Inilah kantor pusat KPM (Koninkluke Paketvaart Maatchappij), perusahaan pelayaran terbesar di Hindia Belanda, yang setelah diambil alih pemerintah menjadi Pelni (1957). Gedung berlantai tiga kini menjadi kantor Ditjen Perla (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut). Gedung KPM ini diabadikan tahun 1930-an. Terlihat dari puluhan mobil parkir di depan gedung di Koningsplein-Oost No 5 (kini Medan Merdeka Timur), Jakarta Pusat. Seperti merek Austin, Morris, dan Fiat, yang seluruhnya mobil buatan Eropa.
KPM pada 1927 telah memiliki 136 kapal laut, dengan lancar mengarungi seluruh kepulauan di Nusantara dan mancanegara. Di samping mengangkut penumpang, KPM secara tetap mendistribusikan berbagai kebutuhan pokok ke daerah-daerah terpencil. Di samping mengangkut berbagai komoditas ekspor dan imppor. Gedung ini didesain Ir FJL Ghijsells, arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, Jawa Timur pada 1916 dan dibangun 1917-1918.
Pada 1957 seluruh perusahaan Belanda di Indonesia diambil alih. Di samping KPM, juga BVM (Batavia Verkeer Maatchappij), yang bergerak dibidang angkutan trem dan bus. Sejak itu lahirlah PPD (Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta), yang pada awal pekan lalu para awaknya melakukan mogok kerja, menuntut pembayaran gaji dan masa depan yang lebih baik. PPD sejak mengambil alih BVM terus menerus merugi. Salah satu sebab kehancuran PPD adalah korupsi, termasuk penyalahgunaan dalam pembelian dan penggunaan suku cacang untuk keperluan armada angkutannya.
Yang tidak pernah terjadi di masa kolonial. Kurang lebih di tempat gedung Ditjen Perla inilah, latar belakang novel historis terkenal Nyai Dasima karya G Francis. Kisah seorang nyai (wanita yang dijadikan gundik dan tanpa dinikah) dari desa Kuripan. Yang letaknya di sebelah kanan dari Ciseeng, setelah menempuh perjalanan dari Parung sejauh 10 km.Kisah Nyai Dasima terjadi di masa pemerintahan Inggris (1811-1816). Dasima gadis cantik dan bahenol menjadi istri simpanan tuan Edward William, salah seorang kepercayaan Letnan Gubernur Sir Thomas Raffles. Walaupun Dasima diperlakukan dengan baik oleh tuannya, tapi ia akhirnya rela dijadikan sebagai istri kedua Samiun, tukang sado dari Kwitang.
Dalam versi G Francis, Nyai Dasima meninggalkan tuan dan putrinya karena diguna-guna Samiun, melalui Mak Buyung. Kemudian diluruskan budayawan Betawi SM Ardan. Dasima memilih Samiun dan meninggalkan tuannya setelah diinsafkan bahwa kawin tanpa nikah (kumpul kebo) suatu perbuatan yang sangat terlarang dalam Islam. Tragisnya, nyai dari Kuripan ini akhirnya dibunuh Bang Puase, jagoan dari Kampung Kwitang, ketika ia dan suaminya hendak nonton tukang cerite di Gang Ketapang (depan Sawah Besar sekitar Jl Gajah Mada). Ia dibunuh atas suruhan Hayati, istri pertama Samiun yang tengah dibakar cemburu. Peristiwa ini terjadi kira-kira di depan Markas Marinir di Kwitang, sebelah toko buku Gunung Agung.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment