pesimis.

Tak heran kalau sekarang banyak kandang-kandang sapi yang telah berubah fungsi jadi rumah kontrakan. Oleh mereka sapinya dijual dengan harga sekitar Rp 5-10 juta. Hasil penjualan sapi itu cukup untuk membuat rumah kontrakan. Seperti kandang sapi berukuran 400 meter, misalnya bisa jadi rumah kontrakan 15 unit. ''Satu unit dikontrak Rp 400 ribu per bulan. Kan hasilnya lumayan,'' katanya.

Yang cukup merisaukan peternak sapi di Buncit, dan peternak sapi di Kuningan yang jumlahnya jauh lebih banyak, pakan ternak kini harganya sudah sangat mahal. Kalau dulu kita bisa mengambil rumput dari Buncit, sekarang harus ke Cengkareng dan Kapuk Muara.

Di tengah-tengah membanjirnya pendatang, yang tetap masih eksis di Buncit adalah kerak telor. Mashud berani menjamin, di antara para penjual kerak telor yang banyak mangkal di mal, pertokoan, dan pusat-pusat keramaian, 99 persen dari Warung Buncit. Mereka berdagang turun menurun sejak kakak mereka berjualan di Pasar Gambir tahun 1940-an. Yang menggembirakan, ujar Mas'hud, kerak telor kini sudah masuk pertokoan mewah. Bahkan sudah sampai ke Bandung, dan sedikit waktu lagi ke Manado.

Di antara para pedagang kerak telor itu adalah warga Betawi yang masih tersisa di Buncit. Kalau di pinggir-pinggir 90 persen dihuni pendatang, tapi kalau agak ke dalam masih sekitar 60-70 persen. Mereka dikenal sebagai warga yang agamis, setiap hari Ahad pagi menghadiri pengajian di Majelis Taklim Kwitang. ''Saya sendiri sejak masa kakek saya sampai kini masih tetap ke pengajian Habib Ali,'' ujar Mas'ud.

Salah satu kegemaran warga Betawi di Buncit adalah orkes gambus, kemudian orkes Melayu, dan kini dangdut. Pada tahun 1950-an, warga sering patungan menumpang oplet menonton film Mesir di Alhambra, Sawah Besar. Tidak heran, di Buncit sampai kini berdiri Orkes Gambus Arominia pimpinan H Ahmad Sukendi, putra asli Mampang Perapatan.

Di Buncit juga dikenal sejumlah ulama yang namanya kesolhor di Jakarta, seperti KH Salam Djaelani, Kh Abdcullah Musa, dan KH Tohir. Seperti kebanyakan ulama Betawi, mereka belajar agama di Mesir dan Arab Saudi. Di samping almarhum Habib Ali, almarhum KH Abdullah Sjafii juga merupakan ulama yang dihormati di Buncit.

Di kawasan ini juga terdapat sejumlah pemain rebana burdah, rebana yang berukuran 50 Cm. Rebana ini dikembangkan oleh Sayid Abdullah Ba'mar, yang dulu merupakan orang terkaya di kawasan Kuningan dan Buncit. Wan Dulloh, panggilan tuan tanah ini, kata Mas'ud, pada 1950-an punya tanah yang kini dikenal sebagai kawasan segi tiga emas, antara Jl Gatot Subroto dan Jl Tendean.

(Alwi Shahab )

No comments: