Sampai Desember 1950, bila kita menuju Pasar Ikan, Jakarta Utara akan melewati Pintu Gerbang Amsterdam (lihat gambar). Letaknya di bagian selatan dari kastil (benteng) dan sekitar 400 meter sebelah utara stadhuis ( Balai Kota), yang kini jadi Gedung Museum Sejarah Pemda Provinsi DKI Jakarta, Jl Fatahillah 1, Jakarta Utara.
Dibangun pertama kali pada abad ke-17, pintu gerbang ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Bagian selatan kastil, termasuk pintu gerbang Amsterdam direnovasi selama masa pemerintahan gubernur jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750). Gubernur keturunan Jerman ini yang memulai dinas di VOC sejak prajurit rendahan, dilantik setelah terjadi pembantaian besar-besaran warga keturunan Tionghoa (September 1740).
Pada saat itu, di kiri kanan pintu gerbang diapit tembok ynag memanjang sejauh puluhan meter. Tembok ini kemudian dihancurkan karena menghalangi kereta kuda yang akan melewatinya. Ketika benteng kota Batavia dihancurkan oleh gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), pintu gerbang ini terluiput penghancuran. Saat membangun Weltevreden (sekitar Gambir, Lapangan Banteng, Senen, dan Pasar Baru),
Bahan bangunannya berasal dari benteng dan gedung-gedung tua disekitarnya. Termasuk saat hendak membangun Istana di Lapangan Banteng (kini gedung Departemen Keuangan) dan gedung Mahkamah Agung di sebelahnya. Pintu gerbang Amsterdam yang lokasinya kini di Jalan Cengkeh dan Jl Tongkol, Jakarta Utara, terletak sebelah selatan jembatan kereta api, dan sebelah kiri terminal angkutan darat Kota Inten. Berdampingan dengan jembatan gantung di Pintu Besar Timur.
Pada bulan April 1869 ketika trem kuda mulai beroperasi, melewati sisi kiri pintu gerbang. Dengan rute dari Kanal Weg (Jl Tongkol), dekat Pelabuhan Sunda Kelapa dan menyusuri Prinsenstraat (kini Jl Cengkeh), untuk kemudian melewati Nieuwpoort Straat (Jl Pintu Besar Utara dan Pintu Besar Selatan. Kemudian trem melaju ke Molenvliet (kini Jl Gajah Mada). Sebelah kiri foto yang dibuat pada tahun 1880-an terlihat rel strem kuda, yang kemudian digantikan trem uap dan terakhir trem listrik.
Pada pertengahan abad ke-19 mereka yang datang ke Batavia melalui kapal laut dari pelabuhan lama (Sunda Kelapa) terlebih dulu melewati pintu gerbang Amsterdam sebelum memasuki kota. Di kiri dan kanan pintu gerbang terdapat dua patung tengah memegang tombak yang dipasang pada tahun 1830. Masing-masing patung Mars (dewa perang Romawi) dan patung Minerva (dewa kesenian Yunani), seolah-olah sebagai penjaga benteng Batavia.
Pintu gerbang ini bertahan sampai datangnya balatentara Jepang (1942-1945). Tapi sejak itu, patung Mars dan Minerva yang terbuat dari perunggu lenyap diambil Jepang. Sejak 1940-an, ketika kendaraan di Ibukota mulai ramai pintu gerbang ini menjadi penghalang lalu lintas kendaraan bermotor. Baru pada Desember 1950 dibongkar dan tidak berbekas lagi.
Selama masa VOC (1619-1799), Batavia merupakan kota berbenteng yang dikelilingi dinding. Area yang berada di dalam benteng (dinding) adalah kawasan kota, sebutan yang hingga kini masih tetap populer. Belanda sampai 1940-an menyebut Batavia Centrum (Pusat Kota Batavia), dan Weltevreden untuk daerah diselatan yang baru dibangun awal abad ke-19.
Sampai akhir abad ke-18, daerah yang berada di luar dinding kota Batavia masih rawan keamanannya. Beberapa kali mendapat serangan dari balatentara Islam Mataram dan Banten. Di samping para budak yang melarikan diri dari tuannya dan kemudian melakukan kejahatan, bersembunyi di daerah ini yang sebagian besar masih hutan belukar.
(Alwi Shahab, wartawan Republika)
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment