Selama Idul Fitri banyak warga yang mendatangi tempat rekreasi. Salah satu yang banyak diserbu adalah Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) di Jakarta Utara. Seperti tahun-tahun lalu, pengunjung sampai membludak selama sebulan setelah lebaran. Bisa mencapai jutaan orang.
Hal demikian juga terjadi di tempo doeloe. Sampai tahun 1960-an selama lebaran warga ramai-ramai rekreasi ke Zandvoort, yang oleh lidah Betawi disebut 'sampur'. Jaraknya sekitar 3 km dari Ancol, dan hanya 1 km dari stasion Kereta Api Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Ancol, yang kini tempat rekreasi paling banyak menyedot pengunjung, kala itu masih hutan belukar dan sarang monyet. Hingga kendaraan yang lewat harus perlahan-lahan dan ekstra hati-hati, karena monyet-monyet sering berhamburan keluar. Banyak yang percaya para monyet itu memiliki seorang pemimpin yang dijuluki 'si kondor'. Tentu saja kini tidak satu pun monyet yang tersisa. Bahkan, semak belukar sudah jadi hutan beton.
Ulama Kondang almarhum KH Abdullah Syafe'ie, melalui radio Asyafi'iyah pada tahun 1970-an dan 80-an, sering menyindir bahwa monyet-monyet di Ancol sekarang bukan lagi berupa binatang tapi manusia yang tingkah lakunya lebih jelek dari binatang.
Maksud sindiran ulama Betawi itu, karena di malam hari para hidung belang dan WTS menjadikan kawasan Ancol sebagai tempat indehoy. Tanpa mengenal malu dan takut akan dosa, mereka melakukan maksiat di pasir tepi pantai, hanya di-alingin sebuah pantai. Konon, sekarang ini lebih berani lagi.
Ancol sebagai tempat maksiat dikenal jauh sebelumnya. Di kisahkan, playboy kaya raya Oey Tambahsia dan sejumlah warga tajir lainnya sering bersenang-senang di Ancol. Mereka memiliki soehian (semacam rumah pelacuran) tempat berpesiar dengan para harem. Bahkan, di salah satu vilanya itu, konon si mata keranjang Oey Tambahsia membunuh seorang gadis yang jadi korbannya.
Kemudian, gadis itu diidentikan sebagai Ariah yang hilang sekitar tahun 1870/1871. Ia meninggal dan jasadnya hilang, setelah menolak hendak diperkosa di sebuah vila di Ancol. Ia kemudian dikenal sebagai 'Si Manis dari Jembatan Ancol', yang pada malam hari sering keluar dan menggoda laki-laki, khususnya para sopir yang lewat jembatan.
Kisah itu telah berkali-kali disinetronkan, bahkan pernah difilmkan. Oleh perusahaan film Sarinande dengan produsen dan sutradara Turino Djunaedi dan pemeran utama Lenny Marlina, Farouk Afero dan Kris Biantoro.
Dalam tahun 1950-an, suratkabar Ibukota sering memberitakan kecelakaan lalu lintas yang meminta korban manusia di Jembatan Ancol. Berita-berita burung menyebutkan kecelakaan itu berkaitan dengan munculnya tiba-tiba seorang gadis ayu dekat jembatan Ancol. Si gadis bahenol terkadang berdiri di tepi jembatan dan terkadang melintasinya. Karena konsentrasi sopir terganggu, mobilnya menabrak pohon. Tidak heran, kala itu para pengemudi bila melewati jembatan ini harus beri kode: membunyikan klakson atau menyalakan lampu sen.
Seorang sordadoe Kompeni, Johannes Rach (1720-1783), ketika bertugas di Batavia sempat melukis Ancol. Kala itu banyak warga Belanda membangun vila di Ancol, yang kala itu masih bernama Slingerland. Prajurit itu melukis tuan dan nyonya Belanda serta kelurganya tengah berlibur di Ancol, yang kala itu letaknya di luar kota Batavia yang berpusat di Pasar Ikan. Sama seperti kalau kita berakhir pekan ke Puncak. Di Ancol, gubernur jenderal Valckenier memiliki sebuah vila besar dengan taman yang luas. Tentu saja ketika itu pantainya belum terkena polusi seperti sekarang.
Dalam lukisan tersebut tampak para wanita dengan pakaian mode dari Paris abad ke-18 yang dibagian bawahnya seperti 'kurungan ayam' tengah dipayungi budaknya. Sementara sejumlah budak lain mendampinginya memegang 'tempolong' untuk tempat ludah sirih 'si nyonya'. Kala itu, para wanita umumnya nyirih -- mengunyah daun sirih yang tengahnya diberi pinang dan gambir.
Kebiasan yang dilakukan para budak wanita itu kemudian ditiru para wanita Indo. Sampai 1950-an, hampir di tiap rumah selalu tersedia tempat sirih. Di kesultanan-kesultanan tempat sirih ada yang dibuat dari emas dan perak. Waktu itu, di jalan-jalan Ibukota terdapat penjual sirih yang memikul dagagangnya.
Pada masa perjuangan dan awal kemerdekaan, Ancol merupakan daerah terlupakan. Kawasan seluas 552 hektar itu dibiarkan terlantar dan jadi sarang malaria. Bersamaan dengan isu 'si Manis dari Jembatan Ancol'. Bung Karnolah yang punya ide untuk memanfaatkan Ancol, yang kala itu dijuluki 'tempat jin buang orok'. Presiden pertama RI itu merencanakan membangun Menara Soekarno. Namun urung, karena Bung Karno keburu dijatuhkan, sementara masyarakat menilainya sebagai 'proyek mercu suar'.
Pada saat keadaan Ancol demikian, Zandvoort menjadi tempat rekreasi warga Ibukota. Rekreasi ke pantai ini sangat menyenangkan. Tidak bayar sesenpun. Juga tidak perlu biaya banyak seperti ke Taman Impian Jaya Ancol. Warga dapat makan di dekat siraman ombak dan pantai yang jernih. Sementara di pinggir-pinggir jalan banyak pedagang, dengan harga yang terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Kini Zandvoort sudah tidak berbekas sama sekali. Bahkan, namanyapun tidak ada yang tahu, alias dilupakan. Kini di tempat rekreasi yang dulu paling banyak didatangi orang itu, yang tinggal hanya sejumlah gudang dan pantainya kotor penuh sampah.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment