Tuesday, March 21, 2006

Gedung Candranaya yang Merana

Bangunan mirip klenteng ini adalah bekas kediaman mayor Cina, Khouw Kim An. Dia merupakan mayor terakhir masyarakat Cina di Batavia. Ia meninggal tahun 1942 ketika dipenjara pada masa pendudukan Jepang. Di masa kolonial, Belanda menunjuk seorang kapiten (kapten) untuk memimpin tiap kelompok etnis. Khusus untuk masyarakat Cina, karena jumlah mereka yang besar dan perekoniannya yang kuat, etnis ini dipimpin seorang mayor, dibantu kapiten dan letnan. Ketika balatentara Jepang datang, semua gelar ini dihapus.

Sampai 1992, mereka yang melewati Jl Gajah Mada menuju Glodok akan melalui gedung antik yang dibangun awal abad ke-18. Gedung yang terletak di Jalan Gajah Mada 188 berdekatan dengan pusat bisnis dan belanja Glodok, Jakarta Barat. Ketika gedung ini dibangun, Jl Gajah Mada bernama Molenvliet West dan terletak diluar kota Batavia yang masih berbenteng.

Gedung yang atapnya berbentuk segi empat trapesium dengan kedua ujung atas agak meruncing, terdiri dari empat buah bangunan. Tapi kini hanya tinggal satu bangunan utama yang selamat. Yang lainnya terguusur, ketika pada 1992 gedung yang kala itu bernama Candranaya hendak dibangun gedung berlantai 32, untuk apartemen, pertokoan, dan tempat rekreasi. Tapi karena banyak reaksi mengingat sejarah gedung tua ini, akhirnya diambil jalan kompromi. Gedung utama tetap dipertahankan, tapi sudah tidak kelihatan lagi dari jalan raya karena tertelan pencakar langit.

Keluarga Khouw yang pertama menempati gedung ini adalah Khouw Tjoen. Ketika ia datang dari daratan Cina abad ke-18, sebelum menempati gedung ini terlebih dulu tinggal di Tegal, Jawa Tengah. Dan hanya dalam masa satu generasi, putranya bernama Khouw Tian Seck menjadi seorang kaya raya. Dia memiliki bejibun kekayaan, dan sawah di Batavia, Karawang, Cikapek dan Tangerang, disamping sejumlah penggilingan padi di tempat-tempat tersebut. Dia juga dikenal sebagai tuan tanah dan pemilik gedung-gedung di sekitar Molenvliet (Jl Gajah Mada dan Jl Hayam Wuruk), yang kala itu merupakan kawasan elite dan tempat peristirahatan warga Belanda.

Salah seorang cucu Khouw Tian Seck adalah Khouw Youuw Kee. Dia adalah kapiten Cina pada abad ke-19. Salah seorang putranya Khouw Kim An, keluarga Khouw terakhir yang menempati gedung ini, sebelum jadi mayor Cina adalah Ketua Dewan Cina di Batavia. Dia diangkat menjadi mayor pada 1910 - 1918 dan 1927 sampai datangnya Jepang ke Indonesia (Maret 1942). Mayor Khouw Kim An juga anggota volksraad (parlemen bentukan Belanda) dari 1921 - 1931. Keluarga Khouw juga membangun gedung yang sama yang letaknya berdekatan, masing-masing di Jl Gajah Mada 174 (kini SMU 2) dan Jl Gajah Mada 168 (pernah jadi Kedutaan Besar RR Cina ).

Setelah sang mayor meninggal, gedung ini 1946 berganti pemilik. Dan menjadi salah satu pusat kegiatan sosial dan pendidikan masyarakat Tionghoa. Namanya Sin Min Hui (terang hati). Gedung yang berusia ratusan tahun itu juga menjadi tempat balai pengobatan. Pada tahun 1957 ketika nama-nama berbau asisng di Indonesia-kan, namanya diganti jadi Candranaya.

Konon, rumah Mayor Khouw ini memiliki 100 kamar tidur. Tidak perlu heran. Maklum sang mayor memiliki 14 istri dan 234 anak. Belum lagi pelayan yang cukup banyak. Pada zaman itu sangat lazim biloa seorang kaya raya memiliki sederet istri, harem kata orang Arab, atau gundik dan nyai kata orang Betawi. Dia tentunya memiliki kamar yang jauh lebih besar dan mewah katimbang anak-anaknya. Di sinilah sang mayor secara bergiliran menerima istri dan selirnya yang tinggal satu atap. Kini, gedung Candranaya tampak merana. Tergencet ditengah-tengah pencakar langit. Padahal, ia merupakan saksi sejarah selama ratusan tahun.

( Alwi Shahab, wartawan Republika )

No comments: